Kamis, 16 Juni 2016

Jabatan disesuaikan dengan latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap kinerja dan hasil kerja


Jadi ingat lagi tahun 2012 lalu, saat aku dikembalikan bertugas untuk menangani satwa di Pusat Latihan Gajah Seblat di Bengkulu Utara. Pada saat itu sedang ada masalah serius, yakni seekor bayi gajah sumatera mengalami malnutrisi dan hampir mati. Akhirnya ada instruksi dari pejabat di Jakarta bahwa apapun yang terjadi gajah itu tidak boleh mati.

Saya bekerja di Pusat Latihan Gajah Seblat sudah sejak tahun 2004, dimulai dari menjadi tenaga kontrak sebagai dokter hewan yang digaji 300 ribu per bulan, masih jauh lebih tinggi gaji orang lulusan SMA di kantor tersebut, itupun hanya 50% yang saya terima dan sisanya hilang entah kemana sebagai dalih untuk tips petugas yang mengeluarkan dana. Saya tidak mempermasalahkannya, toh selama ini biasa bekerja sebagai sukarelawan. Saya bersedia juga atas dasar merasa prihatin dengan kondisi gajah-gajah disana tanpa ada dokter hewan. Sampai akhirnya pada tahun 2009 saya memutuskan bersedia menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) meski pada awalnya ragu dengan pekerjaan itu dan ingin bekerja kembali di Non-Government Organization seperti tawaran yang selalu datang silih berganti selama saya bekerja di Bengkulu. Kala itu saya tidak yakin akan sanggup menjadi seorang PNS, entah mengapa saya berpikiran seperti itu, bagi saya itu beban berat apabila tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik untuk mengabdi pada negara, padahal gaji kami berasal dari pajak rakyat. Atau mungkin saya sudah bisa mengukur  dan menilai diri saya sendiri, sebagai seorang yang selalu berpikir kritis dan ingin bisa bekerja totalitas untuk kepentingan satwa liar sesuai dengan latar belakangku sebelumnya yang pernah sebagai aktivis dan relawan untuk konservasi satwa liar di Indonesia, serta cara berpikirku yang sederhana, efektif dan efisien serta cenderung praktis dan logis tanpa mau berbelit-belit, sejak dari awal itu kutakutkan akan menjadi kendala nantinya terutama bila berhubungan dengan kepentingan oranglain, berhubungan dengan birokrasi dan semacamnya. "Apakah saya bisa ?" Pertanyaan yang terus terulang di kepalaku tanpa tahu jawabannya.

Bekerja sebagai pegawai pemerintah kami seringkali dihadapkan dengan pimpinan baru yang datang dan pergi silih berganti dalam jangka waktu yang tidak lama, bisa kurang dari satu tahun atau paling lama lebih dari dua tahun. Masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda, pola pikir yang berbeda sehingga kebijakan yang dihasilkan pun berbeda. 

Saya masih ingat betul, saat itu bulan Agustus tahun 2011, saya dipanggil oleh salah seorang pejabat yang mengatakan bahwa mulai saat itu saya tidak perlu lagi menangani hal-hal yang berhubungan dengan medis bahkan termasuk laporannya. Saya kurang tahu apa masalahnya, dan saya mencoba untuk menerka-nerka, apa mungkin mereka keberatan dengan isi laporan saya yang apa adanya tanpa rekayasa, ya itulah diriku dan itulah tuntutan profesiku, semua memang harus dilaporkan apa adanya. Atau tidak menyukaiku secara pribadi, atau tidak menyukai pekerjaanku. Entahlah........
Yang jelas enam bulan setelah itu seekor bayi gajah kondisinya kritis, seperti tulang berbungkus kulit yang lebih mirip plastik hitam dan berjalan sempoyongan. Saat aku mengunjunginya untuk pemasangan microchip bersama Tim dari KKH-Kemenhut, TSI dan Australia Zoo saya mendapatinya dalam kondisi memprihatinkan. Saya pun bertanya-tanya siapa orang yang diberi tanggung jawab untuk kesehatan gajah disana setelah saya diberi instruksi untuk tidak menanganinya.

Bersama kolega dokter hewan dari Australia Zoo Wildlife Hospital
dan Gajah Bona sebelum Terapi
Kondisi kritis pada gajah dan instruksi dari Jakarta yang mendorong ada kebijakan baru untuk mengembalikan saya kesana sebagai dokter hewan. "Kenapa nasib satwa dipermainkan dan dikorbankan hanya untuk keinginan manusia ?"  Tentu tidak mudah mengembalikan kondisi gajah seperti itu untuk sehat kembali kalau tidak ada keajaiban, menurutku. Apalagi tanpa ada dukungan dana baik dari pihak-pihak terkait maupun dari pihak lain (mitra) yang bekerja untuk konservasi gajah. Posisiku yang membuatku bisa membuat terobosan guna menyelamatkannya, karena saya dikembalikan ke tempat tersebut tidak hanya sebagai dokter hewan tetapi juga sebagai Koordinator Pengelolaan PLG Seblat, bahkan juga Koordinator Tim Patroli CRU di TWA Seblat. Kami semua yang dilapangan, ya mahout, supplier pakan gajah saling membantu dan bekerja sama untuk penyelamatan bayi gajah itu yang perlu mendapatkan pengawasan dan perawatan selama 24 jam. Hanya perlu waktu tiga bulan untuk membuatnya gemuk dan sehat kembali, entah berapa ratus juta yang telah habis untuk itu, semua didapatkan dari penggalangan dana para relawan dan bantuan seorang teman baik saya yang juga berpforesi dokter hewan di Australia. Kami dulu pernah bekerja bersama di widllife hospital dan saya bercerita kesulitan saya padanya saat dia datang mengunjungiku ke Sumatera, akhirnya sejak itu dia membantuku. Dan hasilnya bayi gajah kami sehat kembali.

Banyak sekali rintangan yang musti dihadapi selama menjadi Koordinator PLG Seblat. Hampir setiap dua minggu sekali selalu ada tantangan baru, yang lama belum terselesaikan akan datang masalah yang baru dan begitu seterusnya. Terkadang saya sadar, "apa mungkin agar saya tidak bisa fokus bekerja disaat tanggung jawab saya semakin banyak dan semakin luas ?" Saya tidak peduli, ingat lagi dengan nasehat teman bahwa dimanapun kita bekerja pasti ada yang suka dan tidak suka, tergantung kita menyikapinya. Yang penting tidak putus asa dan menyerah begitu saja, agar satwa-satwa itu tidak menjadi obyek semata untuk dikorbankan demi kepentingan segelintir orang yang tidak peduli dengan nasibnya. Berat memang, karena yang saya hadapi bukan orang-orang yang biasa-biasa saja, mereka punya power dan mereka banyak. Saya merasa sendirian saat itu, dan saya dipaksa untuk menghadapinya sendirian dengan smart, penuh strategi dan tanpa konflik. 

Gajah Bona di PLG Seblat, Bengkulu setelah Terapi
Masalah terberat yang kuhadapi saat itu adalah adanya keputusan untuk memindahkan gajah-gajah dari PLG Seblat ke kebun binatang di Bali termasuk diantaranya bayi gajah kami yang telah kami selamatkan dengan susah payah tanpa bantuan mereka, orang-orang yang seharusnya peduli dan membantu. Masalah lainnya kukesampingkan. "Bagaimana perasaan anda bila anda dalam posisi saya ?  Dan yang anda hadapi bukan orang-orang yang biasa-biasa saja". Seekor bayi gajah yang sudah diperjuangkan dengan susah payah agar tetap bertahan hidup akan diberikan kepada kebun binatang hanya untuk hiburan dan dipisahkan dengan induknya. Sedangkan dalam pemikiran saya selama ini bahwa rumah terbaik bagi satwa liar adalah di habitatnya, di hutan, bukan di kebun binatang atau sejenisnya. Sebagus-bagusnya tempat yang disediakan manusia untuk satwa liar tetap tidak sebaik Tuhan telah memberikan tempat yang layak untuk mereka, yakni di hutan. Dan menjadi tidak masuk akal lagi saat alasan pemindahan itu adalah perawatannya telah membebani anggaran negara.  "Helloooo......!!!" Serasa membuatku tak percaya. Tentu saya orang pertama yang protes bila perawatannya dikatakan membebani anggaran negara, karena saya tahu persis uang yang kami dapatkan untuk merawatnya dari penggalangan dana. Karena menyangkut nasib satwa liar sayapun tidak setuju dengan rencana itu, dan saya mendapatkan dukungan dari banyak pihak, para aktivis lingkungan di Bengkulu, Gubernur Bengkulu, tokoh masyarakat, akademisi, awak media dan lain-lain.  Akhirnya gajah itu pun tidak jadi dipindahkan. Namun dampaknya memang membuat saya tidak ingin lagi menjadi pegawai negeri. Ternyata mereka lebih mementingkan kepentingan pengusaha untuk usaha hiburannya dengan mengeksploitasi satwa daripada untuk kepentingan satwa liar. Bayi gajah kami malnutrisi karena terpisah dari induknya sehingga tidak punya nafsu makan lagi, dan setelah perbaikan gizi dan diberi induk baru dan sudah dekat akan dipaksa untuk dipisahkan kembali. Apapun yang terjadi saya tetap dengan pendirian saya, menolak gajah itu dipindahkan dan tak peduli lagi dengan konsekuensinya, bagi saya nasib satwa liar lebih prioritas. Saya yang keras kepala ini tetap tak peduli saat dimarahi oleh para pejabat baik yang di Jakarta maupun di Bengkulu, dan saya tetap dalam pendirian saya. Akhirya gajah tidak jadi dipindahkan, namun sayalah yang dipindahkan untuk tidak menangani medis lagi dan dikeluarkan dari lingkungan PLG Seblat. Hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan satwa diserahkan ke pihak lain untuk menanganinya. Dan saya serasa di penjara bekerja di dalam ruangan yang mengurusi hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan profesi saya sama sekali. Sejak itu saya fokuskan bekerja untuk membantu satwa liar dimanapun berada baik yang di Bengkulu atau pun di luar Provinsi Bengkulu, dan saya semakin fokus bekerja untuk harimau sumatera. Saya dianggap tidak ada dan saya tidak peduli lagi, bahkan terbesit dalam hati untuk keluar dari pegawai negeri, mungkin bukan tempatku disini, mereka tidak membutuhkan orang-orang sepertiku. 

Baru saja pindah tugas di tempat yang baru dan tidak berinteraksi dengan gajah lagi, tiba-tiba dua ekor gajah kami sudah dipindahkan ke kebun binatang di Yogyakarta untuk kepentingan wisata/ hiburan, disaat kantor kami ingin mengembangkan ekowisata di PLG Seblat. Saya tidak percaya itu, karena kenyataan yang berbicara. Dan anehnya tak satu pun orang yang bilang tidak setuju akan ide itu, semua mendukung. "Hmmm.......ada apa ini", pikirku.  Aku seorang perempuan dan sendirian saat mengatakan menolak pemindahan gajah ke kebun binatang, sedangkan mereka semua laki-laki dan banyak jumlahnya dan tak ada satupun yang berani menolak. Menolak hanya dibelakang tidak ada gunanya. Bekerja memang tidak boleh sekedar bekerja, tapi harus punya prinsip, dengan itu orang punya keberanian.

Yang membuatku heran mengapa tidak ada yang berpikir tentang nasib gajah itu selanjutnya ? Selama di PLG Seblat mereka hidup di hutan, di tempat yang luas, bisa mendapatkan pakan alami saat jalan-jalan di hutan, bebas minum di sungai-sungai dalam hutan, sedangkan di tempat baru sehari-hari mendapat perlakuan dirantai pendek, tidak tersedia pakan sepanjang hari, tidak ada hutan dan pakan alami, jauh dari teman-temannya, dan hanya menunggu jadwal untuk menjadi tunggangan pengunjung kebun binatang, dan itu yang akan jadi rutinitas hariannya. Dan aku pun sudah melihat kondisinya di tempat barunya.

Sejak saya tidak lagi menjadi koordinator pengelolaan disana dan tidak dipercaya pihak-pihak tertentu untuk menangani kesehatan gajah, sudah lima ekor gajah mati dan beberapa karena malnutrisi. Saya hanya bisa sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa karena ada penghalang diantara kami. Sebelumnya saya pun sudah memberikan peringatan, bahwa gajah akan mati bila tidak dilakukan perbaikan pengelolaan. Akhirnya pun terbukti. Dan masih ada empat ekor gajah lagi dengan kondisi mengkhawatirkan dan perlu mendapatkan perawatan khusus.

Gajah Ucok di PLG Seblat sedang mengalami gangguan kesehatan
Disaat kondisi gajah-gajah memburuk, disaat itu pula saya dikembalikan lagi kesana untuk memperbaiki kondisinya. Sudah satu bulan ini saya kembali ke PLG Seblat, dan menangani empat ekor gajah yang bermasalah kesehatannya. Dan setelah dua minggu pengobatan dan memberikan perlakuan khusus dalam perawatannya kondisi mereka berangsur-angsur membaik. Sepertinya saya baru dibutuhkan saat kondisi darurat seperti itu, dan disingkirkan saat dianggap menghalangi kepentingan sekelompok orang. Hidup memang unik, kadang punya niat baik untuk membantu satwa pun belum tentu disambut baik. Dan satu yang pasti bahwa penempatan jabatan seeorang memang harus sesuai dengan profesinya dan latar belakang pendidikannya untuk mendukung kinerja yang lebih baik. Pemberian jabatan pada orang yang kurang sesuai akan berpengaruh dan memperburuk kondisi. Dan itu yang selama ini terjadi, saya hanya mempelajarinya dari lingkungan sekitar dimana saya berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar