Senin, 13 Juni 2016

Mengisi waktu menjelajahi hutan konservasi TWA Seblat


Ada empat ekor gajah di Pusat Konservasi Gajah Seblat yang menjadi fokus saya untuk disembuhkan, dan sekarang kondisi mereka sudah tidak perlu dikhawatirkan, berangsur-angsur satu persatu sudah membaik setelah pengobatan dan perlakuan khusus, sehingga tak banyak aktivitas yang bisa kulakukan kecuali bekerja menyelesaikan laporan dan membuat beberapa rencana kerja, dan semua dikerjakan di depan komputer yang hanya bisa dilakukan saat listrik dari genset dan solar panel dinyalakan. Tentu membuatku bosan dan tak banyak bergerak, hanya duduk diam di dalam ruangan. Hari itu para mahout (perawat gajah) akan memancing di sungai-sungai dalam hutan untuk mengisi waktu di bulan puasa Ramadhan, mereka berjumlah 9 orang. Saya pikir perlu sedikit berolahraga sehingga saya berniat untuk ikut mereka. Saya segera berganti baju lapangan, sepatuku yang masih basah karena baru dicuci tak perlu lagi menunggu kering untuk bisa dipakai, toh nantinya saya juga akan berjalan-jalan di dalam rawa dan sungai. Saya tidak akan ikut memancing, saya hanya ingin berjalan-jalan ke dalam hutan, mungkin akan menemukan obyek bagus untuk bisa dipotret, karena saya memang menyukai photography.  

TWA Seblat terlihat dari pinggir hutan

Taman Wisata Alam Seblat, Minggu, 12 Juni 2016, waktu menunjukkan pukul 07.45 WIB, tujuh orang mahout telah berangkat masuk ke hutan dan sudah tak terlihat. Saya berjalan kaki menyusul dibelakang mereka, dan ternyata masih ada dua orang lagi yang menyusul kami. Dalam perjalanan terlihat seekor induk siamang bersama anaknya sedang bergelayutan di atas kepala kami, dan akupun gagal memotretnya karena pergerakan mereka sangat cepat. Kami berjalan beriring-iringan di dalam hutan, sambil mencari jalan setapak menuju sungai, namun jalan yang diharapkan tidak ditemukan mungkin sudah terlalu lama tidak pernah dilewati sehingga tertutup lagi oleh semak belukar. Beberapa tahun yang lalu saya pernah melewati jalan itu sendirian di sore hari, jalan setapak masih bisa terlihat jelas, namun kali ini sama sekali tak terlihat ataukah kami yang salah jalan. Yang jelas akhirnya kami berjalan tak tentu arah dan terpisah satu sama lain, ada yang kembali ke arah camp lagi dan saya bersama mahout lainnya bisa menemukan sungai meski terlebih dulu harus naik turun tebing beberapa kali dan melewati rawa berlumpur, bahkan sepatuku nyaris tertinggal terbenam lumpur saat mengangkat kaki.

Pacet yang mengigit dan menghisap darah di kakiku
Sesampainya di Sungai Senaba, satu persatu sudah mencari lokasi sendiri-sendiri untuk memancing, kecuali saya yang memilih berjalan sendiri mencari obyek yang menarik untuk difoto, sesekali saya juga memotret mereka yang sedang memancing ikan dari kejauhan. Kadang saya berjalan menyusuri sungai, kadang juga melewati hutan yang lembab dan basah. Bisa dibayangkan entah berapa puluh pacet yang menempel di tubuhku dan mengisap darahku, sudah tak kupedulikan lagi. Resiko melewati daerah yang lembab di dalam hutan akan bertemu banyak pacet. Berjalan sendirian juga beresiko salah arah, dan tanpa terasa saya terus berjalan menjauhi sungai, kemudian menyadarkanku bila diteruskan pasti akan tersesat dan akan kesulitan menemukan jalan untuk keluar hutan, karena memang tidak ada jalan setapak yang terlihat jelas. Saya kembali mencari sungai untuk bisa menemukan kawan-kawan lainnya.

Dalam perjalanan saya menemukan sekitar lima bekas lokasi orang bermalam di hutan. Mereka membuat tenda di pinggir sungai, di sepanjang jalan yang saya lewati. Tidak terlihat ada bekas illegal logging di sekitar sana, kemungkinan penduduk lokal / penduduk asli yang mencari kabau dan ikan, karena dijumpai banyak bekas kulit kabau (biji-bijian hutan yang bisa dikonsumsi) di sekitar lokasi serta bekas membuat salai ikan / ikan asap. Saat itu saya juga mendengar suara kijang yang terus berbunyi dari kejauhan. Saya juga menemukan feces rusa sambar yang masih segar serta jejak kakinya di sekitar sungai. Menurut perkiraan saya rusa sambar tersebut berukuran sebesar sapi lokal dilihat dari ukuran feces dan jejak kaki yang ditinggalkannya. 

Ikan sungai hasil memancing
Hari sudah siang, waktu sudah menunjukkan pukul 1 lebih, kami memutuskan untuk kembali ke camp sambil membawa ikan hasil memancing. Ada perbedaan pendapat diantara kami kemana arah jalan pulang. Perjalanan kembali ke camp terasa sangat jauh karena kami sambil menebak-nebak mencari mana arah yang benar. Tanpa ada GPS, hanya mengandalkan arah matahari dan ingatan. Beberapa lokasi ada yang diingat ada yang tidak. Berbeda dengan mencari alamat di dalam kota, tinggal menyebutkan nama jalan, nomor yang dituju atau tanda-tanda lain disekitarnya maka lokasi yang dicari bisa ditemukan. Namun bila mencari lokasi di dalam hutan bila tanpa menggunakan GPS atau titik koordinat, hanya bisa mengandalkan ingatan seperti, "diatas sana nanti ketemu jalan setapak" atau "disini dulu aku mendengar suara harimau" atau "disitu nanti ada rawa yang banyak pandannya".......

Perjalanan pulang pun ternyata tidak lancar, karena kami masih juga berputar-putar tak tentu arah. Meski saya sendiri masih bisa ingat bahwa jalan setapak yang kami lalui dulunya sering kulewati juga bersama gajah-gajah bila perjalanan pulang dari Senaba Alang-Alang menuju Senaba Suharto, dan saya pun masih ingat bahwa punggungan bukit tersebut termasuk salah satu  jalan setapak favoritku karena sejuk dengan kiri kanan jurang dengan pohon-pohon tertata rapi secara alami. Tempat-tempat di hutan ini terutama yang pernah kami pakai untuk berkemah serta jalan-jalan setapak yang pernah kami lalui sudah ada namanya masing-masing, dan nama-nama itu hanya kami yang tahu karena yang menciptakan nama itu. Di jalan setapak itu kami menemukan jejak seekor gajah, dan kami semua bisa langsung menduga pasti itu jejak kaki gajah Nelson, hanya yang jadi masalah kearah mana kami harus menuju camp. Beberapa mahout menuju arah yang salah dan menjauhi camp, sedangkan kami hanya bisa menerka-nerka arah yang benar berdasarkan melihat arah matahari. Kamipun mengikuti jejak kaki gajah tersebut akhirnya sampai juga ke jalan bekas logging yang mengarah ke camp gajah Seblat. Perjalanan kembali pulang itu terasa sangat jauh, bahkan untuk mengangkat kaki saja terasa berat, belum lagi harus berjalan melewati resam (pohon pakis), hal yang paling tidak saya sukai bila berjalan di hutan harus menembus rimbunan resam yang kadang membuat kaki kami tersangkut. Pukul 14.30 WIB, saya dan teman-teman mahout baru sampai di camp gajah. Dan inilah hasil photo yang saya dapatkan selama perjalahan :

Tropical rainforest of Sumatra













































Tidak ada komentar:

Posting Komentar