Pulau Enggano merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang terletak di Samudera Hindia (Indian Ocean). Pulau ini merupakan satu kecamatan, yakni Kecamatan Pulau Enggano dan masuk wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, dan berada di sebelah barat daya dari Kota Bengkulu dengan jarak sekitar 175 km. Luas wilayah Pulau Enggano sekitar 400,6 km2, terdiri dari 6 (enam) desa yakni Desa Banjarsari, Desa Meok, Desa Apoho, Desa Malakoni, Desa Kaana dan Desa Kahyapu.
Dua Island and Merbau Island and Enggano Island. Photo : Erni Suyanti Musabine |
Di sekitar pulau utama yang berpenghuni, terdapat pulau-pulau kecil yakni Pulau Dua (38,90 Ha), Pulau Merbau (6,8 Ha), Pulau Bangkai (0,26 Ha) dan Pulau Satu yang sudah tenggelam sejak tahun 1960an namun terkadang masih bisa terlihat dari kejauhan.
Kawasan Hutan di Pulau Enggano
Hasil Survey di Pulau Enggano Sumber : enggano.blogspot.com (Rendra Regen Rais) |
Suku dan Bahasa
Penduduk asli di Pulau Enggano terdiri dari 5 (lima) suku, yakni Suku Kauno, Suku Kaarubi, Suku Kaharuba, Suku Kaitaro, Suku Kaahoa. Masing-masing kepala suku dari kelima suku tersebut dikoordinir oleh Paabuki. Penduduk Pulau Enggano juga tidak menutup diri terhadap pendatang, dan kaum pendatang ini diberi nama suku tersendiri yakni Suku Kamay. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Enggano yang sangat berbeda dengan Bahasa Melayu yang digunakan di daratan Pulau Sumatera dan di wilayah Bengkulu lainnya pada khususnya. Sebagai contoh terdapat dalam tabel berikut :
Perjalanan Kedua ke Pulau Enggano
Sore itu tanggal 24 Pebruari 2011 pukul 17.00 WIB kami berempat, saya beserta tiga orang teman yakni Rendra Regen Rais seorang Polisi Kehutanan, dan dua orang jurnalis yakni Marini Sipayung dari Kantor Berita Antara dan Long Sinaga dari RRI Bengkulu bertolak dari Pelabuhan Pulau Baai menggunakan kapal ferry ASDP Raja Enggano yang akan menuju ke pelabuhan Kahyapu di Pulau Enggano. Ini adalah perjalanan kedua saya ke Pulau Enggano setelah perjalanan pertama saya di bulan Desember 2004 untuk tujuan dinas, yakni survey pembangunan kantor resort KSDA Enggano dan sosialisasi tentang konservasi penyu dan sosialisasi tentang Human-Crocodile Conflict Mitigation disana.
Sebelum perjalanan ini dimulai, seorang teman Polisi Kehutanan/ Polhut) di BKSDA Bengkulu yang telah merintis pengembangan Pulau Enggano sebelumnya telah menawarkan kepada staff BKSDA Bengkulu lainnya mungkin ada yang tertarik ikut membantunya berkegiatan untuk pengembangan Pulau Enggano di bidang kehutanan, dan tak satupun yang bersedia untuk ikut kecuali saya sendiri tentunya, saat saya mendapatkan tawaran itu tanpa berpikir panjang saya langsung menyetujuinya. Memang saya seorang dokter hewan satwa liar tetapi saya pernah juga belajar tentang hal-hal lain dari kawan-kawan saya yang sukses dibidangnya terutama yang berhubungan dengan kegiatan konservasi diluar kegiatan medis konservasi. Saya berkeyakinan akan bisa membantunya dengan bekal pengalaman saya itu dan ide-ide kreatif yang biasa keluar secara spontan di lapangan. Dan tidak hanya itu, saya sangat gemar berpetualang ke alam bebas terutama ke daerah-daerah terpencil seperti pulau terluar ini dimana orang lain tidak tertarik untuk mengunjunginya. Bagi saya waktu itu membantu bekerja disana sama saja saya akan melakukan petualangan yang luar biasa mengesankan dan penuh dengan tantangan alam dan kepuasan itu tidak bisa dibayar dan digantikan dengan apapun. Dan saya juga mengajak dua orang teman saya dari profesi yang berbeda, dan mereka menyambut baik untuk ikut terlibat membantu kegiatan yang akan kami lakukan, yakni survey potensi dan identifikasi permasalahan yang ada di Pulau Enggano sebagai dasar yang akan kami gunakan untuk melangkah lebih jauh dalam pengembangan kegiatan dibidang konservasi disana. Mereka berprofesi sebagai jurnalis yang saya kenal sebagai orang profesional yang idealis dalam bekerja, dan selama ini juga menggemari kegiatan petualangan dan tertarik dengan kegiatan yang berhubungan dengan konservasi. Kami berempat akan bisa saling melengkapi selama di lapangan.
Sore itu cuaca cerah, kami akan mengarungi Samudera Hindia selama 12 jam bila tidak ada kendala badai angin barat untuk mencapai Pulau Enggano. Tampak banyak orang berseragam tentara diatas kapal. Kami berada di dek/ geladak paling atas yang terbuka sambil menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah. Di dek paling bawah tampak beberapa mobil dinas dari beberapa instansi yang juga ada keperluan ke Pulau Enggano. Ransel kami dan logistik kami letakkan di ruangan penumpang (dek tengah) yang nantinya akan menjadi tempat tidur kami selama perjalanan di atas kapal. Saat sedang berburu photo sunset tiba-tiba seseorang dari dek paling bawah memanggilku untuk turun dan bergabung dengan mereka, dengan logat bahasanya dan makiannya saya langsung mengenali bahwa mereka semua berasal dari Surabaya :) Akhirnya saya meninggalkan kawan-kawan saya dan turun bergabung dengan mereka yang bahasanya tidak asing lagi di telinga saya. Kami berkenalan, yang satu adalah ABK kapal yang kami naiki yang berasal dari Surabaya, dan seorang lagi adalah angkatan laut yang bertugas di Lanal Pulau Enggano yang juga asli orang Surabaya dan satunya lagi adalah seorang Perwira Angkatan Laut dari Jakarta yang juga alumni Universitas Airlangga Surabaya dan berasal dari Surabaya yang sedang bertugas ke Pulau Enggano. (Saya mendengar khabar bahwa mereka/ para angkatan laut tersebut sedang survey lokasi untuk mempersiapkan rencana kunjungan ibu negara ke Pulau Enggano). Mendadak pembicaraan langsung berubah menggunakan bahasa Suroboyo-an dan tak ketinggalan makian Surabaya pun ada di dalamnya :) Angkatan laut lainnya menyingkir dan membiarkan kami bernostalgia dengan orang-orang sesama suku (satu daerah). Meski baru bertemu saat itu tetapi kami berempat sudah terlihat sangat akrab dan seperti sudah kenal lama sebelumnya. Budaya, bahasa dan daerah yang sama bisa membuat orang mendadak seperti saudara di tempat perantauan.
Malam itu kami tidur di dek tengah ruang penumpang menggunakan peralatan camping kami masing-masing, yakni sleeping bag dan matras. Kapal penuh penumpang dalam perjalanan ini. Tengah malam itu seorang perwira Angkatan Laut mendatangi saya dengan membawa dua gelas pop mie dan ingin menawari saya makan (tengah) malam, namun saya sudah tertidur lelap sehingga beliau tidak berani membangunkan saya untuk diajak begadang. Esok harinya beliau bercerita pada saya, ternyata malam itu tidak bisa tidur baik di ruang VIP maupun di dek bawah (tempat parkir kendaraan dan barang) disebabkan goncangan ombak yang membuat kapal bergoyang-goyang, karena dia mabuk laut. Baru kali ini saya mendengar bahwa angkatan laut yang bekerjanya menurut saya di laut pun masih mengalami mabuk laut.....hehe :) Bersyukurlah saya menjadi orang yang selalu merasa nyaman berada dimana saja, baik darat, laut maupun udara tanpa mengalami mabuk.
Pagi-pagi sekali kami sudah bangun, tentu saja kami berburu untuk memotret sunrise dari atas kapal. Matahari akan muncul sesaat sebelum kapal mendekati Pulau Enggano. Dari kejauhan akan terlihat Pulau Enggano, Pulau Dua dan Pulau Merbau. Tanggal 25 Pebruari 2011 pukul 05.00 WIB kami berlabuh di Pelabuhan Kahyapu, Enggano. Suasananya berbeda, sudah banyak yang berubah setelah 7 tahun berlalu. Dermaga sudah dibangun bagus dan sudah ada jalan beraspal antar desa. Namun saya tak melihat lagi pemandangan ikan-ikan besar warna-warni yang dulu bisa terlihat di sekitar dermaga. Hanya satu yang tidak berubah, masih dijumpai ular laut yang merayap di sela-sela bangunan dermaga. Kami dijemput oleh kawan-kawan dari Enggano yang menempati kantor Resort KSDA Enggano dengan sepeda motor. Kantor Resort Enggano tidak jauh dari pelabuhan Kahyapu.
Hari itu kami berjalan-jalan ke Desa Malakoni dan Apoho yang rencananya akan berkenalan dengan Paabuki (Koordinator Kepala Suku di Enggano), bertemu dengan Pak Camat Enggano, Danramil serta Kapolsek. Sepertinya teman saya ini sudah akrab dengan mereka semua, bahkan orang-orang yang kami cari itu mendatangi kantor Resort Enggano juga untuk bertemu kami semua. Berbincang-bincang dengan pak Camat dan Danramil seperti kami sedang menonton pelawak di televisi, karena kami tidak pernah berhenti tertawa. Mereka sangat lucu dan selalu kompak membuat lelucon yang membuat kami terpingkal-pingkal. Pak Camat baru terlihat berbicara serius bila mengajak saya berdiskusi berdua dengan bahasa Inggris tentang kondisi Enggano, mungkin beliau kesulitan mencari lelucon dengan bahasa asing :) Dan kami bisa berbicara dimana saja, tidak hanya di dalam ruangan tetapi bisa juga di tengah jalan. Jalan lintas antar desa di Pulau Enggano hanya satu, dan itupun sangat sepi jarang terlihat kendaraan lewat juga tidak ada angkutan umum karena harga BBM disana sangat tinggi, paling murah dan dalam kondisi normal harganya sekitar Rp. 10.000 per liter, itupun barangnya dijatah sekitar 10 liter per KK per bulan dan tidak bisa mendapatkan lebih, oleh karena itu jarang terlihat kendaraan roda empat disana kecuali ada kunjungan tamu dari Bengkulu, disebabkan BBM merupakan barang langka dan mahal di pulau terpencil itu. Bisa dibayangkan bagaimana nasib nelayan dan anak-anak sekolah yang rumahnya jauh yang sehari-hari aktivitasnya tergantung dengan BBM.
Karena kantor resort Enggano sangat sempit akhirnya kawan-kawan yang laki-laki tidur di kantor Resort dan kami bertiga yang perempuan (saya dengan kedua teman jurnalis) tidur di rumah Kepala Desa Kahyapu. Kebetulan saya sendiri sudah kenal akrab dengan istri Kepala Desa Kahyapu sejak tahun 2004 lalu melalui keluarga angkat saya di Kota Bengkulu. Dan saya anggap beliau adalah keluarga baru saya di Pulau Enggano, kebetulan salah satu anggota keluarganya juga ada yang berasal dari Jawa Timur dan sekarang menetap di Pulau itu sebagai nelayan, dan kami sudah merasa seperti satu keluarga. Setiap pendatang dan orang yang mengunjungi Pulau Enggano akan cepat sekali dikenali oleh orang-orang disana termasuk kedatangan kami waktu itu. Karena adanya hubungan baik dan kerjasama yang telah terbina dan telah dirintis cukup lama oleh kawan saya seorang Polisi Kehutanan yang mendedikasikan pekerjaannya mengurusi daerah terpencil itu dengan menjalin hubungan baik dengan masyarakat, kepala suku dan unsur tripika (Polsek, Koramil dan Camat) serta Lanal di Kecamatan Pulau Enggano membuat kedatangan kami pun disambut baik oleh mereka. Pada dasarnya masyarakat Enggano sangat ramah pada siapa saja yang datang kesana dengan niat baik.
Untuk mengisi waktu kami juga berjalan-jalan sambil bird watching untuk melihat burung Kacamata Enggano (Enggano White-eye atau Zosterops salvadorii) yang merupakan salah satu burung endemik di Pulau Enggano dan mengunjungi bangunan peninggalan penjajah Jepang yang ada di Desa Malakoni berdekatan dengan Pelabuhan Malakoni. Akibat gempa bangunan itupun akhirnya berada di pantai karang. Satu hari itu kami juga gunakan untuk mempersiapkan logistik untuk persiapan perjalanan keliling Pulau Enggano untuk survey dengan menggunakan perahu kecil. Selain menyiapkan logistik, kami juga perlu menyewa perahu nelayan dan pengemudi yang bisa diandalkan dalam menghadapi badai di laut yang terkadang datangnya tidak bisa diprediksi. Kami bekerja tanpa menggunakan dana khusus dari anggaran pemerintah, kami mendanai pekerjaan ini dengan sukarela yakni patungan masing-masing orang sehingga terkumpul uang Rp. 700.000,- untuk operasional dilapangan dengan jumlah anggota tim sebanyak 9 orang, yakni kami berempat ditambah dengan 2 orang nelayan sebagai pengemudi perahu serta 3 orang lainnya tenaga honor dan pamswakarsa yang bekerja di Resort KSDA Enggano. Rencananya kami akan mengadakan perjalanan selama 3-5 hari untuk mencari data dan mapping, tentang lokasi-lokasi yang potensial untuk pengembangan kegiatan ecotourism (surfing, snorkeling, diving, pengamatan penyu dan buaya, bird watching, camping, fishing, dll), dan survey lokasi penyu mendarat untuk bertelur selanjutnya guna pengembangan kegiatan konservasi penyu disana, serta survey lokasi yang rawan aktivitas illegal dan identifikasi permasalahan utama di Pulau Enggano.
Hari pertama perjalanan membuatku sangat antusias, bahagia sekali waktu itu bahwa saya akan mempunyai pengalaman yang luar biasa di lautan selama beberapa hari. Personil yang berangkat mengarungi lautan untuk keliling pulau Enggano tidak hanya kami yang berjumlah sembilan orang, ternyata ditambah lagi satu anggota baru untuk tim kami yakni seekor anjing bernama King, dia ikut tim ini atas permintaan saya. Saya berpikir bahwa dia akan sangat membantu untuk mengusir babi hutan yang akan mendekati tenda kami saat camping nanti. Sepanjang perjalanan anjing tersebut selalu duduk berdekatan dengan saya. Sejak dulu saya punya keinginan yang belum tercapai yakni berjalan-jalan menyusuri pantai yang indah dengan membawa seekor anjing, kedengaranya sangat menyenangkan dan hanya bisa kulihat di film-film. Dan keinginanku itu sebentar lagi akan jadi kenyataan dengan King ada bersamaku dalam petualangan ini. Tidak ada masalah dengan anggota tim selama perjalanan, kecuali anjing itu yang ketakutan dan mengalami mabuk laut saat diatas perahu. Dan pada akhirnya anjing itu pun diam membisu tidak mau bersuara (menggonggong) untuk mengusir babi hutan, mungkin karena stress sepanjang perjalanan :)
Camping di Teluk Kramai
Malam itu kami menginap (camping) di Teluk Kramai. Sebelum memasuki Teluk Kramai, kami akan melewati dua tebing batu di Tanjung Labuho yang berdiri tegak seperti pintu gerbang (seperti terlihat dalam video), indah sekali, karena matahari terbenam bisa terlihat dari kedua celah tebing batu tersebut. Tidak hanya itu sepanjang perjalanan setelah keluar dari muara sungai dekat kantor Resort Enggano pemandangannya sudah sangat mengagumkan, adanya burung-burung pantai dan pohon mangrove yang tertata rapi dan tampak hijau menyejukan mata di sepanjang pantai di kawasan Cagar Alam Teluk Klowe, pasir pantai yang tampak putih bersih dan air laut yang bening dengan batu karang dan rumput-rumput dibawah permukaan air laut yang terlihat jelas. Terkadang juga tampak ikan-ikan berenang di bawahnya. Dan bahkan terlihat rombongan ikan terbang di dekat perahu kami. Setelah melewati Pulau Merbau, ini merupakan lokasi untuk bisa melihat lumba-lumba berloncatan. Ini adalah untuk pertama kalinya saya bisa melihat lumba-lumba di laut lepas, sungguh saya merasa beruntung mendapat kesempatan itu. Sebelum sampai di Teluk Kramai kami berhenti sejenak di Teluk Podipo mencari sumber Air Tawar sekedar untuk mencuci muka dan pergi ke toilet di alam bebas dan memberi minum anjing yang mengalami mabuk laut. Di setiap pantai yang pernah digunakan nelayan untuk mondok (bermalam) bisa dijumpai adanya sumber air tawar yang tak jauh dari pantai. Setelah melewati Tanjung Labuho, yakni di Kiknen akan tampak sebuah kapal terdampar di pantai tersebut, konon khabarnya kapal itu adalah kapal penangkap ikan milik asing yang diserang oleh bajak laut kemudian terdampar di pantai Kiknen dan sudah dalam kondisi hancur. Satu lagi ditemukan kapal terdampar di sekitar Pulau Satu yang masih bisa tampak dari kejauhan.
Di Teluk Kramai mendirikan tenda dum untuk tempat tidur kami bertiga, yakni saya dan kedua orang teman jurnalis. Sedangkan kawan yang laki-laki tidur ditempat tersendiri yakni di pondok nelayan yang ada di hutan itu. Lokasi camping yang sempurna di dalam hutan dengan tenda menghadap ke pantai. Sore itu kami habiskan waktu untuk berenang di pantai dan bermain bola pantai dengan memanfaatkan sampah bola yang terdampar di pantai. Mungkin kami adalah orang pertama yang bermain sepak bola pantai di Teluk Kramai yang jauh dari hiruk pikuk aktivitas manusia. Sepi dan sunyi tanpa ada orang lain selain kami, serasa pulau ini milik kami saja. Benar-benar sangat menghibur, tanpa sadar apa yang kami lakukan itu menjadi obyek photo bagi kawan lainnya. Setelah puas mandi dan bermain di pantai, saya memeriksa sampah-sampah plastik yang dikumpulkan oleh dua orang teman, sampah terbanyak berupa botol air mineral dari berbagai negara, ada yang dari Singapore, Malaysia, Republic of Maldives, Surabaya, Sumatera Utara, Sri Lanka, Kenya, England, Bali, Lombok, Jakarta dan beberapa daerah/ negara lainnya. Terbanyak sampah botol plastik berasal dari Malaysia, China, Sri Lanka dan Afrika. Sepertinya Pulau Enggano juga merupakan salah satu tempat berlabuhnya sampah-sampah dari daerah dan negara lain yang terbawa arus laut.
Sore itu kedua nelayan yang mengemudikan perahu kami mencari ikan, tak lama kemudian mereka kembali ke camp kami dengan membawa beberapa ikan berukuran besar. Baru kali ini saya melihat orang memancing mendapat ikan berukuran besar, karena biasanya saya hanya melihat orang memancing di sungai-sungai atau di rawa-rawa dalam hutan dan bukan di laut seperti ini dan ikannya tidak sebesar yang saya lihat hari itu. Sepertinya makan sore kami akan menyenangkan, sambil membayangkan ikan bakar hasil tangkapan yang masih fresh dari laut. Kami langsung berbagi tugas untuk memasak nasi dan ikan bakar. Perjalanan hari itu membuat kami terasa lapar.
Malam itu kami berdiskusi bersama di pondok nelayan yang kami pakai karena memang sedang tidak berpenghuni, dua orang lainnya sedang diving (menyelam) untuk mencari lauk buat sarapan kami esok hari. Mereka adalah orang asli Pulau Enggano dan satunya asli dari Kepulauan Mentawai jadi sangat piawai dalam menyelam di laut dengan kedalaman sekitar 6-10 meter dengan peralatan seadanya tanpa tabung oksigen. Kebetulan hari itu kami para anggota tim yang wanita punya permintaan khusus yakni ingin makan lobster, kepiting, gurita, kerang yang berasal dari dasar laut. Sambil bercanda, kami berkata, "batas waktu untuk mencari itu semua hanya satu jam dan harus dapat." Sekitar pukul 21.00 WIB mereka berdua mulai menyelam dan kami menunggu di camp sambil ngobrol bersama, mendengarkan musik kus plus dari laptop yang dibawa. Dalam perjalanan ini kami juga membawa solar cell sehingga bisa charging laptop dan camera serta masih bisa bekerja (memasukkan data). Tak lama kemudian kawan kami pulang dari menyelam dan membawa hasil yang kami inginkan. Akhirnya kami merebusnya agar tidak busuk untuk menu sarapan esok hari. Hmmm....saya sudah membayangkan bahwa besok akan punya sarapan lezat. Dan ini untuk pertama kalinya saya makan gurita. Oya, orang Enggano gemar makan ikan mentah, tidak hanya itu kadang kerang dan siput laut pun dimakan mentah-mentah. Malam itu kami mencobanya, seorang teman dari Mentawai sudah memulai makan kerang mentah dengan lahabnya, semula saya hanya memperhatikan saja, lama-lama ingin mencoba, dan rasanya.....hmmm....benar-benar membuatku ingin memuntahkannya kembali. Rasanya aneh dan menjijikan :)
Wild Animal Watching (Pengamatan Satwa Liar di Malam Hari)
Lima orang lainnya sudah beranjak tidur di tempat masing-masing, tetapi kami berempat yakni saya dan seorang teman Polisi Kehutanan, dan seorang teman dari Enggano serta salah satu nelayan akan berjalan-jalan menelusuri pantai menuju lokasi muara-muara sungai tempat buaya berada. Malam itu saya lebih tertarik untuk mengamati buaya muara daripada tidur. Air laut sedang pasang, langit gelap pertanda bahwa akan ada badai, pasir pantai pun sudah tertutup air laut. Kami memasuki satu muara ke muara berikutnya berharap bisa bertemu buaya muara (Crocodylus porosus), ingin menangkapnya dan mengukurnya kemudian melepaskannya kembali. Kebetulan nelayan yang kami bawa juga punya keahlian dalam menangkap buaya dan ular. Dan ternyata Crocodile hunter tidak hanya ada di Australia tetapi di Pulau Enggano juga ada. Mungkin menurut orang lain ide kami ini terkesan aneh dan mengerikan, malam-malam mencari buaya muara di habitatnya, tapi bagi saya sendiri ini termasuk hal yang mengasyikkan, karena saya menyukai tantangan dalam setiap petualangan di alam liar.
Di muara pertama kami tidak bertemu buaya tetapi malah bertemu ular Phyton reticulatus yang besarnya sekaki saya dan panjangnya kurang lebih 2,5 - 3 meter. Ular tersebut sedang berada di sungai kecil dekat muara dan membelakangi kami berdiri. Buru-buru saya dan seorang teman mendekatinya untuk memotret, tiba-tiba ular tersebut berbalik arah dan mengejar karena terkena sinar headlamp dan getaran yang ditimbulkan oleh kaki kami yang berjalan mendekatinya. Di sepanjang pantai di bawah kaki kami juga bertemu dengan ular kecil yang sedang berenang di pantai, penduduk lokal menyebutnya ular kadut. Ular jenis ini bila diphoto dan dilihat diam saja tidak menyerang kami. Selain itu kami juga melihat musang yang sedang memanjat pohon tinggi. Tak terasa kami telah jauh berjalan malam itu, lokasi kami sudah sejajar dengan lokasi Pulau Satu, akhirnya di muara itu kami melihat buaya, dari kejauhan tampak warna kedua matanya yang merah kena sinar headlamp. Malam itu terjadi hujan badai mengiringi perjalanan kami pulang kembali ke camp. Air laut yang pasang sudah mulai tinggi. Jalan yang tadi kami lewati sudah tertutup air laut sebatas lutut. Di sepanjang pantai dan muara kami selalu waspada, pandangan saya terfokus untuk memeriksa muara sungai yang kami lewati dengan bantuan sinar headlamp, khawatir ada buaya disana tanpa kami ketahui. Nelayan itu mengingatkanku bahwa buaya tidak hanya berada di muara sungai tapi terkadang juga berenang di pantai/ laut. Sepanjang perjalanan membuatku sibuk menoleh kekiri dan kekanan dengan penuh waspada di hari yang gelap. Badan basah kuyup karena hujan deras dan angin kencang. Kaki penuh goresan luka karena gesekan pasir dengan sandal yang terasa pedih kena air laut. Ini kesalahanku yang tidak mau memakai sepatu, dan memilih memakai sandal gunung saja. Waktu itu menunjukkan pukul 03.00 WIB dini hari, sampai di camp semua orang sudah tertidur pulas, tinggal kami berempat yang baru datang dan masih basah kuyup. Sebelum beranjak tidur kami sempatkan untuk membuat minuman hangat.
Esok harinya, tanggal 27 Pebruari 2011 setelah sarapan lezat dengan lobster, kepiting, gurita, kerang kami melanjutkan perjalanan. Kami bertujuh dan bersama seekor anjing melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dan kedua nelayan membawa perahu beserta barang-barang. Dalam perjalanan kami mencari data tentang lokasi penyu bertelur dan ambil titik koordinat untuk pemetaaan. Dari hasil survey ditemukan tiga jenis penyu yang bertelur di pantai Enggano yakni Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Belimbing (Demochelys coriacea), dan Penyu Sisik (Caretta caretta). Berlokasi di Teluk Kopi di kawasan konservasi Taman Buru Gunung Nanu'a, Teluk Ki'yoey Kuriamah yang terletak diantara kawasan konservasi Cagar Alam Kioyo I dan Kioyo II. Ditemukan juga diantara Sawang Epouva dan Sawang Ahai Ahai serta Pantai Panjang Malakoni. Selain itu juga mengambil titik koordinat lokasi-lokasi yang menarik untuk ecotourism. Dalam perjalanan tersebut kami melewati Cagar Alam Kioyo I dan Kioyo II. Tempat itu dulunya merupakan pusat pemukiman masyarakat Enggano sebelum terjadinya wabah penyakit yang menyebabkan kematian massal dan berkurangnya penduduk secara drastis dan akhirnya penduduk Enggano berpindah ke lokasi pemukiman di sisi lainnya dari pulau itu, yakni sepanjang pantai yang kini ditempat penduduk Enggano. Disana juga ada bekar gereja, selain itu juga terdapat makam leluhur pada ratusan tahun yang lalu, yang masih dapat terlihat sisa-sisa peninggalan tersebut. Dalam perjalanan itu kami juga mencari bukti keberadaan makam tua tersebut, setelah berjalan kaki menelusuri hutan pantai akhirnya kami menemukannya juga. Di tempat ini juga terdapat pantai yang indah, berpasir putih dan airnya jernih berwarna kebiruan, serta bagus untuk surfing bagi pemula, tepatnya di Teluk Ki'yoey Kuriamah, yang pernah dijadikan tempat persinggahan kapal pesiar dari Bali. Kami berjalan menelusuri pantai ini dengan diiringi hujan gerimis. Lokasi ini sangat ideal untuk berfoto karena pemandangan sekitar sangat mengagumkan.
Dalam perjalanan dengan perahu kami juga melewati Taman Buru Gunung Nanua, selain merupakan kawasan konservasi juga salah satu tempat yang pernah diusulkan sebagai lokasi untuk peluncuran satelit antariksa. Daerah itu merupakan lokasi para nelayan mondok (bermalam saat mencari ikan) dengan ditemukannya banyak pondok nelayan disana, karena lautan disekitar sana merupakan lokasi yang ideal bagi nelayan untuk mencari ikan. Dengan adanya rencana dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentang pembangunan lokasi peluncuran satelit disekitar sana maka akan merugikan para nelayan dalam mencari nafkah karena sekitar lokasi peluncuran akan disterilkan dari aktivitas manusia. Rencana tersebut memunculkan pro dan kontra di masyarakat Enggano. Mereka juga mempertanyakan apa manfaatnya secara langsung adanya peluncuran satelit di daerah mereka bagi masyarakat Enggano. Kami pun tidak bisa menjawabnya. Karena menurut kami setiap rencana pembangunan harus menyesuaikan potensi dan permasalahan di daerah masing-masing dan tidak boleh ada yang dirugikan dan sebaiknya malah menguntungkan semua pihak terutama masyarakat di sekitarnya.
Camping di Oker Oker
Hari itu kami bermalam di Oker Oker. Ada satu pondok nelayan disana yang masih bisa digunakan. Saya bersama teman yang perempuan mendirikan tenda dum untuk tempat tidur kami, sedangkan lainnya tidur di pondok nelayan. Hari itu kami punya menu makanan spesial, seorang nelayan yang bersama kami akan memasak gulai ikan buat kami semua, kebetulan disana juga banyak pohon kelapa yang telah dianggap sebagai milik bersama. Setelah teman-teman pergi sebetar untuk mencari ikan di laut buat makan siang dan makan malam kami, sepulangnya ikan tersebut dimasak gulai ikan. Saya tertidur pulas di pondok begitu bangun makanan sudah habis karena menurut mereka menu hari itu sangat enak sehingga saya hanya bisa merasakan lezatnya makanan lewat cerita saja. Akhirnya ada yang memasak ikan bakar untukku, tanpa nasi pun sudah bisa mengenyangkan karena ukurannya besar dan lebih dari satu. Disela-sela waktu dalam perjalanan ini saya juga berminat kursus private bahasa Enggano ke kawan seperjalanan yang merupakan penduduk asli Enggano, sungguh sulit mempelajari Bahasa Enggano yang dipakai sehari-hari terutama pengucapannya. Tapi tidak mengapa, saya sangat menyukai belajar bahasa asing yang menurut saya unik. Mengisi waktu luang hari itu dengan menelberjalan meneusuri pantai dan hutan mangrove di sekitar areal camping. Kami melihat seekor ular laut Laticauda colubrina berukuran besar sedang berada di sela-sela mangrove. Saya tertarik untuk memotretnya tetapi tidak mau memegangnya karena ular ini sangat berbisa, bila digigit dan terkena bisa/ racunnya sebanyak 1,5 mg saja sudah bisa berakibat fatal yakni menyebabkan kematian, sedangkan sebagian besar ular laut dapat memproduksi bisa/ toxin sebanyak 10-15 mg. Dan bisa ularnya bersifat neurotoxin dan myotoxin. Bisa dibayangkan betapa berbisanya ular laut itu dan betapa berbahayanya bila tergigit ular itu di daerah terpencil seperti itu dan lagipula petugas medis pun tidak tersedia setiap saat di pulau Enggano.
Selama di Oker-Oker kami membuat perubahan rencana dengan menyesuaikan dengan kondisi cuaca. Semula kami berencana melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Enggano dengan menggunakan perahu kecil dengan mesin tempel tetapi ternyata kondisi cuaca tidak mendukung. Apalagi seorang nelayan merasa keberatan untuk melanjutkan perjalanan dan memilih kembali ke Kahyapu. Akhirnya tim dibagi menjadi dua, yakni lima orang bersama saya melakukan perjalanan kembali ke Desa Kahyapu menggunakan perahu, untuk perjalanan kembali dirasa masih aman bila terkena badai angin barat, dibandingkan melanjutkan perjalanan dengan melawan badai. Tiga orang lainnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki untuk mengelilingi Pulau Enggano. Sebenarnya mereka menginginkan saya untuk ikut bergabung melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki tetapi karena kondisi kaki saya yang terluka karena tidak memakai sepatu pada saat mencari buaya di hari sebelumnya membuat jalan saya menjadi lambat, dan saya tidak mau merepotkan mereka karena kondisi berjalan saya yang masih tidak normal.
Terkena Badai di Laut Lepas
Kami berpisah di Oker Oker, saat tim perahu akan meninggalkan Oker Oker, anjing kami hilang entah kemana dan belum kembali. Seorang teman menyarankan agar kami meninggalkannya karena langit di kejauhan sudah tampak gelap dan sebentar lagi badai datang. Saya merasa cemas, harus mencarinya atau meninggalkannya sendiri di tempat itu, sedangkan badai sebentar lagi datang, terkena badai di laut juga hal yang mengkhawatirkan. Akhirnya kamipun harus meninggalkan anjing itu dengan perasaan khawatir tentunya, pada saat perahu kami sudah mulai ke lepas pantai, anjing itu muncul dari kejauhan, akhirnya perahu kembali untuk menjemputnya dan dibawa pulang. Lega rasanya, akhirnya dia tidak ditinggalkan sendirian di tempat yang tak berpenghuni itu. Perjalanan kembali ke Kahyapu perahu kami tidak melewati pinggir pantai tetapi mengambil jalan melewati laut lepas di luar tubir (tubir adalah batas pasang surut air laut). Di tengah laut turun hujan deras, dan gelombang laut sangat tinggi dan rapat, saat menaiki gelombang seperti kami menaiki bukit dan begitu saat menuruni gelombang tinggi seperti turun ke lembah. Beruntunglah kami memiliki skipper yang handal yang punya pengalaman di lautan selama bertahun-tahun. Meskipun mengerikan tapi saya masih bisa menikmati perjalanan itu, mendokumentasikan untuk mengambil photo dan video gelombang-gelombang laut yang tinggi dan memilih duduk di depan. Tapi karena kondisi cuaca buruk, nelayan melarang saya duduk di ujung perahu seperti biasanya, semua harus duduk didalam perahu demi keselamatan. Perahu kami diguncang-guncang oleh gelombang yang tinggi dan dihempas badai. Anjing kami mengalami stress perjalanan dan mencoba bunuh diri dengan menjebur ke laut dalam, membuat saya dan seorang nelayan sibuk berusaha menyelamatkan dan menariknya kembali untuk masuk kedalam perahu. Dalam kondisi cuaca yang buruk itu saya hanya bisa berharap semoga kami semua selamat sampai tujuan, sambil membayangkan bahwa dibawah kami adalah samudera/ laut dalam. Mengemudikan perahu di laut lepas memang tidak mudah, harus hafal rute yang dilewati, dan punya keahlian untuk melewati gelombang tinggi agar perahu tidak terbalik, dan tahu mana yang berbahaya dan mana yang aman untuk dilalui. Jangan sampai kejadian buruk di laut sekitar Taman Nasional Baluran bersama kawan-kawan Marlboro Adventure Team beberapa tahun yang lalu terulang kembali dimana perahu menabrak karang yang ada di bawah permukaan laut pada tengah malam dan menyebabkan perahu bocor dan mulai tenggelam. Sepanjang perjalanan saya berpikir jangan sampai hal yang sama terjadi.
Berburu Ikan Karang di Pulau Dua
Akhirnya sampai juga kami di Desa Kahyapu. Setiap hari hujan deras, sehingga kami tidak memiliki baju kering lagi dan membuat kami setiap hari mengenakan baju basah. Hari itu kami tidak ada kegiatan, hanya menunggu anggota tim yang berjalan kaki sampai ke kantor Resort Enggano dengan selamat. Kami perkirakan dua atau tiga hari lagi mereka baru sampai. Karena tidak ada yang dikerjakan, akhirnya saya dan dua orang teman ikut dua orang nelayan yang sudah kami kenal sebelumnya yang akan mencari ikan disekitar Pulau Dua. Satu orang lagi menunggu kantor resort. Kebetulan di sungai depan kantor Resort Enggano merupakan tempat perahu nelayan ditambat/ diparkir, sehingga lalu lalang nelayan dengan perahu bisa terlihat dari kantor resort. Mereka mencari ikan dengan menggunakan panah, mereka menyebutnya menembak, karena bentuknya memang menyerupai senjata. Caranya dengan menyelam sekitar kedalaman 5-10 meter dan menembak ikan-ikan karang dengan panah. Saya dan kedua orang teman hanya mengamati saja dari atas perahu, kebetulan airnya jernih sehingga bisa dilihat dari atas. Tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan 11 ekor ikan untuk lauk di rumah, ada ikan kerapu berwarna coklat totol-totol putih, ikan kerapu sirih berwarna coklat gelap, ikan serandang berwarna merah, ikan merang berwarna putih totol-totol kuning, ikan narun warnanya seperti ikan pada umumnya, ikan bayam berwarna biru, ikan kino tubuhnya bergaris-garis warna biru dan kuning, ikan kerong-kerong yang berwarna kuning bergaris-garis hitam dan yang seekor lagi saya tidak tahu namanya. Itu semua nama-nama lokal. Tiba-tiba langit gelap dan terjadi hujan dan badai, memaksa kami untuk segera menuju daratan. Dan lokasi terdekat untuk dicapai adalah Pulau Dua. Hujan sangat deras disertai angin kencang. Kami berteduh di pondok nelayan yang tak berpenghuni. Menunggu badai reda, perut terasa lapar. Akhirnya kami memanfaatkan apa yang ada di pulau itu untuk dimakan. Kami mendapatkan buah pepaya masak dan membakar ikan serta kelapa muda, itulah makan siang kami di Pulau Dua sambil menunggu badai reda untuk bisa kembali ke Desa Kahyapu.
Tak disangka tim kami yang berjalan kaki telah sampai di Desa Kahyapu, cepat sekali mereka berjalan, waktu tempuh mereka hanya dua hari untuk mencapai Kahyapu. Selama perjalanan mereka membawa oleh-oleh yang cukup mengagumkan, yakni hasil dokumentasi selama perjalanan yang melewati beberapa tempat yang indah, juga ditemukan aktifitas illegal perburuan penyu. Semua jenis penyu merupakan satwa liar dilindungi menurut UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pulau Enggano memang terkenal dengan kebiasaan untuk mengkonsumsi daging penyu tidak hanya saat upacara adat dan pernikahan tetapi juga untuk lauk sehari-hari bila mereka mendapatkannya dari berburu di laut terutama bagi para nelayan yang mondok (bermalam di pondok di lokasi mencari ikan).
Kami juga menghabiskan waktu untuk melihat-lihat kondisi pembangunan di Pulau Enggano sambil mengantar kedua teman jurnalis saya untuk interview masyarakat dan beberapa petugas terkait. Sesampainya di lokasi pembangunan airport (bandara) di Desa Malakoni, dari hasil pembicaraan kami bisa saya ambil kesimpulan bahwa pembangunan airport ini sudah direncanakan dan dimulai sejak lama, menurut pengakuan salah satu petugas disana bahwa dia telah bekerja untuk pembangunan airport tersebut sejak dia masih remaja, sampai dia menikah dan punya anak masih bekerja untuk proyek itu dan akhirnya sampai dia pun punya cucu masih saja sebatas itu pembangunanya tidak ada perkembangan yang berarti. Selain itu kami juga berjalan-jalan ke desa sekitar untuk melihat keahlian penduduk lokal dalam membuat perahu. Oya, tidak semua tempat di Pulau Enggano bersignal untuk phone cell. Signal bagus di Desa Malakoni karena ada tower Telkomsel disana. Dan beberapa tempat yang biasa kami pakai untuk akses internet yakni selain di Desa Malakoni juga di pantai panjang Malakoni. Berada di daerah terpencil tanpa signal phone cell membuat hidup ini lebih tenang dan nyaman :)
Investigasi
Untuk melengkapi data tentang
perburuan satwa liar dilindungi, saya mendapat bagian tugas untuk investigasi guna mencari data tentang perburuan liar terutama yang berhubungan dengan perburuan penyu. Saya mulai mencari informasi tentang orang-orang yang punya keahlian dalam berburu penyu disana, setelah mendapatkan sejumlah nama selanjutnya mencari tahu tempat tinggalnya. Saat saya mendatangi rumahnya, orang yang saya cari ada di tempat dan akhirnya kami berbincang-bincang santai sambil sesekali mengorek informasi tentang penangkapan penyu, dia memberikan keterangan seperti yang saya harapkan. Dia mengenal saya sebagai seorang photographer yang tertarik untuk memotret dan membuat video tentang hewan liar dan sebagai seorang traveler. Bahkan dia menawari saya untuk ikut bergabung bila nanti ada acara penangkapan penyu lagi di laut, dengan menyebutkan beberapa lokasi yang biasa digunakan untuk penangkapan penyu. Tanpa berpikir panjang saya menyetujuinya, karena saya tertarik untuk mendokumentasikannya. Diakhir pembicaraan, kami bertukar nomor telepon dan saya berpesan untuk dihubungi bila dia dan timnya akan melaut untuk menangkap penyu. Di Pulau Enggano terdapat tradisi masyarakat secara turun-temurun mengkonsumsi daging penyu di setiap acara pesta pernikahan, jumlah penyu yang dikonsumsi tergantung hasil tangkapan, bahkan bisa mencapai 23 ekor dari jenis Penyu Hijau dan Penyu Belimbing. Di setiap acara pesta pernikahan dibentuk tim penangkap penyu yang akan bekerja sekitar 7 hari sebelum pesta berlangsung. Menurut Paabuki bahwa tidak ada aturan yang mengharuskan menggunakan daging penyu pada setiap acara adat pernikahan. Perburuan penyu dilakukan pada malam hari dengan menggunakan tombak. Beberapa hari sebelum saya berkunjung kerumahnya, mereka baru menyembelih penyu belimbing untuk dikonsumsi menurut pengakuannya. Saat ini semua jenis penyu sudah dikategorikan terancam punah dan telah dilindungi aleh peraturan perundangan baik tingkat nasional maupun international.
Sosialisasi
Di hari terakhir kami berada di Pulau Enggano, kami melakukan sosialisasi dengan difasilitasi oleh Camat Enggano. Sosialisasi diadakan di kantor camat Pulau Enggano dengan dihadiri oleh para Kepala Suku, Paabuki, Danramil serta Kapolsek Pulau Enggano. Sosialisasi utama tentang kawasan konservasi yang ada di Pulau Enggano serta hasil kegiatan survey yang telah kami lakukan selama berada disana. Berharap apa yang telah dilakukan mendapat respon positif oleh pihak-pihak terkait untuk membantu masyarakat Enggano secara nyata dalam mengatasi permasalahan utama disana dan mengembangkan potensi yang ada untuk mendukung perekonomian disana. Kami hanya bisa membantu secara sukarela dan berbuat sesuatu sebatas kemampuan kami. Harapan kedepan Enggano jangan pernah lagi sebagai obyek semata untuk proyek - proyek pemerintah daerah maupun pusat bila tanpa ada hasil yang maksimal yang bisa dirasakan oleh masyarakat disana secara nyata. Identifikasi permasalahan di Pulau Enggano bisa dijadikan dasar untuk melakukan kegiatan dengan tujuan membantu masyarakat dalam mengatasi permasalahan tersebut dan membantu mencari solusinya yang bisa diaplikasikan dengan mudah di sana. Selain itu pengembangan potensi dengan ide-ide yang kreatif dan mencari jalan keluar untuk mewujudkannya juga akan sangat membantu. Namun semua itu harus mendapat dukungan dari para stakeholder karena tanpa ada dukungan maka yang terjadi akan sama saja, semua tidak akan bisa direalisasikan. Dan satu hal lagi yang penting bahwa membantu masyarakat di daerah terpencil harus dengan hati (ketulusan dan kesungguhan), tidak bisa dengan hawa nafsu (nafsu keserakahan).
Note :
Penduduk asli di Pulau Enggano terdiri dari 5 (lima) suku, yakni Suku Kauno, Suku Kaarubi, Suku Kaharuba, Suku Kaitaro, Suku Kaahoa. Masing-masing kepala suku dari kelima suku tersebut dikoordinir oleh Paabuki. Penduduk Pulau Enggano juga tidak menutup diri terhadap pendatang, dan kaum pendatang ini diberi nama suku tersendiri yakni Suku Kamay. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Enggano yang sangat berbeda dengan Bahasa Melayu yang digunakan di daratan Pulau Sumatera dan di wilayah Bengkulu lainnya pada khususnya. Sebagai contoh terdapat dalam tabel berikut :
Angka
|
Enggano
|
1
|
kahai’
|
2
|
’aru
|
3
|
’akər
|
4
|
’aup
|
5
|
’arib
|
6
|
’aki’akin
|
7
|
’arib he ’aru
|
8
|
kĩpã’ĩõp, ’ãpã’ĩõp
|
9
|
kĩpã’ĩõp kabai kahai’, ’ãpã’ĩõp
’abai kahai’
|
10
|
kĩpã’ãũp
|
20
|
kahai’ kak
|
Sumber : en.wikipedia.org/wiki/Enggano_Language
Perjalanan Kedua ke Pulau Enggano
Sore itu tanggal 24 Pebruari 2011 pukul 17.00 WIB kami berempat, saya beserta tiga orang teman yakni Rendra Regen Rais seorang Polisi Kehutanan, dan dua orang jurnalis yakni Marini Sipayung dari Kantor Berita Antara dan Long Sinaga dari RRI Bengkulu bertolak dari Pelabuhan Pulau Baai menggunakan kapal ferry ASDP Raja Enggano yang akan menuju ke pelabuhan Kahyapu di Pulau Enggano. Ini adalah perjalanan kedua saya ke Pulau Enggano setelah perjalanan pertama saya di bulan Desember 2004 untuk tujuan dinas, yakni survey pembangunan kantor resort KSDA Enggano dan sosialisasi tentang konservasi penyu dan sosialisasi tentang Human-Crocodile Conflict Mitigation disana.
Our Team. Photo : Rendra Regen Rais |
Sore itu cuaca cerah, kami akan mengarungi Samudera Hindia selama 12 jam bila tidak ada kendala badai angin barat untuk mencapai Pulau Enggano. Tampak banyak orang berseragam tentara diatas kapal. Kami berada di dek/ geladak paling atas yang terbuka sambil menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah. Di dek paling bawah tampak beberapa mobil dinas dari beberapa instansi yang juga ada keperluan ke Pulau Enggano. Ransel kami dan logistik kami letakkan di ruangan penumpang (dek tengah) yang nantinya akan menjadi tempat tidur kami selama perjalanan di atas kapal. Saat sedang berburu photo sunset tiba-tiba seseorang dari dek paling bawah memanggilku untuk turun dan bergabung dengan mereka, dengan logat bahasanya dan makiannya saya langsung mengenali bahwa mereka semua berasal dari Surabaya :) Akhirnya saya meninggalkan kawan-kawan saya dan turun bergabung dengan mereka yang bahasanya tidak asing lagi di telinga saya. Kami berkenalan, yang satu adalah ABK kapal yang kami naiki yang berasal dari Surabaya, dan seorang lagi adalah angkatan laut yang bertugas di Lanal Pulau Enggano yang juga asli orang Surabaya dan satunya lagi adalah seorang Perwira Angkatan Laut dari Jakarta yang juga alumni Universitas Airlangga Surabaya dan berasal dari Surabaya yang sedang bertugas ke Pulau Enggano. (Saya mendengar khabar bahwa mereka/ para angkatan laut tersebut sedang survey lokasi untuk mempersiapkan rencana kunjungan ibu negara ke Pulau Enggano). Mendadak pembicaraan langsung berubah menggunakan bahasa Suroboyo-an dan tak ketinggalan makian Surabaya pun ada di dalamnya :) Angkatan laut lainnya menyingkir dan membiarkan kami bernostalgia dengan orang-orang sesama suku (satu daerah). Meski baru bertemu saat itu tetapi kami berempat sudah terlihat sangat akrab dan seperti sudah kenal lama sebelumnya. Budaya, bahasa dan daerah yang sama bisa membuat orang mendadak seperti saudara di tempat perantauan.
Malam itu kami tidur di dek tengah ruang penumpang menggunakan peralatan camping kami masing-masing, yakni sleeping bag dan matras. Kapal penuh penumpang dalam perjalanan ini. Tengah malam itu seorang perwira Angkatan Laut mendatangi saya dengan membawa dua gelas pop mie dan ingin menawari saya makan (tengah) malam, namun saya sudah tertidur lelap sehingga beliau tidak berani membangunkan saya untuk diajak begadang. Esok harinya beliau bercerita pada saya, ternyata malam itu tidak bisa tidur baik di ruang VIP maupun di dek bawah (tempat parkir kendaraan dan barang) disebabkan goncangan ombak yang membuat kapal bergoyang-goyang, karena dia mabuk laut. Baru kali ini saya mendengar bahwa angkatan laut yang bekerjanya menurut saya di laut pun masih mengalami mabuk laut.....hehe :) Bersyukurlah saya menjadi orang yang selalu merasa nyaman berada dimana saja, baik darat, laut maupun udara tanpa mengalami mabuk.
Menikmati sun rise dari atas kapal Raja Enggano |
Hari itu kami berjalan-jalan ke Desa Malakoni dan Apoho yang rencananya akan berkenalan dengan Paabuki (Koordinator Kepala Suku di Enggano), bertemu dengan Pak Camat Enggano, Danramil serta Kapolsek. Sepertinya teman saya ini sudah akrab dengan mereka semua, bahkan orang-orang yang kami cari itu mendatangi kantor Resort Enggano juga untuk bertemu kami semua. Berbincang-bincang dengan pak Camat dan Danramil seperti kami sedang menonton pelawak di televisi, karena kami tidak pernah berhenti tertawa. Mereka sangat lucu dan selalu kompak membuat lelucon yang membuat kami terpingkal-pingkal. Pak Camat baru terlihat berbicara serius bila mengajak saya berdiskusi berdua dengan bahasa Inggris tentang kondisi Enggano, mungkin beliau kesulitan mencari lelucon dengan bahasa asing :) Dan kami bisa berbicara dimana saja, tidak hanya di dalam ruangan tetapi bisa juga di tengah jalan. Jalan lintas antar desa di Pulau Enggano hanya satu, dan itupun sangat sepi jarang terlihat kendaraan lewat juga tidak ada angkutan umum karena harga BBM disana sangat tinggi, paling murah dan dalam kondisi normal harganya sekitar Rp. 10.000 per liter, itupun barangnya dijatah sekitar 10 liter per KK per bulan dan tidak bisa mendapatkan lebih, oleh karena itu jarang terlihat kendaraan roda empat disana kecuali ada kunjungan tamu dari Bengkulu, disebabkan BBM merupakan barang langka dan mahal di pulau terpencil itu. Bisa dibayangkan bagaimana nasib nelayan dan anak-anak sekolah yang rumahnya jauh yang sehari-hari aktivitasnya tergantung dengan BBM.
Karena kantor resort Enggano sangat sempit akhirnya kawan-kawan yang laki-laki tidur di kantor Resort dan kami bertiga yang perempuan (saya dengan kedua teman jurnalis) tidur di rumah Kepala Desa Kahyapu. Kebetulan saya sendiri sudah kenal akrab dengan istri Kepala Desa Kahyapu sejak tahun 2004 lalu melalui keluarga angkat saya di Kota Bengkulu. Dan saya anggap beliau adalah keluarga baru saya di Pulau Enggano, kebetulan salah satu anggota keluarganya juga ada yang berasal dari Jawa Timur dan sekarang menetap di Pulau itu sebagai nelayan, dan kami sudah merasa seperti satu keluarga. Setiap pendatang dan orang yang mengunjungi Pulau Enggano akan cepat sekali dikenali oleh orang-orang disana termasuk kedatangan kami waktu itu. Karena adanya hubungan baik dan kerjasama yang telah terbina dan telah dirintis cukup lama oleh kawan saya seorang Polisi Kehutanan yang mendedikasikan pekerjaannya mengurusi daerah terpencil itu dengan menjalin hubungan baik dengan masyarakat, kepala suku dan unsur tripika (Polsek, Koramil dan Camat) serta Lanal di Kecamatan Pulau Enggano membuat kedatangan kami pun disambut baik oleh mereka. Pada dasarnya masyarakat Enggano sangat ramah pada siapa saja yang datang kesana dengan niat baik.
Salah satu bangunan peninggalan penjajah Jepang |
Hari pertama perjalanan membuatku sangat antusias, bahagia sekali waktu itu bahwa saya akan mempunyai pengalaman yang luar biasa di lautan selama beberapa hari. Personil yang berangkat mengarungi lautan untuk keliling pulau Enggano tidak hanya kami yang berjumlah sembilan orang, ternyata ditambah lagi satu anggota baru untuk tim kami yakni seekor anjing bernama King, dia ikut tim ini atas permintaan saya. Saya berpikir bahwa dia akan sangat membantu untuk mengusir babi hutan yang akan mendekati tenda kami saat camping nanti. Sepanjang perjalanan anjing tersebut selalu duduk berdekatan dengan saya. Sejak dulu saya punya keinginan yang belum tercapai yakni berjalan-jalan menyusuri pantai yang indah dengan membawa seekor anjing, kedengaranya sangat menyenangkan dan hanya bisa kulihat di film-film. Dan keinginanku itu sebentar lagi akan jadi kenyataan dengan King ada bersamaku dalam petualangan ini. Tidak ada masalah dengan anggota tim selama perjalanan, kecuali anjing itu yang ketakutan dan mengalami mabuk laut saat diatas perahu. Dan pada akhirnya anjing itu pun diam membisu tidak mau bersuara (menggonggong) untuk mengusir babi hutan, mungkin karena stress sepanjang perjalanan :)
Perjalanan laut keliling Pulau Enggano
Video : Erni Suyanti Musabine
Video : Erni Suyanti Musabine
Camping di Teluk Kramai
Teluk Podipo. Photo : Rendra Regen Rais |
Bermain bola dan berenang di Teluk Kramai Photo : Rendra Regen Rais |
Sore itu kedua nelayan yang mengemudikan perahu kami mencari ikan, tak lama kemudian mereka kembali ke camp kami dengan membawa beberapa ikan berukuran besar. Baru kali ini saya melihat orang memancing mendapat ikan berukuran besar, karena biasanya saya hanya melihat orang memancing di sungai-sungai atau di rawa-rawa dalam hutan dan bukan di laut seperti ini dan ikannya tidak sebesar yang saya lihat hari itu. Sepertinya makan sore kami akan menyenangkan, sambil membayangkan ikan bakar hasil tangkapan yang masih fresh dari laut. Kami langsung berbagi tugas untuk memasak nasi dan ikan bakar. Perjalanan hari itu membuat kami terasa lapar.
Hasil Menyelam di Teluk Kramai, Lobster, Udang, Kepiting Photo : Rendra Regen Rais & Erni Suyanti Musabine |
Wild Animal Watching (Pengamatan Satwa Liar di Malam Hari)
Crocodile Hunter. Photo : Edo |
Wild Animal Watching Sea Snake, Phyton, Civet, Crocodile, Sea Cucumber Photo : Erni Suyanti Musabine & Rendra Regen Rais |
Salah satu lokasi pendaratan penyu untuk bertelur di Pulau Enggano. Photo : Rendra Regen Rais |
Temuan makam tua di sekitar CA Kioyo. Photo : Saydina Ali |
Camping di Oker Oker
Camping di Oker-Oker. Photo : Erni Suyanti Musabine |
Sea Snake Laticauda colubrina Photo : Erni Suyanti Musabine |
Ular yang dijumpai di Pantai Oker Oker |
Terkena Badai di Laut Lepas
Badai menyertai perjalanan kami di tengah laut saat kembali pulang |
Berburu Ikan Karang di Pulau Dua
Fishing in Dua Island. Photo : Erni Suyanti Musabine |
Air terjun di tepi pantai Ko'omang (Sebalik) Photo : Rendra Regen Rais |
Pembangunan Airport di P. Enggano selama beberapa dasawarsa Photo : Erni Suyanti Musabine |
Investigasi
Untuk melengkapi data tentang
Perburuan Penyu di Pulau Enggano Photo : Rendra Regen Rais |
Sosialisasi
Sosialisasi di Kecamatan Enggano Photo bersama dengan Kepala Resort Enggano, Kapolsek, Camat, Danramil |
Note :
- Dalam perjalanan kali ini mendapatkan ilmu baru yakni cara membius lobster secara tradisional.
- Tulisan berikutnya tentang petualangan di Pulau Karang sekitar Tanjung Labuho tempat berkumpulnya ular laut Laticauda colubrina untuk berburu photo dan video, juga snorkeling di Cagar Alam Sungai Bahewo ditemani oleh ular laut Laticauda colubrina, serta kisah petualangan selama tiga hari mengelilingi Pulau Enggano dengan perahu saat badai angin tenggara.
- Hidup ini indah jadi musti dinikmati, dengan mengunjungi daerah-daerah terpencil akan bisa menggugah hati nurani kita melihat nasib saudara-saudara kita yang masih sebangsa dan setanah air di pelosok negeri ini.
perjelanan yang sangat menyenangkan
BalasHapussalam Rental Mobil