Rabu, 06 Agustus 2014

Travelling to the Komodo National Park in 2014


" Sebagai pencinta binatang liar, sesungguhnya ini adalah salah satu mimpiku sejak lama, yakni ingin melihat komodo (Varanus komodoensis) di habitat alaminya di Taman Nasional Komodo. Namun baru saat ini mimpi itu bisa diwujudkan. Komodo adalah hewan purba dan merupakan kadal terbesar di dunia juga salah satu satwa liar kebanggaan bangsa Indonesia, salah satu kekayaan alam Indonesia yang tak ternilai harganya, merupakan satwa endemik Indonesia karena satu-satunya habitat alaminya hanya ada di Indonesia. Namun demikian satwa inipun statusnya rentan terhadap kepunahan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan termasuk satwa yang dilindungi Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Habitat komodo juga diakui sebagai salah satu dari 7 keajaiban alam / situs warisan dunia (natural world heritage) oleh UNESCO ".   


Komodo Dragon and Me

Saya sendiri sudah beberapa kali melihat komodo di lembaga konservasi eksitu baik di taman satwa, kebun binatang maupun taman safari, bahkan berinteraksi langsung dengan binatang berbahaya ini. Namun saya lebih mendambakan melihat komodo liar di habitat aslinya dan bukan di lembaga konservasi eksitu.

Rencana untuk mewujudkan impian mengunjungi Taman Nasional Komodo sudah sejak satu bulan sebelumnya, kebetulan ada seorang teman yang juga ingin berlibur kesana. Sejak itu kami langsung mencari informasi dari internet tentang penerbangan kesana, estimasi biaya transportasi, biaya penginapan dan bagaimana menuju ke lokasi komodo dari kota terdekat serta tempat-tempat lainnya yang menarik untuk dikunjungi selain melihat komodo. Kami mempunyai dua rencana perjalanan, Rencana pertama (Plan A) saya akan berangkat dari Jakarta menuju Kupang, NTT dengan transit di Denpasar, Bali. Kemudian melanjutkan perjalanan dari Kupang menuju Labuan Bajo dengan transit di Ende, Pulau Flores. Dan pulangnya mengambil rute dari Labuan Bajo kembali ke Jakarta melalui Denpasar, Bali. Untuk rencana kedua (Plan B) yakni menggunakan penerbangan dari Jakarta menuju Kupang, NTT dengan transit di Surabaya, Jawa Timur. Kemudian dari Kupang menuju Labuan Bajo melalui Ende, begitu pula dengan saat pulangnya mengambil rute penerbangan yang sama. Mempunyai beberapa alternatif perjalanan akan jauh lebih baik guna mencari biaya transportasi yang termurah dan tercepat disaat bertepatan dengan liburan nasional yakni perayaan Hari Raya Idul Fitri dan hanya memiliki waktu liburan yang sangat terbatas sehingga perlu memanfaatkan waktu liburan secara efisien disesuaikan dengan budget yang ada.

Selasa, tanggal 29 Agustus 2014 yakni hari kedua perayaan Idul Fitri 1435H saya travelling ke Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan pesawat pagi, yakni menggunakan maskapai penerbangan Lion Air JT 692 pukul 09.10 WIB dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta dan akan tiba di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur pukul 14.25 WITA dan transit beberapa menit di Bandara Internasional Juanda Surabaya tanpa turun dari pesawat karena akan menggunakan pesawat yang sama menuju Kupang, dengan menghabiskan biaya sebesar Rp. 1.356.900,- ditambah airport tax sebesar Rp. 40.000,- Berangkat dari rumah pukul 04.30 WIB karena pesawat yang akan saya naiki akan berangkat pukul 09.10 WIB. Hari pertama perayaan Idul Fitri beberapa ruas jalan di Jakarta mengalami kemacetan sehingga saya berusaha berangkat lebih pagi untuk menghindari macet, ternyata pagi itu jalan raya kearah bandara sangat sepi dan lancar. Sekitar pukul 05.00 WIB saya telah sampai di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng dengan menggunakan taxi, untuk keperluan ini saya musti membayar taxi sebesar Rp. 150.000,- dan biaya tol kurang lebih Rp. 20.000,- Melakukan perjalanan di hari libur nasional beresiko mendapatkan tiket pesawat dengan harga lebih mahal dari biasanya.

Setelah kehilangan smartphone di taxi malam harinya, pagi itu saya mengalami masalah kembali, saat membeli air mineral boarding pass saya terjatuh, dan baru menyadarinya saat akan membayar airport tax saya tidak menemukan lagi boarding pass baik di travel bag maupun di saku. Membuat saya menelusuri jalan yang telah saya lewati di bandara tersebut. Ada untungnya datang ke bandara terlalu pagi sehingga saya masih mempunyai banyak waktu untuk mencari boarding pass yang hilang. Dari jauh terlihat ada kertas putih di lantai yang telah terinjak orang yang lalu lalang di depan penjual makanan dan minuman, setelah kuperiksa ternyata tertulis namaku disana dan itu adalah boarding passku, sehingga tak perlu lagi aku harus mendadak mengulang membeli tiket perjalanan yang baru yang tentunya akan menambah pengeluaran tak terduga.

Makanan khas Kupang : Jagung bose & Daging se'i 
Tiba di bandara El Tari Kupang siang itu disambut oleh angin kencang serasa sedang badai saja. Tak banyak yang berubah, masih seperti beberapa tahun yang lalu waktu saya mengunjungi daerah ini, cuaca panas, dan pemandangan sekitar tampak kering dan tandus. Baru saja menginjakkan kaki di kota itu saya ingin sekali mencicipi kuliner khas Kupang yakni jagung bose, daging sei dan tumis bunga pepaya. Setelah mencari kesana kemari akhirnya menemukan juga restoran yang masih buka dan menjual makanan tersebut di hari raya Idul Fitri. Sambil menunggu makanan dihidangkan saya mengamati sekitar, desain interior restoran tersebut sangat unik, di dindingnya banyak dipajang photo-photo pemandangan kota Kupang, di salah satu photo tampak pemandangan pepohonan tak berdaun berjajar rapi di sepanjang jalan raya, membuatku tertarik untuk bisa menemukan tempat tersebut guna obyek photo, karena saya sendiri juga menyukai photography. Namun musik yang diperdengarkan untuk menemani makan siang kami adalah lagu-lagu daerah Surabaya dan Jawa, seolah-olah pemilik restoran yang sebelumnya menyapa kami tahu asal usulku....hehehe  :)  Dua porsi makanan khas Kupang tersebut seharga Rp. 140.000,- lumayan mahal ya ? Kepuasan itu memang tidak bisa dinilai dengan uang.


Kupang, tanggal 30 Juli 2014. Pagi itu kami berjalan kaki menuju pasar tradisional yang berada di Pantai Oeba lokasinya memang tak jauh dari tempatku menginap. Tujuan utamanya adalah ingin memotret kehidupan pagi yakni pemandangan pantai, para nelayan dan hasil tangkapannya. Tempat tersebut merupakan tempat berlabuhnya perahu nelayan dan sekaligus lokasi jual beli ikan laut serta bahan makanan mentah lainnya. Dulu saya pernah memotret di tempat itu dan banyak obyek photo yang menarik. Namun kini ikan tangkapan nelayan tak sebanyak dulu dan tak banyak variasinya, bahkan dulu sering menjumpai ikan hiu yang diperjualbelikan di pantai tersebut. Akhirnya kami berbelanja ikan segar untuk dimasak sendiri dan jajanan pasar yang saya sukai disana. Setelah mencicipi ikan kuah asam hasil memasak hari itu, rencana selanjutnya adalah berburu photo sunset di beberapa pantai di kota Kupang.

Sunset at Timor Beach, Kupang 
Sore hari waktunya menelusuri pantai di kota Kupang untuk mencari lokasi yang menarik untuk berburu photo sunset. Dari ketiga pantai yang dikunjungi, saya lebih tertarik memotret sunset di Pantai Timor karena pantainya tidak terlalu ramai dan kulihat ada dua orang lainnya yang juga ingin berburu photo sunset disana terlihat dengan bawaannya masing-masing yakni camera DLSR lengkap dengan telenya. Obyek yang kami incar sama, sunset dan pemandangan pantai. Untuk memasuki Pantai Timor tersebut harus membayar Rp. 2000,- namun karena teman saya kenal dengan penjaga tersebut akhirnya kami membayar lebih dari itu :) memang tidak ada loket khusus untuk pembayaran, yang ada hanya penjual snack dan minuman di dekat jalan masuk menurun ke pantai yang sekaligus merangkap tempat pembayaran. Kupang merupakan kota yang relatif aman kadangkala kendaraan bisa diparkir dipinggir jalan atau dimana saja tanpa merasa cemas akan ada barang yang hilang saat ditinggalkan. Tapi jangan pernah melakukan hal seperti ini di kota-kota lain yang tingkat kriminalitas curanmornya tinggi. Malam harinya dilanjutkan berburu kuliner makanan Jawa yang banyak dijumpai di kota Kupang, bahkan makanan khas Surabaya banyak dijual di kota ini. Sepertinya banyak orang Jawa yang hijrah ke Nusa Tenggara Timur.

Kupang, Nusa Tenggara Timur


Kupang, tanggal 31 Juli 2014. Hari itu akan berburu photo pemandangan pepohonan kering yang berada di kanan kiri jalan raya dan ingin menemukan lokasi dimana pemandangan seperti itu berada. Teringat saat keluar dari Bandara El Tari, terlihat pemandangan pepohonan serupa, akhirnya kami berputar-putar menelusuri daerah tersebut dan berharap pemandangan seperti yang saya bayangkan bisa ditemukan. Saat kami melewati jalan raya seperti yang ada dalam photo di restoran yang kami kunjungi sebelumnya, tak sengaja kami menemukan sebuah jalan tanah berbatu, disepanjang jalan tersebut tampak pepohonan kering yang berjajar rapi di samping kiri kanan jalan. Inilah tempat yang sempurna untuk diphoto, lokasi yang menggambarkan daerah Kupang yang sesungguhnya.

Sunset at Batu Nona Beach, Kupang
Sore harinya pergi ke Pantai Batu Nona untuk memotret sunset. Beberapa tahun yang lalu saya telah mengunjungi Pantai Lasiana dan Pantai Pasir Panjang dan kini tak ingin mengunjungi pantai yang sama. Pantai ini terletak berdampingan dengan kampung nelayan. Dalam perjalanan menuju kesana saya memperhatikan sekeliling, tampak ada beberapa makam yang diletakkan di depan rumah, tidak hanya sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi orang yang telah meninggal namun juga digunakan untuk tidur siang, terlihat ada bantal dan orang tidur santai diatasnya, anak-anak kecil pun gemar menggunakan makam sebagai tempat bermain. Dari kejauhan tampak ternak babi bebas berkeliaran di kampung itu. Spontan saya mengatakan, "Mirip di Pulau Rote ya?" Sebelumnya saya memang sudah pernah travelling ke Pulau Rote, yakni salah satu pulau terluar dan paling selatan di wilayah Indonesia. Menurut informasi dari teman saya bahwa memang banyak orang Rote yang tinggal di kampung tersebut.

Batu Nona Beach, Kupang

Memasuki pantai tersebut tampak pohon lontar berjajar rapi tegak berdiri diantara kampung nelayan dengan jalan beraspal dan pantai. Saya menyebutnya 'pohon tuak', karena minuman tuak dihasilkan dari pohon ini :) Gesekan daunnya yang tertiup angin mengeluarkan suara yang menyeramkan menurutku. Di pantai sore itu banyak anak-anak sedang bermain, ada yang bersenda gurau, bersepeda dan bermain sepak bola. Di sisi pantai lainnya banyak pasangan muda-mudi menikmati pantai di sore hari dan anak-anak kecil berlarian mengejar kepiting dan mandi di pantai, serta beberapa orang yang datang ke pantai itu punya tujuan yang sama denganku yakni berburu photo sunset.

Malam harinya berburu kuliner makanan khas Surabaya. Makanan Surabaya yang dijual di Kota Kupang rasanya cukup enak, setiap kali travelling ke kota ini tak lupa saya untuk mencicipinya. Namun karena masih dalam perayaan Idul Fitri banyak orang Jawa Timur yang mudik ke kampung halamannya jadi banyak juga penjual makanan khas Surabaya yang tutup. Meskipun begitu malam itu kami masih bisa merasakan makanan Surabaya sebelum melanjutkan travelling ke pulau lainnya di Nusa Tenggara Timur.


Rainbow at the El Tari Airport, Kupang. 
Labuan Bajo, Flores tanggal 1 Agustus 2014. Taxi yang telah dipesan akan menjemput pukul 03.30 WITA dengan membayar ongkos sebesar Rp. 70.000,- untuk mengantar penumpang dalam kota dan membayar biaya parkir mobil di areal bandara yang juga ditanggung oleh penumpang. Penerbangan saya dari Bandara El Tari Kupang ke Bandara Komodo Labuan Bajo dengan pesawat kecil Wings Air dengan transit di Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende, Flores. Pagi-pagi sekali sudah harus berangkat karena boarding time pukul 05.45 WITA. Biaya yang dibutuhkan untuk transportasi dari Kupang menuju Labuan Bajo pulang pergi kurang lebih sebesar Rp. 1.882.200,- ditambah dengan airport tax di Bandara El Tari Kupang sebesar Rp. 20.000,- dan di Bandara Komodo Labuan Bajo sebesar Rp. 10.000,-  Sedangkan biaya transportasi dari Labuan Bajo ke Jakarta melalui Denpasar Bali jauh lebih mahal pada saat itu sehingga dalam perjalanan ini lebih memilih melalui Ende dan Kupang. Waktu perjalanan yang dibutuhkan dari Kupang menuju ke Ende adalah 50 menit, berangkat dari bandara El Tari Kupang pukul 06.15 WITA dan kemudian dilanjutkan penerbangan dengan pesawat yang sama menuju Labuan Bajo dengan lama penerbangan selama 40 menit. Berangkat dari Bandara H. Aroehasman Ende menuju Labuan Bajo pukul 07.25 WITA. Tak banyak pilihan penerbangan menuju Ende dari Kupang, hanya ada dua penerbangan yakni Wings Air yang berangkat lebih awal dan Garuda Indonesia yang berangkat pukul 11.50 WITA. Sedangkan Wings Air satu-satunya penerbangan dari Ende menuju Labuan Bajo.

Pukul 08.05 WITA untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Bandara Komodo yang terletak di Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Bandara Komodo jauh lebih besar dan secara fisik tampak lebih megah dibandingkan bandara di Ende dan Kupang. Namun bandara di Ende lebih mengerikan saat pesawat landing dan take off dibandingkan di kedua bandara tersebut. Lokasinya berdekatan dengan laut dan perbukitan yang tampak di ujung landasan. Saat pesawat akan landing dan take off musti berbelok sebelum mencapai landasan pacu atau setelah lepas landas dari landasan pacu karena terhalang oleh perbukitan. Belum pernah saya melihat bandara yang seperti ini sebelumnya sambil membayangkan bila terlambat berbelok akan menabrak bukit-bukit itu :)

Sejak dari Ende sudah terlihat banyak turis asing yang juga akan berwisata ke Labuan Bajo menggunakan penerbangan yang sama. Mereka tidak hanya usai melakukan perjalanan dari Kupang dan Ende tetapi juga dari Maumere. Kabupaten Ende yang terletak di Pulau Flores juga merupakan daerah tujuan wisata yang cukup terkenal secara internasional dengan adanya Gunung Kelimutu yakni gunung berapi yang memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya yang disebut juga dengan danau tiga warna karena kawah-kawah tersebut memiiki warna yang berbeda yakni merah, biru dan putih.

Sebenarnya untuk mencapai Labuan Bajo tidak hanya ditempuh dengan penerbangan melalui Denpasar dan Ende tapi juga bisa melalui jalur laut dari Nusa Tenggara Barat dan dari Makasar, Sulawesi Selatan. Biasanya turis yang melakukan perjalanan wisata ke Labuan Bajo juga sekaligus berwisata ke Bali, Lombok, Sulawesi dan di beberapa tempat wisata di Pulau Flores karena adanya akses transportasi langsung dari  dan ke Labuan Bajo dengan daerah-daerah tersebut.

Pagi itu bandara Komodo sangat ramai, mungkin karena saat ini adalah musim liburan. Tidak hanya ramai oleh pengunjung yang ingin berwisata tetapi juga ramai dengan para penjemput, tampaknya mereka adalah para guide wisata atau mungkin dari hotel tempat menginap yang telah dibooking sebelumnya yang melayani jasa penjemputan. Tampak juga sebuah pesawat pribadi yang sedang parkir di bandara, ternyata pesawat tersebut disewa oleh seorang warga negara Indonesia yang ingin mengunjungi Labuan Bajo.

Ongkos taxi termurah dari bandara ke dalam kota sekitar Rp. 60.000,- s/d Rp. 70.000,- sedangkan ojek motor sekitar Rp. 20.000,- dari yang terdekat dan akan bertambah ongkosnya bila jaraknya semakin jauh. Saya duduk di ruang tunggu di depan bandara sambil istirahat sejenak dan berpikir tentang rencana selanjutnya setelah observasi sebentar untuk mencari informasi mengenai transportasi lokal disana. Di depan bandara juga tampak sebuah hotel yang bisa dicapai dengan berjalan kaki saja. Namun saya lebih memilih untuk mencari hotel di dekat pantai dan di sekitar jalan Soekarno Hatta Labuan Bajo karena disana akan lebih banyak pilihan penginapan, dekat dengan rumah makan, dekat dengan pelabuhan serta bisa berjalan kaki untuk mencari informasi mengenai paket-paket wisata di agen-agen wisata yang ada di sepanjang jalan Soekarno Hatta Labuan Bajo. Karena ini adalah perjalanan pertama saya ke Labuan Bajo maka lebih memilih transportasi dengan ojek motor agar leluasa mencari tempat penginapan yang diinginkan. Penginapan pertama yang dijumpai adalah Hotel Blessing yang terletak tak jauh dari jalan Soekarno Hatta serta tak jauh juga dari Kantor Balai Taman Nasional Komodo. Hotel ini cocok untuk para backpacker seperti saya. Harganya terjangkau dari Rp. 150.000,- per malam sampai dengan Rp. 350.000,- permalam. Tersedia WiFi yang bisa terjangkau sampai dalam kamar juga free breakfast. Disekitar hotel tersebut juga tampak beberapa hotel lainnya juga dipenuhi oleh turis asing. Hari itu saya memutuskan untuk tidak banyak mencari pilihan lainnya, karena perlu tempat untuk meletakkan ransel dan mencari informasi secepatnya bagaimana caranya menuju Taman Nasional Komodo dan biayanya serta mencari informasi tempat wisata lainnya yang bisa dikunjungi sebagai tujuan perjalanan sampingan. Hari itu juga bisa survey penginapan lainnya baik fasilitas dan harganya bila ingin pindah tempat menginap yang lebih strategis. Hotel tempatku menginap dipenuhi oleh turis asing bahkan di lantai dua tersebut hanya kami yang orang Indonesia.

Setelah berbincang-bincang dengan staff dan pemilik hotel saya mendapatkan informasi tentang tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi dan bagaimana caranya untuk kesana, sambil membaca peta wisata yang menempel di dinding hotel depan meja resepsionis. Saat itu juga mulai membuat rencana baru dan mengatur waktu perjalanan. Kebetulan saya berada di Labuan Bajo selama empat hari yakni dari tanggal 1-4 Agustus 2014, setiap hari musti ada kegiatan menarik yang dilakukan, kami tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada. Hari pertama akan digunakan untuk mencari informasi tentang akses menuju Taman Nasional Komodo dan kampung eksotik Wae Rebo, juga informasi tentang biaya yang dibutuhkan dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk perjalanan ke lokasi tersebut. Setelah itu akan menikmati pemandangan pantai sekitar Labuan Bajo, memotret sunset dan wisata kuliner makanan khas setempat. Taman Nasional Komodo merupakan tujuan utama dalam travelling kali ini karena adanya komodo sebagai penghuni taman nasional dan pemandangan bawah laut sekitar Taman Nasional Komodo yang menjadi daya tariknya. Kami berencana akan melakukan perjalanan ke Taman Nasional Komodo pada hari kedua. Sedangkan tujuan travelling kedua adalah  Wae Rebo yakni Desa Manggarai tua ini sangat menarik untuk dikunjungi karena memiliki bentuk rumah dengan arsitektur yang unik dan terletak diatas perbukitan yakni sekitar 1.100 meter diatas permukaan laut berada di daerah terpencil di Kabupaten Manggarai Barat. Rencana akan melakukan travelling kesana pada hari ketiga. Kedua tujuan wisata tersebut akan dilakukan one day trip. Hari keempat, sambil menunggu penerbangan di siang harinya akan dimanfaatkan untuk berbelanja souvenir di sekitar Labuan Bajo. Setelah berdiskusi dengan teman dan sepakat dengan rencana tersebut maka kami mendatangi agen wisata yang ada di sepanjang jalan Soekarno Hatta untuk mencari informasi lebih detail tentang tempat tujuan yang rencana akan dikunjungi tersebut.

Saya mendapat tawaran untuk mengikuti paket wisata bersama 10 orang turis asing yakni snorkeling di dua tempat yakni di Pulau Bidadari dan Pulau Kelor serta trekking dan melihat Komodo di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo. Untuk wisatawan domestik dikenai biaya Rp. 500.000,- per orang, itu sudah termasuk biaya sewa perahu mesin sebesar Rp. 2.000.000,- pergi pulang sedangkan untuk wisatawan asing lebih mahal dari itu, sudah termasuk juga mendapat makan siang dan minum, namun tidak termasuk biaya memasuki kawasan konservasi Taman Nasional Komodo yang akan dibayarkan sendiri oleh pengunjung kepada petugas taman nasional serta tidak termasuk tips untuk guide yang juga ditanggung oleh pengunjung sendiri. Untuk tarif masuk kawasan Taman Nasional dapat browsing dan melihat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 12 tahun 2014 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan. Kebetulan dari mulai biaya perjalanan paket wisata ke Taman Nasional Komodo sampai biaya masuk taman nasional kami mendapatkan harga persahabatan sehingga biaya yang dibayarkan lebih murah. Sedangkan biaya perjalanan yang dibutuhkan untuk ke lokasi Desa Wae Rebo sebesar Rp. 1.200.000 per orang sudah termasuk biaya rental mobil pergi pulang, biaya makan dan menginap semalam di desa tersebut. Membutukan waktu sekitar 1,5 - 2 jam perjalanan dari Labuan Bajo ke Ruteng, kemudian dilanjutkan dengan trekking di perbukitan dengan berjalan kaki kurang lebih 3 jam sesuai dengan kondisi fisik masing-masing pengunjung. Perjalanan tersebut tidak bisa ditempuh hanya dengan one day trip, perlu menginap semalam di perkampungan itu. Karena waktu yang terbatas keinginan ke Wae Rebo dibatalkan, karena kami tidak bisa menginap dan saya juga masih memikirkan teman yang tidak suka trekking dan hiking di alam bebas seperti itu. Mungkin keinginan ke Wae Rebo untuk sementara dipendam dulu semoga suatu saat punya kesempatan untuk kembali dan mengunjungi tempat tersebut. Setelah membayar biaya untuk keperluan ke Taman Nasional Komodo, kami menggunakan ojek menuju pantai di sekitar Labuan Bajo. Ojek motor jarak dekat di Labuan Bajo dipatok dengan harga rata-rata Rp. 10.000,- sekali jalan. Hari itu kami menghabiskan waktu di siang hari di Pantai Pede tak jauh dari Labuan Bajo.

Salah satu dermaga di Labuan Bajo - Kampung Nelayan
Sore itu saatnya wisata kuliner, yakni berburu seafood di warung-warung tenda pinggir pantai di kampung nelayan. Sebelum menyantap makanan disana, kami masih disibukkan dengan memotret pemandangan sekitar dan sunset. Tidak hanya saya, turis asing pun melakukan hal yang sama, memotret dulu baru makan malam. Saat memilih ikan segar dan cumi segar yang akan dimasak sesuai pesanan kami, teman saya pun masih sempat meminta ijin pada penjualnya karena saya ingin memotret ikan segar yang ditaruh berjajar seperti sebuah pemandangan yang menarik. Saya duduk semeja dengan turis dari Canada, UK dan satunya lagi sebuah keluarga yang saya tidak tahu darimana mereka berasal, mereka berbicara tidak menggunakan bahasa Inggris, bahasanya tidak bisa kumengerti. Saya lebih banyak berbincang-bincang dengan turis laki-laki dari Canada yang duduk berhadapan denganku dibanding lainnya. Sambil melihat orang lalu-lalang yang ternyata juga suka memotret ikan segar beraneka macam yang ditaruh berjajar dan menggugah selera makan. Harga makanan bervariasi tergantung dari besar kecilnya ikan segar yang kita pilih untuk dimasak, paling murah sekitar Rp. 30.000,- perekor ikan, menu yang dihidangkan dilengkapi dengan nasi, plecing kangkung dan lalapan. Tempat makan ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari penginapan dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, namun malam itu saya menggunakan jasa ojek untuk kembali ke hotel dengan membayar Rp. 10.000,-


Pelabuhan Labuan Bajo - Pulau Flores
Labuan Bajo, Flores tanggal 2 Agustus 2014.  Pagi itu saya sudah bersiap-siap untuk pergi ke tempat agen wisata yang berada di jalan Soekarno Hatta karena pukul 8 pagi kami akan berangkat menuju Taman Nasional Komodo. Tak lupa membawa baju renang karena kami akan snorkeling, sedangkan peralatan snorkeling dan life jacket sudah disediakan oleh agen wisata tersebut. Teman saya sebelumnya tidak ingin ikut dalam perjalanan ini dan saya akan pergi sendiri bersama dengan group wisatawan asing dari berbagai negara. Namun akhirnya berubah pikiran dan ingin bergabung dengan kami. Hari itu tanpa sepengetahuanku ternyata group seperjalanan berubah, hari itu saya digabungkan dengan wisatawan domestik dari Jakarta, kami semua berjumlah 7 orang. Saya baru tahu itu setelah berada di pelabuhan dan menaiki perahu yang disewa. Dalam perjalanan menuju pelabuhan pun saya sempat kecewa saat sopir mobil yang mengantar kami meminta kami untuk membayar kekurangan biaya padahal kami telah membayar lunas sebesar jumlah yang diminta dan kuitansi pun masih tersimpan. Sepertinya dia salah orang yang membuat saya mengomel di depannya. Karena saya tidak menyukai sesuatu yang tidak pasti dan tidak jelas, bagi saya bila sudah ada kesepakatan maka harus konsisten dan tidak boleh berubah-rubah lagi.

Saat berbincang-bincang dengan penumpang lainnya termasuk operator perahu baru saya ketahui bila paket wisata yang saya ikuti tersebut berbeda dengan yang ditawarkan oleh agen wisata kepada saya. Seharusnya saya ke Pulau Bidadari, Pulau Rinca dan Pulau Kelor. Namun berubah menjadi ke Pulau Rinca dan Pink Beach di Pulau Komodo, sedangkan ini adalah paket wisata yang diambil oleh wisatawan dari Jakarta tersebut. Salah satu dari anggota keluarga tersebut sudah beberapa kali berlibur di Labuan Bajo dan pulau-pulau disekitarnya dan sudah mengetahui lokasi yang bagus untuk dikunjungi di sana bersama keluarganya. Ikut bergabung dengan mereka dalam satu perjalanan bagiku sangat menguntungkan karena saya belum tahu lokasi-lokasi mana yang bagus untuk dikunjungi. Ternyata lebih baik melakukan perjalanan ke Pulau Rinca dan Pink Beach di Pulau Komodo daripada memilih melakukan perjalanan ke pulau lainnya untuk snorkeling. Saat itu Pulau Rinca menjadi pilihan untuk dikunjungi bila ingin trekking melihat komodo liar di habitatnya, dan Pink Beach adalah pilihan yang tepat untuk lokasi snorkeling karena pemandangan under waternya cukup menarik dibanding lainnya, pasir pantainya pun warnanya unik, butiran-butiran pasirnya ada yang berwarna merah muda.

Rinca Island - Habitat of Komodo Dragon
Pukul 9 pagi kami baru berangkat dari pelabuhan Labuan  Bajo dengan menggunakan perahu mesin. Saya memilih duduk di ujung bagian depan perahu agar bebas memotret pemandangan pantai dan perbukitan yang dilalui serta bebagai jenis perahu dan kapal yang terlihat lalu-lalang antar pulau. Indah sekali meski perbukitan yang terlihat tampak gundul dan gersang. Perahu besar yang kami naiki lajunya lumayan kencang dengan menggunakan mesin 300 PK sebanyak dua buah, perahu-perahu lainnya didahuluinya. Jarak tempuh yang seharusnya sekitar 2 jam menjadi hanya 1,5 jam. Saat perjalanan berangkat menuju Pulau Rinca saya tak begitu kenal dengan operator perahu karena saya selalu duduk di perahu bagian depan dan mereka duduk di bagian belakang. Di sebuah teluk di Pulau Rinca terlihat banyak perahu yang sama parkir di sebuah dermaga depan pintu masuk Taman Nasional Komodo di Pulau Rinca. Pengemudi perahu kami yang menjadi guide dengan membawa tongkat dengan ujung bercabang mengantarkan kami ke kantor Seksi Wilayah II Taman Nasional Komodo, dan disana kami melakukan pembayaran PNBP masuk kawasan taman nasional serta mendapat briefing dari guide tentang etika trekking di dalam kawasan habitat komodo yang harus dipatuhi demi keamanan setiap pengunjung, mengingat komodo termasuk salah satu golongan binatang buas. Saya sempat mengambil beberapa photo di sepanjang perjalanan.

Bersama Guide di Kantor Seksi Wilayah II 
Taman Nasional Komodo
Kantor Seksi Wilayah II Taman Nasional Komodo tampak ramai, bahkan dalam musim liburan seperti ini pengunjung bisa mencapai 1000 orang per hari baik dari wisatawan asing maupun domestik, kata petugas. Saat saya sedang berbincang-bincang dengan petugas tiba-tiba salah satu guide memanggil saya untuk diajak keluar karena ada anak komodo yang sedang lewat di halaman kantor. Tentu membuat saya ingin memotretnya. Saat anak komodo mendekat petugas menghentakkan tongkat kayu bercabang di depannya dan membuat komodo itupun menghindari kami. Hmmm.....ternyata komodo takut dengan tongkat kayu bercabang. Setelah menyelesaikan administrasi dengan petugas, saatnya menunggu diberi briefing oleh guide. Hooray.....lagi-lagi saya mendapatkan harga persahabatan tidak seperti pengunjung lainnya. Guide untuk group trekking saya adalah seorang pamswakarsa berasal dari desa sekitar Taman Nasional Komodo yang dikaryakan untuk mendampingi pengunjung. Mereka akan mendapatkan imbalan dari tips yang diberikan oleh pengunjung secara sukarela, tidak ada ketentuan khusus mengenai besarnya tips yang musti diberikan. Mereka cukup memahami tentang komodo dan habitatnya, sepertinya mereka sudah mendapat pelatihan khusus untuk itu. Salah satu guide yang menemani group saya bisa menjawab keingintahuan saya yang begitu besar mengenai komodo dan habitatnya. Sepanjang perjalanan banyak pertanyaan spontan yang saya ajukan seperti, "Berapa jumlah populasi komodo di Taman Nasional Komodo ?" ; "Berapa luasnya Taman Nasional Komodo ?" ; "Satwa apa saja yang dimangsa oleh komodo?" ; "Satwa mangsa apa yang paling disukai oleh komodo dan pernahkah dilakukan penghitungan jumlah populasi satwa mangsa ?" ; "Apa ancaman bagi kawasan TN Komodo dan ancaman bagi komodo itu sendiri ?" ; "Berapa jumlah telur komodo ?" ; "Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai menetas ?" ; "Apakah suhu lingkungan tempat penetasan juga berpengaruh terhadap jenis kelamin komodo ?" ; "Bagaimana cara membedakan jenis kelamin komodo ?" ; "Berapa maksimal usia komodo di alam ?" ; "Apakah tumbuhan dominan di habitat komodo ?" ; "Apakah sering terjadi kasus konflik antara manusia dengan komodo ?" ; "Apakah penyebab utamanya ?" ; "Bagaimana cara penanganannya ?" ; "Adakah kasus perburuan di Taman Nasional Komodo ?" ; "Berapa banyak wisatawan yang berkunjung ke TN Komodo per hari ?" ; "Berapa jauh kemampuan komodo untuk bisa mendeteksi adanya makanan di suatu tempat ?" Dan masih banyak pertanyaanku lainnya yang keluar begitu saja selama trekking di Pulau Rinca.

Sejauh mata memandang Pulau Rinca tampak gersang, tak jauh beda dengan wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya. Perbukitan dengan rumput rendah berwarna coklat, tampak juga beberapa pohon lontar. Dedaunan berwarna hijau hanya tampak pada hutan mangrove di sekitar dermaga Pulau Rinca, yang merupakan pintu masuk ke Pulau Rinca.

Rinca Island - Komodo National Park

Oya, paket wisata trekking di Pulau Rinca ada tiga macam, yakni short trekking, medium dan long trekking, masing-masing memiliki jarak tempuh yang berbeda serta rute yang berbeda pula. Kebetulan saya pernah melihat photo seorang teman di Pulau Rinca diambil dari atas bukit dengan pemandangan laut biru yang menawan tampak di bawahnya, indah sekali. Saya ingin motret disana, ternyata rute itu berada di jalur short trekking. Selama trekking tersebut kami juga menjumpai sepasang burung sedang mencari makan di atas tanah di dalam hutan, menurut keterangan guide bahwa burung tersebut adalah pasangan yang setia, karena seumur hidup burung jenis ini hanya punya satu pasangan. Ukurannya sebesar ayam namun bentuknya lebih mirip dengan merak betina. Mereka berlari menjauh mendengar kedatangan kami sebelum saya sempat memotretnya dari dekat. Saya juga melewati daerah lokasi satwa mangsa dari komodo, terlihat dari bekas feces berbagai mammalia besar penghuni Pulau Rinca. Dari jauh saya melihat sebuah camera trap terpasang di dekat lokasi sarang komodo, yakni lokasi yang digunakan komodo untuk meletakkan telurnya. "Apakah ada yang sedang penelitian komodo di tempat ini ?", saya bertanya kepada guide. Kemudian guide menunjuk seseorang yang tak jauh dari kami, "Itulah orangnya yang sedang penelitian disini, mahasiswa dari Institude Pertanian Bogor." "Lagi penelitian tentang apa ?", tanyaku kemudian. Penelitian satwa liar di habitatnya bagiku sangatlah menarik.

Komodo dragon (Varanus komodoensis) at the Rinca Island 
Komodo National Park

Kami berhenti sejenak di tempat penetasan telur komodo, terlihat banyak sarang di areal tersebut. Ternyata cara bertelur komodo mirip dengan penyu, mereka akan membuat sarang kamuflase disekitar sarang yang sesungguhnya untuk mengecoh predator. Jumlah telur dalam sarang rata-rata sebanyak 20 butir dan akan menetas setelah 7-8 bulan kemudian. Lama banget ya ? Anak komodo akan lebih banyak menghabiskan waktunya di atas pohon guna menghindari predator dan komodo dewasa yang kanibal. Dan komodo akan menjadi dewasa pada usia 3-5 tahun.

Trekking di siang hari yang panas di habitat komodo yang tandus sungguh memicu dehidrasi, apalagi jalan setapak yang kami lalui tidak datar tetapi naik turun mengikuti perbukitan di Pulau Rinca. Rasa panas dan capek setelah melewati jalan tanjakan yang panjang akhirnya terhapus oleh pemandangan menyejukan di depan mata setelah kami sampai diatas bukit, yakni laut biru jernih dan hijaunya mangrove di pintu masuk Pulau Rinca yang tampak dari atas. Indah sekali. Bahagia rasanya bisa menikmati pemandangan seindah ini secara langsung. Ooh....Tuhan Maha Besar atas segala ciptaannya yang menakjubkan. Setelah mengambil beberapa photo di puncak bukit itu, kami melanjutkan perjalanan menuruni bukit dan menuju Kantor Seksi Wilayah II Taman Nasional Komodo. Akhirnya petualangan di Pulau Rinca pun berakhir. Komodo bisa berkeliaran dimana-mana, saat duduk kami pun harus memeriksa bagian bawah dari bangunan dan sekitarnya apakah ada komodo atau tidak demi keamanan diri.

Komodo Island - Komodo National Park
Siang itu bersama rombongan kami kembali menuju ke perahu yang selanjutnya akan membawa kami menuju pulau lainnya yakni Pulau Komodo. Pulau Komodo juga merupakan habitat dari komodo, namun kami melakukan perjalanan kesana bukan untuk melihat komodo tapi akan snorkeling di Pink Beach yang terkenal dengan pasir pantainya berwarna merah muda. Sepanjang perjalanan saya sangat penasaran seperti apa pantai tersebut, sepertinya baru sekarang ini saya mendengar ada pasir pantai berwarna pink.  Dari kejauhan tampak banyak perahu mesin yang bersandar ke pantai tersebut, rata-rata pengunjung kesana untuk snorkeling karena pemandangan underwaternya lumayan bagus. Sayangnya saat mengunjungi pink beach camera saya tinggalkan di perahu yang berlabuh jauh dari pantai sehingga tidak bisa memotret pemandangan indah disana.

Butiran pasir pantainya tampak ada yang berwarna pink dan kemerahan sehingga bila mata memandang akan terlihat pasir pantai didominasi warna pink, untuk itu kenapa pantai ini disebut Pink Beach. Kami berenang menelusuri pantai untuk melihat beraneka macam terumbu karang dan jenis ikan warna-warni. Pemandangan bawah lautnya bagi saya masih lebih bagus di Pulau Dua, Enggano di Provinsi Bengkulu. Namun disini untuk pertama kalinya saya bisa melihat squid berenang di dasar laut. Setelah puas snorkeling siang itu dengan menggunakan perahu nelayan yang kami sewa untuk mengantarkan ke pantai, biasanya harga sewa perahu sebesar Rp.10.000,-  Usai snorkeling akhirnya kami diantarkan kembali ke perahu yang lebih besar untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.

Kelor Island - Flores
Sejak meninggalkan Pulau Komodo saya lebih memilih duduk di bagian ujung depan perahu bersama dua orang asisten dari pengemudi perahu tersebut. Penumpang lainnya lebih memilih duduk di dalam perahu. Kami berbincang-bincang mengenai pulau-pulau yang kami lewati, dan mereka memberi tahu saya nama-nama perkampungan yang ada di pinggir pantai dan nama suku penghuninya serta nama-nama pulau serta tentang apa yang ada disana. Bahkan mereka juga banyak bercerita tentang konflik antara manusia dan komodo penghuni pulau-pulau tersebut. Hmm....ternyata disini juga ada konflik satwa liar. Kemudian mereka bertanya kepada saya, setelah ini mau diantarakan kemana lagi ? Akhirnya sebelum kembali ke Labuan Bajo, kami diantarkan sejenak untuk melihat-lihat Pulau Kelor. Dari jauh tampak beberapa perahu besar sedang berlabuh disana. Pantai tampak bersih dan bening, membuat kami ingin bermain di pantai sejenak. Teman saya tergoda berenang di pantai, dan saya menyibukkan diri memotret dua ekor elang yang sedang terbang rendah dan menyambar ikan di pantai. Pemandangan sekitar Pulau Kelor juga sangat indah, tampak perbukitan tinggi di pinggir pantai seperti lukisan alam. Pulau Kelor tak jauh dari Labuan Bajo, sekitar 20 menit dapat dicapai dengan menggunakan perahu mesin dari pelabuhan Labuan Bajo.

Sunset at Labuan Bajo - Flores
Waktu sudah menjelang sore dan kami pun melanjutkan perjalanan kembali pulang ke Labuan Bajo. Memutuskan untuk berjalan kaki dari pelabuhan menuju hotel sambil menelusuri pantai, sambil menikmati pemandangan sunset yang indah, tak lupa pula untuk mengabadikannya dengan jepretan camera. Tak pernah merasa bosan memotret sunset untuk kesekian kalinya, karena keindahan sunset di pantai selalu menarik perhatian.

Malam harinya saya memilih untuk beristirahat karena terlalu kecapekan selesai snorkeling dan sambil memikirkan kegiatan apa yang ingin dilakukan untuk esok harinya, mengingat rencana perjalanan one day trip ke Wae Rebo gagal dilakukan.


Labuan Bajo, Flores tanggal 3 Agustus 2014. Pagi itu saya berjalan-jalan sendirian mencari informasi tempat-tempat menarik lainnya yang bisa dikunjungi di Labuan Bajo dan mencari kendaraan yang bisa mengantar saya menuju kesana.  Saya mencari informasi dari beberapa orang, yakni dari petugas hotel, agen wisata dan juga masyarakat lokal yang ditemui di jalan. Mereka menyarankan saya untuk pergi ke Goa Batu Cermin. Dulunya Goa tersebut tergenang air laut meski kenyataannya sekarang terletak diatas perbukitan dan jauh dari laut. Di dalam goa tersebut juga terdapat fosil penyu dan ikan yang masih bisa terlihat di dinding atap goa. Hmm....sepertinya menarik untuk dikunjungi, dan saya musti rental motor untuk pergi kesana karena sulit mencari kendaraan disana untuk kembali lagi ke hotel. Lebih baik saya tidak pergi sendirian karena saya belum tahu pasti lokasinya dimana. Bersama seorang teman akhirnya kami berniat untuk rental sepeda motor untuk pergi ke tempat itu. Rental motor di Labuan Bajo sedikit lebih mahal dibandingkan di Pulau Rote, yakni kami harus membayar Rp. 100.000,- untuk pemakaian selama 3-4 jam saja. Untuk menyewa motor disana juga tidak terlalu rumit, memanggil pengendara motor yang sedang lewat di jalan, negoisasi harga rental motor bila sudah sepakat motor bisa langsung dibawa tanpa harus meninggalkan identitas apapun untuk pemilik motor. Modalnya saling percaya saja.

Hutan bambu menuju Goa Batu Cermin - Labuan Bajo, Flores
Sepanjang jalan sebanyak tiga kali kami bertanya pada orang yang kami temui di jalan untuk mencapai lokasi Goa Batu Cermin, maklum saja kami benar-benar tidak tahu dimana lokasinya. Akhirnya pukul 2.30 WITA sampai juga di areal goa, yang terlihat dari kejauhan adalah bukit berbatu dan hutan bambu, goanya tidak nampak. Bahkan disebelah mana goanya kamipun tidak tahu, dan tidak ada petugas yang bisa kami jumpai disana. Akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti jalan yang terdapat di hutan bambu, dan itulah jalan menuju mulut Goa Batu Cermin. Selama satu jam kami berada di goa tersebut hanya untuk mengambil dokumentasi. Membuatku heran, sebuah goa horisontal terletak diatas perbukitan batu namun kenapa pada jaman dahulu air laut bisa sampai kedalam goa itu dengan bukti-bukti adanya fosil penyu dan ikan di dinding goa. Ini artinya penyusutan air laut sudah sangat jauh, dan kenyataannya Goa Cermin lokasinya kini juga sangat jauh dari pantai. Dibagian ujung bila menelusuri goa itu akan terdapat lorong sempit dengan celah diatas dinding goa yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalam goa, pada jam-jam tertentu sinar matahari yang masuk akan memantulkan bayangan pada dinding goa seolah-olah seperti cermin, makanya goa itu dinamai Goa Batu Cermin. Langit tampak mendung dan gelap sepertinya akan turun hujan, pukul 3.31 WITA kami segera meninggalkan goa. Sisa waktu sore itu kami pakai berkeliling Labuan Bajo untuk sekedar ingin mengetahui tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi.

Goa Batu Cermin - Labuan Bajo, Flores

Labuan Bajo, Flores tanggal 4 Agustus 2014. Hari itu saya harus kembali ke Kupang menggunakan maskapai penerbangan Wings Air pukul 13.50 WITA dengan transit di Ende, Flores. Paginya saya manfaatkan untuk berjalan-jalan dan berbelanja souvenir di sekitar Jalan Soekarno Hatta Labuan Bajo. Saya bertemu lagi dengan seorang turis dari Canada yang pernah makan malam bersama sebelumnya, dia menyapaku saat akan menuju rumah makan Padang yang saya rekomendasikan untuk dikunjungi karena dia sangat menyukai makanan khas Padang yakni rendang. Oya, beberapa hotel menyediakan jasa untuk mengantar ke airport dan gratis, sehingga tak perlu lagi mencari kendaraan untuk pergi ke Bandara Komodo, Labuan Bajo. Sore itu tiba di Kupang pukul 15.50 WITA. Sebelum kembali pulang saya sempatkan untuk membeli daging sei, jagung bose dan kacang merah, sepulang dari Nusa Tenggara Timur ingin mencoba memasak sendiri makanan khas Nusa Tenggara Timur itu.

Dengan travelling ke beberapa daerah di Indonesia membuatku semakin mengerti bahwa Indonesia itu kaya dengan keanekaragaman budaya, suku, bahasa, adat istiadat, agama, satwa liar juga makanan daerahnya serta banyak tempat dengan keindahan alamnya yang menarik untuk dikunjungi. Setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing. Semakin banyak mengenal keanekaragaman tersebut, semakin timbul rasa mencintai. Berbeda-beda itu indah dan selayaknya kita patut saling menghargai perbedaan itu. Itu semua kekayaan yang kita miliki, kekayaan bangsa ini.  

1 komentar:

  1. keren-keren fotonya..Saya tertarik dengan foto bersama komodo. Pasti Foto di Taman Reptil Taman Mini,Jakarta ya om..Nama komodonya si Bima.

    BalasHapus