Minggu, 17 Februari 2013

For seven days stayed in the jungle with elephants and CRU Team

Tujuh hari berada di hutan bersama Tim CRU dan gajah PLG Seblat untuk melakukan patroli, Investigasi, Inventarisasi dan Identifikasi Satwa Liar serta sambil refreshing dengan camping, experimental cooking, fishing dan tak lupa menyalurkan hobby photography tentunya. 

CRU Team at Encroachmnet area - HPT Lebong Kandis

The First Day, Tuesday on February 5th. 2013
All my bags I pack I'm ready to go.....  Selain mengemas peralatan pribadi seperti baju lapangan, sleeping bag, headlamp, dan lainnya dalam ranselku, tak lupa kami membawa GPS lengkap dengan peta kawasan yang telah disetting dalam GPS, worksheet, kamera, dan lain-lain serta peralatan kebutuhan tim patroli, seperti tenda, matras, peralatan memasak, logistik untuk tujuh hari dan masih banyak lagi lainnya.  Setiap perjalanan ke alam bebas, saya sering membawa dua ransel, satu ransel besar untuk dibawa dipunggung dan satu ransel kecil dibawa didepan untuk tempat kamera, mobile phone, botol minum, headlamp dan peralatan penting lainnya yang digunakan sepanjang perjalanan.

Keberangkatan Patroli CRU kali ini dari Camp PLG Seblat memang terlambat dari biasanya, yakni pukul 13.40 WIB.  Karena adanya keterbatasan waktu kesempatan belanja logistik untuk dibawa ke hutan baru bisa dilakukan pagi harinya, tak seperti biasanya bila berangkat pagi hari. Selain itu juga banyak personil  CRU yang jatuh sakit sepulang mitigasi konflik harimau di lokasi lainnya membuat keberangkatan patroli tertunda.   Langit tampak mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, tapi itu tidak menyurutkan niat kami untuk berangkat patroli. Patroli rutin ini biasanya dilakukan selama 7 (tujuh) hari dan sebulan dua kali dengan cara flying camp menuju lokasi-lokasi yang telah menjadi target untuk dicari datanya. Target ditentukan berdasarkan informasi yang  diperoleh dari intelejen kami. Dalam patroli juga menyertakan gajah jinak, pada kesempatan ini kami membawa gajah Fatma, Tria, Darmi, Roby dan Ninda. Dana patroli diperoleh dari pihak ketiga (mitra), sebagai penyandang dana tunggal adalah International Elephant Foundation (IEF) yang telah membantu patroli CRU di PLG Seblat sejak tahun 2004. Tim CRU anggotanya terdiri dari Polisi Kehutanan, Mahout (Pawang Gajah) dan masyarakat yang tinggal di desa sekitar kawasan yang terseleksi.

Elephant Patrol - CRU Team - Seblat ECC

Pada kesempatan ini saya mengikuti Tim Patroli CRU karena ada beberapa target penting dalam patroli yang akan kami investigasi.  Berangkat bersama Polisi Kehutanan, dan lima orang mahout (pawang gajah) serta seorang petugas dari Resort KSDA Enggano yang sedang melakukan studi banding tentang patroli hutan di TWA Seblat. Saya perempuan sendiri dalam Tim ini, tapi itu bukanlah masalah karena selama ini juga sudah terbiasa bekerja dengan laki-laki dan menjadi perempuan sendiri dalam tim di banyak tempat. Sebenarnya masih ada beberapa orang yang ingin kami sertakan dalam patroli ini tetapi karena waktunya bersamaan dengan adanya kepentingan lain dan Human-Tiger Conflict di kecamatan lain, sehingga kami berbagi tugas, ada yang patroli kawasan dan ada yang bertugas untuk mitigasi konflik harimau, karena semua sama-sama penting untuk dilakukan.

Untuk camp pertama tujuan kami adalah Air Cawang.  Dalam perjalanan yang sudah tidak asing lagi bagiku karena sudah terbiasa melewati jalur trekking tersebut untuk mengobati gajah liar maupun gajah jinak, kami harus menyeberangi Sungai Seblat yang sedang banjir, untung ada gajah yang bisa dengan mudah membantu untuk menyeberangi sungai besar itu. Sebelum berangkat tas dan perlengkapan kami sudah dilapisi oleh plastik (karena kami memang tidak memiliki dry bag), sehingga tak perlu khawatir baju dan peralatan basah karena melewati sungai yang dalam. Dalam perjalanan kami juga menemukan bekas pondok pemburu burung dan sampah baterei yang ditinggal begitu saja dalam hutan.  Tidak membuang sampah di sembarang tempat memang belum menjadi budaya masyarakat, dimana-mana sering dijumpai orang membuang sampah sesukanya, kenyataan seperti itu sungguh mengecewakan. 

Elephant Roby and Ranger
Selama perjalanan kami diguyur hujan, yang membuat baju basah kuyup.  Tetapi itu tidak membuat gajah-gajah mempercepat jalannya, masih sering berhenti untuk mencari makan sepanjang jalan yang dilalui.  Hutan kearah camp Air Cawang memang terdapat makanan gajah yang melimpah.  Bisa dimaklumi jika gajah sering berhenti untuk makan, selain juga karena pencernaannya yang kurang sempurna, hanya 50% makanan yang dimakan diserap tubuh dan sisanya terbuang lagi bersama feces.  Dan tubuhnya yang besar juga membutuhkan banyak makanan, yakni sekitar 7-10% berat badannya, dan rata-rata berat badannya sekitar 2 ton.  Untuk itu sekitar 18 jam sehari waktu yang dibutuhkannya untuk mencari makanan untuk memenuhi kebutuhannya. Lokasi tersebut juga merupakan daerah jelajah bagi gajah liar, mungkin karena variasi pakan alami gajah yang melimpah disana.  Seringkali kami jumpai kelompok gajah liar baik secara langsung maupun melalui jejaknya di lokasi tersebut.



Sampai di camp Air Cawang sudah sore, kami langsung bergotong-royong mendirikan tenda yang terbuat dari terpal, mencari kayu bakar untuk membuat perapian / api unggun dan mulai memasak. Semua anggota Tim CRU sudah cekatan untuk urusan ini, karena mereka telah terlatih dan terbiasa selama lebih dari 8 tahun melakukan patroli seperti ini.  Hari itu kami memasak sambal goreng tempe dan telur serta nasi liwet.  Makanan apapun akan terasa nikmat bila dimakan di dalam hutan dengan suasana alami dan penuh kebersamaan.

Setelah makan malam kami berdiskusi (ngobrol) bersama di dalam tenda karena belum ada keinginan untuk beristirahat dan tidur cepat.  Membahas banyak hal, yang berhubungan dengan konservasi tentunya, topik yang menarik untuk dibicarakan seperti ancaman terhadap kawasan hutan habitat gajah, ancaman terhadap gajah itu sendiri serta segala kebijakan pemerintah yang mengatur tentang konservasi dan issue-issue yang berkembang saat ini sehubungan dengan konservasi.  Dan topik yang tentunya menarik adalah yang  berhubungan dengan kawasan hutan di PLG Seblat beserta isinya.  Saya beruntung masih memiliki kawan kerja yang berwawasan luas/ tidak berpandangan sempit serta bersikap kritis dalam menyikapi segala permasalahan yang terjadi, dan yang lebih membahagiakan lagi mereka masih punya kesadaran konservasi yang tinggi, ini yang patut saya acungi jempol.  Bahagia rasanya masih punya kawan kerja di lapangan yang sepemikiran dan pro konservasi disaat saya saat ini kesulitan mencari orang yang bisa dipercaya dalam berpikir, bersikap dan bertindak sebagai seorang yang benar-benar peduli dengan konservasi secara nyata.  Selama ini yang saya temui yang hanya pintar berbicara tetapi tidak ada tindakannya yang nyata (talk only no action)

Air Cawang - Padang Alang Alang
Malam makin larut, akhirnya mengantuk juga. Saya mengambil posisi tidur ditengah.  Biasanya tempat favorit saya mengampil lokasi dipinggir tenda,  tetapi bagian tersebut sudah diincar kawan-kawan, ternyata saya malah beruntung karena kawan yang tidur di bagian pinggir basah kuyup.  Tak terdengar lagi suara binatang malam, yang terdengar suara hujan deras yang tak kunjung reda. Air Cawang adalah salah satu lokasi camping favorit saya selain Senaba Alang Alang.  Disini, tempat camp kami dikelilingi oleh sungai yang jernih dan dangkal, dasarnya bebatuan.  Bisa untuk memancing dan kadang pada malam hari cocok untuk mencari udang sungai, biasanya terlihat diatas batu di dasar sungai. Selain hutan dengan pohon-pohon besar, juga terdapat padang alang-alang meskipun tak seluas yang ada di Senaba Alang Alang.  Alang-Alang tersebut tumbuh di lokasi bekas explorasi bataubara PT. Inmas Abadi beberapa tahun yang lalu, yang telah ditutup.  Pemandangannya lumayan indah.  Juga merupakan feeding site bagi gajah liar, banyak makanan gajah disini, mungkin malam ini gajah kami Fatma, Tria, Darmi, Roby dan Ninda sedang menikmati makan malamnya yang melimpah sambil berhujan-hujanan, hal yang paling disukai oleh gajah. Lokasi ini juga merupakan home range harimau sumatera.  Tak jauh dari camp, merupakan tempat yang ideal untuk bird watching khususnya burung hornbill, ada 6 (enam) jenis burung horbill yang telah teridentifikasi di hutan TWA Seblat dan sekitarnya.  Disini juga merupakan habitat bunga Rafflesia sp, yang merupakan icon Bengkulu. Namun sayangnya, kawasan hutan yang masih bagus ini dan merupakan habitat dari flora fauna langka di Bengkulu telah dialihfungsikan oleh Kementerian Kehutanan menjadi HPK atau Hutan Produksi yang bisa dikonversi dan telah diincar oleh beberapa perusahaan tambang batubara untuk dieksplorasi.  Tempat ini juga sering dipakai dan menjadi tempat favorit  wisatawan asing untuk menginap dengan mengambil paket 2-3 hari wisata trekking gajah dan camping, selain Senaba Alang Alang tentunya yang lebih sering dipakai untuk ecotourism.  Di tempat ini juga masih terjangkau signal telkomsel, jadi kami masih bisa berkomunikasi melalui mobile phone dan masih bisa menggunakan internet.  Entah sudah berapa kali saya camping disini, tidak hanya saat berpatroli bersama CRU dari tahun 2004 tetapi juga membawa teman-teman saya dari negara lain untuk camping disini menikmati keindahan hutan hujan tropis sumatera dan wild animal watching di PLG Seblat.


The Second Day, Wednesday on February 6th. 2013
Memasak air secara
tradisional di hutan
Illegal Logging di kawasan HPK
Pukul 05.00 WIB seorang teman sudah bangun dan membuat api unggun untuk memasak air.  Pagi-pagi kebiasaan kawan laki-laki adalah minum kopi dan teh.  Hari ini kami akan berpatroli dari Air Cawang menuju Air Tenang (PAL 18), melalui jalan setapak baru yang belum pernah kulewati sebelumnya, menelusuri kawasan HPK, sepanjang jalan kami menemukan bekas aktivitas illegal logging yang telah ditebang maupun yang telah dipersiapkan untuk ditebang.  Kami juga menemukan bekas pondok para pelaku illegal logging (pembalak liar).  Pada saat akan memotret bekas-bekas illegal logging, dua orang kawan kami disengat lebah (tawon), mereka menunggu kami melintas tempat sarang tersebut dan ingin menyaksikan kami jadi korban berikutnya.  Untunglah seorang teman memberikan informasi bahwa ada sarang lebah di kayu melintang yang akan kami lewati, akhirnya kamipun luput dari serangan lebah dan jebakan kawan-kawan yang usil dan memilih jalan memutar agar terhindar dari sengatan lebah.

Sungai Air Tenang
Batas kawasan TWA Seblat dan HPK
Baru pertama kali saya camping di Air Tenang PAL 18, ternyata tempatnya lumayan menarik.  Lokasi tenda dikelilingi oleh sungai jernih dengan dasar bebatuan yang besar-besar dan dikelilingi oleh hutan lebat, sungai disini lebih menarik dibanding sungai di Air Cawang. Merupakan lokasi yang ideal untuk mancing dan camping.  Sungai Air Tenang ini membelah kawasan hutan TWA Seblat dan HPK yakni dulunya adalah kawasan PLG Seblat yang telah dialihfungsikan.  Suatu saat saya ingin membawa turis dan kawan-kawan saya untuk camping disini. Kami segera mendirikan tenda dan membuat api unggun untuk memasak, dan beberapa kawan memancing di sungai untuk makan malam kami.  Saya menyebut mereka Tim Berang-Berang yang punya keahlian dalam mencari ikan di sungai :)  Malam itu langit cerah, tidak ada hujan. Disekitar camp kami banyak tanaman hias yang menarik, dan disana saya juga telah menanam bunga itu di depan lokasi camping, sebagai tanda bahwa saya pernah menginap disana untuk pertama kalinya. Di tempat ini saya juga menemukan cacing yang bentuknya unik dan belum pernah kulihat sebelumnya, mirip seperti kawat, pergerakannya kaku seperti kawat.  Entah cacing apa namanya.  


Cacing yang unik di Air Tenang PAL 18


The Third Day, Thursday on February 7th. 2013
Perambahan Air Kuro
yang terorganisir
di HPT Lebong Kandis
Dari camp Air Tenang kami berpatroli kearah perbatasan kawasan TWA Seblat dan Perkebunan Sawit PT. Alno Agro Utama group dan areal perambahan di HPT Lebong Kandis. Dalam perjalanan menemukan jejak harimau sumatera dewasa yang sepertinya baru saja lewat, mungkin saat gajah Roby berteriak pagi tadi, harimau tersebut lewat, tak jauh dari tenda kami. Camp di Air Kuro, terdapat sungai kecil disana, airnya cukup jernih dan banyak bebatuan.  Pemandangan disana tidak menarik, karena depan tenda kami bekas hutan yang telah dibabat habis dan dirambah meski masih ada beberapa pohon besar  saja yang siap tebang, bagian belakang kami ada sisa sedikit hutan dan tak jauh dari situ ada perkebunan sawit skala besar milik perusahaan modal asing (PMA).  Disamping lokasi kami tampak areal perambahan dan pondok-pondok perambah Air Kuro yang berlokasi di Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis.  Ada sekitar lebih dari 400 perambah disana yang sudah mulai membabat hutan sejak akhir tahun 2004.  Perambahan ini terorganisir dan dibiarkan tanpa ada tindakan tegas dari pihak berwenang serta difasilitasi oleh salah satu kepala desa di sekitar kawasan PLG Seblat, bahkan beberapa oknum saat ini menyarankan mereka (perambah) untuk membuka hutan lebih luas lagi, per orang seluas dua hektar, itu yang mereka ceritakan pada kami. Ya beginilah kehidupan, selalu ada hitam ada putih, disaat kami bertahun-tahun dengan segala keterbatasan berusaha menyelamatkan hutan ini beserta isinya, dipihak lain para oknum berseragam melakukan tindakan yang mendukung pengerusakan hutan ini.

Pada tahun 2004 saya pernah berpatroli disini bersama CRU dan kondisinya masih berhutan, dan tidak ada perambahan.  Hutan tersebut merupakan jalur jelajah dan hutan koridor bagi satwa liar dari kawasan PLG Seblat menuju Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan sebaliknya.  Sekarang yang tampak sejauh mata memandang, tidak ada lagi hutan, yang ada hanyalah pondok-pondok perambah dan kebunnya.  Maka tidak heran lagi bila daerah ini rawan konflik dengan satwa liar, yakni kelompok gajah liar sering merusak kebun dan pondok mereka serta perkebunan sawit perusahaan, karena memang dulunya hutan tersebut jalur jelajah gajah liar untuk mencari makan.  Dan gajah selalu kembali melewati jalur jelajahnya semula meskipun sudah berubah fungsi, tetapi manusia yang  katanya makhluk paling mulia dan berakal seringkali mengabaikan perilaku alami satwa liar tersebut dalam membuat tata ruang untuk pengembangan pembangunan dibidang ekonomi dengan AMDAL yang tidak jelas.  Dalam kasus human-elephant conflict tidak hanya manusia yang dirugikan tetapi kadangkala gajah dibunuh dengan diracun di daerah konflik.  Pada bulan Februari s/d Maret 2011 kami telah menemukan 7 ekor bangkai gajah liar yang diduga mati karena keracunan di sepanjang jalur jelajahnya tersebut, dan saya menduga lebih dari itu.  Dan pada akhirnya tanggal 7 April 2011 kami menemukan seekor bayi gajah bernama Bona yang telah kehilangan induk dan kelompoknya, sendirian di perkebunan sawit sebuah perusahaan dalam usianya yang masih bayi, dia sudah harus bertahan hidup sendirian.  Dan ini bukan untuk pertama kalinya Tim CRU me-rescue (menyelamatkan) bayi gajah di Bengkulu.  Alangkah kejamnya kehidupan ini.  Jadi muncul pertanyaan saat itu, apakah anggota keluarganya yang telah mati tersebut ?  

Menurut informasi warga yang tinggal di lokasi perambahan tersebut bahwa gajah liar sering masuk dan mendatangi pondok mereka hampir tiap 2 minggu sekali.  Begitu juga yang dikatakan oleh petugas perkebunan yang mengawasi gajah liar di perbatasan kawasan, hampir setiap 2 minggu sekali kelompok gajah liar melewati daerah disekitar sana.  Memang, disekitar tenda kami juga menemukan bekas gajah liar melintas.  Sekarang saya mulai memahami jalur jelajah yang selalu dilewati oleh gajah liar di sekitar sana, yakni TWA Seblat - HPK - Perambahan Air Kuro - Perkebunan Sawit PT. Alno group - Jalan Poros dalam kawasan TWA Seblat yang dipakai oleh PT. Alno dan perambah Air Kuro - dan terus menuju ke kawasan hutan di Kabupaten Muko Muko dan masuk kembali ke TWA Seblat dan begitu seterusnya, karena jalur jelajah gajah selalu tetap.  Dan daerah-daerah yang dilintasi tersebut bila ada aktivitas manusia maka akan terus-menerus terjadi konflik dengan gajah.  Kelompok gajah melakukan perjalanan seperti itu dengan modal navigasi dan daya ingat yang cukup baik dan dalam setiap kelompok dipimpin oleh seekor gajah betina yang dianggap kelompoknya mempunyai kemampuan lebih dibanding lainnya.  Mereka melakukan menjelajah tidak hanya untuk mencari makanan di tempat-tempat yang telah mereka petakan dalam memory-nya, tetapi juga untuk mencari sumber air dan mineral terutama garam-garaman.  Kebetulan tim patroli CRU juga telah menemukan sumber air yang diduga banyak mengandung mineral disekitar sana, karena berbagai jenis satwa liar tidak hanya mammalia besar, primata bahkan burung-burung sering mendatangi tempat tersebut.  Tempat itu kami rahasiakan :)

Perbatasan Hutan TWA Seblat dengan HPT Lebong Kandis
Dalam perjalanan kami juga menemukan jaring yang dibentang melintang di jalan setapak untuk berburu burung yang dipasang oleh pemburu.  Akhirnya kami bongkar dan membakarnya agar tidak digunakan lagi.  Tampak ada seekor burung yang telah lama terperangkap dalam jaring tersebut dan tidak bisa melepaskan diri hingga akhirnya mati.  Pukul 16.00 WIB terdengar suara chainsaw, setelah melihat posisi koordinat tenda kami dan melihat di peta yang ada dalam GPS, lokasi suara tersebut berada dalam kawasan.  Daerah perbatasan dengan perkebunan dan perambahan itu memang rawan sebagai jalan masuknya para pelaku illegal dalam kawasan, tidak hanya logging tetapi juga perburuan dan survey batubara illegal karena ada akses jalan besar menuju kesini.  Kawasan hutan ini memang telah diminati oleh banyak perusahaan batubara, itu berdasarkan pengakuan salah seorang pengusaha batubara dari India,  mereka tersus berusaha untuk mendapatkan perijinan agar bisa explorasi batubara dalam hutan tersebut.  Beberapa tahun yang lalu kami, Tim CRU juga pernah melakukan pengintaian dan penangkapan pelaku survey batubara illegal yang melakukan pengeboran di dalam kawasan PLG Seblat, saya beserta 5 (lima) orang polisi kehutanan menggerebek dan menangkap mereka yang sedang melakukan aktivitas di dalam kawasan tanpa ijin.  Semua peralatan kami sita dan pelaku kami serahkan pada pihak berwajib untuk ditindaklanjuti.  Sangat menyenangkan punya pengalaman beragam, tidak hanya dibidang medis saja tetapi juga penegakan hukum, meskipun sangat melelahkan harus berjalan jauh tetapi cukup menyenangkan, seperti serasa di film-film action saat menangkap pelaku di dalam hutan, pelaku cukup banyak dan kami hanya 7 orang, tetapi semuanya bersenjata, dan semua berjalan baik seperti rencana. 

Sore itu sampai pagi hujan kembali.  Suara chainsaw tiba-tiba berhenti saat hujan makin lebat dan tak terdengar lagi.  Suara sungai kecil disamping tenda kami juga terasa deras airnya, mungkin banjir. Saya memilih untuk tetap berada di dalam tenda saat hujan deras.  Kondisi saya hari itu kurang sehat, siang harinya saat patroli sangat panas karena melewati daerah perambahan yang tak berhutan lagi, tiba-tiba kepala saya pusing dan seperti mau vomit (muntah) dan tidak ada selera untuk makan, saya hanya minum susu coklat hangat saja hari itu.  Makin malam semakin terasa sakit, setelah membantu memasak sebentar akhirnya saya minum obat dan langsung tidur.  Saat terbangun sudah sehat kembali.  Malam itu terbangun saat ada perubahan posisi tidur karena tenda kami tidak cukup untuk 8 orang sehingga mengatur posisi kembali agar kita semua mendapat tempat untuk tidur.  Terbangun kembali karena salah satu kawan tempat tidurnya (matras) basah karena berada di genangan air.  Jadi ingat yang terjadi sebelumnya, sepertinya pamali bagi orang yang memilih lokasi untuk tidur lebih dulu, karena akan sial.  Sebelumnya kawan kami yang memilih tempat tidur lebih dulu juga akhirnya pindah tidur karena basah kuyup, juga diserang agas dan malam ini seorang kawan lainnya juga basah matrasnya karena memilih tempat tidur lebih dulu.  Dan kami yang tidak memilih tempat bisa tidur lebih nyaman :)


The Fourth Day, Friday on February 8th. 2013
Leeches on my foot
Saya beserta 6 orang lainnya berencana patroli dengan berjalan kaki hari itu menyusuri jalan yang biasa digunakan oleh para pelaku aktivitas illegal di dalam kawasan, baik untuk survey tambang batubara tanpa ijin, illegal logging dan perburuan liar, sedangkan yang dua orang stand by di tenda. Kami menuju pondok perambah di HPT Lebong Kandis untuk berbicara dengan mereka, kemudian melanjutkan perjalanan ke arah kawasan PLG Seblat dan HPK dengan memeriksa sekitar jalan tersebut, mulai pukul 09.21 WIB sampai dengan sekitar pukul 15.00 WIB, kami beristirahat di Air Tenang. Sepanjang perjalanan banyak pacet menggigit kakiku, ada sekitar 30 ekor pacet yang kubiarkan menggigit kedua kakiku hingga berdarah di beberapa tempat. Dulunya saya sangat jijik dengan pacet bahkan saat digigit tidak berani membuangnya sendiri dan minta bantuan kawan untuk mengambilnya, tetapi karena pernah melakukan perjalanan di hutan di Provinsi Jambi di sekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) saat mengobati orangutan dan mencari orangutan, ternyata pacet yang menggigitku sangat banyak dari kaki hingga kepala dan malu untuk minta tolong orang untuk membuangnya, akhirnya saya ambil dan buang sendiri, lama-lama akhirnya tidak jijik lagi. Terapi  psikologi yang cukup manjur :)

Sunbear's footprint
Selama trekking banyak menemukan jejak, feces, bekas tempat tidur dan tempat melintas gajah liar, selain itu juga menemukan jejak beruang madu dan bekas cakaran di pohon serta jejak landak dan feces musang.  Dan sepanjang perjalanan juga diiringi life music suara siamang yang bersaut-sautan, suara burung kuaw dan suara burung rangkong.  Saya sangat menyukai suara burung rangkong meskipun kesannya menyeramkan, mirip suara orang tertawa terbahak-bahak 'hwahahaha...' di dalam hutan yang sunyi. Mendekati lokasi target banyak resam, dan saya paling benci berjalan melewati resam (tanaman pakis) karena batangnya yang menjalar seringkali membuat kaki tersangkut dan pandangan mata tidak bebas memeriksa sekeliling, karena tinggi resam sekitar 2 meteran. 

Malam itu kami tetap menginap di tempat yang sama ditemani hujan.  Sorenya kami kedatangan tamu, yakni petugas perkebunan yang menjaga gangguan gajah liar.  Saat saya bertanya tentang konflik gajah dan harimau, dia mengatakan bahwa terakhir gajah melewati lokasi ini dua hari yang lalu sebanyak 6 ekor dan memakan tanaman karet perambah.  Untuk harimau belum pernah ada konflik disekitar sana, tetapi saya berpikiran lain atau mungkin harimau yang beberapa tahun yang lalu sering melintas disana telah terbunuh oleh pemburu  liar sehingga tidak tampak harimau lagi disekitar sana.  Sebelum hutan dibuka oleh perambah, kami juga masih menemukan jejak-jejak harimau selain gajah dan beruang madu disana.


The Fifth Day, Saturday on February 9th. 2013
Pagi itu sebelum melanjutkan perjalanan patroli di depan tenda kami ada pemandangan yang menarik, keluarga siamang, seekor induk jantan dan betina beserta dua anaknya sedang makan di pohon depan kami. Tertarik saya untuk mendekati dan memotretnya. Primata itu salah satu daya tarik yang membuat saya hijrah ke Sumatera selain gajah, orangutan dan harimau dan meninggalkan satwa liar di Jawa.

Memasak Sayuran Pakis
dengan cara tradisional
selama di hutan
Berangkat dari camp Air Kuro pukul 09.00 WIB menuju camp Air Tenang.  Sepanjang perjalanan terdengar  lagi suara siamang, burung Kuaw dan burung Rangkong, menunjukan bahwa saya benar-benar sedang berada dalam hutan belantara.  Di lokasi camping yang ini kami bisa memanfaatkan apa saja yang ada di hutan untuk survival.  Tersedia sayuran di alam, ada pakis dan genjer yang bisa dimasak.  Juga banyak lokasi untuk memancing di sungai.  Camp Air Tenang yang ini terletak dipinggir sungai besar tetapi kurang menarik karena tidak semua dasar sungai berbatu tetapi lumpur dan pasir,sehingga air sungai tampak tidak jernih.  

Sore harinya, sekitar pukul 16.33 saya sudah bisa bersantai dan melanjutkan menulis diary 'catatan perjalanan'.  Malam itu kembali kami tidur ditemani oleh hujan.


The Sixth Day, Sunday on February 10th. 2013
Bees - Lebah Hitam
Pagi harinya kami mulai tak nyaman dengan adanya pasukan lebah yang mulai menuju lokasi tenda kami.  Dari kejauhan memang tampak sarang-sarang lebah di pohon yang tinggi, jauh dari camp kami.  Semakin lama lebah tersebut semakin banyak disekitar kami.  Di pohon besar dekat tenda kami juga tampak ada sarang lebah hitam yang sebelumnya tidak kami ketahui.  Lebah hitam sengatannya lebih menyakitkan dibanding lebah madu, meski ukuran tubuhnya jauh lebih kecil.  Lebah tidak hanya hinggap dimakanan saja tetapi juga didalam tenda dan hinggap di badan kami. Untuk mengamankan badanku dari sengatan lebah saya memakai sarung hingga muka saja yang terlihat.  Saya sangat menghindari sengatan lebah, karena saya sangat alergi dengan lebah, apapun jenisnya.  Bila disengat lebah, tidak hanya bengkak dan gatal saja, tetapi berefek lebih serius dibanding yang dialami orang lain.  Sebelumnya saya sudah punya pengalaman disengat lebah madu di depan camp PLG Seblat saat sarangnya dirusak oleh burung elang, dan akhirnya lebah menyengat saya saat melewati lokasi sarang tersebut dan kawan-kawan lainnya berhasil kabur kearah sungai untuk menyelamatkan diri.  Padahal tidak banyak sengatan, hanya sekitar 17 saja.  Tapi apa yang terjadi, saya langsung terjatuh dan tak bertenaga lagi, kesulitan bernafas dan jantung berdetak kencang seperti minum obat overdosis dan keracunan obat saja. Diobati dengan obat-obatan kimiawi tidak membuat kondisi saya lebih baik, baru diberi ramuan tanaman yang berasal dari hutan baru saya bisa menggerakan jari-jari tangan, kaki dan bisa duduk.  Dan setelah itu saya juga pernah disengat seekor lebah tanah di dalam hutan yang membuat saya demam tinggi dan terkapar.  Itu sebabnya kenapa saya sangat takut dengan sengatan lebah.  

Sebelumnya kami telah mencoba mengatasi Human-Bees Conflict (serangan lebah) di tenda kami dengan pengasapan, berharap lebah-lebah tersebut akan pergi, ternyata upaya mitigasi konflik tersebut juga kurang berhasil. Akhirnya kami mengalah dan memutuskan untuk pindah lokasi camping siang itu.

Sunset - Air Seblat / Seblat River


Makanan selama di hutan
yang berasal dari hutan
Dari Air Tenang pindah lokasi menuju pinggir Sungai Seblat yang  juga merupakan jalan keluar masuknya aktifitas illegal  logging di dalam kawasan dan agar kami bisa patroli untuk mengawasi pengeluaran kayu melalui Sungai Seblat. Saya belum pernah camping di lokasi ini sebelumnya.  Pemandangannya cukup indah, tenda kami langsung menghadap Sungai Seblat dan menghadap kearah matahari terbenam (sunset).  Sore hari, langit sungguh indah, warna air sungai dan langit berubah menjadi merah-orange pengaruh sinar matahari yang terbenam.  Sore itu kami bersantai dipinggir sungai sambil minum kopi dan teh, kawan lainnya memancing di dekat kami, sekedar untuk menghilangkan penat dan rasa capek setelah patroli hari itu. Makan malam kami sangat istimewa, semua berasal dari alam, ikan hasil memancing dan sayuran genjer hasil panen dari kebun di hutan. Semua terasa nikmat, makan seadanya di tempat yang indah dengan penuh rasa kebersamaan.


The Seventh Day, Monday on February 11th. 2013
Esok harinya kami berpatroli menyusuri Sungai Seblat menuju camp PLG Seblat.  Tak ada pengeluaran kayu hasil illegal logging yang kami temui.  Tetapi setelah patroli selesai baru nampak pelaku illegal logging menghanyutkan kayunya di Sungai Seblat.  Mereka menunggu waktu yang tepat dan aman dari petugas.

Dan selesai patroli hutan, saya secara pribadi langsung membuat meeting dengan PT. Agricinal dan Elephant Care Community untuk mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk bersama-sama membuat kegiatan yang bermanfaat bagi konservasi yang dilakukan di luar kawasan konservasi, karena bila didalam kawasan konservasi urusan birokrasinya sangat ribet meskipun kegiatan yang dilakukan sangat mendukung kegiatan konservasi.  Dalam bekerja untuk konservasi memang dibutuhkan ide-ide kreatif jika ingin berkembang.  Dan saya sangat bersyukur punya banyak kawan yang seide, sepemikiran dan selalu antusias  untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak dan lingkungan secara nyata dan bukan sebatas wacana dan konsep-konsep belaka tanpa ada realitanya atau direalisasikan tetapi tidak tepat sasaran dan tanpa target yang jelas.

Sungai Seblat
Saat kembali ke camp PLG Seblat hari sudah gelap, malam itu Sungai Seblat sedang banjir, bahkan koral dipinggir sungaipun tak nampak lagi.  Kawan saya bilang, bahwa masih memungkinkan untuk menyebrang dengan perahu dayung.  Saat kawan saya sedang mencari dayung, saya memegangi perahu di pinggir sungai agar tidak hanyut, terasa sekali bahwa arus sungai sangat deras karena saya harus memegangi ujung perahu dengan kuat. Agak merasa cemas saat lampu senter saya menangkap gelondongan kayu  ukuran besar hanyut di sungai. Beberapa pertanyaan muncul dibenakku, apakah nanti saya aman menyeberang? Apakah bila kami hanyut dan tenggelam ada orang yang menolong? Sungai sedang banjir tinggi, hujan gerimis dan tak satupun orang ada didekat sungai itu. Bila perahu kami tertabrak kayu sebesar itu pasti terbalik.  Kemudian kawan saya muncul kembali dengan membawa dua dayung.  Saya cek sungai dengan senter dengan keterbatasan jangkauan jarak pandang, sepertinya tidak tampak ada gelondongan kayu lewat, akhirnya kami menyeberang, memang hanyut terbawa arus juga tetapi tidak jauh.  Kami mendarat tepat di depan gajah Natasya yang saat itu ada di dekat sungai.  Melalui pinggir sungai kami berusaha mendayung perahu maju kedepan lagi ke tempat biasa kami parkir perahu, ternyata arus sungai sangat deras, kami tidak menyadari bahwa sungai sedang banjir tinggi, perahu kami tidak bergerak maju, bahkan hampir berbalik arah hanyut mengikuti arus, kami telah mencoba berulang kali tetapi tetap tidak berhasil, sampai terasa kehabisan tenaga.  Akhirnya diputuskan perahu kami ikat di lokasi tersebut dan kami agak jauh berjalan menuju camp PLG Seblat.  

Hidup di dalam hutan memang musti banyak ketrampilan dan mandiri untuk menyiasati kondisi lingkungan dimana kita tinggal.  Serta bekerja keras dan tidak mudah menyerah dengan kerasnya tantangan di alam. Sejak pertama kali datang ke tempat ini saya sudah jatuh cinta dengan tempat ini, karena semua hobby saya bisa tersalurkan, mendayung perahu untuk menyeberangi sungai, trekking di hutan, dan bisa dekat dengan satwa liar di habitatnya memang merupakan cita-cita saya sejak dulu, serta bisa mendokumentasikan tempat-tempat yang indah. Kehidupan seperti itu sayang sekali kalau dilewatkan dan sayang bila tidak dinikmati.  Because.....Life is an adventure.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar