Beruang madu (Helarctos malayanus) merupakan satwa liar dilindungi UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena statusnya sudah terancam punah, dan sudah dilindungi di Indonesia sejak tahun 1973. Merupakan beruang terkecil dibandingkan dengan kedelapan jenis beruang yang ada di dunia. Hidup di hutan tropis Asia termasuk di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Rabu malam tanggal 9 Juli 2014 saya mendapat telepon (emergency call) dari seorang pejabat BKSDA Bengkulu yang menginformasikan bahwa ada seekor beruang madu terkena jerat pemburu di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Kejadian tersebut baru diketahui pagi hari sekitar pukul 10.00 WIB. Malam itu saya tidak jadi tidur, dan mulai mempersiapkan peralatan dan obat-obatan untuk keperluan rescue satwa liar, serta mempersiapkan peralatan pribadi dalam ransel yang berbeda, karena dalam setiap rescue satwa liar kita harus selalu berpikir bahwa kegiatan itu tidak selalu selesai dalam waktu satu hari, seringkali perlu menginap di lokasi.
Malam itu hujan deras dan tak kunjung reda, akhirnya salah satu Kepala seksi di BKSDA Bengkulu mengatakan bahwa kami akan berangkat besok pagi. Akhirnya saya manfaatkan waktu malam harinya untuk diskusi secara on line dengan kolega dokter hewan yang pernah bekerja untuk beruang guna mendapatkan informasi tambahan, selain saya sibuk membaca beberapa referensi tentang chemical restraint untuk beruang madu dan segala efek samping yang menyertainya.
Pagi itu, Kamis tanggal 10 Juli 2014, setelah selesai membuat daftar dosis obat-obatan yang akan dipakai , saya berangkat ke kantor BKSDA Bengkulu dengan membawa dua buah ransel, yakni satu berisi peralatan rescue dan obatan-obatan, satunya lagi berisi perlengkapan pribadi. Sesampainya di kantor tersebut saya bertemu dengan salah satu Kepala Seksi yang kebetulan lokasi beruang madu yang terjerat berada di wilayah kerjanya, dan untuk menanyakan dengan siapa saja saya akan berangkat hari itu. Sedikit kecewa saat mengetahui tim rescue yang akan berangkat belum ditentukan, ternyata antar pejabat di internal BKSDA Bengkulu sendiri saling melempar tanggung jawab dan ironisnya lagi tidak ada yang berani membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan. Tentu saya tidak mau lama menunggu sampai ada keputusan, akhirnya membuat keputusan sendiri dengan menentukan sendiri petugas siapa saja yang akan berangkat bersama saya ke lokasi kejadian. Tentu saya memilih orang-orang yang kerjanya profesional. Saya memutuskan dua orang polisi kehutanan yang juga anggota SPORC (Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat) yang sudah punya banyak pengalaman menangani penyelamatan satwa liar dan satunya lagi punya kemampuan dalam pemetaan, serta mengajak seorang pegawai baru calon PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) yang baru bekerja beberapa bulan di BKSDA Bengkulu untuk bergabung dengan maksud agar dia punya pengalaman baru dalam rescue satwa liar. Selain itu saya juga memasukan polisi kehutanan (polhut) yang bekerja di resort setempat untuk bergabung dalam rescue ini. Bagiku petugas tidak perlu banyak yang penting bisa bekerja secara efektif dan efisien baik dari segi tenaga dan dana.
Dengan menggunakan sebuah mobil patroli kehutanan dan dengan membawa kandang angkut, kami berempat berangkat menuju Kabupaten Kaur pada pukul 11.47 WIB. Sesampainya di Kabupaten Bengkulu Selatan kami menjemput seorang Polhut dan PEH yang akan ikut serta ke lokasi. Tiba di Desa Sinar Pagi, Kecamatan Kaur Selatan, Kabupaten Kaur sudah menjelang maghrib. Desa tersebut merupakan lokasi dimana beruang madu terjerat. Lokasinya berada di perkebunan karet masyarakat, dan tak jauh dari komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Kaur yang berjarak kurang lebih 500 meter. Dari pondok warga yang memasang jerat tersebut jaraknya sekitar 150 meter. Di lokasi kami bertemu dengan kepala resort KSDA Bintuhan dan salah satu tenaga honorer disana. Kami diperkenalkan dengan pemilik pondok yang juga berprofesi sebagai penjerat babi hutan di kebun karet sekitar pondoknya. Malam itu pun saya melihat seekor babi hutan yang sudah terbunuh dan siap dijual masih tergeletak di depan pondoknya, ada bekas darah di bagian dadanya. Kami langsung mengecek kondisi beruang, binatang buas itu terlihat berontak saat melihat kami mendekatinya. Kayu pengikat jerat bagian atas telah putus dan tinggal tali sling di bagian bawah yang mengikat kaki depan bagian kiri. Beruang berusaha menggali tanah dengan cepat untuk melepaskan diri dari jerat pemburu dan mungkin juga merasa terancam karena kedatangan kami.
Mendadak muncul ide untuk lekas mengevakuasinya sebelum jerat sling benar-benar lepas dan masih menempel di kakinya, tentu bila lepas beruang masih akan berkeliaran sambil membawa jerat sling di kaki depannya bila dia berhasil melepaskan diri dari pengikat di tanah. Kami kembali menuju pondok dan membawa kandang angkut mendekat ke lokasi. Separuh jalan kandang masih bisa dibawa dengan mobil patroli namun selebihnya kami harus mengangkatnya beramai-ramai. Hari sudah gelap dan sudah waktunya berbuka puasa, namun karena tidak ada makanan dan minuman, kami tetap meneruskan pekerjaan untuk segera menyelamatkan beruang ini. Kami pun pembagian tugas, ada tim yang rescue beruang dan ada juga yang mempersiapkan logistik buat kami berbuka puasa. Saat itu saya mempunyai dua rencana guna rescue beruang ini, Plan A : yakni kandang angkut didekatkan lokasi beruang dengan pintu menghadap ke arahnya. Dengan dipancing makanan tentunya. Sedangkan Plan B : bila Plan A gagal maka akan dilakukan pembiusan. Kenapa saya menghindari pembiusan karena hari sudah gelap, keterbatasan lampu senter dan pastinya akan kesulitan monitoring vital signs selama terbius. Dan itu sangat berbahaya. Semua orang setuju dengan usulan itu.
Saat kandang angkut didekatkan, beruang berulang kali berusaha menyerang kami. Dan juga berusaha melepaskan diri dari jerat di tanah dengan menggali tanah. Kami harus bekerja cepat sebelum beruang berhasil lepas dan menyerang. Dalam kondisi darurat seperti itu saya pun sudah menyiapkan peralatan pembiusan untuk menghindari hal-hal tak terduga. Dalam kegelapan malam kami musti terus waspada dengan beruang yang warnanya juga hitam, sulit terlihat dan gerakan beruang sangat cepat saat menyerang.
Untuk mengarahan beruang agar menuju ke pintu kandang, saya tidak kehabisan akal, saya mengambil ranting pohon dan saya tetesi madu, ujung ranting saya arahkan ke beruang dan ujung lainnya di depan pintu kandang. Dalam kandang pun saya tetesi madu dan juga diberi buah pepaya di ujung kandang, agar beruang benar-benar masuk kandang untuk mendapatkannya. Yesss !!! Seperti apa yang saya inginkan, beruang akhirnya menuju pintu kandang, tapi.....yang dia lakukan diluar dugaan, dia naik kandang dan menutup pintu kandang. Untuk percobaan pertama gagal. Namun kami harus segera mengulang kembali sebelum beruang melepaskan diri dari jerat, dan yang kedua kalinya berhasil. Beruang akhirnya masuk ke dalam kandang angkut dengan jerat sling masih tertanam di tanah di luar kandang. Tali jerat berupa sling kawat kopling motor. Kondisi kaki yang terjerat tidak ada luka yang serius dan tidak mengakibatkan kaki membusuk sehingga untuk sementara waktu jerat masih melekat dikakinya tidak akan menghambat peredaran darah karena jerat tidak ketat. Kami segera memotongnya, kemudian menutup kandang dan mengangkut kandang menuju mobil. Menutup kandang sangat penting bila melakukan rescue pada satwa yang masih liar untuk mengurangi stress karena lingkungan sekitarnya. Kandang angkut kami naikan ke mobil patroli dan membawanya ke pondok penjerat babi hutan yang juga penjerat beruang madu tersebut.
Salah satu petugas memberi makan dan minum pada beruang karena sudah tiga hari kehausan dan kelaparan tentunya. Setelah semua pekerjaan selesai, sekitar pukul 20.00 WIB kami berbuka puasa bersama dengan makanan dan minuman yang telah dibeli. Dan salah satu orang dari kami menginterogasi pelaku.
Rencana semula bahwa setelah dilepaskan dari jerat bila kondisi kaki yang terjerat tidak busuk dan tidak cacat maka akan langsung kami lepasliarkan kembali. Namun karena informasi dari pelaku bahwa masih banyak orang yang berburu di sana tidak hanya babi hutan tetapi juga kijang, harimau dan beruang maka rencana tersebut kami batalkan. Menurut pengakuan salah satu warga yang kami jumpai di lokasi bahwa dulu di daerah tersebut juga masih sering dijumpai harimau namun setelah adanya pembukaan hutan untuk keperluan perkebunan dan komplek perkantoran Kabupaten Kaur, harimau itu sudah tidak terlihat lagi. Yaa..begitulah, pikirku. Hal seperti itu terjadi dimana-mana, pembukaan hutan habitat harimau, perburuan satwa mangsa terus-menerus juga akan berefek langsung pada harimau, pemburu harimau akan lebih mudah mendapatkannya saat hutan telah dibuka atau mendorong harimau untuk mencari mangsa di lokasi yang masih tersedia satwa mangsa. Dan menurut pengakuan kepala resort bahwa di waktu yang bersamaan juga sedang terjadi konflik antara harimau dan manusia di empat lokasi. Tentu ini akan semakin sering terjadi bila pengrusakan habitat harimau masih terus terjadi.
Akhirnya malam itu juga kami membawa beruang kembali ke Kota Bengkulu untuk mendapatkan perawatan sementara dan pemeriksaan medis sebelum dilepasliarkan kembali sesegera mungkin. Tiba di kota Bengkulu hari Jumat tanggal 11 Juli 2014 esok harinya sekitar pukul 05.00 pagi. Bekerja untuk konservasi satwa liar memang tidak mengenal waktu dan kita tidak bisa menuntut materi untuk mengganti waktu dan tenaga kita yang terpakai seperti halnya buruh-buruh pabrik/ perusahaan. Bekerja dengan satwa liar perlu ketulusan dan empati dan tidak semua waktu bisa dihargai dengan materi, cukup kepuasan pribadi karena telah membantu makhluk lainnya yang membutuhkan uluran tangan manusia.
Rabu malam tanggal 9 Juli 2014 saya mendapat telepon (emergency call) dari seorang pejabat BKSDA Bengkulu yang menginformasikan bahwa ada seekor beruang madu terkena jerat pemburu di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Kejadian tersebut baru diketahui pagi hari sekitar pukul 10.00 WIB. Malam itu saya tidak jadi tidur, dan mulai mempersiapkan peralatan dan obat-obatan untuk keperluan rescue satwa liar, serta mempersiapkan peralatan pribadi dalam ransel yang berbeda, karena dalam setiap rescue satwa liar kita harus selalu berpikir bahwa kegiatan itu tidak selalu selesai dalam waktu satu hari, seringkali perlu menginap di lokasi.
Malam itu hujan deras dan tak kunjung reda, akhirnya salah satu Kepala seksi di BKSDA Bengkulu mengatakan bahwa kami akan berangkat besok pagi. Akhirnya saya manfaatkan waktu malam harinya untuk diskusi secara on line dengan kolega dokter hewan yang pernah bekerja untuk beruang guna mendapatkan informasi tambahan, selain saya sibuk membaca beberapa referensi tentang chemical restraint untuk beruang madu dan segala efek samping yang menyertainya.
Pagi itu, Kamis tanggal 10 Juli 2014, setelah selesai membuat daftar dosis obat-obatan yang akan dipakai , saya berangkat ke kantor BKSDA Bengkulu dengan membawa dua buah ransel, yakni satu berisi peralatan rescue dan obatan-obatan, satunya lagi berisi perlengkapan pribadi. Sesampainya di kantor tersebut saya bertemu dengan salah satu Kepala Seksi yang kebetulan lokasi beruang madu yang terjerat berada di wilayah kerjanya, dan untuk menanyakan dengan siapa saja saya akan berangkat hari itu. Sedikit kecewa saat mengetahui tim rescue yang akan berangkat belum ditentukan, ternyata antar pejabat di internal BKSDA Bengkulu sendiri saling melempar tanggung jawab dan ironisnya lagi tidak ada yang berani membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan. Tentu saya tidak mau lama menunggu sampai ada keputusan, akhirnya membuat keputusan sendiri dengan menentukan sendiri petugas siapa saja yang akan berangkat bersama saya ke lokasi kejadian. Tentu saya memilih orang-orang yang kerjanya profesional. Saya memutuskan dua orang polisi kehutanan yang juga anggota SPORC (Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat) yang sudah punya banyak pengalaman menangani penyelamatan satwa liar dan satunya lagi punya kemampuan dalam pemetaan, serta mengajak seorang pegawai baru calon PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) yang baru bekerja beberapa bulan di BKSDA Bengkulu untuk bergabung dengan maksud agar dia punya pengalaman baru dalam rescue satwa liar. Selain itu saya juga memasukan polisi kehutanan (polhut) yang bekerja di resort setempat untuk bergabung dalam rescue ini. Bagiku petugas tidak perlu banyak yang penting bisa bekerja secara efektif dan efisien baik dari segi tenaga dan dana.
Rescue Sun Bear from Poacher's Snare |
Mendadak muncul ide untuk lekas mengevakuasinya sebelum jerat sling benar-benar lepas dan masih menempel di kakinya, tentu bila lepas beruang masih akan berkeliaran sambil membawa jerat sling di kaki depannya bila dia berhasil melepaskan diri dari pengikat di tanah. Kami kembali menuju pondok dan membawa kandang angkut mendekat ke lokasi. Separuh jalan kandang masih bisa dibawa dengan mobil patroli namun selebihnya kami harus mengangkatnya beramai-ramai. Hari sudah gelap dan sudah waktunya berbuka puasa, namun karena tidak ada makanan dan minuman, kami tetap meneruskan pekerjaan untuk segera menyelamatkan beruang ini. Kami pun pembagian tugas, ada tim yang rescue beruang dan ada juga yang mempersiapkan logistik buat kami berbuka puasa. Saat itu saya mempunyai dua rencana guna rescue beruang ini, Plan A : yakni kandang angkut didekatkan lokasi beruang dengan pintu menghadap ke arahnya. Dengan dipancing makanan tentunya. Sedangkan Plan B : bila Plan A gagal maka akan dilakukan pembiusan. Kenapa saya menghindari pembiusan karena hari sudah gelap, keterbatasan lampu senter dan pastinya akan kesulitan monitoring vital signs selama terbius. Dan itu sangat berbahaya. Semua orang setuju dengan usulan itu.
Saat kandang angkut didekatkan, beruang berulang kali berusaha menyerang kami. Dan juga berusaha melepaskan diri dari jerat di tanah dengan menggali tanah. Kami harus bekerja cepat sebelum beruang berhasil lepas dan menyerang. Dalam kondisi darurat seperti itu saya pun sudah menyiapkan peralatan pembiusan untuk menghindari hal-hal tak terduga. Dalam kegelapan malam kami musti terus waspada dengan beruang yang warnanya juga hitam, sulit terlihat dan gerakan beruang sangat cepat saat menyerang.
Sun Bear (Helarctos malayanus) |
Breaking Fast |
Rencana semula bahwa setelah dilepaskan dari jerat bila kondisi kaki yang terjerat tidak busuk dan tidak cacat maka akan langsung kami lepasliarkan kembali. Namun karena informasi dari pelaku bahwa masih banyak orang yang berburu di sana tidak hanya babi hutan tetapi juga kijang, harimau dan beruang maka rencana tersebut kami batalkan. Menurut pengakuan salah satu warga yang kami jumpai di lokasi bahwa dulu di daerah tersebut juga masih sering dijumpai harimau namun setelah adanya pembukaan hutan untuk keperluan perkebunan dan komplek perkantoran Kabupaten Kaur, harimau itu sudah tidak terlihat lagi. Yaa..begitulah, pikirku. Hal seperti itu terjadi dimana-mana, pembukaan hutan habitat harimau, perburuan satwa mangsa terus-menerus juga akan berefek langsung pada harimau, pemburu harimau akan lebih mudah mendapatkannya saat hutan telah dibuka atau mendorong harimau untuk mencari mangsa di lokasi yang masih tersedia satwa mangsa. Dan menurut pengakuan kepala resort bahwa di waktu yang bersamaan juga sedang terjadi konflik antara harimau dan manusia di empat lokasi. Tentu ini akan semakin sering terjadi bila pengrusakan habitat harimau masih terus terjadi.
Winnie - Sun Bear at BKSDA Bengkulu |
Akhirnya malam itu juga kami membawa beruang kembali ke Kota Bengkulu untuk mendapatkan perawatan sementara dan pemeriksaan medis sebelum dilepasliarkan kembali sesegera mungkin. Tiba di kota Bengkulu hari Jumat tanggal 11 Juli 2014 esok harinya sekitar pukul 05.00 pagi. Bekerja untuk konservasi satwa liar memang tidak mengenal waktu dan kita tidak bisa menuntut materi untuk mengganti waktu dan tenaga kita yang terpakai seperti halnya buruh-buruh pabrik/ perusahaan. Bekerja dengan satwa liar perlu ketulusan dan empati dan tidak semua waktu bisa dihargai dengan materi, cukup kepuasan pribadi karena telah membantu makhluk lainnya yang membutuhkan uluran tangan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar