Tampilkan postingan dengan label Pulau Enggano. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pulau Enggano. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Juni 2013

Working and Having Fun at the Island of Enggano

Pada tanggal 11 sampai dengan 19 November 2011 kami mengadakan perjalanan dinas ke Pulau Enggano bersama rombongan dari BKSDA Bengkulu sebanyak 10 orang.  Ini adalah perjalanan dinas para relawan (yang bekerja secara sukarela) untuk membantu mencarikan solusi bagi permasalahan masyarakat disana juga permasalahan yang menyangkut bidang kehutanan.  Sebelumnya kepala balai memang mencari tenaga sukarela di lingkup BKSDA Bengkulu yang bersedia membantu kegiatan di Pulau Enggano, akhirnya mendapatkan 10 orang dari berbagai profesi dan lintas seksi wilayah. Perjalanan ini adalah respon dari hasil survey yang telah kami lakukan sebelumnya pada bulan Pebruari s/d Maret 2011 bersama seorang polisi kehutanan dan dua orang jurnalis di Bengkulu.  Rombongan dalam perjalanan ini terdiri dari berbagai profesi, ada dokter hewan, ada PEH (Pengendali Ekosistem Hutan), Polisi Kehutanan/ Kepala Resort, Penyuluh, Humas, tenaga honor, Kepala Seksi dan Kepala Balai.


Mengamati Dolphin yang Mengiringi Kapal Pulo Telo



Menikmati sunrise di atas kapal Pulo Telo
Sore itu kami menaiki kapal Ferry ASDP KMP Pulo Telo yang berangkat dari Pelabuhan Kahyapu pukul 17.00 WIB.  Untuk pertama kalinya saya menaiki kapal ini, karena sebelumnya penyeberangan dari kota Bengkulu menuju Pulau Enggano menggunakan kapal ferry Raja Enggano.  Kapal ferry kali ini desain interiornya lebih menarik, ada ruang VIP, ada kafe dan karaoke serta dek/geladak paling atas terdapat tempat nongkrong dengan beberapa kursi untuk melihat pemandangan laut, dengan setengah beratap dan setengahnya terbuka, dan ini adalah ruangan favorit saya bila menaiki kapal ferry KMP Pulo Telo.  Karena dari ruangan paling atas ini saya bisa bebas memandang lautan, memotret sunset dan sunrise serta melihat lumba-lumba yang berloncatan mengiringi kapal yang sering membuatku berteriak histeris bila melihatnya serta ruangan yang menyediakan meja dan tempat duduk sehingga bisa membuka laptop dan bekerja selama perjalanan.


Full moon above of Indian Ocean
Photo : Erni Suyanti Musabine
Pemandangan malam itu sangat indah, kami bisa menikmati sinar bulan purnama di atas kapal, kebetulan cuaca cerah. Juga menonton pertandingan sepak bola bersama kawan-kawan di televisi karena pertandingan itu memang yang sedang kami tunggu-tunggu, suara heboh kami saat menonton bisa membangunkan penumpang lainnya yang sedang tidur. Karena penumpang penuh akhirnya kami tidur dilantai beralaskan matras dan sleeping bag, hanya Kepala Seksi dan Kepala Balai saja yang kami sediakan ruang VIP, karena untuk memesan ruangan ini perlu menambah ongkos lagi. Sampai di Pelabuhan Kahyapu agak telat tidak seperti biasanya, yakni lebih dari pukul 6 pagi kami baru berlabuh, karena memang masih musim badai angin barat sehingga waktu tempuh kapal lebih lambat dari kondisi normal yang biasanya hanya memerlukan waktu 12 jam perjalanan. Mendekati Pulau Enggano akan terlihat pemandangan sunrise yang indah. Kemudian dari kejauhan akan tampak tiga pulau yakni Pulau Dua, Pulau Merbau dan Pulau Enggano.  Pelabuhan akan tampak ramai setiap ada kapal datang, tampak banyak motor dan mobil penjemput/ angkutan barang.  Kebutuhan sehari-hari untuk masyarakat Enggano tergantung dengan kapal ini karena untuk barang tertentu harus didatangkan dari Bengkulu, dan hanya datang dua kali seminggu, itupun bila kondisi kapal sedang tidak rusak dan kondisi cuaca bagus.  Seperti sayuran dan bahan konsumsi lainnya, bahan bangunan, BBM dan lain-lain.  Sebenarnya tidak hanya KMP Pulo Telo saja yang melayani penyeberangan ke Pulau Enggano tetapi masih ada kapal lainnya yakni Kapal Perintis khusus untuk angkutan barang dari Pelabuhan Pulau Baii kota Bengkulu ke Pelabuhan Malakoni, Pulau Enggano pulang pergi seminggu dua kali dalam kondisi normal.  Kapal Perintis ini juga melayani pelayaran ke wilayah Bengkulu bagian Selatan dan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.


Meeting - outdoor
Sosialisasi di Kecamatan
Pagi itu di hari pertama kegiatan kami adalah keliling desa untuk melihat kebun sorgum di beberapa lokasi, sebelumnya melakukan briefing di Kantor Resort KSDA Enggano.  Salah satu rencana kegiatan yang ingin dilakukan disana adalah pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan yakni dengan mencarikan solusi guna mengatasi permasalahan utama mereka dan diharapkan selanjutnya mereka juga berpartisipasi  dalam pengamanan kawasan konservasi dan konservasi biodiversity di pulau itu bersama-sama dengan petugas terkait di Resort Enggano.  Kegiatan utama kami saat itu adalah sosialisasi kepada kepala suku, unsur tripika   di Kecamatan Pulau Enggano (Polsek, Camat, Koramil) juga Lanal, kepala desa serta pemuka masyarakat tentang rencana penanaman sorgum untuk berbagai keperluan, yakni biofuel, peternakan lebah madu selain untuk dimanfaatkan madunya juga propolisnya karena bernilai ekonomi tinggi, penggemukan ternak sapi, juga untuk mendorong munculnya home industry pembuatan tepung sorgum karena banyak manfaatnya untuk keperluan sehari-hari.


Sorgum manis
(Sorgum bicolor L.Moench) 
Hasil survey kami berempat dengan dibantu oleh penduduk lokal yang dilakukan beberapa bulan sebelumnya mendapat respon positif dari kepala balai setelah membaca laporan perjalanan kami, membuat kami bertiga (Kepala Balai, Kepala Resort dan saya sendiri) berpikir serius tentang itu, tentang tindak lanjut apa yang tepat sasaran untuk dilakukan disana.  Akhirnya muncul ide untuk membuat kebun sorgum dengan mendatangkan bibit unggul dari Maros, Sulawesi.  Sejak itu hari-hari kami bertiga sibuk untuk mempelajari sorgum dan mencari referensi tentang itu. Bidikan awal kami adalah membantu mengatasi kelangkaan BBM disana, karena batang sorgum bisa dimanfaatkan untuk biofuel.  Permasalahan utama  disana adalah BBM sangat langka dan harganya mahal tidak sama dengan di wilayah Bengkulu lainnya.  Pasokan BBM terutama premium ke Pulau Enggano sebesar 10 ribu liter per bulan dan masyarakat hanya mendapat jatah 10 liter per KK per bulan.  Meskipun kebutuhan nelayan saja selama melaut (mencari ikan) selama 10 hari memerlukan 100 liter sehingga membuat nelayan hanya bisa melaut sekali sebulan. 70% dari masyarakat Enggano mengandalkan profesi nelayan untuk membiayai kehidupan mereka sehingga mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap BBM. Belum lagi kebutuhan untuk anak sekolah yang rumahnya jauh dan harus menggunakan motor untuk pergi sekolah.  Dan masyarakat tidak bisa membeli sendiri ke kota Bengkulu untuk mencukupi kebutuhan akan premium, karena distribusi BBM ke Pulau Enggano dimonopoli oleh koperasi membuat harga premium bersubsidi yang seharusnya Rp. 4.500,- menjadi Rp. 10.000,- per liter.  Sepertinya subsidi BBM itu tidak berlaku bagi  masyarakat kecil dan masyarakat di daerah terpencil yang hidupnya pun telah susah.  Dan kegiatan bisa berjalan seperti harapan bila didukung oleh banyak pihak terutama masyarakat setempat.


Survey untuk Pembuatan Biogas
Selain itu biji sorgum bisa dikonsumsi langsung ataupun dipakai untuk pembuatan tepung sebagai bahan baku roti dan makanan lainnya.  Bunganya bisa dimanfaatkan untuk ternak lebah dan bisa diambil madu dan propolisnya punya nilai ekonomis sangat tinggi, selain itu sampah batangnya bisa dipakai untuk proses penyulingan bioetanol, dan daunnya untuk penggemukan ternak sapi. Tidak hanya sampai disitu saja, dengan penambahan jumlah ternak sapi di Pulau Enggano diharapkan akan menjadi alternatif sumber protein hewani lainnya sehingga masyarakat mengurangi kebiasaan turun-temurun berburu dan mengkonsumsi daging penyu untuk pesta pernikahan.  Kotoran ternak pun bisa dimanfaatkan untuk biogas dan limbahnya sebagai pupuk cair yang kualitasnya lebih bagus dari pupuk urea, dan kami juga akan membuat contoh biogas disana agar masyarakat lainnya mengikuti.  Mengingat di Pulau Enggano tidak ada fasilitas PLN (Perusahaan Listrik Negara), yang ada sekarang adalah bantuan solar cell itupun yang berkapasitas kecil.  Dan untuk membantu memenuhi kebutuhan listrik bisa memanfaatkan kotoran sapi untuk biogas, selain itu juga bisa digunakan sebagai pengganti gas untuk memasak.  Selama ini penduduk yang memasak pakai tabung gas harus didatangkan dari Bengkulu dan itupun ada larangan dibawa bersamaan kapal penumpang, karena mungkin itu salah satu SOP untuk keselamatan pelayaran.


Our Team
Perjalanan ke Pulau Enggano
Semula kami dianggap orang gila oleh lingkungan kerja kami sendiri karena mempunyai ide muluk-muluk untuk pemberdayaan masyarakat di Pulau Enggano, tapi tak mengapa terkadang niat tulus untuk bisa membantu orang lain memang berawal dari niat dan pola pikir orang-orang yang kurang waras (gila).  Banyaknya rintangan  untuk mewujudkan impian itu sempat membuat kami patah semangat, bagaimanapun kami adalah anak-anak muda yang terkadang emosional menghadapi banyaknya cobaan dalam bekerja.  Kami tidak punya orientasi uang disana atau mengharapkan mendapatkan dana besar dari sebuah project pemerintah, tetapi yang ada hanya niat ingin membantu setulus hati saja entah bagaimana caranya nanti.  Dengan adanya dukungan dari kepala balai membuat kami bertahan dan bersemangat kembali, membuat kami menutup telinga dan menutup mata terhadap komentar orang-orang disekitar.  Terlebih setelah mendengar bahwa  rencana itu mendapat sambutan baik dari pimpinan tertinggi di Jakarta. Kemudian untuk memulai pekerjaan ini dicarilah relawan yang mau ikut bergabung untuk membantu yang diharapkan mau bekerja secara sukarela.    


Sosialisasi di Kec. Pulau Enggano
Tujuan utama perjalanan kami saat itu adalah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang diwakili oleh unsur tripika yakni dari Polsek, Koramil dan Camat Pulau Enggano, juga dihadiri oleh kepala suku dan kepala desa serta Paabuki (koordinator Kepala Suku) tentang rencana pembuatan bioetanol dan biogas guna membantu mencarikan solusi bagi permasalahan disana dan diharapkan masyarakat juga akan tetap mendukung kegiatan yang berhubungan dengan konservasi di pulau itu.  Sosialisasi disampaikan oleh Polisi Kehutanan (kepala resort) yang bertugas di Resort KSDA Enggano dan Kepala Balai KSDA Bengkulu.  Inilah satu-satunya kepala balai yang pernah menginjakkan kaki ke Pulau Enggano.  Perjalanan yang sulit dan memakan waktu lama membuat orang juga pejabat enggan mengunjungi Pulau Enggano.  Selama ini Pulau Enggano dianggap sebagai tempat buangan orang-orang yang punya kinerja buruk dan pernah melakukan kesalahan besar, sehingga berkesan sebagai penjara bagi petugas ataupun pegawai pemerintah sehingga layak diasingkan ke pulau terpencil yang minim fasilitas.  Dan teman kami seorang polisi kehutanan ingin merubah anggapan itu dan menjadikan Enggano sebagai tempat kerja bagi orang-orang yang kreatif dan inovatif serta menyukai tantangan.  Selain itu juga dilakukan survey tentang pembuatan biogas, sebelumnya dilakukan survey ternak masyarakat dan mencari lokasi yang tepat untuk percontohan pembuatan biogas.  Kami juga melakukan survey lokasi yang tepat untuk pembuatan pabrik bioetanol.  Setelah semua kegiatan selesai kami menelusuri satu-satunya jalan poros antar desa yang ada di Pulau Enggano, yang akhirnya mengantarkan kami ke sisi ujung lainnya di Pulau Enggano yakni pantai di Desa Banjarsari.  Di kesempatan itu akhirnya kami bisa melihat semua desa-desa yang ada di Pulau Enggano serta mengunjungi Pelabuhan Malakoni untuk melihat sisa bangunan peninggalan penjajah Jepang.


Bird Watching
si Marni (Macaca nemestrina)
Akhirnya kegiatan utama sudah selesai, waktunya having fun (bersenang-senang)....... hooray !!!  Sambil menunggu kapal datang untuk bisa kembali ke Bengkulu, kami telah sepakat sore itu akan menyeberang ke Pulau Dua untuk camping, memancing, berenang di pantai dan survey lokasi snorkeling. Hanya satu orang yang akan tinggal menunggu kantor resort.  Selain membawa peralatan camping dan memancing, kami juga membawa peralatan snorkeling dan gitar.  Saat itu masih terasa adanya angin kencang karena badai angin barat. Sampai Pulau Dua kami berempat sudah tak sabar untuk turun ke pantai, uji coba snorkeling dan yang lainnya sibuk memancing dan berenang.  Sore itu saya menjalani ritual sebelum melakukan snorkeling yakni tiba-tiba seorang teman bercanda dengan memasukkan kepala saya ke dalam laut dan mengeluarkannya lagi berulang kali sampai banyak minum air laut.  Menurutku ini bukan bercanda tetapi benar-benar penyiksaan :)  Ternyata itu salah satu untuk menguji nyali apakah saya benar-benar ingin turun ke laut. Tak banyak yang bisa dilihat disana, hamparan pasir terlihat lebih mendominasi dasar laut dengan sedikit karang dan tak banyak menjumpai jenis ikan karang, hanya ikan kerapu yang sering terlihat itupun harus berenang menjauhi pantai. Sore itu saya berjalan sendirian menelusuri hutan di Pulau Dua sambil membawa kamera dan monokuler, berharap ada hewan menarik yang bisa diamati di hutan tersebut. Saya hanya menemukan burung cekakak dan kelelawar yang banyak bergelantungan di pohon dengan kepala dibawah.  Setelah puas mengambil dokumentasi akhirnya saya kembali ke camp.  Kebetulan saat kami meminjam pondok nelayan milik Paabuki, lokasinya sangat strategis karena berbatasan langsung dengan pantai dan menghadap matahari yang tenggelam.  Pondok itu rencanya untuk tempat istirahat kepala balai dan kepala seksi.  Karena kami lebih memilih tidur beralas pasir pantai dan beratap langit.  Di Pulau Dua ini juga terdapat sumur air tawar milik nelayan dan sumur peninggalan jaman dulu, sehingga kami pun tidak perlu khawatir untuk mencari tempat mandi dan mencari air bersih untuk memasak.  Selain kami ada beberapa nelayan dan keluarganya juga sedang menginap di Pulau Dua. Sepertinya mereka juga sedang memanen kelapa karena terlihat ada seekor Macaca nemestrina (beruk) disana yang biasa dipakai untuk memanen kelapa.  Kami akhirnya memanggil beruk itu si Marni (entah monyet itu punya nama atau tidak).  Hmm...kasian si Marni.


Camping at Dua Island
Sleeping on the beach
Malam itu cuaca sangat cerah, sayang untuk dilewatkan.  Kami membuat api unggun di tepi pantai, membakar ikan hasil mencari di laut, memetik gitar dan bernyanyi bersama diiringi ketipung dari galon air juga ecek-ecek yang terbuat dari botol, seperti hilang sejenak semua beban, menyenangkan sekali malam itu.  Bahkan nelayan pun ikut bergabung bersama kami.  Di pinggir pantai tampak kepala balai dan kepala seksi berdiskusi serius, mungkin karena hari itu adalah hari yang kami gunakan untuk menyampaikan segala uneg-uneg tentang permasalahan kerja yang perlu menjadi perhatian serius.  Baru hari itu saya melihat semua orang berbicara menggunakan hati dan perasaan, semua kata yang terucap penuh emosi, kesedihan, kekecewaan bercampur dengan kebahagiaan karena telah tersampaikan.  Paling tidak semua beban telah dikeluarkan, dan kini saatnya bersenang-senang.  Malam itu tampak sempurna karena cahaya bulan purnama dan tampak banyak bintang-bintang di langit yang cerah, indah sekali, rasanya malam itu tak ingin cepat berlalu.  Akhirnya saya dan beberapa teman memilih tidur di pantai dengan matras dan sleeping bag dengan mata bisa  melihat langsung bintang-bintang dilangit dan disinari oleh lampu alami yakni bulan purnama dengan diiringi nyanyian pengantar tidur suara ombak di pantai.


Snorkeling  di sekitar Pulau Dua
Fish
Photo : Erni Suyanti Musabine
Esok harinya kami punya agenda masing-masing.  Kepala Balai dan Kepala Seksi serta seorang teman terlihat sedang olahraga mengelilingi Pulau Dua.  Sedangkan saya bersama tiga orang teman laki-laki mencoba ber-snorkeling ke perairan antara Pulau Dua dan Pulau Merbau, meskipun masih terasa angin kencang karena badai, mungkin karena lokasi yang kami pilih berhadapan langsung dengan samudera hindia tanpa penghalang, bahkan pagi itu saat kami menuju ke lokasi tersebut air laut sedang pasang. Lokasi yang kami  pilih ini memang sangat ideal untuk snorkeling, tak perlu susah-susah untuk menemukan ikan nemo (Clown fish) disana, hampir tiap tempat yang kami lihat bisa menemukannya.  Hamparan coral-coral indah dan berbagai jenis ikan karang ada di sepanjang pantai tersebut.  Selain itu pasir pantainya juga putih bersih dan airnya jernih.  Membuat kami lupa waktu dan tak peduli lagi dengan terik matahari yang menyengat di siang hari. Disela-sela waktu snorkeling kami juga bermain pasir pantai sambil istirahat dan makan snack serta bercanda dengan teman-teman. Acara snorkeling hari itu diakhiri dengan berjalan-jalan menelusuri pantai Pulau Dua.  Pulau ini memang sangat ideal untuk berlibur, karena sunyi, masih alami dan indah.



Bermain pasir  pantai Pulau Dua


Mendayung perahu mendekati
kapal nelayan disana untuk mencari ikan
Dapat 3 ekor Ikan Tongkol
Makan siang di Pulau Dua juga sangat nikmat, dengan masakan ikan segar hasil pemberian nelayan.  Siang itu saya bersama tiga orang teman mendayung perahu mendekati perahu besar milik nelayan yang diparkir di tengah laut.  Aksi kami seperti bajak laut saja ya.  Begitu sampai saya langsung menyapa nelayan yang terlihat olehku sedang makan siang dan langsung menaiki dan berpindah ke perahu mereka, sambil memeriksa sekeliling.  Setelah berbicara sebentar akhirnya saya mendapatkan ikan tongkol dalam ukuran besar seperti yang saya harapkan sebelumnya.  Nelayan bilang sama saya untuk mengambil sesukanya, sebanyak yang saya mau, dan memilih sendiri ikannya tapi saya tidak ingin memilih ikan-ikan yang memenuhi lantai perahunya yang besar itu. Menurut pengakuan mereka, ikan-ikan tongkol sebanyak itu di dapat hanya dengan sambil lalu saja, maksudnya sepulang perjalanan mereka mencari ikan di Sawang Bugis (tempat yang pernah saya gunakan untuk camping beberapa bulan sebelumnya) menuju Kahyapu dan mendapatkan hasil sampingan sebanyak itu.  Saya mendengarnya dengan penuh keheranan.  Alangkah melimpahnya ikan di perairan Enggano ini.  Mereka adalah para nelayan dari kota Bengkulu yang sudah terlalu sulit mencari ikan di sekitar kota Bengkulu akhirnya mencari ikan di perairan sekitar Pulau Enggano. Mereka harus meninggalkan keluarga selama berminggu-minggu bahkan lebih dari sebulan. Waktu itu saya tidak hanya minta ikan saja tetapi juga mendengarkan kisah hidup mereka dalam mencari nafkah bagi keluarganya.  Karena kebiasaan saya yang selalu tertarik untuk mendengarkan pengalaman banyak orang dari berbagai profesi.  Setelah selesai berbincang-bincang dengan semua nelayan di perahu itu, akhirnya kami pun meninggalkannya dengan membawa hanya tiga ekor ikan tongkol dengan panjang sekitar 30-40 cm, saya pikir itu sudah cukup untuk lauk makan siang kami semua.


Pantai Panjang Malakoni
Photo : Erni Suyanti Musabine
Menjelang sore hari kami menyeberang kembali ke Kahyapu dengan diantar perahu nelayan.  Dalam kondisi sedang badai dan banyak orang yang menaiki perahu, tampak perahu bocor, air laut masuk dengan derasnya dari bagian depan, tengah dan belakang.  Membuat kami sibuk mengeluarkan air kembali dari dalam perahu agar perahu tidak tenggelam.  Akhirnya kami mendarat di sela-sela mangrove dekat pos Lanal, karena perahu tidak memungkinkan memasuki muara sungai karena sedang surut. Turun dari perahu disambut lumpur setinggi lutut. Dan kami masih harus berjalan menuju kantor resort dengan membawa banyak barang. Badai angin barat membuat kapal menunda keberangkatan dari Bengkulu menuju Pulau Enggano dan membuat kami tidak bisa kembali ke kota Bengkulu sesuai dengan yang diharapkan.  Setiap hari kami hanya bisa menunggu, menunggu dan menunggu tetapi kapal belum datang juga.  Kami seperti orang yang terdampar di pulau itu dan tidak bisa kembali.  Hari itu kami memutuskan untuk mencari signal agar bisa komunikasi keluar via handphone.  Lokasi terdekat adalah Pantai Panjang Malakoni.  Dengan mobil patroli dan sepeda motor patroli kami bersama-sama menuju pantai tersebut.  Mendadak Pantai Panjang Malakoni seperti wartel, orang-orang berjajar berdiri di pinggir pantai untuk menelepon. Pemandangan yang lucu dan langka di daerah terpencil :)

BKSDA bersama warga
memadamkan kebakaran lahan
Sepulang dari menelepon seorang warga dengan cemas datang ke kantor resort untuk mengabarkan bahwa ada kebakaran lahan.  Akhirnya kami sibuk mempersiapkan peralatan dan telah diisi dengan air sungai depan resort dan dimasukkan ke mobil patroli, para pria dari tim kami kemudian menuju ke lokasi kebakaran untuk membantu masyarakat memadamkan api, hanya tinggal kami bertiga para wanita yang standby di kantor resort.  Mereka membersihkan lahan dengan cara membakar kemudian ditinggalkan begitu saja pergi melaut (mencari ikan) selama beberapa hari tanpa memastikan api telah padam apa belum, akhirnya membuat kebakaran itu terjadi dan semakin meluas.


Release Ular
Banyak kegiatan mendadak yang kami lakukan untuk mengisi waktu luang sambil berharap kapal datang segera.  Malam itu jam 12 dini hari kami mengadakan kompetisi memancing di sungai depan kantor resort, pesertanya sekitar 10 orang, hanya kepala balai saja yang tidak ikut bergabung, beliau lebih memilih untuk jadi pengamat dan hilir mudik memeriksa hasil memancing kami.  Dan kami buat aturan baru, bagi yang tidak dapat tidak akan mendapat jatah sarapan pagi.  Akhirnya kami pun berlomba-lomba untuk mendapatkan hasil tanpa peduli waktu sudah larut malam dan banyak gigitan nyamuk, ada yang dapat ikan pelus, ular, belut listrik bahkan dapat tas kresek (sampah plastik).  Setelah dikumpulkan ternyata banyak sekali hasilnya, dan ular kami lepasliarkan kembali.


Burung di sekitar Pelabuhan Kahyapu


Seafood menu setiap hari
Kebun sayurku di Enggano 
Saya bersama beberapa teman untuk menghilangkan kebosanan menunggu kapal dengan menyibukkan diri berjalan-jalan sambil memotret, sebagai obyek photo adalah satwa liar yang dijumpai terutama burung. Menelusuri hutan mangrove antara kantor resort sampai ke Pelabuhan Kahyapu.  Dan beberapa orang dari kami juga berkesempatan untuk kembali ke Pulau Dua.  Saya pun ikut serta untuk snorkeling disana.  Badai angin barat sangat kuat sore itu, saat perahu kami keluar dari muara, setiap nelayan yang kami jumpai melarang kami pergi ke Pulau Dua karena sangat berbahaya, perahu kami bisa terbalik atau tenggelam karena terkena badai.  Karena skipper-nya yakni nelayan yang pernah kami ajak untuk keliling Pulau Enggano mengatakan bisa melewati badai itu, kamipun melanjutkan perjalanan meskipun pada awalnya ragu.  Ombak antara Kahyapu dan Pulau Dua biasanya sangat tenang dalam kondisi normal dan hanya butuh waktu 15 menit untuk bisa sampai ke seberang.  Tapi kali ini kami harus mencari rute memutar  menghindari menantang gelombang air laut yang tinggi.  Saya memilih duduk di depan di ujung perahu, karena bila melewati ombak tinggi akan terasa seperti naik kora-kora, dan saya sangat menyukainya, disaat orang lain ada yang cemas, saya malah tertawa gembira seperti anak kecil yang mencoba mainan baru :)  Dan kembalinya dari Pulau Dua kami mendapat makan siang yang lezat yakni kepiting saos padang. Bahkan kami pun berebut seperti anak kecil yang rebutan mainan...hehe :)  Saya penggemar seafood, selama di pulau Enggano setiap hari kami makan seafood yang masih segar dari laut, membuatku semakin betah berlama-lama disana.  Dan sayuran merupakan barang langka di pulau itu.  Untuk itu dikesempatan itu kami berkebun di sekitar kantor resort untuk menanam terong, tomat, sawi, cabe dan lain-lain, tetapi tidak bisa hidup lama karena dimakan kepiting.  Sedangkan tanaman kangkung yang telah saya tanam saat perjalanan sebelumnya kini berkembang dan tumbuh subur, yang akhirnya dijadikan kebun sayur milik bersama, setiap warga boleh mengambilnya :)


Snorkeling di sekitar CA Sungai Bahewo
Cagar Alam Sungai Bahewo
Photo : Erni Suyanti Musabine
Pagi itu disaat kami belum beranjak bangun dari tempat tidur terdengar suara truk, mobil dan sepeda motor melewati jalan.  Suara itu selalu ingin kami dengar setiap pagi, tapi di hari-hari sebelumnya tak pernah ada.  Bila terdengar suara truk, mobil dan sepeda motor melewati jalan di depan rumah Kepala Desa Kahyapu, itu pertanda ada kapal berlabuh.  Mereka menuju pelabuhan untuk mengangkut barang dan menjemput penumpang kapal.  Di hari-hari lainnya akan selalu tampak sepi.  Kami langsung tersenyum bahagia dan berpikir bahwa kami akhirnya bisa pulang kembali ke Bengkulu hari itu. Suasana pelabuhan tampak sibuk hari itu, bahkan suara jangkar dan besi-besi kapal yang berbenturan bisa terdengar dari kantor resort.  Pagi itu setelah sarapan saya dan tiga orang teman laki-laki ikut nelayan yang akan mencari ikan di sekitar Cagar Alam Sungai Bahewo yang tak jauh dari Pelabuhan Kahyapu.  Tak lupa kami membawa peralatan snorkeling.  Sebelum berangkat, saya sempat ijin terlebih dahulu kepada kepala balai dengan mengatakan akan melakukan patroli underwater....hehe :)  Saat perahu keluar dari muara masih terasa angin kencang karena badai. dan gelombang laut tampak tinggi.  Kami berencana menghabiskan waktu hari itu dengan snorkeling di perairan Cagar Alam Sungai Bahewo sebelum sore harinya kembali ke Kota Bengkulu.  Dan dua orang nelayan yang bersama kami akan mencari ikan dengan cara menyelam.  Setelah sampai di lokasi yang diinginkan, perahu ditambat dengan jangkar, satu persatu dari kami turun ke laut.  Arus yang kuat dan gelombang tinggi menyebabkan kami kesulitan untuk berenang dan snorkeling.  Seorang teman sudah kehabisan tenaga dan hampir tenggelam, akhirnya diselamatkan oleh nelayan dibawa untuk bisa berdiri diatas karang.  Saya pun juga hanyut terbawa arus meskipun sudah memakai kaki katak untuk berenang, akhirnya salah satu kaki saya diikat dengan perahu menggunakan tali panjang agar tidak jauh terbawa oleh arus laut yang kuat hari itu.  Snorkeling hari itu terasa tidak memuaskan karena kondisi cuaca yang tidak mendukung, ditambah lagi di sekitar kami juga terlihat ular laut Laticauda colubrina berenang tak jauh dari kami, bahkan seorang teman tanpa sengaja telah menginjak dua ekor ular laut di batu karang di dalam air.  Untunglah ular tersebut tidak menyerang, karena ular laut sangat berbisa dan bisa berakibat fatal bila tergigit dan terkena bisa/racunnya.  Tidak hanya ikan yang didapat dari hasil menyelam, tetapi juga siput dan kerang.  Siang itu kami berpesta di atas perahu yakni makan seafood dengan cara makan orang Enggano, dimakan mentah-mentah.  Saya pun ikut mencoba, rasanya tak begitu buruk dan tidak sampai membuatku muntah.


on the ship 'Pulo Telo' - Indian Ocean
Perjalanan kami pulang kembali ke Bengkulu sore itu sangatlah istimewa, bukan karena badai angin barat yang membuat kapal bergoyang-goyang ke kiri dan kekanan dengan cukup kuat dan kami pun tidak bisa berjalan tegak dibuatnya.  Berjalan diatas kapal seperti itu seperti jalannya orang yang sedang mabuk yang hilang keseimbangan.  Saya merasa  gembira telah melihat ada seekor lumba-lumba yang mengiringi kepergian kami, membuatku berteriak histeris dan mengundang penumpang lainnya untuk ikut melihat juga :)  Diatas kapal kami bertemu dengan Pak Camat Enggano, bila bertemu beliau kami suka bernyanyi bersama. Seolah tak peduli dengan badai, kami berdua pun duduk sambil bernyanyi-nyanyi kebetulan kami punya lagu kesukaan yang sama yakni Sio Mamae.  Lagu daerah asal Maluku itu sering kami nyanyikan bersama. Perjalananku ke Pulau Enggano saat itu sangat berkesan, hidup di pulau terpencil sangat bergantung pada kondisi cuaca.  Manusia hanya bisa berencana, tetapi tetap Tuhanlah yang menentukan.

Kamis, 13 Juni 2013

Snorkeling di Pulau Enggano



Snorkeling di Pulau Dua



Hasil survey potensi ecotourism P. Enggano
Sumber : enggano.blogspot.com
Pulau Enggano merupakan salah satu aset bagi Provinsi Bengkulu untuk ekowisata olahraga air, yakni snorkeling, diving, surfing dan fishing karena terletak di sepanjang pantai barat sumatera dan memiliki gugusan pulau di Samudera Hindia.  Potensi alam yang dimiliki sangat mendukung untuk pengembangan wisata alam yang berhubungan dengan hal itu. Selama bulan Pebruari sampai dengan Maret 2011 kami telah melakukan survey dan memetakan lokasi-lokasi yang menarik untuk wisata alam tersebut di sekeliling Pulau Enggano. 




Pantai antara Pulau Dua dan Pulau Merbau
Pada Tanggal 11 November 2011 kami mengadakan perjalanan kembali ke Pulau Enggano.  Disela-sela waktu melakukan pekerjaan disana, saya bersama kawan-kawan hampir setiap hari berwisata snorkeling yang tak jauh dari Pelabuhan Kahyapu.  Di hari pertama kami melakukan snorkeling di lepas pantai antara Pulau Dua dan Kahyapu di Pulau Enggano.  Keanekaragaman coral dan ikannya tidak banyak variasinya . Di lokasi ini tidak setiap tempat di bawah permukaan air bercoral dan juga ada gangguan dengan lalu lalang perahu karena disana merupakan daerah lintasan perahu nelayan yang mencari ikan di sekitar Pulau Dua.





Keesokan harinya kami melakukan snorkeling di antara Pulau Dua dan Pulau Merbau.  Dari kejauhan tampak air laut berwarna biru dan hijau kehitaman, pertanda disana banyak coral dan tentunya pasti juga akan ditemukan banyak ikan warna-warni dari berbagai jenis. Wah..Lokasi yang ideal untuk snorkeling pikirku. Bersama 3 (tiga) orang teman saya tak sabar untuk menuju kesana meskipun saat itu sedang badai angin tenggara, sehingga angin bertiup sangat kencang di perairan tersebut karena lokasinya langsung berhadapan dengan laut lepas (Samudera Hindia), namun cuaca sangat cerah hari itu. Dan benar, lokasi tersebut memang sangat ideal untuk snorkeling, dengan mudah kami bisa menemukan ikan badut (Clown fish) di antara coral-coral.  Ikan Badut (tapi kami lebih suka menyebutnya Ikan Nemo seperti di film dokumenter anak-anak yang seringkali saya tonton) merupakan ikan idola yang kami cari untuk ditemukan.  Bila salah satu dari kami menyelam dan menemukan itu, kami semua antusias untuk ikut melihatnya, melihat perilakunya dan melihat biota laut tempat dia bersembunyi berbentuk seperti rumput dengan batang bergoyang-goyang terkenan ombak warnanya pun beraneka ragam, ada yang berwarna krem, biru, hijau juga ungu.  Ikan tersebut akan muncul disela-sela tanaman itu. Dan bila kami memperhatikannya, ikan-ikan itupun akan diam  memperhatikan kami juga, sungguh pemandangan yang luar biasa, berbeda dengan ikan lainnya yang hanya berenang kesana kemari melintas saja di depan kami.  Selain itu telinga kami juga akan mendengar suara gemericik coral-coral yang kami anggap sebagai life music under water. Bahkan di lokasi ini untuk melihat ikan badut (clown fish) tidak perlu jauh-jauh berenang menjauhi pantai, cukup berdiri di pasir pinggir pantai di Pulau Dua dan melihat ke bawah permukaan air laut masih bisa dilihat ikan badut, tidak perlu berenang, sambil duduk ataupun tengkurap di pasir pun bisa melihatnya.

Pemandangan under water ternyata sangat menakjubkan, untuk pertama kalinya saya melihatnya di pulau ini. Biota laut seperti kehidupan yang kita jumpai di daratan, ada tanaman dan ada hewan di dalamnya bahkan ada bentukan tanah kosong berpasir tanpa ada tanaman dan tanpa coral, yakni berupa cekungan yang luas dan dikelilingi oleh batu karang warna-warni, didalam cekungan tersebut banyak ditemui ikan ukuran besar, saya menyebut itu sebuah kolam atau danau di bawah laut.  Kami berenang mengelilingi danau tersebut untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Dari kejauhan lokasi itu tampak hijau bening dan dikelilingi warna biru gelap sehingga menarik perhatian kami untuk berenang mendekatinya karena lokasinya jauh dari pantai.  Hari itu kami habiskan waktu untuk bersnorkeling, puas rasanya bermain di laut untuk menikmati pemandangan under water hingga lewat tengah hari tanpa peduli terik matahari yang menyengat dan angin kencang.


Perjalanan ke Cagar Alam Sungai Bahewo
Video : Erni Suyanti Musabine


Pelajaran survival di laut
makan siput laut mentah
 
Ular laut Laticauda colubrina
berenang di lokasi snorkeling
Photo : Erni Suyanti Musabine
Hari berikutnya tanggal 18 November 2011, pagi itu saya bersama dengan 3 (tiga) orang teman laki-laki dan dua orang nelayan masih sempat membawa perahu ke perariran dekat Cagar Alam Sungai Bahewo.  Nelayan tersebut ingin mencari ikan dengan cara menyelam dan memanahnya, sedangkan kami berencana menghabiskan waktu untuk snorkeling di hari terakhir sebelum pulang kembali ke kota Bengkulu sore harinya. Kapal yang akan kami naiki pun sudah parkir di pelabuhan Kahyapu.   Badai angin tenggara sangat terasa, menyebabkan ombak tinggi dan arus sangat kuat di lokasi kami snorkeling.  Sampai lokasi mesin perahu dimatikan, satu persatu dari kami mulai turun ke laut.  Menyadari bahwa saya bukan orang yang pandai berenang, dengan melihat kondisi cuaca yang kurang bersahabat maka untuk snorkeling kali ini saya memerlukan bantuan sepatu katak untuk memperlancar berenang di arus yang kuat.  Seorang kawan saya yang pandai berenang pun nyaris tenggelam saat snorkeling dan akhirnya  minta pertolongan nelayan untuk membawanya ketempat yang aman.  Berenang tanpa sepatu katak akan membuat kami kehabisan tenaga melawan arus tersebut.  Mungkin ini juga ide gila dari kami melakukan snorkeling dan berenang pada saat masih ada badai di laut.  Dengan menggunakan kaki katak pun tidak banyak menolong, tenaga banyak terkuras melawan gelombang tinggi dan arus yang kuat, akhirnya saya naik perahu kembali agar tidak jauh terbawa arus ke arah hutan mangrove di CA Sungai Bahewo. Seorang teman mempunyai ide untuk mengikat salah satu kaki saya dengan tali panjang ke perahu, untuk mencegah hanyut terlalu jauh karena arus dan angin kencang.  Akhirnya saya pun kembali turun ke laut untuk snorkeling tanpa harus cemas terbawa arus laut.  Tak disangka, ternyata tidak hanya arus kuat dan angin kencang saja yang membuat kami merasa tidak nyaman snorkeling hari itu, tetapi tak jauh dari kami juga terlihat ular laut Laticauda colubrina yang berenang bersama kami.  Bahkan seorang teman tanpa sengaja telah menginjak dua ekor ular laut di bawah permukaan air di atas batu karang.  Setelah itu saya tidak berminat lagi snorkeling di perairan sekitar Cagar Alam Sungai Bahewo.  Tempat favorit saya untuk snorkeling saat ini tetap di lepas pantai antara Pulau Dua dan Pulau Merbau.  Snorkeling di saat sedang badai banyak menguras tenaga dan membuat kami merasa lapar.  Akhirnya kami pun makan siang diatas perahu dengan cara orang Enggano yakni makan ikan, kerang dan siput mentah-mentah yang langsung didapat dari hasil menyelam di laut. Hmm.....yummy :)  


Teluk Podipo - Enggano
Photo : Erni Suyanti Musabine
Pada tanggal 17 Juni 2012, saya bersama 7 orang teman laki-laki melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Enggano dengan perahu kecil.  Di hari pertama, kami singgah di Teluk Podipo.  Saat itu sedang ada badai di laut, yang membuat perjalanan kami agak terhambat karena harus mencari rute yang aman untuk dilewati.  Ternyata benar apa yang dikatakan orang bahwa Teluk Podipo sangatlah indah, pohon bakau tertata rapi, pasir pantai yang putih bersih serta air laut yang bening berwana biru kehijauan.  Kawan saya bilang bahwa di Teluk Podipo kami mempunyai kolam renang alami yang airnya sangat jernih.  Dan memang saat perahu kami berlabuh disana saya melihat ada pantai yang arusnya tenang dan jernih dan sangat ideal sebagai tempat bermain dan berenang.  Tak jauh dari sana air laut tampak biru kehitaman, pasti dibawahnya terdapat pemandangan under water yang indah, warna hitam menunjukkan adanya coral dibawah sana.  Tak sabar saya segera ganti baju untuk snorkeling dan mengambil peralatan snorkeling dan bersama kawan-kawan menuju lokasi tersebut untuk snorkeling.  Tidak menemukan Clown Fish di lokasi itu, hanya banyak bertemu ikan kerapu dan ikan karang jenis lainnya.  Setelah puas bermain-main dan snorkeling disana serta mengambil dokumentasi tentang pemandangan bawah laut, kami melanjutkan perjalanan kembali mengelilingi Pulau Enggano dengan perahu.

Pengamatan Ular Laut Laticauda Colubrina


Sea Snake - Laticauda colubrina
Photo : Erni Suyanti Musabine
" The venom is composed of powerful neurotoxins (affect nervous system) and sometimes myotoxins (affect skeletal muscles), with a fatal dose being about 1.5 milligrams.  Most sea snakes can produce 10-15 mg of venom "

Sea Snakes Watching in The Island of Enggano
Video by Erni Suyanti Musabine 

Marilah kita mengenal lebih dekat tentang ular laut jenis Laticauda colubrina

Taxonomi

Kingdom
:
Animalia
Phylum
:
Chordata
Class
:
Reptilia
Order
:
Squamata
Suborder
:
Serpentes
Family
:
Elapidae
Subfamily
:
Hydrophiidae
Genus
:
Laticauda
Species
:
Laticauda colubrina

Habitat dan Behavior
Ular laut Laticauda colubrina banyak ditemukan
di batu karang dan di bawah pohon mangrove
Photo : Erni Suyanti Musabine
Ular laut jenis Laticauda colubrina ini masuk kategori hewan yang berbahaya karena bila terkena racunnya (bisa ular) 1,5 mg saja dapat berakibat fatal, dan hanya membutuhkan waktu 1-2 menit untuk bisa membunuh mangsanya.  Sedangkan ular laut pada umumnya bisa memproduksi bisa (racun) sebanyak 10-15 mg.  Habitat ular ini di kedalaman sekitar 5-10 meter di bawah permukaan laut, dan muncul ke permukaan setiap 5 menit sekali untuk bernafas.  Habitatnya tersebar di lautan tropis terutama di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.  Bersifat amphibi  sehingga selain hidup di dalam air laut juga mampu bergerak di daratan selama sisik pada bagian ventral tubuhnya masih ada.  Memiliki taring yang berada di depan (proteroglypha).  Warnanya belang putih hitam dan bila terkena sinar matahari memancarkan warna biru dan ungu. Ekornya berbetuk pipih seperti ekor ikan lele serta kepala kecil berbentuk bulat.

Untuk pertama kalinya saya melihat ular laut saat travelling dan camping ke Pulau Tikus, Bengkulu pada  tahun 2004, kemudian untuk kedua kalinya melihat ular laut di Pulau Enggano pada bulan Desember 2004.  Dan kemudian melihatnya lagi di tahun-tahun berikutnya setiap melakukan perjalanan ke Pulau Enggano.  

Lokasi Ular Laut di Pulau Enggano
Pulau Merbau
salah satu lokasi di P. Enggano yg banyak ditemukan ular laut
Photo : Erni Suyanti Musabine
Lokasi yang seringkali ditemukan adanya ular laut di Pulau Enggano adalah di Pelabuhan Kahyapu, akan terlihat ular laut disela-sela bangunan dermaga dan kadang terlihat sedang berenang di laut sekitar dermaga.  Pemandangan yang belum berubah dari tahun ke tahun, sepertinya ular laut itu merasa nyaman berada di sekitar pelabuhan.  Selain itu juga dapat dijumpai di pantai sekitar Cagar Alam Sungai Bahewo dan di hutan mangrove sekitar Cagar Alam Kioyo I dan Kioyo II.  Dan paling banyak ditemukan di Pulau Merbau dan Pulau Karang sekitar Tanjung Labuho.  

Pengamatan Ular Laut
Ular Laut di Pulau Karang
sekitar Tanjung Labuho
Photo : Erni Suyanti Musabine
 
Ular Laut Laticauda colubrina
di Pulau Karang - Enggano
Pada tanggal 18 Juni 2012 saya bersama 8 (delapan) orang lainnya melakukan perjalanan laut mengelilingi Pulau Enggano.  Dalam kesempatan itu di hari kedua perjalanan kami menyempatakan diri untuk mengunjungi dua buah pulau kecil yang berupa batu karang dan terdapat beberapa tanaman mangrove  yang tumbuh diatasnya sebagai tempat berkumpulnya ular laut jenis Laticauda colubrina. Kami akan melakukan pengamatan ular laut serta mengambil photo dan videonya. Pagi itu kami menambatkan perahu di pulau karang pertama, tak banyak ular laut yang dijumpai, mereka terlihat melingkar diatas batu karang dan tidak berkelompok tapi sendiri-sendiri.  Warna kulitnya hampir menyerupai karang dan sedang tidak bergerak  sehingga saat berjalan kami perlu berhati-hati dan benar-benar harus memperhatikan sekitar, karena bila menginjak ular laut itu di daratan lebih berbahaya daripada di dalam air.  Terkadang disela-sela karang yang kami pijak terdapat ular laut tersebut. Dan ular tersebut tidak agresif. Setelah puas mengambil photo di pulau karang pertama kami melanjutkan perjalanan dengan perahu menuju pulau karang berikutnya.  Tampak lebih banyak tanaman mangrove yang tumbuh di pulau itu.  Di bawah pohon mangrove yang berdekatan dengan tambatan perahu kami ditemukan banyak sekali ular laut.  Dan kami juga menemukannya kelompok ular laut di bawah pohon mangrove lainnya.  Dan ada juga yang berada di atas batu karang.  Berbeda dengan yang ada di Pulau Karang pertama, di pulau itu ular laut bergerombol dalam jumlah banyak.  Sepertinya mereka sedang kawin (mating) . Dan ada yang merayap menuju ke pantai di sekitar kami berdiri.  Cukup lama kami berada di pulau itu untuk mengambil banyak dokumentasi tentang ular laut.  Sungguh menarik mengamati perilakunya.  Setelah selesai melakukan pengamatan, kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali untuk mengelilingi Pulau Enggano dengan perahu.  

Senin, 10 Juni 2013

an adventure to the Island of Enggano


Pulau Enggano merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang terletak di Samudera Hindia (Indian Ocean). Pulau ini merupakan satu kecamatan, yakni Kecamatan Pulau Enggano dan masuk wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, dan berada di sebelah barat daya dari Kota Bengkulu dengan jarak sekitar 175 km.  Luas wilayah Pulau Enggano sekitar 400,6 km2, terdiri dari 6 (enam) desa yakni Desa Banjarsari, Desa Meok, Desa Apoho, Desa Malakoni, Desa Kaana dan Desa Kahyapu.

Dua Island and Merbau Island and Enggano Island.  Photo : Erni Suyanti Musabine

Di sekitar pulau utama yang berpenghuni, terdapat pulau-pulau kecil yakni Pulau Dua (38,90 Ha), Pulau Merbau (6,8 Ha), Pulau Bangkai (0,26 Ha) dan Pulau Satu yang sudah tenggelam sejak tahun 1960an namun terkadang masih bisa terlihat dari kejauhan.


Kawasan Hutan di Pulau Enggano

Hasil Survey di Pulau Enggano
Sumber : enggano.blogspot.com
(Rendra Regen Rais)
Kurang lebih sepertiga dari daratan Pulau Enggano kondisinya masih berhutan dan terdapat 6 kawasan konservasi dibawah pengelolaan Kementerian Kehutanan dalam hal ini sebagai Unit Pelaksana Teknis di daerah adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu yakni Cagar Alam Sungai Bahewo, Cagar Alam Teluk Klowe, Cagar Alam Tanjung Laksaha, Cagar Alam Kioyo I dan Kioyo II dan Taman Buru Gunung Nanua.  Selain itu juga terdapat kawasan Hutan Lindung Koho Buwa Buwa dan Hutan Produksi Terbatas Ulu Malakoni dibawah pengelolaan Pemerintah Daerah yakni Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkulu Utara.


Suku dan Bahasa

Penduduk asli di Pulau Enggano terdiri dari 5 (lima) suku, yakni Suku Kauno, Suku Kaarubi, Suku Kaharuba, Suku Kaitaro, Suku Kaahoa. Masing-masing kepala suku dari kelima suku tersebut dikoordinir oleh Paabuki. Penduduk Pulau Enggano juga tidak menutup diri terhadap pendatang, dan kaum pendatang ini diberi nama suku tersendiri yakni Suku Kamay. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Enggano yang sangat berbeda dengan Bahasa Melayu yang digunakan di daratan Pulau Sumatera dan di wilayah Bengkulu lainnya pada khususnya. Sebagai contoh terdapat dalam tabel berikut :


Angka
Enggano
1
kahai’
2
’aru
3
’akÉ™r
4
’aup
5
’arib
6
’aki’akin
7
’arib he ’aru
8
kÄ©pã’ĩõp, ’ãpã’ĩõp
9
kÄ©pã’ĩõp kabai kahai’, ’ãpã’ĩõp ’abai kahai’
10
kÄ©pã’ãũp
20
kahai’ kak
Sumber : en.wikipedia.org/wiki/Enggano_Language

Perjalanan Kedua ke Pulau Enggano

Sore itu tanggal 24 Pebruari 2011 pukul 17.00 WIB kami berempat, saya beserta tiga orang teman yakni Rendra Regen Rais seorang Polisi Kehutanan, dan dua orang jurnalis yakni Marini Sipayung dari Kantor Berita Antara dan Long Sinaga dari RRI Bengkulu bertolak dari Pelabuhan Pulau Baai menggunakan kapal ferry ASDP Raja Enggano yang akan menuju ke pelabuhan Kahyapu di Pulau Enggano.  Ini adalah perjalanan kedua saya ke Pulau Enggano setelah perjalanan pertama saya di bulan Desember 2004 untuk tujuan dinas, yakni survey pembangunan kantor resort KSDA Enggano dan sosialisasi tentang konservasi penyu dan sosialisasi tentang Human-Crocodile Conflict Mitigation disana.

Our Team.  Photo : Rendra Regen Rais
Sebelum perjalanan ini dimulai, seorang teman Polisi Kehutanan/ Polhut) di BKSDA Bengkulu yang telah merintis pengembangan Pulau Enggano sebelumnya telah menawarkan kepada staff BKSDA Bengkulu lainnya mungkin ada yang tertarik ikut membantunya berkegiatan untuk pengembangan Pulau Enggano di bidang kehutanan, dan tak satupun yang bersedia untuk ikut kecuali saya sendiri tentunya, saat saya mendapatkan tawaran itu tanpa berpikir panjang saya langsung menyetujuinya.  Memang saya seorang dokter hewan satwa liar tetapi saya pernah juga belajar tentang hal-hal lain dari kawan-kawan saya yang sukses dibidangnya terutama yang berhubungan dengan kegiatan konservasi diluar kegiatan medis konservasi.  Saya berkeyakinan akan bisa membantunya dengan bekal pengalaman saya itu dan ide-ide kreatif yang biasa keluar secara spontan di lapangan.  Dan tidak hanya itu, saya sangat gemar berpetualang ke alam bebas terutama ke daerah-daerah terpencil seperti pulau terluar ini dimana orang lain tidak tertarik untuk mengunjunginya.  Bagi saya waktu itu membantu bekerja disana sama saja saya akan melakukan petualangan yang luar biasa mengesankan dan penuh dengan tantangan alam dan kepuasan itu tidak bisa dibayar dan digantikan dengan apapun.  Dan saya juga mengajak dua orang teman saya dari profesi yang berbeda, dan mereka menyambut baik untuk ikut terlibat membantu kegiatan yang akan kami lakukan, yakni survey potensi dan identifikasi permasalahan yang ada di Pulau Enggano  sebagai dasar yang akan kami gunakan untuk melangkah lebih jauh dalam pengembangan kegiatan dibidang konservasi disana.  Mereka berprofesi sebagai jurnalis yang saya kenal sebagai orang profesional yang idealis dalam bekerja, dan selama ini juga menggemari kegiatan petualangan dan tertarik dengan kegiatan yang berhubungan dengan konservasi.  Kami berempat akan bisa saling melengkapi selama di lapangan.

Sore itu cuaca cerah, kami akan mengarungi Samudera Hindia selama 12 jam bila tidak ada kendala badai angin barat untuk mencapai Pulau Enggano.  Tampak banyak orang berseragam tentara diatas kapal.  Kami berada di dek/ geladak paling atas yang terbuka sambil menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah.  Di dek paling bawah tampak beberapa mobil dinas dari beberapa instansi yang juga ada keperluan ke Pulau Enggano.  Ransel kami dan logistik kami letakkan di ruangan penumpang (dek tengah) yang nantinya akan menjadi tempat tidur kami selama perjalanan di atas kapal.  Saat sedang berburu photo sunset tiba-tiba seseorang dari dek paling bawah memanggilku untuk turun dan bergabung dengan mereka,  dengan logat bahasanya dan makiannya saya langsung mengenali bahwa mereka semua berasal dari Surabaya :) Akhirnya saya meninggalkan kawan-kawan saya dan turun bergabung dengan mereka yang bahasanya tidak asing lagi di telinga saya.  Kami berkenalan, yang satu adalah ABK kapal yang kami naiki yang berasal dari Surabaya, dan seorang lagi adalah angkatan laut yang bertugas di Lanal Pulau Enggano yang juga asli orang Surabaya dan satunya lagi adalah seorang Perwira Angkatan Laut dari Jakarta yang juga alumni Universitas Airlangga Surabaya dan berasal dari Surabaya yang sedang bertugas ke Pulau Enggano. (Saya mendengar khabar bahwa mereka/ para angkatan laut tersebut sedang survey lokasi untuk mempersiapkan rencana kunjungan ibu negara ke Pulau Enggano).  Mendadak pembicaraan langsung berubah menggunakan bahasa Suroboyo-an dan tak ketinggalan makian Surabaya pun ada di dalamnya :)  Angkatan laut lainnya menyingkir dan membiarkan kami bernostalgia dengan orang-orang sesama suku (satu daerah).  Meski baru bertemu saat itu tetapi kami berempat sudah terlihat sangat akrab dan seperti sudah kenal lama sebelumnya.  Budaya, bahasa dan daerah yang sama bisa membuat orang mendadak seperti saudara di tempat perantauan.

Malam itu kami tidur di dek tengah ruang penumpang menggunakan peralatan camping kami masing-masing, yakni sleeping bag dan matras.  Kapal penuh penumpang dalam perjalanan ini.  Tengah malam itu seorang perwira Angkatan Laut mendatangi saya dengan membawa dua gelas pop mie dan ingin menawari saya makan (tengah) malam, namun saya sudah tertidur lelap sehingga beliau tidak berani membangunkan saya untuk diajak begadang.  Esok harinya beliau bercerita pada saya, ternyata malam itu tidak bisa tidur baik di ruang VIP maupun di dek bawah (tempat parkir kendaraan dan barang) disebabkan goncangan ombak yang membuat kapal bergoyang-goyang, karena dia mabuk laut.  Baru kali ini saya mendengar bahwa angkatan laut yang bekerjanya menurut saya di laut pun masih mengalami mabuk laut.....hehe :)  Bersyukurlah saya menjadi orang yang selalu merasa nyaman berada dimana saja, baik darat, laut maupun udara tanpa mengalami mabuk.

Menikmati sun rise dari atas kapal Raja Enggano
Pagi-pagi sekali kami sudah bangun, tentu saja kami berburu untuk memotret sunrise dari atas kapal. Matahari akan muncul sesaat sebelum kapal mendekati Pulau Enggano.  Dari kejauhan akan terlihat Pulau Enggano, Pulau Dua dan Pulau Merbau.  Tanggal 25 Pebruari 2011 pukul 05.00 WIB kami berlabuh di Pelabuhan Kahyapu, Enggano. Suasananya berbeda, sudah banyak yang berubah setelah 7 tahun berlalu.  Dermaga sudah dibangun bagus dan sudah ada jalan beraspal antar desa.  Namun saya tak melihat lagi pemandangan ikan-ikan besar warna-warni yang dulu bisa terlihat di sekitar dermaga.  Hanya satu yang tidak berubah, masih dijumpai ular laut yang merayap di sela-sela bangunan dermaga. Kami dijemput oleh kawan-kawan dari Enggano yang menempati kantor Resort KSDA Enggano dengan sepeda motor.  Kantor Resort Enggano tidak jauh dari pelabuhan Kahyapu.

Hari itu kami berjalan-jalan ke Desa Malakoni dan Apoho yang rencananya akan berkenalan dengan Paabuki (Koordinator Kepala Suku di Enggano), bertemu dengan Pak Camat Enggano, Danramil serta Kapolsek.  Sepertinya teman saya ini sudah akrab dengan mereka semua, bahkan orang-orang yang kami cari itu mendatangi kantor Resort Enggano juga untuk bertemu kami semua.  Berbincang-bincang dengan pak Camat dan Danramil seperti kami sedang menonton pelawak di televisi, karena kami tidak pernah berhenti tertawa.  Mereka sangat lucu dan selalu kompak membuat lelucon yang membuat kami terpingkal-pingkal.  Pak Camat baru terlihat berbicara serius bila mengajak saya berdiskusi berdua dengan bahasa Inggris tentang kondisi Enggano, mungkin beliau kesulitan mencari lelucon dengan bahasa asing :) Dan kami bisa berbicara dimana saja, tidak hanya di dalam ruangan tetapi bisa juga di tengah jalan.  Jalan lintas antar desa di Pulau Enggano hanya satu, dan itupun sangat sepi jarang terlihat kendaraan lewat juga tidak ada angkutan umum karena harga BBM disana sangat tinggi, paling murah dan dalam kondisi normal harganya sekitar Rp. 10.000 per liter, itupun barangnya dijatah sekitar 10 liter per KK per bulan dan tidak bisa mendapatkan lebih, oleh karena itu jarang terlihat kendaraan roda empat disana kecuali ada kunjungan tamu dari Bengkulu, disebabkan BBM merupakan barang langka dan mahal di pulau terpencil itu.  Bisa dibayangkan bagaimana nasib nelayan dan anak-anak sekolah yang rumahnya jauh yang sehari-hari aktivitasnya tergantung dengan BBM.

Karena kantor resort Enggano sangat sempit akhirnya kawan-kawan yang laki-laki tidur di kantor Resort dan kami bertiga yang perempuan (saya dengan kedua teman jurnalis) tidur di rumah Kepala Desa Kahyapu. Kebetulan saya sendiri sudah kenal akrab dengan istri Kepala Desa Kahyapu sejak tahun 2004 lalu melalui keluarga angkat saya di Kota Bengkulu.  Dan saya anggap beliau adalah keluarga baru saya di Pulau Enggano, kebetulan salah satu anggota keluarganya juga ada yang berasal dari Jawa Timur dan sekarang menetap di Pulau itu sebagai nelayan, dan kami sudah merasa seperti satu keluarga.  Setiap pendatang dan orang yang mengunjungi Pulau Enggano akan cepat sekali dikenali oleh orang-orang disana termasuk kedatangan kami waktu itu.  Karena adanya hubungan baik dan kerjasama yang telah terbina dan telah dirintis cukup lama oleh kawan saya seorang Polisi Kehutanan yang mendedikasikan pekerjaannya mengurusi daerah terpencil itu dengan menjalin hubungan baik dengan masyarakat, kepala suku dan unsur tripika (Polsek, Koramil dan Camat) serta Lanal di Kecamatan Pulau Enggano membuat kedatangan kami pun disambut baik oleh mereka. Pada dasarnya masyarakat Enggano sangat ramah pada siapa saja yang datang kesana dengan niat baik.

Salah satu bangunan peninggalan penjajah Jepang
Untuk mengisi waktu kami juga berjalan-jalan sambil bird watching untuk melihat burung Kacamata Enggano (Enggano White-eye atau Zosterops salvadorii) yang merupakan salah satu burung endemik  di Pulau Enggano dan mengunjungi bangunan peninggalan penjajah Jepang yang ada di Desa Malakoni berdekatan dengan Pelabuhan Malakoni.  Akibat gempa bangunan itupun akhirnya berada di pantai karang.  Satu hari itu kami juga gunakan untuk mempersiapkan logistik untuk persiapan perjalanan keliling Pulau Enggano untuk survey dengan menggunakan perahu kecil.  Selain menyiapkan logistik, kami juga perlu menyewa perahu nelayan dan pengemudi yang bisa diandalkan dalam menghadapi badai di laut yang terkadang datangnya tidak bisa diprediksi.  Kami bekerja tanpa menggunakan dana khusus dari anggaran pemerintah, kami mendanai pekerjaan ini dengan sukarela yakni patungan masing-masing orang sehingga terkumpul uang Rp. 700.000,- untuk operasional dilapangan dengan jumlah anggota tim sebanyak 9 orang, yakni kami berempat ditambah dengan 2 orang nelayan sebagai pengemudi perahu serta 3 orang lainnya tenaga honor dan pamswakarsa yang bekerja di Resort KSDA Enggano. Rencananya kami akan mengadakan perjalanan selama 3-5 hari untuk mencari data dan mapping, tentang lokasi-lokasi yang potensial untuk pengembangan  kegiatan ecotourism (surfing, snorkeling, diving, pengamatan penyu dan buaya, bird watching, camping, fishing, dll), dan survey lokasi penyu mendarat untuk bertelur selanjutnya guna pengembangan kegiatan konservasi penyu disana, serta survey lokasi yang rawan aktivitas illegal dan identifikasi permasalahan utama di Pulau Enggano.

Hari pertama perjalanan membuatku sangat antusias, bahagia sekali waktu itu bahwa saya akan mempunyai pengalaman yang luar biasa di lautan selama beberapa hari.  Personil yang berangkat mengarungi lautan untuk keliling pulau Enggano tidak hanya kami yang berjumlah sembilan orang, ternyata ditambah lagi satu anggota baru untuk tim kami yakni seekor anjing bernama King, dia ikut tim ini atas permintaan saya. Saya berpikir bahwa dia akan sangat membantu untuk mengusir babi hutan yang akan mendekati tenda kami saat camping nanti. Sepanjang perjalanan anjing tersebut selalu duduk berdekatan dengan saya.  Sejak dulu saya punya keinginan yang belum tercapai yakni berjalan-jalan menyusuri pantai yang indah dengan membawa seekor anjing, kedengaranya sangat menyenangkan dan hanya bisa kulihat di film-film.  Dan keinginanku itu sebentar lagi akan jadi kenyataan dengan King ada bersamaku dalam petualangan ini. Tidak ada masalah dengan anggota tim selama perjalanan, kecuali anjing itu yang ketakutan dan mengalami mabuk laut saat diatas perahu.  Dan pada akhirnya anjing itu pun diam membisu tidak mau bersuara (menggonggong) untuk mengusir babi hutan, mungkin karena stress sepanjang perjalanan :)


Perjalanan laut keliling Pulau Enggano
Video : Erni Suyanti Musabine


Camping di Teluk Kramai

Teluk Podipo. Photo : Rendra Regen Rais
Malam itu kami menginap (camping) di Teluk Kramai.  Sebelum memasuki Teluk Kramai, kami akan melewati dua tebing batu di Tanjung Labuho yang berdiri tegak seperti pintu gerbang (seperti  terlihat dalam video), indah sekali, karena matahari terbenam bisa terlihat dari kedua celah tebing batu tersebut.  Tidak hanya itu sepanjang perjalanan setelah keluar dari muara sungai dekat kantor Resort Enggano pemandangannya sudah sangat mengagumkan, adanya burung-burung pantai dan pohon mangrove yang tertata rapi dan tampak hijau menyejukan mata di sepanjang pantai di kawasan Cagar Alam Teluk Klowe, pasir pantai yang tampak putih bersih dan air laut yang bening dengan batu karang dan rumput-rumput dibawah permukaan air laut yang terlihat jelas.  Terkadang juga tampak  ikan-ikan berenang di bawahnya.  Dan bahkan terlihat rombongan ikan terbang di dekat perahu kami.  Setelah melewati Pulau Merbau, ini merupakan lokasi untuk bisa melihat lumba-lumba berloncatan.  Ini adalah untuk pertama kalinya saya bisa melihat lumba-lumba di laut lepas, sungguh saya merasa beruntung mendapat kesempatan itu.  Sebelum sampai di Teluk Kramai kami berhenti sejenak di Teluk Podipo mencari sumber Air Tawar sekedar untuk mencuci muka dan pergi ke toilet di alam bebas dan memberi minum anjing yang mengalami mabuk laut.  Di setiap pantai yang pernah digunakan nelayan untuk mondok (bermalam) bisa dijumpai adanya sumber air tawar yang tak jauh dari pantai. Setelah melewati Tanjung Labuho, yakni di Kiknen akan tampak sebuah kapal terdampar di  pantai tersebut, konon khabarnya kapal itu adalah kapal penangkap ikan milik asing yang diserang oleh bajak laut kemudian terdampar di pantai Kiknen dan sudah dalam kondisi hancur.  Satu lagi ditemukan kapal terdampar di sekitar Pulau Satu yang masih bisa tampak dari kejauhan.

Bermain bola dan berenang di Teluk Kramai
Photo : Rendra Regen Rais
Di Teluk Kramai mendirikan tenda dum untuk tempat tidur kami bertiga, yakni saya dan kedua orang teman jurnalis.  Sedangkan kawan yang laki-laki tidur ditempat tersendiri yakni di pondok nelayan yang ada di hutan itu.  Lokasi camping yang sempurna di dalam hutan dengan tenda menghadap ke pantai.  Sore itu kami habiskan waktu untuk berenang di pantai dan bermain bola pantai dengan memanfaatkan sampah bola yang terdampar di pantai. Mungkin kami adalah orang pertama yang bermain sepak bola pantai di Teluk Kramai yang jauh dari hiruk pikuk aktivitas manusia. Sepi dan sunyi tanpa ada orang lain selain kami, serasa pulau ini milik kami saja.  Benar-benar sangat menghibur, tanpa sadar apa yang kami lakukan itu menjadi obyek photo bagi kawan lainnya.  Setelah puas mandi dan bermain di pantai, saya memeriksa sampah-sampah plastik yang dikumpulkan oleh dua orang teman, sampah terbanyak berupa botol air mineral dari berbagai negara, ada yang dari Singapore, Malaysia, Republic of Maldives, Surabaya, Sumatera Utara, Sri Lanka, Kenya, England, Bali, Lombok, Jakarta dan beberapa daerah/ negara lainnya.  Terbanyak sampah botol plastik berasal dari Malaysia, China, Sri Lanka dan Afrika.  Sepertinya Pulau Enggano juga merupakan salah satu tempat berlabuhnya sampah-sampah dari daerah dan negara lain yang terbawa arus laut.

Sore itu kedua nelayan yang mengemudikan perahu kami mencari ikan, tak lama kemudian mereka kembali ke camp kami dengan membawa beberapa ikan berukuran besar.  Baru kali ini saya melihat orang memancing mendapat ikan berukuran besar, karena biasanya saya hanya melihat orang memancing di sungai-sungai atau di rawa-rawa dalam hutan dan bukan di laut seperti ini dan ikannya tidak sebesar yang saya lihat hari itu.  Sepertinya makan sore kami akan menyenangkan, sambil membayangkan ikan bakar hasil tangkapan yang masih fresh dari laut. Kami langsung berbagi tugas untuk memasak nasi dan ikan bakar. Perjalanan hari itu membuat kami terasa lapar. 


Hasil Menyelam di Teluk Kramai, Lobster, Udang, Kepiting
Photo : Rendra Regen Rais & Erni Suyanti Musabine
Malam itu kami berdiskusi bersama di pondok nelayan yang kami pakai karena memang sedang tidak berpenghuni, dua orang lainnya sedang diving (menyelam) untuk mencari lauk buat sarapan kami esok hari.    Mereka adalah orang asli Pulau Enggano dan satunya asli dari Kepulauan Mentawai jadi sangat piawai dalam menyelam di laut dengan kedalaman sekitar 6-10 meter dengan peralatan seadanya tanpa tabung oksigen. Kebetulan hari itu kami para anggota tim yang wanita punya permintaan khusus yakni ingin makan lobster, kepiting, gurita, kerang yang berasal dari dasar laut.  Sambil bercanda, kami berkata, "batas waktu untuk mencari itu semua hanya satu jam dan harus dapat."  Sekitar pukul 21.00 WIB mereka berdua mulai menyelam dan kami menunggu di camp sambil ngobrol bersama, mendengarkan musik kus plus dari laptop yang dibawa.  Dalam perjalanan ini kami juga membawa solar cell sehingga bisa charging laptop dan camera serta masih bisa bekerja (memasukkan data). Tak lama kemudian kawan kami pulang dari menyelam dan membawa  hasil yang kami inginkan.  Akhirnya kami merebusnya agar tidak busuk untuk menu sarapan esok hari.  Hmmm....saya sudah membayangkan bahwa besok akan punya sarapan lezat.  Dan ini untuk pertama kalinya saya makan gurita. Oya, orang Enggano gemar makan ikan mentah, tidak hanya itu kadang kerang dan siput laut pun dimakan mentah-mentah.  Malam itu kami mencobanya, seorang teman dari Mentawai sudah memulai makan kerang mentah dengan lahabnya, semula saya hanya memperhatikan saja, lama-lama ingin mencoba, dan rasanya.....hmmm....benar-benar membuatku ingin memuntahkannya kembali. Rasanya aneh dan menjijikan :)


Wild Animal Watching (Pengamatan Satwa Liar di Malam Hari)

Crocodile Hunter. Photo : Edo
Lima orang lainnya sudah beranjak tidur di tempat masing-masing, tetapi kami berempat yakni saya dan seorang teman Polisi Kehutanan, dan seorang teman dari Enggano serta salah satu nelayan akan berjalan-jalan menelusuri pantai menuju lokasi muara-muara sungai tempat buaya berada.  Malam itu saya lebih tertarik untuk mengamati buaya muara daripada tidur.  Air laut sedang pasang, langit gelap pertanda bahwa akan ada badai, pasir pantai pun sudah tertutup air laut.  Kami memasuki satu muara ke muara berikutnya berharap bisa bertemu buaya muara (Crocodylus porosus), ingin menangkapnya dan mengukurnya kemudian melepaskannya kembali.  Kebetulan nelayan yang kami bawa juga punya keahlian dalam menangkap buaya dan ular. Dan ternyata Crocodile hunter tidak hanya ada di Australia tetapi di Pulau Enggano juga ada. Mungkin menurut orang lain ide kami ini terkesan aneh dan mengerikan, malam-malam mencari buaya muara di habitatnya, tapi bagi saya sendiri ini termasuk hal yang mengasyikkan, karena saya menyukai tantangan dalam setiap petualangan di alam liar.
Wild Animal Watching
Sea Snake, Phyton, Civet, Crocodile, Sea Cucumber
Photo : Erni Suyanti Musabine & Rendra Regen Rais
Di muara pertama kami tidak bertemu buaya tetapi malah bertemu ular Phyton reticulatus yang besarnya sekaki saya dan panjangnya kurang lebih 2,5 - 3 meter. Ular tersebut sedang berada di sungai kecil dekat muara dan membelakangi kami berdiri. Buru-buru saya dan seorang teman mendekatinya untuk memotret, tiba-tiba ular tersebut berbalik arah dan mengejar karena terkena sinar headlamp dan getaran yang ditimbulkan oleh kaki kami yang berjalan mendekatinya.  Di sepanjang pantai di bawah kaki kami juga bertemu dengan ular kecil yang sedang berenang di pantai, penduduk lokal menyebutnya ular kadut.  Ular jenis ini bila diphoto dan dilihat diam saja tidak menyerang kami.  Selain itu kami juga melihat musang yang sedang memanjat pohon tinggi.  Tak terasa kami telah jauh berjalan malam itu, lokasi kami sudah sejajar dengan lokasi Pulau Satu, akhirnya di muara itu kami melihat buaya, dari kejauhan tampak warna kedua matanya yang merah kena sinar headlamp.  Malam itu terjadi hujan badai mengiringi perjalanan kami pulang kembali ke camp.  Air laut yang pasang sudah mulai tinggi.  Jalan yang tadi kami lewati sudah tertutup air laut sebatas lutut.  Di sepanjang pantai dan muara kami selalu waspada, pandangan saya terfokus untuk memeriksa muara sungai yang kami lewati dengan bantuan sinar headlamp, khawatir ada buaya disana tanpa kami ketahui.  Nelayan itu mengingatkanku bahwa buaya tidak hanya berada di muara sungai tapi terkadang juga berenang di pantai/ laut.  Sepanjang perjalanan membuatku sibuk menoleh kekiri dan kekanan dengan penuh waspada di hari yang gelap.  Badan basah kuyup karena hujan deras dan angin kencang.  Kaki penuh goresan luka karena gesekan pasir dengan sandal yang terasa pedih kena air laut.  Ini kesalahanku yang tidak mau memakai sepatu, dan memilih memakai sandal gunung saja.  Waktu itu menunjukkan pukul 03.00 WIB dini hari, sampai di camp semua orang sudah tertidur pulas, tinggal kami berempat yang baru datang dan masih basah kuyup.  Sebelum beranjak tidur kami sempatkan untuk membuat minuman hangat.

Salah satu lokasi pendaratan penyu untuk bertelur 
di Pulau Enggano. Photo : Rendra Regen Rais
Esok harinya, tanggal 27 Pebruari 2011 setelah sarapan lezat dengan lobster, kepiting, gurita, kerang kami melanjutkan perjalanan. Kami bertujuh dan bersama seekor anjing melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dan kedua nelayan membawa perahu beserta barang-barang. Dalam perjalanan kami mencari data tentang lokasi penyu bertelur dan ambil titik koordinat untuk pemetaaan. Dari hasil survey ditemukan tiga jenis penyu yang bertelur di pantai Enggano yakni Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Belimbing (Demochelys coriacea), dan Penyu Sisik (Caretta caretta).  Berlokasi di Teluk Kopi di kawasan konservasi Taman Buru Gunung Nanu'a, Teluk Ki'yoey Kuriamah yang terletak diantara kawasan konservasi Cagar Alam Kioyo I dan Kioyo II. Ditemukan juga diantara Sawang Epouva dan Sawang Ahai Ahai serta Pantai Panjang Malakoni. Selain itu juga mengambil titik koordinat lokasi-lokasi yang menarik untuk ecotourism. Dalam perjalanan tersebut kami melewati Cagar Alam Kioyo I dan Kioyo II. Tempat itu dulunya merupakan pusat pemukiman masyarakat Enggano sebelum terjadinya wabah penyakit yang menyebabkan kematian massal dan berkurangnya penduduk secara drastis dan akhirnya penduduk Enggano berpindah ke lokasi pemukiman di sisi lainnya dari pulau itu, yakni sepanjang pantai yang kini ditempat penduduk Enggano. Disana juga ada bekar gereja, selain itu juga terdapat makam leluhur pada ratusan tahun yang lalu, yang masih dapat terlihat sisa-sisa peninggalan tersebut. Dalam perjalanan itu kami juga mencari bukti keberadaan makam tua tersebut, setelah berjalan kaki menelusuri hutan pantai akhirnya kami menemukannya juga. Di tempat ini juga terdapat pantai yang indah, berpasir putih dan airnya jernih berwarna kebiruan, serta bagus untuk surfing bagi pemula, tepatnya di Teluk Ki'yoey Kuriamah, yang pernah dijadikan tempat persinggahan kapal pesiar dari Bali. Kami berjalan menelusuri pantai ini dengan diiringi hujan gerimis. Lokasi ini sangat ideal untuk berfoto karena pemandangan sekitar sangat mengagumkan. 
  
Temuan makam tua di sekitar CA Kioyo. Photo : Saydina Ali
Dalam perjalanan dengan perahu kami juga melewati Taman Buru Gunung Nanua, selain merupakan kawasan konservasi juga salah satu tempat yang pernah diusulkan sebagai lokasi untuk peluncuran satelit antariksa.  Daerah itu merupakan lokasi para nelayan mondok (bermalam saat mencari ikan) dengan ditemukannya banyak pondok nelayan disana, karena lautan disekitar sana merupakan lokasi yang ideal bagi nelayan untuk mencari ikan.  Dengan adanya rencana dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentang pembangunan lokasi peluncuran satelit disekitar sana maka akan merugikan para nelayan dalam mencari nafkah karena sekitar lokasi peluncuran akan disterilkan dari aktivitas manusia.  Rencana tersebut memunculkan pro dan kontra di masyarakat Enggano.  Mereka juga mempertanyakan apa manfaatnya secara langsung adanya peluncuran satelit di daerah mereka bagi masyarakat Enggano.  Kami pun tidak bisa menjawabnya.  Karena menurut kami setiap rencana pembangunan harus menyesuaikan potensi dan permasalahan di daerah masing-masing dan tidak boleh ada yang dirugikan dan sebaiknya malah menguntungkan semua pihak terutama masyarakat di sekitarnya.


Camping di Oker Oker

Camping di Oker-Oker. Photo : Erni Suyanti Musabine
Hari itu kami bermalam di Oker Oker. Ada satu pondok nelayan disana yang masih bisa digunakan. Saya bersama teman yang perempuan mendirikan tenda dum untuk tempat tidur kami, sedangkan lainnya tidur di pondok nelayan. Hari itu kami punya menu makanan spesial, seorang nelayan yang bersama kami akan memasak gulai ikan buat kami semua, kebetulan disana juga banyak pohon kelapa yang telah dianggap sebagai milik bersama. Setelah teman-teman pergi sebetar untuk mencari ikan di laut buat makan siang dan makan malam kami, sepulangnya ikan tersebut dimasak gulai ikan. Saya tertidur pulas di pondok begitu bangun makanan sudah habis karena menurut mereka menu hari itu sangat enak sehingga saya hanya bisa merasakan lezatnya makanan lewat cerita saja. Akhirnya ada yang memasak ikan bakar untukku, tanpa nasi pun sudah bisa mengenyangkan karena ukurannya besar dan lebih dari satu. Disela-sela waktu dalam perjalanan ini saya juga berminat kursus private bahasa Enggano ke kawan seperjalanan yang merupakan penduduk asli Enggano, sungguh sulit mempelajari Bahasa Enggano yang dipakai sehari-hari terutama pengucapannya. Tapi tidak mengapa, saya sangat menyukai belajar bahasa asing yang menurut saya unik. Mengisi waktu luang hari itu dengan menelberjalan meneusuri pantai dan hutan mangrove di sekitar areal camping. Kami melihat seekor ular laut Laticauda colubrina berukuran besar sedang berada di sela-sela mangrove. Saya tertarik untuk memotretnya tetapi tidak mau memegangnya karena ular ini sangat berbisa, bila digigit dan terkena bisa/ racunnya sebanyak 1,5 mg saja sudah bisa berakibat fatal yakni menyebabkan kematian, sedangkan sebagian besar ular laut dapat memproduksi bisa/ toxin sebanyak 10-15 mg. Dan bisa ularnya bersifat neurotoxin dan myotoxin. Bisa dibayangkan betapa berbisanya ular laut itu dan betapa berbahayanya bila tergigit ular itu di daerah terpencil seperti itu dan lagipula petugas medis pun tidak tersedia setiap saat di pulau Enggano.
   
Sea Snake Laticauda colubrina
Photo : Erni Suyanti Musabine
Ular yang dijumpai
di Pantai Oker Oker
Selama di Oker-Oker kami membuat perubahan rencana dengan menyesuaikan dengan kondisi cuaca.  Semula kami berencana melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Enggano dengan menggunakan perahu kecil dengan mesin tempel tetapi ternyata kondisi cuaca tidak mendukung.  Apalagi seorang nelayan merasa keberatan untuk melanjutkan perjalanan dan memilih kembali ke Kahyapu.  Akhirnya tim dibagi menjadi dua, yakni lima orang bersama saya melakukan perjalanan kembali ke Desa Kahyapu menggunakan perahu, untuk perjalanan kembali dirasa masih aman bila terkena badai angin barat, dibandingkan melanjutkan perjalanan dengan melawan badai.  Tiga orang lainnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki untuk mengelilingi Pulau Enggano.  Sebenarnya mereka menginginkan saya untuk ikut bergabung melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki tetapi karena kondisi kaki saya yang terluka karena tidak memakai sepatu pada saat mencari buaya di hari sebelumnya membuat jalan saya menjadi lambat, dan saya tidak mau merepotkan mereka karena kondisi berjalan saya yang masih tidak normal.


Terkena Badai di Laut Lepas

Badai menyertai perjalanan kami di tengah laut saat kembali pulang
Kami berpisah di Oker Oker, saat tim perahu akan meninggalkan Oker Oker, anjing kami hilang entah kemana dan belum kembali.  Seorang teman menyarankan agar kami meninggalkannya karena langit di kejauhan sudah tampak gelap dan sebentar lagi badai datang.  Saya merasa cemas, harus mencarinya atau meninggalkannya sendiri di tempat itu, sedangkan badai sebentar lagi datang, terkena badai di laut juga hal yang mengkhawatirkan.  Akhirnya kamipun harus meninggalkan anjing itu dengan perasaan khawatir tentunya, pada saat perahu kami sudah mulai ke lepas pantai, anjing itu muncul dari kejauhan, akhirnya perahu kembali untuk menjemputnya dan dibawa pulang.  Lega rasanya, akhirnya dia tidak ditinggalkan sendirian di tempat yang tak berpenghuni itu.  Perjalanan kembali ke Kahyapu perahu kami tidak melewati pinggir pantai tetapi mengambil jalan melewati laut lepas di luar tubir (tubir adalah batas pasang surut air laut).  Di tengah laut turun hujan deras, dan gelombang laut sangat tinggi dan rapat, saat menaiki gelombang seperti kami menaiki bukit dan begitu saat menuruni gelombang tinggi seperti turun ke lembah.  Beruntunglah kami memiliki skipper yang handal yang punya pengalaman di lautan selama bertahun-tahun.  Meskipun mengerikan tapi saya masih bisa menikmati perjalanan itu, mendokumentasikan untuk mengambil photo dan video gelombang-gelombang laut yang tinggi dan memilih duduk di depan.  Tapi karena kondisi cuaca buruk, nelayan melarang saya duduk di ujung perahu seperti biasanya, semua harus duduk didalam perahu demi keselamatan.  Perahu kami diguncang-guncang oleh gelombang yang  tinggi dan dihempas badai.  Anjing kami mengalami stress perjalanan dan mencoba bunuh diri dengan menjebur ke laut dalam, membuat saya dan seorang nelayan sibuk berusaha menyelamatkan dan menariknya kembali untuk masuk kedalam perahu. Dalam kondisi cuaca yang buruk itu saya hanya bisa berharap semoga kami semua selamat sampai tujuan, sambil membayangkan bahwa dibawah kami adalah samudera/ laut dalam.  Mengemudikan perahu di laut lepas memang tidak mudah, harus hafal rute yang dilewati, dan punya keahlian untuk melewati gelombang tinggi agar perahu tidak terbalik, dan tahu mana yang berbahaya dan mana yang aman untuk dilalui.  Jangan sampai kejadian buruk di laut sekitar Taman Nasional Baluran bersama kawan-kawan Marlboro Adventure Team beberapa tahun yang lalu terulang kembali dimana perahu menabrak karang yang ada di bawah permukaan laut pada tengah malam dan menyebabkan perahu bocor dan mulai tenggelam.  Sepanjang perjalanan saya berpikir jangan sampai hal yang sama terjadi.


Berburu Ikan Karang di Pulau Dua

Fishing in Dua Island. Photo : Erni Suyanti Musabine
Akhirnya sampai juga kami di Desa Kahyapu. Setiap hari hujan deras, sehingga kami tidak memiliki baju kering lagi dan membuat kami setiap hari mengenakan baju basah.  Hari itu kami tidak ada kegiatan, hanya menunggu anggota tim yang berjalan kaki sampai ke kantor Resort Enggano dengan selamat.  Kami perkirakan dua atau tiga hari lagi mereka baru sampai.  Karena tidak ada yang dikerjakan, akhirnya saya dan dua orang teman ikut dua orang nelayan yang sudah kami kenal sebelumnya yang akan mencari ikan disekitar Pulau Dua.  Satu orang lagi menunggu kantor resort.   Kebetulan di sungai depan kantor Resort Enggano merupakan tempat perahu nelayan ditambat/ diparkir, sehingga lalu lalang nelayan dengan perahu bisa terlihat dari kantor resort. Mereka mencari ikan dengan menggunakan panah, mereka menyebutnya menembak, karena bentuknya memang menyerupai senjata.  Caranya dengan menyelam sekitar kedalaman 5-10 meter dan menembak ikan-ikan karang dengan panah.  Saya dan kedua orang teman hanya mengamati saja dari atas perahu, kebetulan airnya jernih sehingga bisa dilihat dari atas. Tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan 11  ekor ikan untuk lauk di rumah, ada ikan kerapu berwarna coklat totol-totol putih, ikan kerapu sirih berwarna coklat gelap, ikan serandang berwarna merah, ikan merang berwarna putih totol-totol kuning, ikan narun warnanya seperti ikan pada umumnya, ikan bayam berwarna biru, ikan kino tubuhnya bergaris-garis warna biru dan kuning, ikan kerong-kerong yang berwarna kuning bergaris-garis hitam dan yang seekor lagi saya tidak tahu namanya.  Itu semua nama-nama lokal.  Tiba-tiba langit gelap dan terjadi hujan dan badai, memaksa kami untuk segera menuju daratan.  Dan lokasi terdekat untuk dicapai adalah Pulau Dua.  Hujan sangat deras disertai angin kencang.  Kami berteduh di pondok nelayan yang tak berpenghuni.  Menunggu badai reda, perut terasa lapar.  Akhirnya kami memanfaatkan apa yang ada di pulau itu untuk dimakan.  Kami mendapatkan buah pepaya masak  dan membakar ikan serta kelapa muda, itulah makan siang kami di Pulau Dua sambil menunggu badai reda untuk bisa kembali ke Desa Kahyapu.


Air terjun di tepi pantai Ko'omang (Sebalik)
Photo : Rendra Regen Rais
Tak disangka tim kami yang berjalan kaki telah sampai di Desa Kahyapu, cepat sekali mereka berjalan, waktu tempuh mereka hanya dua hari untuk mencapai Kahyapu.  Selama perjalanan mereka membawa oleh-oleh yang cukup mengagumkan, yakni hasil dokumentasi selama perjalanan yang melewati beberapa tempat yang indah, juga ditemukan aktifitas illegal perburuan penyu.  Semua jenis penyu merupakan satwa liar dilindungi menurut UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.  Pulau Enggano memang terkenal dengan kebiasaan untuk mengkonsumsi daging penyu tidak hanya saat upacara adat dan pernikahan tetapi juga untuk lauk sehari-hari bila mereka mendapatkannya dari berburu di laut terutama bagi para nelayan yang mondok (bermalam di pondok di lokasi mencari ikan).  






Pembangunan Airport di P. Enggano 
selama beberapa dasawarsa
Photo : Erni Suyanti Musabine
Kami juga menghabiskan waktu untuk melihat-lihat kondisi pembangunan di Pulau Enggano sambil mengantar kedua teman jurnalis saya untuk interview masyarakat dan beberapa petugas terkait.  Sesampainya di lokasi pembangunan airport (bandara) di Desa Malakoni, dari hasil pembicaraan kami bisa saya ambil kesimpulan bahwa pembangunan airport ini sudah direncanakan dan dimulai sejak lama, menurut pengakuan salah satu petugas disana bahwa dia telah bekerja untuk pembangunan airport tersebut sejak dia masih remaja, sampai dia menikah dan punya anak masih bekerja untuk proyek itu dan akhirnya sampai dia pun punya cucu masih saja sebatas itu pembangunanya tidak ada perkembangan yang berarti.  Selain itu kami juga berjalan-jalan ke desa sekitar untuk melihat keahlian penduduk lokal dalam membuat perahu.  Oya, tidak semua tempat di Pulau Enggano bersignal untuk phone cell.  Signal bagus di Desa Malakoni karena ada tower Telkomsel disana.  Dan beberapa tempat yang biasa kami pakai untuk akses internet yakni selain di Desa Malakoni juga di pantai panjang Malakoni.  Berada di daerah terpencil tanpa signal phone cell membuat hidup ini lebih tenang dan nyaman :)


Investigasi

Untuk melengkapi data tentang
Perburuan Penyu di Pulau Enggano
Photo : Rendra Regen Rais
perburuan satwa liar dilindungi, saya mendapat bagian tugas untuk investigasi guna mencari data tentang perburuan liar terutama yang berhubungan dengan perburuan penyu.  Saya mulai mencari informasi tentang orang-orang yang punya keahlian dalam berburu penyu disana, setelah mendapatkan sejumlah nama selanjutnya mencari tahu tempat tinggalnya. Saat saya mendatangi rumahnya, orang yang saya cari ada di tempat dan akhirnya kami berbincang-bincang santai sambil sesekali mengorek informasi tentang penangkapan penyu, dia memberikan keterangan seperti yang saya harapkan.  Dia mengenal saya sebagai seorang photographer yang tertarik untuk memotret dan membuat video tentang hewan liar dan sebagai seorang traveler.  Bahkan dia menawari saya untuk ikut bergabung bila nanti ada acara penangkapan penyu lagi di laut, dengan menyebutkan beberapa lokasi yang biasa digunakan untuk penangkapan penyu.  Tanpa berpikir panjang saya menyetujuinya, karena saya tertarik untuk mendokumentasikannya.  Diakhir pembicaraan, kami bertukar nomor telepon dan saya berpesan untuk dihubungi bila dia dan timnya akan melaut untuk menangkap penyu. Di Pulau Enggano terdapat tradisi masyarakat secara turun-temurun mengkonsumsi daging penyu di setiap acara pesta pernikahan,  jumlah penyu yang dikonsumsi tergantung hasil tangkapan, bahkan bisa mencapai 23 ekor dari jenis Penyu Hijau dan Penyu Belimbing.  Di setiap acara pesta pernikahan dibentuk tim penangkap penyu yang akan bekerja  sekitar 7 hari sebelum pesta berlangsung.    Menurut Paabuki bahwa tidak ada aturan yang mengharuskan menggunakan daging penyu pada setiap acara adat pernikahan.  Perburuan penyu dilakukan pada malam hari dengan menggunakan tombak. Beberapa hari sebelum saya berkunjung kerumahnya, mereka baru menyembelih penyu belimbing untuk dikonsumsi menurut pengakuannya.  Saat ini semua jenis penyu sudah dikategorikan terancam punah dan telah dilindungi aleh peraturan perundangan baik tingkat nasional maupun international.



Sosialisasi


Sosialisasi di Kecamatan Enggano
Photo bersama dengan Kepala Resort
Enggano, Kapolsek, Camat, Danramil
Di hari terakhir kami berada di Pulau Enggano, kami melakukan sosialisasi dengan difasilitasi oleh Camat Enggano.  Sosialisasi diadakan di kantor camat Pulau Enggano dengan dihadiri oleh para Kepala Suku, Paabuki, Danramil serta Kapolsek Pulau Enggano.  Sosialisasi utama tentang kawasan konservasi yang ada di Pulau Enggano serta hasil kegiatan survey yang telah kami lakukan selama berada disana.  Berharap apa yang telah dilakukan mendapat respon positif oleh pihak-pihak terkait untuk membantu masyarakat Enggano secara nyata dalam mengatasi permasalahan utama disana dan mengembangkan potensi yang ada untuk mendukung perekonomian disana. Kami hanya bisa membantu secara sukarela dan berbuat sesuatu sebatas kemampuan kami.  Harapan kedepan Enggano jangan pernah lagi sebagai obyek semata untuk proyek - proyek pemerintah daerah maupun pusat bila tanpa ada hasil yang maksimal yang bisa dirasakan oleh masyarakat disana secara nyata.  Identifikasi permasalahan di Pulau Enggano bisa dijadikan dasar untuk melakukan kegiatan dengan tujuan membantu masyarakat dalam mengatasi permasalahan tersebut dan membantu mencari solusinya yang bisa diaplikasikan dengan mudah di sana.  Selain itu pengembangan potensi dengan ide-ide yang kreatif dan mencari jalan keluar untuk mewujudkannya juga akan sangat membantu.  Namun semua itu harus mendapat dukungan dari para stakeholder karena tanpa ada dukungan maka yang terjadi akan sama saja, semua tidak akan bisa direalisasikan.  Dan satu hal lagi yang penting bahwa membantu masyarakat di daerah terpencil harus dengan hati (ketulusan dan kesungguhan), tidak bisa dengan hawa nafsu (nafsu keserakahan).

Note :
  • Dalam perjalanan kali ini mendapatkan ilmu baru yakni cara membius lobster secara tradisional.
  • Tulisan berikutnya tentang petualangan di Pulau Karang sekitar Tanjung Labuho tempat berkumpulnya ular laut Laticauda colubrina untuk berburu photo dan video, juga snorkeling di Cagar Alam Sungai Bahewo ditemani oleh ular laut Laticauda colubrina, serta kisah petualangan selama tiga hari mengelilingi Pulau Enggano dengan perahu saat badai angin tenggara.
  • Hidup ini indah jadi musti dinikmati, dengan mengunjungi daerah-daerah terpencil akan bisa menggugah hati nurani kita melihat nasib saudara-saudara kita yang masih sebangsa dan setanah air di pelosok negeri ini.