Minggu, 09 Februari 2014

Bekerja sekaligus berwisata alam


Sudah bertahun-tahun saya bekerja sebagai dokter hewan di tempat ini yakni di Pusat Konservasi Gajah  (PKG) Seblat, yang berlokasi di hutan konservasi Taman Wisata Alam Seblat. Kawasan seluas lebih kurang tujuh ribuan hektar ini dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu, Kementerian Kehutanan RI. Hutan tersebut merupakan habitat berbagai jenis satwa liar terancam punah seperti gajah sumatera, harimau sumatera, tapir, beruang madu, rusa sambar, kijang, napu, siamang, owa, simpai, burung rangkong, elang, kuaw dan masih banyak lagi satwa liar jenis lainnya.

Seblat Elephant Concervation Center - Bengkulu

Pertama kali menginjakkan kaki di hutan ini dan mulai bekerja, saya sempat diragukan oleh BKSDA Bengkulu begitu juga oleh beberapa mitra dari negara lain, mereka beranggapan bahwa saya tidak akan bertahan lama bekerja disana, karena akses masuk yang susah, satu-satunya wanita yang harus tinggal di hutan itu, gaji yang sangat kecil dan tidak banyak fasilitas yang akan didapatkan untuk menunjang aktivitas disana. Mungkin pendapat mereka juga berpedoman pada orang-orang sebelumnya yang hanya mampu bertahan bekerja selama satu hari saja dan tidak pernah kembali lagi setelah mengetahui kondisi yang sebenarnya dan hanya mengejar status pegawai negeri. Ini artinya mereka belum mengenali saya dengan baik, bahwa saya sangat menyukai petualangan di alam bebas, tidak peduli ada fasilitas pendukung atau tidak, bahkan tidak memikirkan berapa besar gaji yang akan diterima, yang penting asalkan saya bisa membantu dengan bekerja secara langsung untuk satwa liar di habitatnya. Kenapa akhirnya saya lebih memilih PKG Seblat yang jelas-jelas akan membuat hidup saya akan lebih banyak menderita dengan berbagai tantangan. Bekerja di lembaga pemerintah bukanlah hal yang mudah, tidak hanya akan membuat lelah fisik tapi juga pikiran yang adakalanya tidak sejalan. Makanya saya tidak pernah punya cita-cita untuk menjadi pegawai negeri sipil, cita-cita saya hanya ingin bekerja secara langsung untuk satwa liar apapun caranya. Padahal disaat yang bersamaan ada lima NGO International dan satu NGO nasional baik di Sumatera, Kalimantan dan Jawa yang menginginkan saya bekerja dengan mereka sebagai dokter hewan dengan gaji jauh lebih besar dan berbagai fasilitas yang menunjang.  Mereka menawarkan kepada saya terlebih dulu sebelum ditawarkan ke orang lain. Saya lebih memilih tempat mana yang paling membutuhkan bantuan medis, tentu yang kondisi satwanya jauh dari animal welfare, tempat yang masih butuh diperjuangkan untuk perbaikan pengelolaan satwa liarnya dan tempat dimana dokter hewan tidak suka bekerja disana. Gaji kecil dan fasilitas yang minim tentu tidak akan jadi prioritas dokter hewan untuk mau bekerja disana, dan disitulah satwa liar yang membutuhkan tenaga medis yang sebenarnya. Akhirnya saya memilih untuk tinggal di Bengkulu dan semua itu sudah saya pertimbangkan dari awal konsekuensinya. 


Crossing Seblat River by a Wooden Boat
Kepala Balai KSDA Bengkulu yang meminta saya untuk bersedia bekerja disana pernah menggambarkan kondisi disana, bahwa untuk mencapai tempat tersebut saya harus melewati jalan buruk, lalu menyeberangi Sungai Seblat dengan perahu ataupun dengan bantuan gajah disaat banjir, kemudian berjalan kaki menanjak untuk mencapai camp PKG Seblat. Beliau meminta saya untuk berpikir kembali dan memantapkan hati apakah bersedia ditempatkan di daerah terpencil tanpa banyak fasilitas sebelum menjawabnya. Saat itu saya malah berpikir sebaliknya, serta membayangkan bahwa tempat itu pasti indah dan menyenangkan, saya suka dayung perahu mungkin juga karena saya pernah menjadi atlit dayung bersama teman-teman Pecinta Alam Wanala Universitas Airlangga Surabaya waktu masih mahasiswa dulu dan kami pun pernah jadi juara dayung. Bermain di sungai dengan perahu akan menjadi hal yang mengasyikan buatku. Berjalan menanjak menaiki tebing dan menuruni tebing, serta trekking ke dalam hutan bukankah itu yang saya sukai selama ini, karena saya juga menyukai mendaki gunung dan melakukan kegiatan di hutan sejak masih sekolah. Saat mahasiswa pun kami sering mengadakan kegiatan di beberapa taman nasional yang ada di Jawa Timur. Dan itu kegiatan yang menyenangkan bekerja sebagai volunteer untuk konservasi satwa liar di habitatnya.

Bukankah ini juga telah menjadi cita-citaku sejak masih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) bahwa saya ingin bekerja di luar Pulau Jawa. Entah mengapa saat itu saya berpikir tidak ingin tinggal di Jawa kelak kalau sudah dewasa, ingin tinggal dimana saya tidak memiliki saudara dan keluarga disana, di daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, yang memiliki budaya dan bahasa berbeda dan tentunya daerah tersebut haruslah menarik bagi saya terutama keindahan alamnya. Namun saya belum tahu bagaimana caranya saya bisa keluar Pulau Jawa. Akhirnya mimpi itupun jadi kenyataan, dan Provinsi Bengkulu lah yang saya pilih setelah kurang lebih empat tahun berkeliling Sumatera dari satu provinsi ke provinsi lainnya dari Aceh sampai Lampung mengunjungi seluruh Pusat Konservasi Gajah yang ada di Sumatera dan Unit Patroli Gajah serta membantu harimau dan orangutan sumatera.

Presbytis melalophos melalophos
Pusat Konservasi Gajah Seblat sudah seperti rumah keduaku. Setiap saat saya mengunjungi tempat itu dan ingin terus kembali lagi, tidak hanya untuk bekerja, kadang juga mendampingi tamu seperti mitra, volunteer, mahasiswa penelitian, film maker dan lain-lain. Selain itu terkadang hanya ingin tinggal disana untuk melepas penat. Pemandangannya sangat bagus menurutku, camp tempat tinggal kami yang terletak diatas bukit dengan dibawah tampak aliran Sungai Seblat dan di halaman belakang berbatasan langsung dengan hutan yang kami pun bisa melihat langsung berbagai jenis satwa liar saat mereka sedang mencari makan. Setiap pagi alarm berbunyi yakni kicauan burung dan suara burung Rangkong serta suara primata bersaut-sautan seperti Simpai, Siamang dan Owa Sumatera yang menandakan hari telah pagi.  Sampai sore hari kami masih bisa mendengarkan suara-suara itu. Suara gajah, kijang, babi hutan dan rusa sambar kadangkalan juga bisa didengar dari camp tempat kami tinggal. 


Menunju lokasi itu juga bukan hal yang mudah. Saya harus naik mobil travel dari kota Bengkulu ke Desa Air Muring yakni kecamatan terdekat dari PKG Seblat, yang ditempuh sekitar 3-4 jam perjalanan melalui jalan buruk lintas pantai barat Sumatera. Jangan pernah membayangkan bahwa jalan lintas provinsi di Pulau Sumatera semulus jalan di Pulau Jawa, yang jelas banyak lubang dan bahkan terputus karena abrasi air laut, juga longsor karena hujan yang membuat antrian panjang kendaraan yang lewat dan terkadang membuat mobil terperosok. Dan kami bukan termasuk orang-orang yang terbiasa dimanjakan oleh mobil dinas dan anggaran perjalanan dinas saat melakukan kegiatan di lapangan. Bertahun-tahun lamanya sudah terbiasa mandiri, tanpa fasilitas dan anggaran kegiatan seperti bagian lainnya, dan itu bukan hambatan untuk bisa bekerja. Sengaja berangkat pagi hari agar sesampainya di desa Air Muring siang hari dan bisa langsung masuk ke PKG Seblat, karena mengejar waktu penyeberangan sungai di sore hari. Dalam perjalanan banyak hal yang terjadi, yakni mobil travel dikejutkan oleh rombongan babi hutan yang muncul dari semak-semak dan tiba-tiba menyeberang jalan raya, kemudian dikejutkan lagi dengan seekor anjing yang berlari menyeberang jalan, tidak hanya sampai disitu seekor ayam pun tiba-tiba terbang dari pinggir jalan dan menabrak kaca mobil. 

Namun sesampainya di Air Muring tidak ada satupun orang atau ojek yang bisa mengantarkan saya ke sebrang Sungai Seblat. Akhirnya sayapun harus menginap semalam di desa itu dan baru menlanjutkan perjalanan esok harinya dan mengejar waktu penyeberangan sungai di pagi hari.  Dari Desa Air Muring menuju PKG Seblat sejauh sekitar 17 km yang ditempuh dalam waktu satu jam melalui jalan koral (berbatu) dan berlubang-lubang.


Pengobatan Gajah Tria di PKG Seblat Bengkulu
Kali ini saya kembali kesana untuk pemeriksaan kesehatan gajah secara berkala. Kegiatan yang biasa dilakukan adalah penimbangan gajah, namun karena timbangan digital untuk gajah sedang rusak dan masih dibawa ke United State untuk perbaikan maka hanya dilakukan body measurement untuk estimasi berat badan gajah. Untuk keperluan ini data yang dibutuhkan adalah tinggi bahu (cm) dan lingkar (keliling) dada (cm). Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus untuk mengetahui perkiraan berat badan gajah. Deworming, yakni pencegahan penyakit parasiter dengan pemberian anthelmintic, kali ini obat cacing yang diberikan adalah Febantel. Pemberian obat cacing dilakukan setiap tiga bulan sekali secara rutin dengan jenis obat divariasi untuk mencegah resistensi. Obat cacing yang biasa digunakan di PKG Seblat adalah Ivermectine, Albendazole, Oxyclosanide, dll semua dalam sediaan per oral. Sedangkan cacing yang sering menginvestasi gajah sumatera adalah golongan Trematoda, terkadang juga ditemukan Nematoda. Koleksi sampel feces dan pemeriksaan feces juga perlu dilakukan untuk mengetahui jenis dan banyaknya endoparasite yang menginvestasi gajah sehingga bisa dilakukan pengobatan yang tepat. Dilakukan juga penilaian body condition index, pemerikaan fisik ini untuk mengetahui apakah gajah tersebut masuk golongan obesitas, gemuk, sedang, kurus dan kekurusan (sangat kurus), sebagai evaluasi kondisi tubuh per tiga bulan. Bila ada yang bermasalah dengan kaki terutama telapak kaki dan kuku dilakukan footcare. Dan bila ada masalah dengan kesehatan maka dilakukan pengobatan. Pengambilan photo masing-masing gajah sebagai data dokumentasi kondisi gajah saat diperiksa. 


Flies Mating at Seblat ECC - Bengkulu
Kegiatan sampingan selain bekerja untuk pemeriksaan seluruh gajah adalah photography. Banyaknya obyek-obyek menarik yang dijumpai selama di hutan membuat saya ingin berjalan-jalan dan memotret. Mengambil photo primata yang setiap sore bergelantungan diatas pohon dibelakang camp untuk mencari makan, ada Macaca fascicularis dan Presbytis melalophos melalophos. Mereka hidup berkelompok dan sering bersuara ribut bila merasa terganggu dan melihat kehadiran orang disekitarnya.  Saya lebih suka memotret dari jarak jauh, yakni dari ruang makan sambil duduk menikmati teh hangat dan makanan di sore hari. Lalu lalang gajah-gajah yang menyeberangi Sungai Seblat juga menarik untuk dipotret. Untuk mengisi waktu luang saya juga sering berkeliling untuk memotret insecta dan burung, memotret binatang kecil dan burung yang lincah bergerak merupakan tantangan tersendiri. Mengkombinasikan antara adventure dan art, terkadang musti berbasah-basah di lumpur untuk mendekati mereka. Di kesempatan yang lain saya ikut bergabung dengan mahout (perawat gajah) saat menggembalakan gajah di hutan, saya juga bisa memotret aktivitas mereka dan pemandangan indah disekitarnya.

Selain itu tinggal di hutan itu juga membuat saya bisa memanfaatkan waktu untuk bereksperimen memasak. Saya menyukai kegiatan ini meskipun saya tidak pandai memasak, namun saya suka berinovasi menciptakan makanan baru sesuai dengan selera saya sendiri. Seperti halnya saat saya sedang camping di dalam hutan ini bersama tim patroli CRU, saya suka memanfaatkan bahan yang ada di sekitar saya, seperti daun puar (seperti daun lengkuas dan batangnya bagian dalam biasanya dimakan oleh orangutan). Saya sering menggunakan daun ini untuk membakar ikan hasil memancing di sungai dalam hutan. Daun ini bila dipakai untuk memasak ikan bisa menggantikan fungsi tomat, karena ada rasa kecutnya pada masakan. Penemuan baruku yang sampai sekarang masih sering kumanfaatkan untuk memasak di hutan. 

Selain itu kegiatanku di bulan ini adalah menginvetarisasi obat-obatan dan bahan-bahan medis yang baru dikirim dari BKSDA Bengkulu. Kemudian menata ulang sesuai dengan penggunaannya. Saya lebih suka mengklasifikasikan obat-obatan sesuai dengan cara pemakaiannya yakni injection, orally atau for external used. Kemudian peralatan medis dan bahan-bahan medis juga memiliki tempat tersendiri.  Selain itu juga klasifikasi sesuai dengan fungsinya, yakni peralatan nekropsi (bedah bangkai), peralatan bedah, peralatan laboratorium (untuk koleksi specimen), peralatan untuk pemeriksaan gajah berkala, peralatan rescue gajah dan lain-lain, semua diletakkan dalam tempat tersendiri sehingga saat memerlukannya bisa diambil dengan mudah. Dan khusus untuk obat-obatan guna keperluan pembiusan akan saya simpan tersendiri sehingga orang lain tidak memiliki akses dengan mudah untuk menggunakannya, selain itu setiap pemakaian obat bius atas sepengetahuan dan dibawah kontrol dokter hewan, tidak bisa hanya sebatas perintah atasan. Meskipun pada awalnya tindakan saya ini ditentang oleh beberapa orang namun saya tidak peduli, karena mereka menjadi tidak bebas lagi menggunakan obat bius untuk menangkap satwa liar dengan mengatasnamakan penanggulangan konflik dengan membanting senjata bius di depan saya dan berusaha membeli obat bius sendiri tanpa resep dokter di pasar gelap.  Alasan saya cukup jelas karena dalam aturan hukum sudah jelas, serta obat bius yang disalahgunakan oleh orang-orang non Vet telah menyebabkan kematian pada beberapa satwa liar saat pembiusan karena overdosis dan tanpa termonitoring dengan baik. 

Bekerja di tempat itu seperti berwisata alam bagiku, karena saya menyukai tempat itu dengan hutan masih asri dan satwa liar mudah dijumpai serta pemandangan sekitar yang indah. Bisa bermain dengan gajah, bisa memancing di sungai atau di rawa-rawa, atau duduk santai di teras camp membaca buku atau menikmati suara beraneka macam satwa liar di hutan yang membuat hati damai. Bila berada disana tidak seperti sedang bekerja tetapi serasa berlibur saja, jauh dari hiruk-pikuk kota, jauh dari godaan untuk berhura-hura di mall dan tempat hiburan lainnya, berinteraksi dengan penduduk lokal yang memiliki bahasa daerah berbeda dan saya pun tidak bisa mengerti saat mereka berbicara, membuat ingin belajar banyak tentang budaya dan bahasa lokal yang banyak variasinya dan itu mengagumkan. 


with Elephant Nelson
Dan yang lebih membahagiakan lagi, kami bekerja bisa langsung berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan satwa liar secara langsung, kesempatan yang tidak dimiliki oleh banyak orang tentunya, dan bukan hanya sekedar bekerja di balik meja, di ruang workshop, membuat proyek abal-abal dan diatas kertas semata untuk menghabiskan anggaran negara dengan mengatasnamakan kegiatan konservasi. Kami bekerja juga tidak memerlukan seragam yang bersih, harum dan licin terkadang cukup dengan baju kumal, karena kinerja seseorang tidak dapat dinilai dari pembungkus badannya, pangkat dan golongannya serta jabatannya juga besarnya anggaran yang didapatkannya, tapi berdasarkan otak, kemauan serta kemampuannya untuk menunjang kinerja. 

1 komentar:

  1. halo mbak erni, salam kenal...
    baca tulisannya jadi bikin ngiri :)
    lagi cari info tentang PLG seblat eh nemu di blog ini, mohon info nya mbak, apakah wisatawan bisa menginap di PLG seblat? terima kasih...

    BalasHapus