Selasa, 07 Juni 2016

Bloat pada Gajah Ucok


Gajah Ucok yang mengalami bloat, di PLG Seblat
Tanggal 29 Mei 2016, ada pergantian mahout (perawat) gajah Ucok. Saat itu gajah sudah terlihat sering mengejan, kesulitan buang kotoran, tampak lesu dan nafsu makan turun, namun belum dilaporkan ke dokter hewan oleh mahout kedua meskipun gejala klinis itu telah berlangsung selama dua hari.  

Lendir yang keluar dari anus saat gajah mengejan
Tanggal 31 Mei 2016, hari sudah menjelang gelap, tanpa sengaja saya mendapat informasi saat sedang ngobrol dengan mahout gajah lainnya yang kebetulan melihat kondisi gajah Ucok sore itu. Dia menjelaskan bahwa Ucok sore hari sudah posisi tidur rebah lateral, makanan yang diberikan untuk malam hari berupa tebu dan pelepah sawit masih utuh tak termakan, malah sekelompok monyet ekor panjang sibuk mencurinya. Saya tentu terkejut mendengar itu, karena hari itu saya telah bertemu dengan mahoutnya namun tidak pernah cerita sedikitpun tentang kondisi gajah Ucok saat dia berpamitan pulang pada kami sore itu. Mungkin karena bila dia melaporkan gajahnya sakit, kami akan mencegahnya pulang.  Seekor gajah yang tidur rebah lateral di sore hari menurutku itu diluar kebiasaan, dan saya menduga gajah tersebut punya masalah serius dengan kesehatannya apalagi makanannya pun tak disentuh, seharusnya gajah seperti Ucok sedang aktif makan diwaktu sore hari hingga malam. Mahasiswa Kedokteran Hewan yang sedang belajar di PLG Seblat juga menyampaikan pada saya bahwa mereka pernah melihat gajah Ucok mengejan saat akan buang kotoran. Kebetulan sebelumnya mereka telah mendapatkan pelajaran tentang cara mengetahui tanda-tanda seekor gajah itu dalam kondisi sehat ataupun tidak sehat, dan salah satu gejala klinis yang menunjukkan gajah itu sakit adalah terlihat mengejan/ kesulitan saat akan defekasi atau juga urinasi. Tanpa menunggu lama saya mengajak mahout itu menuju tempat Ucok untuk memeriksanya. Biasanya gajah Ucok agresif didatangi orang apalagi di sore hari seperti itu, namun kali ini dia tampak lemas dan tidak mau berjalan. Meskipun begitu, kami tetap berhati-hati saat mendekat. Makanan terlihat masih utuh. Saya memeriksa sekeliling tidak ditemukan bekas feces (kotoran) dikeluarkan. Dan saya memeriksa tubuhnya, sepertinya mengalami kembung (bloat). Saya mendapat informasi tambahan bahwa gajah itu sudah beberapa hari tidak bisa buang kotoran, sering mengejan dan yang keluar hanya lendir dilapisi darah.


Table 7.4. Signs of an Unhealthy Elephant
  • Listless, decreased movement, unusual behavior, exercise intolerance
  • Dull or sunken eyes, increased tear flow, thick discharge
  • Mucous membranes pale, muddy, bright red, or dry
  • Discharge from the trunk, coughing, abnormal respiratory sounds
  • Dry skin, loss of elasticity, wounds
  • Weight loss, sunken abdomen, prominent ribs (see body condition index)
  • Deceased appetite, anorexia
  • Change in urine or feces (amount, color); straining
  • Lameness
  • Obvious pain
  • Any unusual swelling or protrusion
Reference : "Biology, Medicine and Surgery of Elephants" by Murray E. Fowler and Susan K. Mikota


Saya meminta mahout untuk memindahkan gajah itu mendekati klinik agar bisa dimonitoring setiap waktu, karena bloat termasuk berbahaya dan bisa menyebabkan kematian mendadak bila tidak ditangani. Dan saya meminta mahasiswa kedokteran hewan untuk memindahkan makanannya mendekati gajah. Setelah lebih dari setahun saya dipindahkan ke Kantor Seksi Konservasi Wilayah I dengan pekerjaan baru yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kegiatan medis dan satwa, serta baru satu minggu ini saya ditugaskan kembali sebagai dokter hewan untuk menangani gajah-gajah di PLG Seblat setelah begitu banyak masalah kesehatan gajah terjadi. Saya memasuki ruang obat dan berusaha menemukan sisa obat-obatan yang bisa digunakan untuk pengobatan, sekian lama tidak bekerja lagi di tempat itu membuatku tidak begitu mengenali lagi persediaan obat-obatan apa yang tersedia, namun akhirnya hanya mendapatkan Antibloat, Antibiotik Long Acting, Flunixin meglumine dan Biodin / Biosolamine.

Terapi Gajah Ucok di PLG Seblat
Malam itu kami melakukan pengobatan, yakni melakukan rectal untuk mengeluarkan dan membersihkan kotoran, kami mencari orang diantara kami yang tangannya paling panjang. Tidak adanya peralatan kami memanfaatkan slang air minum untuk harimau yang dipotong, kami juga memasukkan air hangat dengan pelicin untuk membantu pengeluaran feces apabila ada feces yang sulit keluar. Agar ujung slang tidak melukai saluran cerna maka pada saat rectal ujungnya ditutup dengan genggaman telapak tangan. Kemudian memasukkan Antibloat per rectal karena untuk per oral tidak memungkinkan karena gajah sama sekali tidak mau makan dan minum. Dilanjutkan dengan penyuntikan Antibiotik LA, analgesik dan anti kolik, serta biodin. Gajah mulai bisa kentut dan mulai mau makan rumput (king grass) yang disediakan. Meskipun masih terlihat kembung.

Esok harinya dilakukan penyuntikan ulang analgesik karena gajah mulai tidak mau makan dan minum lagi. Dalam kondisi seperti itu tidak ada mahout gajah Ucok yang stand by di camp gajah di hutan, sehingga salah satu mahout akhirnya harus kembali dan menginap di camp bersama kami, dan membantu monitoring gajah Ucok siang dan malam. Saya meminta mahout untuk membawa gajah berjalan-jalan melewati jalan menanjak untuk merangsang kentut. Karena gajah tidak mau minum maka saya juga meminta mahout saat menyeberangi sungai Seblat melewati sungai yang agak dalam agar mulut terendam dan diharapkan air sungai akan masuk kedalam mulut dan meminumnya. Saya amati beberapa kali gajah merejan dan kesulitan untuk buang kotoran, meski saat directal tidak ditemukan adanya feces yang mengeras. Saluran pencernaan gajah bagian bawah yang terlalu dalam kemungkinan tangan tidak dapat menjangkaunya saat rectal. Setiap kali merejan yang keluar dari anus adalah lendir dilapisi darah. Hasil pemeriksaan sampel feces tidak ditemukan telur cacing, kemungkinan disebabkan oleh infeksi bakteri atau penyebab lainnya, untuk itu penyuntikan antibiotik diperlukan. Setelah penyuntikan analgesik gajah Ucok mau makan kembali namun tidak banyak, meskipun pakan yang diberikan cukup banyak dan bervariasi. Bagi saya, melihat hal itu berarti kondisi gajah belum membaik. Pengobatan yang diulang hanya pemberian antibiotik dan analgesik saja.

Tanggal 5 Juni 2016, Gajah Ucok belum bisa buang kotoran, bagi saya kondisinya masih mengkhawatirkan. Kami ingin melakukan rectal sekali lagi. Hari itu secara mendadak saya mendapat tugas ke Kota Bengkulu disaat kondisi gajah Ucok belum membaik, hanya untuk membantu Polisi Kehutanan melakukan penyitaan beruang madu, siamang dan burung elang dari kepemilikan illegal di masyarakat. Saya menolak untuk meninggalkan gajah tersebut dan pergi untuk membantu mereka, tetapi mereka tidak mau tahu dan saya harus ada saat mereka melakukan evakuasi satwa-satwa tersebut. Meskipun saya sedikit menggerutu kenapa orang tidak pernah tahu mana yang prioritas harus dilakukan dan mana yang masih bisa ditunda, tapi akhirnya dengan berat hati saya pergi juga. Saya berpikir untuk membuat pilihan cara yang tepat agar gajah Ucok bisa buang kotoran dan mengurangi kembung sehubungan dengan keterbatasan peralatan dan obat-obatan, saya berusaha mencari sesuatu di dapur camp kami kira-kira apa yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan. Tidak ada arang kayu yang bisa digunakan. Bila harimau mengalami kesulitan defekasi biasanya saya mengalirkan air hangat dan sabun untuk dimasukkan ke anusnya dan kemudian menyedotnya kembali dengan slang plastik dan syringe, sehingga feces bisa dikeluarkan dengan mudah dengan jari. Tapi sepertinya akan sulit bila dilakukan untuk gajah, karena akan kesulitan menyedot kembali cairan yang telah dimasukan sehubungan dengan anatomi saluran pencernaan gajah yang besar dan dalam. Akhirnya saya meminta mahout untuk menggunakan minyak goreng yang masih baru untuk dimasukkan ke anus. Dan pada saat saya sudah dalam perjalanan menuju Kota Bengkulu, saya mendapat informasi bahwa gajah telah buang kotoran dengan ukuran jauh lebih besar dari normal dengan konsistensi padat/ keras, khabar itu membuat saya merasa agak lega saat meninggalkannya. Gajah pun sudah mulai mau makan dan minum.

Tanggal 6 Juni 2016, pagi itu saya pergi ke kantor BKSDA Bengkulu dengan membawa tiga daypack, yang satu khusus peralatan rescue satwa liar dan obat-obatan, satunya lagi berisi barang-barang penting seperti laptop, kamera dan lain-lain, dan satunya lagi berisi peralatan pribadi. Setelah selesai membantu tugas Polisi Kehutanan dalam evakuasi satwa liar saya berencana langsung berangkat kembali ke PLG Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara, yang berjarak sekitar 140an km dari Kota Bengkulu dengan waktu tempuh 5 - 6 jam.

Gajah Ucok selama pengobatan bloat di PLG Seblat

Pada saat kembali saya melihat gajah Ucok sudah normal kembali tidak hanya nafsu makan dan minumnya namun juga aktivitas dan perilakunya. Sudah bisa defekasi dan urinasi secara normal. Namun saya masih harus memberikan antibiotik sekali lagi untuk dosis yang terakhir.

Terkadang saya merasa heran saat para pejabat baik yang di daerah maupun di Jakarta diberi laporan mengenai gajah-gajah yang sakit, dan tanggapannya dengan memberikan instruksi bahwa sebaiknya gajah-gajah yang sakit tersebut dikirim saja ke Rumah Sakit Gajah yang ada diluar Provinsi Bengkulu, atau nanti didatangkan saja dokter hewan - dokter hewan dari sana untuk mengobati gajah-gajah tersebut. Itu yang tertulis dalam selembar kertas yang ditujukan kepada saya. Dalam hati saya hanya tersenyum saja, "Apakah mereka para pejabat itu pernah berpikir berapa biaya transportasi PP (pergi pulang) untuk mengangkut gajah-gajah tersebut hanya karena menginginkan untuk diobati ke Rumah Sakit Gajah ? Siapa yang akan menanggung biaya tersebut ? Mengapa tidak berpikir yang logis, efektif dan efisien dalam hal ini ?" Membawa gajah-gajah ke rumah sakit tentu sangat tidak efektif, dan membawa gajah tidak seperti membawa satwa liar yang ukuran tubuhnya lebih kecil dan tidak rumit dalam transportasi. Kasus bloat (kembung) disertai kolik bila baru diobati setelah di rumah sakit gajah yang ada di provinsi lain mungkin gajah itu bisa sekarat bahkan kehilangan nyawa saat dalam perjalanan. Daripada menghabiskan dana puluhan juta rupiah untuk membawa gajah-gajah itu ke Rumah Sakit Gajah, alangkah lebih bijaksana bila dana tersebut untuk mendukung pembelian obat-obatan yang memadai serta peralatan yang kami butuhkan agar gajah bisa diobati di lokasi. Mengobati gajah tidak perlu dilakukan di bangunan yang megah, hanya cukup membutuhkan tali dan pohon atau rung untuk physical restraint, dan yang tidak kalah penting didukung dengan peralatan medis dan obat-obatan yang memadai, toh dokter hewan dan para mahout sudah tersedia dan bisa melakukannya sendiri. Bila tidak ada dukungan tersebut maka bila ada gajah-gajah yang sakit tidak banyak yang bisa dilakukan. 

2 komentar: