Tampilkan postingan dengan label Gajah sumatera. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gajah sumatera. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Juni 2016

Bloat pada Gajah Ucok


Gajah Ucok yang mengalami bloat, di PLG Seblat
Tanggal 29 Mei 2016, ada pergantian mahout (perawat) gajah Ucok. Saat itu gajah sudah terlihat sering mengejan, kesulitan buang kotoran, tampak lesu dan nafsu makan turun, namun belum dilaporkan ke dokter hewan oleh mahout kedua meskipun gejala klinis itu telah berlangsung selama dua hari.  

Lendir yang keluar dari anus saat gajah mengejan
Tanggal 31 Mei 2016, hari sudah menjelang gelap, tanpa sengaja saya mendapat informasi saat sedang ngobrol dengan mahout gajah lainnya yang kebetulan melihat kondisi gajah Ucok sore itu. Dia menjelaskan bahwa Ucok sore hari sudah posisi tidur rebah lateral, makanan yang diberikan untuk malam hari berupa tebu dan pelepah sawit masih utuh tak termakan, malah sekelompok monyet ekor panjang sibuk mencurinya. Saya tentu terkejut mendengar itu, karena hari itu saya telah bertemu dengan mahoutnya namun tidak pernah cerita sedikitpun tentang kondisi gajah Ucok saat dia berpamitan pulang pada kami sore itu. Mungkin karena bila dia melaporkan gajahnya sakit, kami akan mencegahnya pulang.  Seekor gajah yang tidur rebah lateral di sore hari menurutku itu diluar kebiasaan, dan saya menduga gajah tersebut punya masalah serius dengan kesehatannya apalagi makanannya pun tak disentuh, seharusnya gajah seperti Ucok sedang aktif makan diwaktu sore hari hingga malam. Mahasiswa Kedokteran Hewan yang sedang belajar di PLG Seblat juga menyampaikan pada saya bahwa mereka pernah melihat gajah Ucok mengejan saat akan buang kotoran. Kebetulan sebelumnya mereka telah mendapatkan pelajaran tentang cara mengetahui tanda-tanda seekor gajah itu dalam kondisi sehat ataupun tidak sehat, dan salah satu gejala klinis yang menunjukkan gajah itu sakit adalah terlihat mengejan/ kesulitan saat akan defekasi atau juga urinasi. Tanpa menunggu lama saya mengajak mahout itu menuju tempat Ucok untuk memeriksanya. Biasanya gajah Ucok agresif didatangi orang apalagi di sore hari seperti itu, namun kali ini dia tampak lemas dan tidak mau berjalan. Meskipun begitu, kami tetap berhati-hati saat mendekat. Makanan terlihat masih utuh. Saya memeriksa sekeliling tidak ditemukan bekas feces (kotoran) dikeluarkan. Dan saya memeriksa tubuhnya, sepertinya mengalami kembung (bloat). Saya mendapat informasi tambahan bahwa gajah itu sudah beberapa hari tidak bisa buang kotoran, sering mengejan dan yang keluar hanya lendir dilapisi darah.


Table 7.4. Signs of an Unhealthy Elephant
  • Listless, decreased movement, unusual behavior, exercise intolerance
  • Dull or sunken eyes, increased tear flow, thick discharge
  • Mucous membranes pale, muddy, bright red, or dry
  • Discharge from the trunk, coughing, abnormal respiratory sounds
  • Dry skin, loss of elasticity, wounds
  • Weight loss, sunken abdomen, prominent ribs (see body condition index)
  • Deceased appetite, anorexia
  • Change in urine or feces (amount, color); straining
  • Lameness
  • Obvious pain
  • Any unusual swelling or protrusion
Reference : "Biology, Medicine and Surgery of Elephants" by Murray E. Fowler and Susan K. Mikota


Saya meminta mahout untuk memindahkan gajah itu mendekati klinik agar bisa dimonitoring setiap waktu, karena bloat termasuk berbahaya dan bisa menyebabkan kematian mendadak bila tidak ditangani. Dan saya meminta mahasiswa kedokteran hewan untuk memindahkan makanannya mendekati gajah. Setelah lebih dari setahun saya dipindahkan ke Kantor Seksi Konservasi Wilayah I dengan pekerjaan baru yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kegiatan medis dan satwa, serta baru satu minggu ini saya ditugaskan kembali sebagai dokter hewan untuk menangani gajah-gajah di PLG Seblat setelah begitu banyak masalah kesehatan gajah terjadi. Saya memasuki ruang obat dan berusaha menemukan sisa obat-obatan yang bisa digunakan untuk pengobatan, sekian lama tidak bekerja lagi di tempat itu membuatku tidak begitu mengenali lagi persediaan obat-obatan apa yang tersedia, namun akhirnya hanya mendapatkan Antibloat, Antibiotik Long Acting, Flunixin meglumine dan Biodin / Biosolamine.

Terapi Gajah Ucok di PLG Seblat
Malam itu kami melakukan pengobatan, yakni melakukan rectal untuk mengeluarkan dan membersihkan kotoran, kami mencari orang diantara kami yang tangannya paling panjang. Tidak adanya peralatan kami memanfaatkan slang air minum untuk harimau yang dipotong, kami juga memasukkan air hangat dengan pelicin untuk membantu pengeluaran feces apabila ada feces yang sulit keluar. Agar ujung slang tidak melukai saluran cerna maka pada saat rectal ujungnya ditutup dengan genggaman telapak tangan. Kemudian memasukkan Antibloat per rectal karena untuk per oral tidak memungkinkan karena gajah sama sekali tidak mau makan dan minum. Dilanjutkan dengan penyuntikan Antibiotik LA, analgesik dan anti kolik, serta biodin. Gajah mulai bisa kentut dan mulai mau makan rumput (king grass) yang disediakan. Meskipun masih terlihat kembung.

Esok harinya dilakukan penyuntikan ulang analgesik karena gajah mulai tidak mau makan dan minum lagi. Dalam kondisi seperti itu tidak ada mahout gajah Ucok yang stand by di camp gajah di hutan, sehingga salah satu mahout akhirnya harus kembali dan menginap di camp bersama kami, dan membantu monitoring gajah Ucok siang dan malam. Saya meminta mahout untuk membawa gajah berjalan-jalan melewati jalan menanjak untuk merangsang kentut. Karena gajah tidak mau minum maka saya juga meminta mahout saat menyeberangi sungai Seblat melewati sungai yang agak dalam agar mulut terendam dan diharapkan air sungai akan masuk kedalam mulut dan meminumnya. Saya amati beberapa kali gajah merejan dan kesulitan untuk buang kotoran, meski saat directal tidak ditemukan adanya feces yang mengeras. Saluran pencernaan gajah bagian bawah yang terlalu dalam kemungkinan tangan tidak dapat menjangkaunya saat rectal. Setiap kali merejan yang keluar dari anus adalah lendir dilapisi darah. Hasil pemeriksaan sampel feces tidak ditemukan telur cacing, kemungkinan disebabkan oleh infeksi bakteri atau penyebab lainnya, untuk itu penyuntikan antibiotik diperlukan. Setelah penyuntikan analgesik gajah Ucok mau makan kembali namun tidak banyak, meskipun pakan yang diberikan cukup banyak dan bervariasi. Bagi saya, melihat hal itu berarti kondisi gajah belum membaik. Pengobatan yang diulang hanya pemberian antibiotik dan analgesik saja.

Tanggal 5 Juni 2016, Gajah Ucok belum bisa buang kotoran, bagi saya kondisinya masih mengkhawatirkan. Kami ingin melakukan rectal sekali lagi. Hari itu secara mendadak saya mendapat tugas ke Kota Bengkulu disaat kondisi gajah Ucok belum membaik, hanya untuk membantu Polisi Kehutanan melakukan penyitaan beruang madu, siamang dan burung elang dari kepemilikan illegal di masyarakat. Saya menolak untuk meninggalkan gajah tersebut dan pergi untuk membantu mereka, tetapi mereka tidak mau tahu dan saya harus ada saat mereka melakukan evakuasi satwa-satwa tersebut. Meskipun saya sedikit menggerutu kenapa orang tidak pernah tahu mana yang prioritas harus dilakukan dan mana yang masih bisa ditunda, tapi akhirnya dengan berat hati saya pergi juga. Saya berpikir untuk membuat pilihan cara yang tepat agar gajah Ucok bisa buang kotoran dan mengurangi kembung sehubungan dengan keterbatasan peralatan dan obat-obatan, saya berusaha mencari sesuatu di dapur camp kami kira-kira apa yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan. Tidak ada arang kayu yang bisa digunakan. Bila harimau mengalami kesulitan defekasi biasanya saya mengalirkan air hangat dan sabun untuk dimasukkan ke anusnya dan kemudian menyedotnya kembali dengan slang plastik dan syringe, sehingga feces bisa dikeluarkan dengan mudah dengan jari. Tapi sepertinya akan sulit bila dilakukan untuk gajah, karena akan kesulitan menyedot kembali cairan yang telah dimasukan sehubungan dengan anatomi saluran pencernaan gajah yang besar dan dalam. Akhirnya saya meminta mahout untuk menggunakan minyak goreng yang masih baru untuk dimasukkan ke anus. Dan pada saat saya sudah dalam perjalanan menuju Kota Bengkulu, saya mendapat informasi bahwa gajah telah buang kotoran dengan ukuran jauh lebih besar dari normal dengan konsistensi padat/ keras, khabar itu membuat saya merasa agak lega saat meninggalkannya. Gajah pun sudah mulai mau makan dan minum.

Tanggal 6 Juni 2016, pagi itu saya pergi ke kantor BKSDA Bengkulu dengan membawa tiga daypack, yang satu khusus peralatan rescue satwa liar dan obat-obatan, satunya lagi berisi barang-barang penting seperti laptop, kamera dan lain-lain, dan satunya lagi berisi peralatan pribadi. Setelah selesai membantu tugas Polisi Kehutanan dalam evakuasi satwa liar saya berencana langsung berangkat kembali ke PLG Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara, yang berjarak sekitar 140an km dari Kota Bengkulu dengan waktu tempuh 5 - 6 jam.

Gajah Ucok selama pengobatan bloat di PLG Seblat

Pada saat kembali saya melihat gajah Ucok sudah normal kembali tidak hanya nafsu makan dan minumnya namun juga aktivitas dan perilakunya. Sudah bisa defekasi dan urinasi secara normal. Namun saya masih harus memberikan antibiotik sekali lagi untuk dosis yang terakhir.

Terkadang saya merasa heran saat para pejabat baik yang di daerah maupun di Jakarta diberi laporan mengenai gajah-gajah yang sakit, dan tanggapannya dengan memberikan instruksi bahwa sebaiknya gajah-gajah yang sakit tersebut dikirim saja ke Rumah Sakit Gajah yang ada diluar Provinsi Bengkulu, atau nanti didatangkan saja dokter hewan - dokter hewan dari sana untuk mengobati gajah-gajah tersebut. Itu yang tertulis dalam selembar kertas yang ditujukan kepada saya. Dalam hati saya hanya tersenyum saja, "Apakah mereka para pejabat itu pernah berpikir berapa biaya transportasi PP (pergi pulang) untuk mengangkut gajah-gajah tersebut hanya karena menginginkan untuk diobati ke Rumah Sakit Gajah ? Siapa yang akan menanggung biaya tersebut ? Mengapa tidak berpikir yang logis, efektif dan efisien dalam hal ini ?" Membawa gajah-gajah ke rumah sakit tentu sangat tidak efektif, dan membawa gajah tidak seperti membawa satwa liar yang ukuran tubuhnya lebih kecil dan tidak rumit dalam transportasi. Kasus bloat (kembung) disertai kolik bila baru diobati setelah di rumah sakit gajah yang ada di provinsi lain mungkin gajah itu bisa sekarat bahkan kehilangan nyawa saat dalam perjalanan. Daripada menghabiskan dana puluhan juta rupiah untuk membawa gajah-gajah itu ke Rumah Sakit Gajah, alangkah lebih bijaksana bila dana tersebut untuk mendukung pembelian obat-obatan yang memadai serta peralatan yang kami butuhkan agar gajah bisa diobati di lokasi. Mengobati gajah tidak perlu dilakukan di bangunan yang megah, hanya cukup membutuhkan tali dan pohon atau rung untuk physical restraint, dan yang tidak kalah penting didukung dengan peralatan medis dan obat-obatan yang memadai, toh dokter hewan dan para mahout sudah tersedia dan bisa melakukannya sendiri. Bila tidak ada dukungan tersebut maka bila ada gajah-gajah yang sakit tidak banyak yang bisa dilakukan. 

Sabtu, 09 November 2013

Rest in Peace YANTI

Pusat Konservasi Gajah Seblat

Pusat Konservasi Gajah Seblat
Mulanya Pusat Konservasi Gajah Seblat merawat 18 ekor gajah jinak di dalam kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat yang terdiri dari 4 ekor gajah jantan berusia dewasa dan 16 ekor gajah betina berusia dewasa, yang berlokasi di Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten  Bengkulu Utara.  Kemudian mendapat tambahan 1 ekor bayi gajah yatim piatu yang direscue dari perkebunan sawit perusahaan di sekitar kawasan, dan mendapat lagi sepasang gajah berusia dewasa yang direlokasi dari sebuah hotel di Kota Bengkulu setelah gajah jantan tersebut membunuh seorang mahasiswa di kota Bengkulu.  Sehingga kini jumlah total gajah jinak di Pusat Konservasi Gajah Seblat sebanyak 21 ekor.  Pada akhirnya berkurang satu ekor lagi karena ditemukan mati.


Yanti and Yanti 

Gajah Yanti
Seekor gajah betina bernama Yanti telah menghuni PKG Seblat selama 19 tahun 9 bulan.  Gajah tersebut ditangkap dari daerah Ipuh, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu pada bulan Februari 1994, saat itu gajah tersebut berusia 10 tahun.  Dahulu Departemen Kehutanan melegalkan penangkapan gajah sebagai solusi untuk meredakan Human-Elephant Conflict, pada akhirnya kebijakan tersebut malah mendukung berkurangnya populasi gajah liar di alam, dan bahkan banyak gajah liar hasil tangkapan dari seluruh wilayah di Sumatera hidupnya berujung kematian pasca penangkapan. Sekitar tahun 80an sampai dengan 90an merupakan masa-masa yang kelam bagi gajah sumatera.  Habitatnya yang semakin menyempit memaksanya berkonflik dengan manusia yang pada akhirnya ditangkap.  Sungguh tidak adil dan menyayat hati, gajah sebagai korban keserakahan manusia sehingga kehilangan tempat hidup pada akhirnya harus ditangkap sebagai pihak yang bersalah.  Itu terjadi dari Provinsi Aceh sampai Provinsi Lampung.  Sungguh mengerikan, dan saya tidak mau membicarakan sejarah kelam itu lagi disini.  Kini gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) sudah masuk kategori critically endangered species menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature), ini artinya saat ini gajah sumatera hampir punah dan mempunyai resiko sangat tinggi mengalami kepunahan di alam liar.

Kini gajah Yanti telah berusia sekitar 29 tahun, tumbuh sebagai gajah yang sehat dan gemuk serta memiliki nafsu makan yang baik bahkan beberapa saat menjelang kematiannya, makanan tambahan yang diberikan pun habis termakan, serta tidak menunjukkan gejala klinis menderita suatu penyakit. Yanti memiliki tanda khusus di belakang telinga kiri, yakni microchip dengan kode 00064D768F, bila kita melakukan scan di bagian tersebut akan muncul namanya 'Yanti' di monitor scanner. Itu salah satu cara untuk mengenali satu persatu gajah di Pusat Konservasi Gajah Seblat bila secara fisik susah dibedakan.  

Gajah Patroli
Yanti merupakan salah satu gajah andalan untuk patroli kawasan TWA Seblat dan sekitarnya.  Diawal bulan November 2013 gajah Yanti baru saja pulang dari patroli hutan bersama tim Conservation Response Unit, yang terdiri dari Polisi Kehutanan, mahout dan perwakilan masyarakat yang terpilih.  Gajah Yanti juga telah berjasa dalam penanganan kasus illegal logging di dalam maupun sekitar kawasan TWA Seblat dan baru saja terlibat dalam pengamanan dan penyitaan barang bukti illegal logging.

Ditemukan mati dalam kawasan TWA Seblat
Pada tanggal 7 November 2013 sekitar pukul 13.30 WIB, phone cell saya berdering, mahout yang sedang berada di lokasi tempat penggembalaan gajah Yanti menelepon saya dan mengabarkan bahwa ada seekor gajah ditemukan mati dan menjelaskan bahwa banyak keluar darah dari lubang-lubang alami.  Saya pun tidak mengira bahwa gajah yang mati adalah gajah PKG Seblat yang bernama Yanti, pertama kali mendengar saya mengira gajah liar.  Saya meminta mahout untuk langsung menghubungi Balai KSDA Bengkulu dan melaporkannya serta meminta mahout untuk memeriksa tubuh gajah apakah ada luka bekas tembakan, dan memeriksa lokasi sekitar apakah ada bekas muntahan untuk diamankan sebelum terkena hujan, dan apakah ada tanda-tanda bungkus makanan yang dibuang atau jejak kaki orang menuju ke lokasi tersebut. Yang ditemukan hanya bekas muntahan di mulut, disekitarnya tidak ditemukan tanda-tanda apapun, hanya tampak bekas jejak kaki gajah Yanti saja yang jalan-jalan di sekitar lokasi penggembalaan. 

Saat itu gajah Yanti berada di sebuah pulau kecil yang dikelilingi Sungai Seblat.  Lokasi tersebut memang rawan orang lalu lalang, baik orang yang mencari batu sungai untuk diperjualbelikan, maupun orang-orang yang ingin masuk kawasan HPK secara illegal untuk logging, berburu dan berbagai aktivitas illegal lainnya, yakni kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan TWA Seblat.  Dulunya kawasan tersebut adalah kawasan hutan Pusat Konservasi Gajah Seblat karena memang merupakan hutan sebagai tempat hidup tidak hanya gajah sumatera tetapi juga harimau sumatera dan beberapa satwa liar terancam punah lainnya seperti beruang, tapir, rusa sambar, siamang, owa sumatera dan lain-lain hingga kini, tetapi pada tahun 2011 telah terjadi perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan menjadi hutan yang bisa dikonversi sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor SK : 643/Menhut-II/2011, guna mengakomodasi perubahan tata ruang Provinsi Bengkulu yang diusulkan oleh pemerintah daerah. Hutan seluas 700an hektar tersebut menjadi incaran beberapa perusahaan tambang batubara.

Pemeriksaan Post Mortem Gajah Yanti
Kondisi saya sendiri sedang kurang sehat, sedang sakit kepala dan diare sejak malam itu dan berbagai kendala lainnya yang menyebabkan saya baru bisa sampai lokasi kematian gajah pada tanggal 8 November 2013.  Namun sejak tanggal 7 November 2013 sudah mulai bekerja mempersiapkan administrasi untuk perlengkapan pengiriman specimen ke laboratorium yang berada di Bogor, Jawa Barat, karena prosedur pengiriman specimen dari bagian-bagian tubuh satwa liar dilindungi itu tidak sederhana, banyak prosedur yang musti dilengkapi.  Dengan bantuan staff BKSDA Bengkulu yang berada di kantor balai semua persyaratan itu bisa diurus dengan cepat.  Di waktu yang bersamaan mahout yang berada di camp gajah mempersiapkan peralatan necropsy dan media yang akan digunakan untuk koleksi specimen.  Mereka adalah tim yang saya andalkan, yang sudah berpengalaman beberapa kali mengikuti saya melakukan necropsy satwa liar sehingga bisa mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan untuk necropsy dengan baik sebelum saya datang ke lokasi.  Saya tidak memiliki vet nurse atau vet tech tapi saya memiliki mereka yang bisa bekerja sekaligus sebagai vet nurse untuk membantu dokter hewan tidak hanya dalam pemeriksaan post mortem tetapi juga dalam setiap rescue satwa liar dan pengobatan serta physical restraint.

Sungai Seblat, batas alam antara kawasan hutan Pusat
Konservasi Gajah Seblat (TWA Seblat) dengan
perkebunan sawit masyarakat 

di seberang sungai tampak pulau dimana Gajah Yanti berada
Sebuah mobil dinas yang disediakan untuk mengantar saya ke lokasi pun sudah berangkat lebih dulu ke Seblat, dan saya pun akhirnya naik kendaraan umum (travel) setelah kondisi saya sehat kembali pagi itu. Akhirnya kami bertemu di Air Muring, yakni sebuah desa yang terletak di kecamatan terdekat sebelum memasuki kawasan PKG Seblat, sekitar 17 km dari camp Pusat Konservasi Gajah Seblat, yang biasa ditempuh selama 1 jam dengan kendaraan dengan kondisi jalan yang buruk.   Kami berempat menuju lokasi kejadian, di tengah perjalanan dari kejauhan terlihat langit di bagian hulu sungai tampak gelap dan Sungai Seblat telah banjir, ini pertanda buruk menurutku karena kami akan menyeberangi sungai tersebut. Disana sudah menunggu para mahout yang akan membantu necropsy.  Dengan dua buah mobil kami melewati perkebunan sawit masyarakat sekitar kawasan TWA Seblat dan parkir di pinggir Sungai Seblat.  Hujan rintik-rintik mulai turun, dan kami harus menyeberangi Sungai Seblat dengan berjalan kaki melewati arus sungai yang deras.  Siang itu sampai sore hari kami melakukan bedah bangkai diiringi hujan gerimis.  Pekerjaan ini harus cepat selesai untuk itu kami melakukan pembagian tugas guna menemukan organ-organ dalam yang kami perlukan untuk diperiksa, karena takut sungai akan banjir lebih besar lagi dan kami akan terjebak disana.  Akhirnya mendatangkan gajah jinak lainnya, salah satunya gajah Nelson yang merupakan gajah andalan untuk membantu menyeberangi sungai disaat banjir besar.

Necropsy Gajah Yanti
Dengan menggunakan masker, sarung tangan dan baju necropsy kami mulai melakukan tugas masing-masing untuk koleksi specimen.  Sebelumnya dilakukan pemeriksaan fisik terlebih dahulu dan pengambilan dokumentasi. Tidak ada bagian tubuh dari gajah Yanti yang hilang sebagai salah satu tanda adanya indikasi perburuan, seperti caling (Gajah Asia betina tidak memiliki gading tetapi hanya memiliki caling dengan ukuran lebih kecil), gigi dan kuku, semuanya masih utuh. Kemudian dilanjutkan ada yang membuka tengkorak untuk koleksi sampel otak, rongga dada untuk koleksi sampel di bagian rongga dada seperti darah dari jantung dan lain-lain serta membuka rongga perut untuk koleksi specimen seluruh saluran pencernaan beserta isinya, hati, limpa, ginjal, limphoglandula dan lain-lain.  Specimen tersebut akan dikirim ke laboratorium guna pemeriksaan histopatologi dan toxicologi, juga ada pemeriksaan tambahan lainnya yang diperlukan sesuai kebutuhan.  Ada yang bertugas membuka tengkorak, rongga dada dan rongga perut, sedangkan saya sendiri bertugas memeriksa bagian-bagian dari organ gajah tersebut dan mengambil specimen, dan ada juga yang bertugas untuk dokumentasi serta mengemas specimen.  Sore hari pekerjaan kami telah selesai. Dan tanggal 9 November 2013 dini hari kami baru sampai kembali ke kota Bengkulu untuk pengiriman specimen.

Makroskopis
Tampak adanya kerusakan serius di seluruh saluran pencernaan, pada lambung, usus sampai dengan anus.  Kerusakan serius juga tampak pada hati dan limpa.  Adanya pendarahan hampir diseluruh tubuh terutama saluran pencernaan yang berwarna merah gelap.  Dan terdapat warna abu-abu sampai dengan kehitaman pada isi saluran cerna dan mucosa saluran cerna.  Mucosa saluran cerna juga tampak melepuh seperti luka bakar. Akumulasi gas yang berlebihan pada rongga dada, rongga perut dan di seluruh saluran cerna yang membuat mucosa menegang.  Gejala klinis seperti itu sebelumnya kami jumpai pada beberapa gajah liar yang ditemukan mati karena keracunan.  

Sehingga diduga kematian gajah Yanti disebabkan keracunan yang kemungkinan diberikan melalui makanan. Namun perlu adanya penegakan diagnosa secara laboratoris untuk memastikan apakah dugaan penyebab kematian tersebut benar-benar keracunan atau tidak, juga bisa untuk mengidentifikasi jenis racun yang termakan dan konsentrasinya sehingga bisa menyebabkan kematian atau kemungkinan ada penyebab kematian lainnya. Dalam penyidikan kasus wildlife crime perlu ada bukti-bukti akurat yang menunjukkan bahwa satwa tersebut benar-benar mati karena racun dan bukan penyebab lainnya.  Maka pemeriksaan laboratorium diperlukan.  Dokter hewan hanya bisa mencari tahu penyebab kematian satwa liar dengan pemeriksaan post mortem yang dilakukan tetapi tidak bisa mengetahui siapa pelakunya karena itu tugas penyidik baik dari kepolisian ataupun PPNS.

Kenangan bersama Gajah Yanti
Yanti and Roby
Bagi saya, dia adalah gajah yang istimewa, karena diberi nama seperti nama saya 'Yanti'.  Disaat sedang mendekati gajah liar bernama Simon, saya pernah berusaha menaikinya dan dia berulangkali menjatuhkan saya dari punggungnya sebanyak tiga kali.  Ternyata memiliki nama yang sama tidak menjamin dia akan bersikap baik dengan saya....hehe!  Dan saat saya menginformasikan melalui message dari phone cell saya bahwa Yanti ditemukan mati, yang membuat orang di kantor kaget dan malah mengira saya sendiri yang meninggal :)  

Setiap ekor gajah sumatera yang berada di Pusat Konservasi Gajah Seblat sangat berarti buat kami, bahkan untuk dipindahkan dari sana ke lembaga konservasi eksitu seperti kebun binatang yang bersifat komersiil saja kami menolaknya.  Siapapun itu pelakunya yang pasti sungguh biadab.  Kasus ini membuat kami sangat terpukul dan tak bisa berkata apa-apa, hanya satu hal yang kami inginkan, "usut, tangkap, penjarakan !!!", untuk memberi efek jera pada siapa saja yang menyakiti satwa liar agar hal serupa tidak terulang lagi. Meski itupun tidak mudah karena kami menyadari bahwa bekerja untuk konservasi itu banyak musuhnya.    

Senin, 06 Mei 2013

malnutrisi pada gajah sumatera (spending my time on this weekend to treat elephant)

" Malnutrition on sumatran elephant, It may result from : inadequate or unbalanced diet; problems with digestion or absorption; and certain medical conditions. Malnutrition can occur if the elephants do not eat enough food. Starvation is a form of malnutrition. "  

Gajah jinak di PKG Seblat. Photo : Erni Suyanti Musabine
Permasalahan perawatan gajah jinak yang tersulit untuk diatasi adalah bila terjadi gangguan kesehatan akibat manajemen pemeliharaan yang kurang maksimal sehingga gajah mendapatkan pasokan nutrisi yang kurang dalam jangka waktu lama sehingga pada akhirnya menyebabkan malnutrisi.  Hal ini biasanya sangat erat hubungannya dengan cara perawatan sehari-hari dan perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan yang berhubungan dengan perilaku alaminya.  Keduanya sangat berhubungan erat, salah satu tak terpenuhi akan berpengaruh terhadap kondisi lainnya.

Sepertinya dua tahun terakhir ini dan tahun berikutnya saya akan lebih sering menangani gangguan kesehatan gajah akibat kurangnya intake nutrisi dibandingkan karena agen penyakit.  Kedua penyebab tersebut sama-sama berakibat terhadap gangguan kesehatan pada gajah jinak.  Dan keduanya mempunyai cara penanganan yang sangat berbeda.  Penanganan gajah karena penyakit akan terlihat lebih mudah bila telah diketahui agen penyebabnya dan kemudian bisa diberikan pilihan obat yang tepat.  Pengobatannya pun tak perlu membutuhkan pendekatan khusus terhadap perawatnya (mahout).  Berbeda halnya dengan gangguan kesehatan gajah jinak karena malnutrisi, hal ini sangat erat hubungannya dengan cara pengelolaan, dan untuk memperbaikinya tidak hanya dibutuhkan tambahan pakan yang bergizi selama therapy tetapi juga dibutuhkan kesadaran dari perawatnya untuk merubah pola penggembalaan sehingga gajah jinak mendapat intake nutrisi yang berkecukupan.  Dan merubah pola pikir dan pola kerja seseorang itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu pendekatan agar mereka mau mengikuti saran yang kita berikan.  Disamping itu juga pemenuhan kebutuhan alaminya musti diperhatikan.

Gajah Bona bersama Desi,
10 April 2011
Photo : Erni Suyanti Musabine
Dua tahun yang lalu tepatnya mulai bulan Agustus 2011, seekor
Gajah Bona mendapat pakan extra,
22 Juli 2011

bayi gajah liar yang yatim piatu hasil rescue dari perkebunan sawit PT. Alno Agro Utama mengalami malnutrisi dalam jangka waktu lama, kurang lebih sekitar 7 bulan.  Sebelum itu terjadi, nafsu makannya cukup bagus, baik berupa susu rendah lactosa maupun solid food yakni bubur yang terbuat dari beras, kacang hijau, gula merah, wijen, garam dan santan kelapa dan terkadang juga dicampur dengan pisang masak dan tajin (air rebusan beras) sesuai dengan saran dari seorang teman dokter hewan di Sumatera yang punya pengalaman dalam menangani bayi gajah Sumatera.  Sehari anak gajah tersebut mampu menghabiskan 2 periuk besar bubur, setiap pagi dan sore hari. Belum termasuk makanan padat lainnya yang diberikan seperti buah-buahan, tebu, rumput gajah, daun nangka, daun bambu, pakan alami dan lainnya.  Disaat awal kedatangnya di Pusat Konservasi Gajah Seblat pada bulan April 2011, anak gajah tersebut diberi induk angkat, sebelumnya disosialisasikan terlebih dahulu dengan beberapa gajah induk betina untuk memilih mana yang disukai.  Namun pada bulan Juli 2011, anak gajah itu dipisahkan paksa dengan induk angkatnya tanpa alasan yang jelas yang pada akhirnya membuat gajah tersebut tidak ada tempat untuk berlindung dan belajar.  Sebulan berikutnya, anak gajah itu tidak mau lagi menerima makanan tambahan yang diberikan, baik berupa susu dan bubur, nafsu makannya menurun yang berlangsung pada waktu lama . Meskipun segala upaya dilakukan waktu itu selama berbulan-bulan untuk memberi makanan tambahan berupa segala macam buah-buahan, bubur, susu, rumput gajah, pakan alami dan lain-lain sesuai dengan beberapa saran dan hasil diskusi dengan kawan-kawan dokter hewan gajah dari beberapa negara seperti Sri Lanka, India dan negara lainnya yang sudah terbiasa merawat bayi gajah liar yang yatim piatu di negaranya yang saya ajak untuk berdiskusi tentang perawatan bayi gajah disela-sela waktu menghadiri Konferensi Ilmiah Dokter Hewan Gajah Asia, namun semua saran tersebut tidak bisa diaplikasikan dengan mudah karena memang anak gajah tidak punya nafsu makan, dalam kesendirian  tanpa kelompok dan lebih memilih makan rumput di sekitar camp PKG Seblat, itupun dalam jumlah tak banyak variasinya. 

Gajah Bona bersama Aswita, TWA Seblat, 2 Maret 2012
Photo : Erni Suyanti Musabine

Tujuh bulan berikutnya, kondisinya sangat kritis.  Saya berpikir, bahwa satwa liar sebenarnya mirip dengan manusia, mereka punya perasaan sedih, bahagia, tenang, nyaman dan lain-lain.  Dan menurut saya memberikan makanan apapun yang disukai oleh gajah dan semahal apapun harganya dan sebaik apapun kandungan nutrisinya akan sia-sia bila kita tidak memenuhi kebutuhan alaminya terlebih dahulu yakni dengan membuat dia merasa bahagia, nyaman, merasa terlindungi dan berbagai perasaan lainnya yang diinginkan oleh seekor anak gajah disaat usianya belum disapih. Dan manusia tidak bisa melakukannya, tidak bisa memposisikan diri layaknya sebagai induk gajah, hanya sesama gajahlah yang bisa melakukan itu. Untuk kasus ini, pengobatan pertama yang harus dilakukan adalah memberi anak gajah itu induk baru sebagai ibu angkatnya.  Sehingga langkah awal yang musti dilakukan adalah melakukan pendekataan kepada mahout untuk mencari mahout ideal yang bersedia  merawat bayi gajah dan sekaligus merawat induk gajah yang disukai untuk diikuti oleh bayi gajah secara bersamaan. Setelah itu baru dilakukan pengobatan kedua, yakni therapy nutrisi.  Bagaimanapun dalam kondisi bahagia, nafsu makan akan normal kembali dan apapun yang kita berikan padanya pasti akan termakan dan terminum.  Semua diluar dugaan, setelah memiliki ibu angkat baru, nafsu makannya berangsur-angsur normal kembali karena ada rasa bahagia dan rasa nyaman selalu dekat induk seperti halnya perilaku alaminya, seumur hidup gajah betina akan selalu bersama kelompoknya dengan gajah-gajah betina lainnya, dan bahkan akhirnya telah banyak belajar dengan cepat dari induk barunya bagaimana mencari makan dan belajar tentang makanan gajah alami di hutan. Selama hampir tujuh bulan dalam kesendirian dan tinggal di lingkungan manusia tidak banyak yang bisa dipelajari olehnya, tidak bisa memilih makanan apa saja yang bisa dimakan dan cenderung makanan alami yang dipilih kurang bervariasi.  Juga terlihat kurang nyaman dan sering ketakutan terutama saat hujan deras dan mendengar suara air yang membuatnya sering berlari menjauh karena takut dan bahkan beberapa kali menjebol pintu ruangan untuk berlindung di dalam rumah.  Kehadiran induk gajah baru yang melindunginya sepanjang hari membuatnya berubah dan dapat memperbaiki psikologinya, lambat laun menjauhi aktivitas manusia dan lebih banyak tinggal bersama gajah lainnya meski hujan deras sekalipun, dia tetap merasa nyaman bersama gajah daripada berlindung di tempat manusia.

Mengajari Gajah Bona
Mencari Pakan Alami
Photo : Erni Suyanti Musabine
Satu pelajaran terpenting yang saya dapatkan saat itu dalam menangani satwa liar, yakni : "sepintar-pintarnya manusia, dan sebesar-besarnya rasa sayang dan kepedulian manusia terhadap gajah namun tidak ada yang bisa memperlakukan gajah itu sebaik yang dilakukan oleh sesama gajah".  Karena mereka memiliki bahasa yang sama, bisa komunikasi dengan mudah, memiliki perilaku alami yang sama sehingga dengan mudah bisa meniru apa yang dilakukan gajah dewasa dalam mencari makan daripada menirukan apa yang dilakukan manusia selama mengajarinya. Dan manusia hanya bisa memperlakukan gajah seperti dia memperlakukan makhluk lainnya dengan cara manusia bukan dengan cara gajah.  Dengan strategi pengobatan seperti itu akhirnya anak gajah tersebut bisa diselamatkan dan dipulihkan kondisinya.  Seorang teman dokter hewan satwa liar dari Paris, Perancis Dr. Norin Chai pernah berkata pada saya setelah saya menceriterakan secara singkat tentang kondisi anak gajah itu padanya via email dan saat dia berkunjung dan mengamati perilaku anak gajah itu secara langsung, "Yanti, all she need is love".  Akhirnya kata-kata itupun menjadi judul sebuah film dokumenter untuk televisi Perancis tentang pengobatan satwa liar di Indonesia termasuk pengobatan harimau sumatera dan gajah sumatera, dimana dia terlibat dalam film tersebut dan juga bersama saya sendiri pada tahun 2012.   Maksudnya, yang dibutuhkan anak gajah itu adalah cinta,  dia merindukan seorang ibu dan merindukan bisa bersosialisasi dengan gajah betina lainnya, itu obat pertama yang harus diberikan, baru kemudian perbaikan nutrisi.  Tanpa memberikan cinta terlebih dulu pengobatan lainnya tidak akan berhasil.  Kata-katanya selalu membekas dibenak saya sampai sekarang, bahwa dalam penanganan gangguan kesehatan pada satwa liar, kebutuhan alaminya harus dipenuhi untuk menunjang pengobatan lainnya agar pengobatan yang dilakukan berhasil dengan baik.  Sedangkan untuk perbaikan nutrisinya seorang teman dokter hewan dari Queensland, Australia Dr. Amber Gillets mengatakan pada saya bahwa dia bersedia untuk membantu dan berencana menghubungkan saya dengan temannya yang saat itu sedang berada di Bali untuk mengkoordinir volunteer guna pencarian bantuan.  Dia adalah teman lama saya yang saya kenal pada saat saya menjadi volunteer dokter hewan di tempat dia bekerja, di Australia Zoo Wildlife Hospital, kebetulan dia sedang berada di Sumatera dan kemudian mengunjungi saya di Bengkulu.  Setelah kami berdiskusi tentang kondisi bayi gajah tersebut dan segala permasalahan yang saya hadapi dalam upaya perbaikan kondisinya, akhirnya dia berjanji pada saya untuk membantu dengan mencarikan bantuan nutrisi guna mendukung upaya yang telah kami lakukan selama ini dan dia mengatakan, "Yanti, saya tidak ingin gajah itu mati, saya akan membantunmu". Kemudian saya berkoordinasi dengan Kepala Balai KSDA Bengkulu untuk mendapatkan dukungan dan meminta arahan apa yang seharusnya dilakukan mengingat pemberian bantuan kepada instansi pemerintah ada prosedurnya agar bantuan tidak disalahgunakan.  Setelah mendapat dukungan dari Kepala Balai KSDA Bengkulu pada masa itu akhirnya program perbaikan nutrisi bayi gajah baru bisa dimulai bulan Maret 2012.  Dan pada saat itu Kepala Balai mengeluarkan Surat Perintah Tugas khusus pada saya  untuk  perbaikan kondisi kesehatan bayi gajah dan melaporkan perkembangan kondisinya kepada Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan secara berkala, mengingat sebelumnya sejak bulan Agustus 2011 penanganan gajah jinak di PKG Seblat tidak diserahkan pada tenaga medis tetapi ditangani oleh tenaga fungsional lainnya.

Sebelumnya diawal tahun 2012 saya juga telah menghubungi seorang kolega yang bekerja dengan gajah untuk membantu, tetapi karena ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum bantuan bisa diberikan dan kami kesulitan memenuhi persyaratan yang diajukan sesegera mungkin maka pemberian bantuan tidak bisa diberikan secepatnya sesuai dengan yang kami perlukan.  Dalam penanganan satwa liar dalam kondisi kritis tidak bisa ditunda-tunda dan tidak bisa menunggu, harus dilakukan sesegera mungkin, oleh karena itu saya segera mencari alternatif lainnya, yakni menghubungi beberapa orang yang saya kenal dengan baik untuk bisa membantu dan berdiskusi terutama dokter hewan yang bekerja untuk gajah Asia.  Biaya perawatan bayi gajah jauh lebih besar dibandingkan gajah dewasa, sehingga untuk menambah kekurangan biaya dari operasional PKG Seblat, pada waktu awal perbaikan kondisi bayi gajah, bantuan didapatkan dari seorang teman dari Tiger Protection and Conservation Unit untuk penyediaan pakan tambahan berupa susu dan solid food selama tiga bulan.  Teman saya yang satu itu selalu siap sedia membantu saya bila sedang mengalami kesulitan dalam penanganan satwa liar dalam kondisi kritis.  Selain itu juga dibantu oleh Taman Safari Indonesia atas dukungan dari Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan, berupa obat-obatan dan mineral.  Kami juga mendapatkan bantuan dari PT. Agricinal yang berdekatan dengan PKG Seblat.  Sebelumnya pada tahun 2011 untuk perawatan bayi gajah sejak direscue dibantu oleh Asian Elephant Support secara rutin melalui seorang teman yakni Linda Reifschneider dan Veterinary Support for Sumatran Wildlife Conservation untuk pengadaan pakan tambahan berupa susu, bubur, buah-buahan, tebu dan pakan tambahan lainnya setiap bulan.  Kemudian pemberian bantuan untuk bayi gajah tersebut diteruskan oleh volunteers Australia berkat jasa seorang teman saya dari Australia Zoo Dr. Amber Gillets.   Sebagai dokter hewan mempunyai networking yang luas itu sangat bermanfaat dan mempermudah pekerjaan, karena persoalan medis yang dihadapi bisa dicarikan solusi secara bersama-sama dengan kolega lainnya.

Satu bulan terakhir saya mendapati kasus yang serupa, yakni seekor induk gajah yang sudah terlihat kurus sejak beberapa bulan sebelumnya.  Saya berpikir bahwa gajah itu tidak akan berumur panjang bila tidak dirubah cara pemeliharaannya, karena semakin hari terlihat semakin kurus, padahal sebelumnya dia bisa mencapai berat badan lebih dari 2,5 ton (> 2500 kg).  Sebagai dokter hewan, saya hanya bisa menawarkan beberapa opsi kepada mahout-nya (pawang gajahnya) tentang perlunya merubah cara perawatan dengan beberapa alternatif yang bisa dilakukan, yakni tidak boleh diikat dengan rantai agar gajah bebas mencari pakan alami selama di hutan dan selama therapy diberi makanan tambahan berupa rumput gajah, pisang, gabah, tebu dan dibuatkan supplemental fodder dari bahan-bahan olahan yang mengandung nutrisi tinggi. Tetapi itu diperlukan komitmen dari perawatnya bila benar-benar ingin gajahnya pulih kembali kondisinya.  Tidak ada obat-obatan kimiawi yang bisa menyembuhkan malnutrisi dan hanya bisa digunakan untuk memperbaiki kondisinya sementara, yang bisa digunakan untuk therapy  hanyalah makanan yang cukup dan bergizi untuk gajah.

Gajah Tria roboh karena malnutrisi, TWA Seblat, 5 Mei 2012
Photo : Erni Suyanti Musabine
Bila kondisi tersebut tidak cepat diperbaiki lama-kelamaan bisa menyebabkan gajah menjadi kurus, lemah dan kurang tenaga, bahkan bisa menyebabkan kematian. Pengalaman saya pada bulan Desember tahun 2005 saat saya menjadi sukarelawan dokter hewan di Pusat Konservasi Gajah Minas, Riau, saya mendapati dua ekor gajah dengan kondisi yang sama, yakni mengalami malnutri, yang pada akhirnya mati setelah kondisinya sangat parah dan tidak dirubah pola penggembalaannya dan pola makannya sehingga tidak bisa tertangani. Kondisi malnutrisi secara laboratoris bisa menunjukkan tanda-tanda kurang darah (anemia) dan hypoproteinemia.  Sebagai diagnosa deferensial adalah kasus infestasi endoparasit (cacing) dalam jumlah banyak ataupun karena parasit darah.  Namun dalam kasus infestasi parasit biasanya juga disertai dengan tingginya nilai limfosit dari hasil pemeriksaan hematologi.  Hasil pemeriksaan umum juga ditemukan adanya peningkatan temperatur tubuh bisa mencapai 40-41C pada kasus parasit darah, dan gajah mengalami kekurusan, berdasarkan penilaian body condition index (BCI) score-nya adalah 1, mucosa tampak pucat (mulut dan belalai), lemah dan kaki tremor (gemetar) saat bergerak serta seringkali roboh dan tidak bisa bangun sendiri.   Beberapa gajah juga bisa menunjukkan gejala klinis edema ventralis terutama pada bagian mandibula, leher dan perut bagian bawah, sering menggaruk-garukan badan karena gatal, kulit menjadi mudah terluka dan kering seperti dilapisi plastik.  Lama-kelamaan bila dibiarkan bisa menyebabkan kematian.

Rescue Gajah Tria - 5 Mei 2013
Video created by Erni Suyanti Musabine

Langkah-langkah yang diambil adalah pemberian obat-obatan supportive, infuse karbonhydrat dan memindahkan gajah dengan bantuan gajah jinak lainnya dari lokasi penggembalaan yang panas dan tak banyak ketersediaan pakan alami menuju ke camp PKG Seblat untuk mendapatkan terapi pakan tambahan yang bernutrisi tinggi selama beberapa hari sampai tenaganya pulih kembali, tidak lemah dan tidak sering roboh lagi.  Setelah satu hari menjalani terapi pakan, gajah tersebut sudah bisa bangun sendiri tanpa bantuan gajah jinak lainnya, dan saat kondisinya benar-benar pulih gajah tersebut dilepaskan ke hutan untuk mencari pakan alami sendiri dengan dilakukan kontrol setiap pagi dan sore hari. 

Dalam penanganan kasus seperti itu maka yang perlu dilakukan adalah segera melakukan monitoring pola makan dan penggembalaan guna mengetahui nafsu makan dan variasi makanan yang tersedia bagi gajah di lokasi penggembalaan.  Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan hematologi, serologi dan parasitologi dari sampel feces dan blood smear (preparat ulas darah) untuk mengetahui ada tidaknya infestasi parasit pada gajah.  Dari hasil pemeriksaan laboratorium  tersebut dan hasil pemeriksaan di lapangan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan bagaimana therapy (pengobatan) yang akan dilakukan.  Dan yang tidak kalah penting adalah perlu adanya koordinasi dan kerjasama yang baik dengan mahout (pawang gajah) yang menangani gajah tersebut dan petugas pakan gajah, karena pengobatan gajah tidak bisa dilakukan oleh dokter hewan sendiri, atau tidak bisa dilakukan oleh perseorangan tanpa melibatkan peran penting dari mahout dan petugas pakan serta diperlukan dukungan penuh dari pihak management authority, semua dari komponen tersebut harus saling mendukung untuk keberhasilan suatu upaya pengobatan gajah.  Bila salah satu pihak tersebut ada yang kurang mendukung maka perbaikan kondisi kesehatan gajah akan sulit dilakukan, sehingga diperlukan kesadaran semua pihak bahwa penyelamatan satwa liar dilindungi yang terancam punah itu sangat penting, tidak kalah pentingnya dengan kegiatan-kegiatan di bidang kehutanan lainnya.  Apalagi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) telah dimasukan dalam kategori  critically endangered species menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN).  Selain itu captive wildlife management sangat berbeda dengan pengelolaan kegiatan  di bidang kehutanan lainnya.

Note :
Bekerja menangani makhluk hidup harus dengan hati, diperlukan orang yang punya  idealisme dan loyalitas kerja tinggi untuk tujuan konservasi satwa liar dan bukan hanya bekerja dengan tendensi keproyekan saja, juga perlu pengetahuan luas terutama tentang wildlife managament termasuk didalamnya tentang behavior, animal welfare dan beberapa hal yang menunjang pengelolaan, serta juga diperlukan networking yang luas dengan pihak-pihak terkait yang mendukung.

Jumat, 07 September 2012

Peran Profesi Dokter Hewan dalam Membantu Aparat Penegak Hukum

Sebagai dokter hewan yang bekerja untuk konservasi satwa liar, tugasnya tidak hanya melakukan program perawatan kesehatan satwa saja baik pencegahan maupun pengobatan serta penyelamatan satwa dari aktivitas perburuan liar, tetapi juga terkadang dilibatkan dalam membantu proses penegakkan hukum, seperti melakukan pemeriksaan nekropsi dan membuat visum et repertum untuk membantu pihak aparat penegak hukum guna keperluan penyidikan dan  sebagai saksi ahli dalam persidangan di pengadilan sesuai dengan bidang/ profesi yang digeluti.  

Gajah sumatera 'Dino'
Tanggal 2 September 2012
Seperti halnya dengan adanya kasus kematian seorang mahasiswa yang terbunuh oleh seekor gajah jantan  jinak bernama Dino di dalam kawasan TWA Pantai Panjang tanggal 1 September 2012 lalu.  Gajah tersebut dipelihara oleh salah satu hotel di areal wisata Pantai Panjang, Bengkulu, digunakan untuk gajah tunggangan bagi pengunjung yang berwisata di Pantai Panjang.

Saat sedang berada di Pusat Konservasi Gajah Sebelat bersama kolega melakukan program perawatan kesehatan gajah rutin serta program pelatihan seekor anak gajah, saya mendapat panggilan darurat dari BKSDA siang itu, bahwa ditugaskan untuk segera melakukan investigasi dan evaluasi terhadap adanya kasus kematian seorang mahasiswa karena diserang gajah jinak di kota Bengkulu dan melakukan pemeriksaan terhadap gajah tersebut.  Sebelum berangkat ke lokasi kejadian, kami melakukan koordinasi segera dengan management hotel selaku pemelihara gajah, dan dengan management authority yakni BKSDA untuk mencari informasi tentang kejadian tersebut sehingga diketahui tindakan apa yang sebaiknya dilakukan.  

Informasi awal yang saya dapatkan saat itu dari pihak management hotel, sebagai berikut :
"Ada tiga orang mahasiswa yang sedang outbound di areal Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang yang juga merupakan lokasi tempat pengangonan gajah bernama Dino dan Natasya. kemudian gajah Dino tersebut mengejar mereka, dua orang bisa melarikan diri dan menghindar, sedangkan satu orang terjatuh dan akhirnya diinjak gajah dan ditusuk dengan gadingnya hingga tewas."

Dan sebelum mendatangi lokasi kejadian saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka seperti dibawah ini :
  1. Dimana lokasi kejadian perkara (TKP) ?
  2. Pukul berapa kejadian tersebut terjadi ?
  3. Apakah gajah Dino sedang dalam kondisi musth ?
  4. Apakah ketiga orang tersebut mendekati areal tempat pengangonan gajah dalam jarak dekat atau gajah yang mendatangi mereka ?
  5. Apakah saat kejadian gajah tersebut sedang bersama mahout (pawang gajah) atau tidak ?
  6. Apakah saat sebelum kejadian gajah Dino dalam kondisi diikat rantai atau dalam kondisi bebas ?
  7. Apakah gajah Dino sedang bersama gajah Natasya atau diangon sendirian ?
  8. Apakah gajah Dino masih bisa diperintah/ dikendalikan oleh mahout setelah kejadian tersebut  atau tidak ?
Beberapa pertanyaan diatas untuk memberikan gambaran singkat pada saya apa yang sebenarnya terjadi sebelum kami melakukan pemeriksaan secara detail terhadap gajah itu dan pihak-pihak terkait, sehingga bisa mempersiapkan peralatan, dan mungkin obat-obatan untuk keperluan chemical restraint dan juga petugas yang sekiranya bisa membantu dalam penanganan kasus ini.


Gajah sumatera bernama Dino dan Mahoutnya
Tanggal 2 September 2012
Setelah selesai melakukan pelatihan dasar pada anak gajah Bona di PKG Sebelat, Kabupaten Bengkulu Utara, malam itu pukul 07.00 saya bersama tim yakni seorang kolega dokter hewan dari mitra PKG Seblat dan polisi kehutanan berangkat menuju kota Bengkulu.  Sampai di kota Bengkulu sekitar pukul 01.30  dini hari. Dan menginap di hotel tempat kedua gajah tersebut dipelihara.  Pukul 06.30 pagi itu, saya berkeliling hotel dan menuju ke lokasi gajah berada.  Kulihat dari jauh, gajah Dino dan Natasya sedang ditambat.  Tujuan saya saat itu adalah ingin bertemu dengan mahout (pawang gajah) disana sebelum kami mulai bekerja.  Karena mereka adalah kawan-kawan saya dan saya juga salah satu dokter hewan konsultan bagi perawatan kesehatan gajah-gajah mereka sejak 3 tahun terakhir, dan juga sudah mengenal gajah-gajah mereka.  Pagi itu saya bertemu keluarga mahout gajah Dino, dan saya mendapat informasi pertama dari mahout yang menangani kedua gajah disana pada hari terjadinya musibah itu.  Dan saya juga bertemu dan diskusi dengan mahout lainnya yang merupakan kawan baik saya sejak lama.  Kemudian kami mendekati gajah Dino namun tidak lama berada disana karena saya harus cepat-cepat menuju ke rumah dinas Kepala Balai KSDA untuk rapat koordinasi sebelum kami mulai bekerja melakukan pemeriksaan terhadap gajah tersebut dan lainnya.  Kemudian saya dan tim kembali lagi ke hotel yang pelihara gajah tersebut untuk mulai melakukan pemeriksaan.

TKP - TWA Pantai Panjang
Tanggal 2 September 2012 pukul 09.50 pagi, dimulai dengan pemeriksaan TKP (Tempat Kejadian Perkara) di Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang, didampingi oleh mahout gajah Dino, kepala Resort KSDA Kota Bengkulu, beberapa  Polhut dan PEH, dengan memeriksa tempat tambatan gajah saat pengangonan, dan lokasi korban dibunuh gajah.  Setelah mendapat informasi yang cukup dari mahout gajah Dino, kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan interview mahout yang dimulai pukul 10.26 dan pada pukul 10.42   dilanjutkan dengan pemeriksaan perilaku gajah dengan melihat sejauh mana gajah bisa menerima komando dari mahout dan menjalankannya, pemeriksaan kesehatan serta pemeriksaan peralatan yang digunakan untuk handling gajah. Pukul 11.14 dilakukan pemeriksaan terhadap pihak management.  Setiap informasi yang kami peroleh dan hasil pemeriksaan gajah dan TKP selanjutnya akan menjadi bahan rekomendasi yang akan disampaikan ke Balai KSDA dan kemudian untuk membantu keperluan penyidikan kepolisian serta evaluasi perijinan pemeliharaan gajah oleh pihak ketiga.


Terbunuhnya seseorang oleh gajah jantan yang telah dijinakkan, siapa yang patut dipersalahkan, manusia atau gajah ?
Kasus gajah jantan menyerang orang hingga tewas sudah beberapa kali terjadi di Sumatera.  Sebelum kejadian di kota Bengkulu pada tanggal 1 September 2012, yakni seorang mahasiswa yang sedang melakukan survey untuk outbound di Taman Wisata Alam Pantai Panjang tewas setelah dikejar, diinjak dan ditusuk dengan gading oleh seekor gajah jantan bernama Dino, juga pernah terjadi kematian seorang mahout yang dibunuh oleh seekor gajah jantan yang sedang dalam periode musth di Pusat Konservasi Gajah Holiday Resort, Sumatera Utara dan gajah jantan bernama Reno telah menyerang dan menginjak koordinator Pusat Konservasi Gajah Minas, Riau yang pada akhirnya meninggal dunia dua minggu kemudian setelah kejadian tersebut. Untuk memahami mengapa gajah jantan berperilaku seperti itu, mungkin kita perlu tahu mengenai  perilaku alami (behavior) gajah jantan.
Gajah sumatera bernama Dino dan Natasya
Pantai Panjang, Bengkulu - 2 September 2012
Gajah jantan dewasa di alam liar hidup secara soliter (sendiri) tanpa kelompok, hanya kadang-kadang dia akan mendekati kelompok gajah betina yang mana bila ada dari mereka yang siap untuk dikawini kemudian kembali pergi meninggalkan kelompok betina untuk menjelajah sendiri.  Dalam kehidupannya yang soliter, gajah jantan terbiasa mengambil keputusan sendiri untuk setiap apa yang dia mau lakukan tanpa adanya perintah atau tekanan dari gajah lainnya. Saat gajah jantan dijinakkan maka dia dipaksa untuk mengikuti perintah manusia meskipun itu tidak sesuai dengan perilaku alaminya yang tidak tunduk pada siapapun.  Gajah jantan dewasa adalah pemimpin bagi dirinya sendiri, dia tidak tunduk pada gajah jantan lain dan juga tidak sebagai pemimpin bagi gajah jantan lainnya.  Bila orang bisa menjadi lebih dominan pada gajah jantan dewasa maka gajah tersebut akan mengikutinya, tetapi bila gajah jantan bisa menunjukkan bahwa dia lebih dominan dari manusia maka dia tidak akan bisa dikendalikan atau tidak mau diatur oleh manusia. Gajah jantan dewasa juga mengalami perubahan perilaku saat dalam periode musth, yakni kondisi dimana secara fiisk gajah jantan mengalami pembengkakan pada kelenjar temporal dan selanjutnya keluar cairan terus-menerus pada bagian tersebut, sering urinasi, tidak merespon perintah dengan baik dan cenderung agresif pada siapa saja dan apa saja yang ada didekatnya. Musth bisa terjadi sampai dengan dua bulan lamanya, kadang kurang atau lebih lama dari itu dan berbeda pada setiap individu gajah.  Kasus kematian orang diserang gajah biasanya terjadi pada periode ini, terutama disaat awal atau akhir periode musth karena tanda-tanda musth belum tampak secara jelas sehingga orang kurang mewaspadai kalau gajah sedang dalam kondisi musth.
Selain itu diluar periode musth, gajah jantan harus tetap diwaspadai karena secara alami gajah jantan dewasa hidup sendiri, dengan kehadiran manusia didekatnya dan manusia bersikap mendominasi sehingga memaksa gajah jantan untuk berperilaku diluar perilaku alaminya, dan dalam kondisi seperti itu dia juga akan punya keinginan untuk melawan bila ada kesempatan dan bila dia telah berhasil menunjukkan bahwa dia bisa menjadi dominan.
Dan ini sangat berbeda dengan perilaku alami pada gajah betina, karena gajah betina di alam liar hidup dalam kelompok dan mengenal adanya atasan dan bawahan, dan terbiasa hidup dalam kendali gajah lain yang menjadi pimpinannya dalam suatu kelompok sehingga saat berada dekat dengan manusia maka gajah betina lebih terbiasa menerima perintah dan lebih mudah dikendalikan.