Strategi dalam persiapan dan proses akan berpengaruh terhadap hasil yang diinginkan. Begitulah, saat kita berpikir tentang memperbaiki nasib satwa liar untuk menentukan masa depannya. Tanpa diimbangi strategi yang baik dan hanya berambisi ingin mewujudkan keinginan dengan menghalalkan segala cara akan sangat berpengaruh terhadap proses dan hasilnya.
Masih ingat Beruang madu bernama Jony ?
|
Beruang madu JONY di kantor BKSDA Bengkulu |
Jony adalah seekor beruang madu, berjenis kelamin jantan yang dievakuasi dari pemeliharaan masyarakat secara illegal di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Beruang madu (Helarctos malayanus) adalah salah satu satwa liar terancam punah yang dilindungi Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sehingga dilarang dipelihara oleh masyarakat. Jony merupakan beruang madu tangkapan dari alam. Sudah 4 (empat) tahun Jony dirawat di kantor BKSDA Bengkulu dalam kandang perangkap (box trap) ukuran 1m x 2m x 1m tanpa ada keputusan yang jelas tentang masa depannya dari para pengambil kebijakan. Meskipun makanan cukup terjamin dan diberi enrichment namun perawatan dalam kandang sempit seperti itu bukanlah tempat yang layak bagi seekor beruang dewasa.
Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yakni Centre for Orangutan Protection (COP) melihat kondisi tersebut merasa tergerak hati untuk membantu agar nasib beruang jauh lebih baik. Mereka mulai mengumpulkan informasi detail dan dokumentasi tentang beruang tersebut, melakukan komunikasi rutin dengan pihak-pihak terkait dalam hal ini BKSDA Bengkulu dan pihak ketiga yang memungkinkan untuk dijadikan tempat rehabilitasi beruang madu di Sumatera. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar beruang tersebut bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya, dan bila hal itupun tidak memungkinkan maka beruang madu akan berada di sanctuary beruang yang berada di habitatnya di Sumatera dengan kondisi yang lebih layak.
|
Translokasi Beruang madu JONY dilakukan oleh Tim
gabungan dari COP, BKSDA Bengkulu, Kelaweit |
Usaha yang dilakukan tidak cukup hanya sampai disitu, mereka juga melakukan fund-raising (penggalangan dana) guna membantu proses translokasi sehingga tujuan yang diinginkan bisa tercapai, karena pihak ketiga tidak memiliki dana untuk membangun fasilitas tambahan untuk rehabilitasi beruang tersebut, tetapi mereka menyediakan hutan sebagai tempat rehabilitasi. Penggalangan dana dilakukan untuk membantu BKSDA Bengkulu dalam translokasi beruang dari Provinsi Bengkulu ke Provinsi Sumatera Barat, dan membantu pembangunan fasilitas untuk rehabilitasi beruang madu di lokasi tujuan. Perencanaan yang matang sangat berpengaruh terhadap proses pelaksanaan kegiatan, yang terdiri dari beberapa tahap, yakni tahap pertama mengumpulkan data tentang kondisi beruang saat berada di BKSDA Bengkulu yang akan menjadi alasan kuat kenapa beruang perlu ditranslokasi, hal ini COP melakukan komunikasi rutin dengan BKSDA Bengkulu; tahap kedua mengirimkan surat pemberitahuan bahwa COP siap membantu beruang madu di BKSDA Bengkulu untuk ditranslokasi guna pelepasliaran kembali ke habitatnya kepada Ditjen PHKA, Sekditjen PHKA, Direktur KKH serta BKSDA Bengkulu; setelah surat mendapat dukungan maka tahap ketiga COP aktif komunikasi dengan pihak ketiga sebagai calon tempat rehabilitasi, karena pihak ketiga tersebut baru dapat membantu untuk rehabilitasi beruang dengan syarat dibangunkan fasilitas, maka tahap keempat COP menghubungi pihak donor yang akan melakukan fund-raising guna mengumpulkan dana untuk membiayai translokasi dan pembangunan fasilitas rehabilitasi beuang.
Sebelumnya telah ada tulisan juga yang membahas tentang beruang tersebut di media sosial yang dibuat oleh orang asing yang isinya hanya menekan pemerintah agar memberikan fasilitas yang layak, namun kenapa tidak direspon oleh pihak-pihak terkait karena strategi yang dilakukan kurang tepat. Hanya menekan saja tanpa ada komunikasi yang baik dengan pihak-pihak terkait akhirnya pun tidak ada hasilnya.
|
Beruang madu JONY tiba di lokasi rehabilitasi di Solok, Sumatera Barat |
Tahap selanjutnya memprediksi waktu persiapan dan kegiatan, yakni berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penggalangan dana, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan fasilitas rehabilitasi dan setelah itu bisa menentukan kapan beruang harus ditranslokasi. Setelah semua dilakukan, COP melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk proses translokasi beruang yakni dengan BKSDA Bengkulu, pihak ketiga sebagai tempat rehabilitasi dan BKSDA Sumatera Barat sebagai otoritas setempat. Akhirnya translokasi beruang pun bisa dilakukan dengan baik tanpa kendala pada tanggal 15 Desember 2013 dengan melibatkan tim Ape Warrior dari Centre for Orangutan Protection (COP), tim BKSDA Bengkulu, tim BKSDA Sumatera Barat dan Tim Kalaweit. Dan semua pihak merasa happy dengan apa yang dilakukan tersebut demi masa depan beruang yang lebih baik, dan yang terpenting beruang bisa dikembalikan ke hutan sebagai rumah terbaik untuk satwa liar.
Dan bagaimana kisah dibalik translokasi Harimau sumatera bernama Giring ?
Harimau sumatera bernama Giring, yang sebelumnya saya beri nama Dang karena homerange-nya di kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu, dan 'Dang' adalah nama panggilan khas Bengkulu untuk anak pertama. Ah...sudahlah, saat ini saya tidak ingin membahas nama harimau yang kami berikan tapi ingin membahas soal translokasi harimau.
|
TWA Seblat lokasi perawatan sementara harimau Giring |
Harimau Giring ditranslokasi pada tanggal 5 - 6 Juni 2016, dari kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara ke Taman Safari Indonesia (TSI) di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Kenapa itu bisa terjadi ? Tahukah anda tentang Lembaga Swadaya Masyarakat Scorpion di Indonesia ? Saya sendiri setelah berkecimpung sebagai relawan untuk konservasi satwa liar di Indonesia sejak masih mahasiswa dan mengawali karir dengan bekerja untuk konservasi berbagai jenis satwa liar terancam punah sejak tahun 2002 belum pernah mendengar organisasi ini yang ternyata juga bekerja untuk konservasi satwa liar. Mungkin ini organisasi baru, atau mungkin saya saja yang kuper (kurang pergaulan) dan baru mengetahuinya meski di dunia konservasi sebenarnya kami memiliki link yang kuat antar lembaga yang bergerak di bidang yang sama, biasanya saling mengenali dan kadang bekerjasama satu sama lain di seluruh pelosok Indonesia, bahkan yang ada di negara lain sekalipun. Heran juga, mengapa saya tidak mengenalinya.
|
Menuju lokasi perawatan harimau Giring di hutan TWA Seblat |
Tahun 2015 saya baru tahu bila di Indonesia ada organisasi tersebut, dan mereka menunjukkan diri bahwa sangat peduli terhadap konservasi satwa liar. Itu pun tahunya bukan karena kami pernah berkomunikasi atau bekerjasama, tapi karena secara tidak sengaja, saat itu saya baru saja melakukan pemeriksaan dua ekor harimau sumatera, yang satu harus dioperasi karena ada pembengkakan di tubuh bagian belakang dan yang satu lagi pemeriksaan kesehatan ulang karena sebelumnya menderita luka infeksi pada rongga mulut dan dermatitis serta diperlukan pengambilan sampel darah untuk kontrol penyakit protozoa darah yang merupakan bawaan dari liar. Kebetulan ada Tim Peneliti Harimau Sumatera dari WWF dan Virginia Tech serta ada Dokter Hewan baru dari Universitas Airlangga yang ingin belajar pembiusan dan penanganan kucing besar maka waktunya saya buat bersamaan, disaat kami perlu memeriksa dan mengobati harimau, maka mereka bisa melihat dan belajar, sehingga harimau tidak diberi perlakukan dua kali untuk tujuan berbeda. Ini juga salah satu cara untuk meminimalkan stress karena handling untuk pengobatan. Bagaimana pun itu adalah harimau liar yang tidak biasa kontak dengan manusia, perlakuan yang diberikan pun harus menyesuaikan behaviornya.
|
Kandang perawatan harimau Giring selama di TWA Seblat |
Beberapa hari kemudian saya mendapat email dari seseorang yakni warga negara asing yang membawa nama Scorpion, dan dalam satu hari saya bisa menerima email beberapa kali darinya yang isinya tentu menguji kesabaranku. Tidak perlu saya sebutkan disini isinya seperti apa. Email tersebut tidak hanya dikirimkan kepada saya tetapi juga dishare ke banyak lembaga di seluruh dunia, yang tentunya isi email tersebut adalah pendapat pribadi mengenai perlakuan terhadap harimau yang kami rawat hanya berdasarkan dugaan, karena mereka tidak mengetahui fakta yang sebenarnya, baik kondisi maupun permasalahannya. Hanya men-justifikasi berdasarkan dugaan dan menginterpretasikan berdasarkan asumsi pribadi tanpa cross check dengan pihak-pihak terkait yang berkompeten dan yang terlibat dalam perawatan satwa. Suatu hari KLHK mendapat surat dari Born Free USA, yang mengkritik tentang perawatan harimau Giring, karena mereka mendapat informasi dari orang yang sering mengirimiku email, mengintimidasiku dan membuat berita tanpa dasar. Born free pun ikut menekan kami. Saya pribadi tidak mau menanggapinya bukan karena diintimidasi setiap hari, tetapi karena berita yang disebarluaskan tersebut tidak berdasar, dan mereka tidak mencari tahu permasalahan yang sebenarnya. Kami sering bekerjasama dengan banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik yang ada di dalam maupun di luar negeri untuk memperbaiki kondisi satwa liar seperti beruang madu, siamang, kukang, gajah, harimau dan satwa liar lainnya di Provinsi Bengkulu dan berhasil sesuai tujuan semula, tetapi dengan cara yang baik dan beretika, bukan dengan cara tuduhan tanpa cross check untuk merealisasikan ambisius sekelompok orang yang menghalalkan segala cara agar dilihat publik telah peduli dengan satwa liar.
Sebenarnya kami tidak ingin membanding-bandingkan cara kerja lembaga yang satu dengan lainnya dalam membantu translokasi satwa liar, namun saya pikir perlu juga diungkap agar kita mengetahui perbedaan hasilnya dari berbagai strategi yang digunakan. Sebagai contoh untuk mewujudkan translokasi beruang madu dan siamang maka strategi yang dipakai oleh LSM COP seperti yang telah saya sebutkan diatas, begitu juga strategi yang dipakai oleh organisasi Internasional yang membantu translokasi gajah sumatera, mereka (Asian Elephant Support) melakukan tahapan-tahapan seperti yang dilakukan oleh COP, dan akhirnya gajah berhasil dipindahkan ke lokasi/ hutan yang diinginkan ke Provinsi Bengkulu, begitu juga dengan kukang korban perdagangan illegal yang telah ditranslokasi ke Provinsi Bengkulu dan kini telah menikmati kebebasannya di alam liar dengan bantuan Animals Indonesia di kawasan konservasi TWA Bukit Kaba.
Tahun 2016 ada dua berita direlease oleh media online yang ada di Indonesia, lagi-lagi tentang harimau Giring. Disana disebutkan tanggal berapa melakukan investigasi ke lokasi berdasarkan pengakuan narasumber di berita tersebut. Membaca itu hanya membuatku tersenyum, karena pada kenyataannya tidak pernah ada orang dari lembaga tersebut (Scorpion) yang penah datang ke lokasi, melihat langsung lokasi perawatan harimau, mengetahui bagaimana perawatan harimau Giring, bahkan ukuran kandangnya pun tidak tahu, dan tidak pernah bertanya sekalipun tentang hal-hal detail yang berhubungan dengan harimau Giring kepada pihak-pihak terkait dan perawat satwa harimau.
Dan yang paling aneh adalah mereka menyebutkan waktu investigasi di media disaat saya dan mahasiswa saya dari Fakultas Kedokteran Hewan atau pun tim saya sedang berada di lokasi/ di hutan tempat Giring dirawat sehingga kami tahu benar adakah orang yang datang kesana atau tidak atau siapa saja yang ada di hutan untuk melihat harimau Giring, kenyataannya tidak ada. Banyak pertanyaan menggelitik di benak saya saat itu, seperti :
- Bagaimana bisa sebuah media me-release berita tanpa dasar yang akurat ? (Saya kebetulan mengenal banyak media lokal, nasional maupun internasional yang sering liputan tentang satwa liar di Bengkulu, tapi mereka semua melalui prosedur yang benar, dengan perijinan yang legal untuk memasuki kawasan konservasi dan menggunakan data yang akurat serta berkomunikasi dengan para narasumber yang bisa dipertanggungjawabkan)
- Bagaimana bisa seseorang dari sebuah lembaga bisa menjadi narasumber meski pada kenyataannya tidak pernah tahu menahu soal apa yang disampaikan ?
- Bagaimana seseorang bisa menjadi narasumber sedangkan dia sendiri tidak paham dengan apa yang dikatakan dan tidak pernah bersentuhan langsung dengan obyek ?
- Bagaimana bisa tulisan yang tidak akurat itu dijadikan rekomendasi beberapa pihak untuk menyurati KLHK guna menentukan nasib harimau agar lebih baik sedangkan kondisi yang sebenarnya mereka tidak tahu dan rencana-rencana kami untuk harimau itu kedepan mereka juga tidak tahu ?
- Bagaimana bisa tujuan yang ingin dicapai terwujud bila strategi yang digunakan hanya menyerang, menekan, mengintimidasi pihak lain tapi tanpa mau berbuat dan mendukung secara langsung ? (kami menyebutnya ''Talk only no action" hanya agar dilihat publik seolah-olah peduli dengan satwa liar). Dan masih banyak hal lain yang sebenarnya ingin kupertanyakan.
Orang-orang yang telah membantu harimau kami secara langsung sejak evakuasi hingga perawatan baik yang individu maupun lembaga saja tidak pernah sibuk mempublikasikan diri-sendiri dan bicara kesana kemari untuk menunjukkan bahwa sudah berkonstribusi terhadap harimau sumatera seperti LSM Animals Indonesia, sekelompok Mahasiswa Universitas Udayana Bali, Yayasan Arsari, teman-teman dari ASTI, beberapa orang anggota Forum HarimauKita, PHS (Tiger Protection and Conservation Unit), serta teman dari GIZ dan lain-lain, karena mereka membantu dengan tulus untuk satwa liar tanpa ambisi dan tanpa ada kepentingan apapun. Nah, ini sebuah lembaga yang tiba-tiba muncul lalu sibuk membuat publikasi dirinya di media atau melalui media sosial dan mengirim email kesana kemari untuk memperlihatkan bahwa dia sangat peduli dan telah berkonstribusi untuk membantu memperjuangkan nasib harimau agar lebih baik namun tulisannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi tindakannya hanya sebatas itu, sangat berbeda dengan pihak lain bila sudah bersedia membantu maka akan membantu dengan sungguh-sungguh dari mulai perencanaan sampai tindakan dan sampai tujuan itu tercapai, apa yang tidak tersedia disediakan, apa yang menjadi kendala dicarikan solusi dengan menjalin komunikasi yang baik, semua demi kepentingan satwa liar yang akan dibantu.
Sehingga dalam menanggapi tekanan yang terus - menerus dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang cara kerjanya seperti itu untuk peduli dengan satwa, ya respon yang dilakukan beberapa pihak pun berbeda sesuai cara pandang masing-masing. Cara pandang kami sebagai dokter hewan bahwa merawat harimau yang perilakunya masih liar harus di habitat dengan lingkungan sekitarnya hutan agar tidak jauh berbeda dengan kondisi tempat hidup harimau itu sebelumnya, hal ini juga untuk meminimalkan stress, dibandingkan harus dirawat yang lingkungan sekitarnya bersinggungan langsung dengan aktivitas manusia. Untuk itu kenapa rekomendasi medis sejak awal pasca evakuasi bulan Februari 2015 dalam laporan tertulisnya pada pengambil kebijakan adalah ditranslokasi ke TWA Seblat, sebuah kawasan konservasi yang memiliki fasilitas perawatan harimau dengan kondisi hutan masih bagus, namun tetap pelaksanaannya tergantung pengambil keputusan dan ternyata baru disetujui dan diperintahkan untuk ditranslokasi ke TWA Seblat tanggal 28 Oktober 2015, cukup lama hanya untuk menunggu sebuah keputusan penting tidak hanya bagi kami perawatnya tetapi juga bagi kebaikan harimau. Dan saat itu kami tidak menyetujui dipindahkan ke kebun binatang dengan alasan seperti diatas, lingkungan terbaik bagi harimau liar adalah di hutan bukan di lembaga konservasi eksitu, dan untuk apa dipindahkan kesana hanya bersifat sementara lalu baru dipindahkan ke lokasi rehabilitasi yang berada di provinsi yang berbeda. Dalam hal ini cara pandang kami sebagai dokter hewan dengan para conservasionist lainnya agak sedikit berbeda, transportasi yang berulang-ulang antar provinsi untuk harimau liar tentu akan menimbulkan stress berulang kali, bila dokter hewan diberi otoritas maka rekomendasi kami adalah dari TWA Seblat dipindahkan ke lokasi release, toh selama perawatan di TWA Seblat perilaku normalnya masih bisa dipertahankan. Harimau dirawat dengan diisolasi untuk menghindari terlalu sering kontak langsung dengan manusia dengan tujuan agar tidak terjadi perubahan perilaku, serta memang harus diisolasi karena penyakit zoonosis yang dibawanya dari alam liar. Perawatan di TWA Seblat dan kebun binatang juga tidak jauh berbeda, hanya lokasinya yang berbeda yakni satu di hutan satunya di kota, ketersediaan pakan alami juga bisa dipenuhi sesuai dengan kebutuhannya, ada kontrol kesehatan rutin, ada strerilisasi kandang rutin serta pencegahan dan pengobatan penyakit parasiter rutin, kandang pun dilengkapi dengan enrichment untuk mengekspresikan perilaku alaminya, serta memiliki tim perawat satwa yang tetap, karena perubahan orang juga akan berpengaruh terhadap harimau liar karena bila harus berhadapan dengan orang-orang baru yang terus berganti akan mempengaruhi perilakunya.
Cara pandang birokrat akan berbeda karena pada dasarnya mereka tidak ingin diberitakan buruk, dengan atau pun tanpa tahu kondisi yang sebenarnya keputusan yang dikeluarkan pun atas kepentingan untuk menghentikan tekanan pihak-pihak yang katanya peduli. Meski pada kenyataannya mereka tidak pernah terlibat langsung membantu satwa harimau yang katanya diperjuangkan, tidak pernah tahu apa permasalahannya dan tidak terlibat dalam mencarikan solusi, dan tidak pernah mau tahu bagaimana proses translokasinya karena mereka hanya mau tahu bahwa keinginan ambisiusnya tercapai tanpa mau peduli dengan permasalahnnya.
|
Monitoring vital signs selama perjalanan/ translokasi
Tanggal 5 Juni 2016 |
Sedangkan cara pandang pengambil keputusan yang mendapat tekanan dari atasannya adalah bagaimana cara harimau itu segera dipindahkan untuk meredam tuntutan, tanpa perencanaan yang jelas dan tanpa tujuan yang jelas, yang terpenting sudah keluar dari lokasi sebelumnya untuk membuktikan bahwa harimau telah ditranslokasi sesuai keinginan pihak-pihak tertentu. Menentukan nasib seekor harimau sumatera dengan cara serba mendadak dan tanpa dana. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. LSM yang mendesak pun tidak pernah muncul untuk mendukung, misalnya mencarikan solusi soal pendanaan translokasi, atau misalnya mencarikan dana untuk membangun fasilitas rehabilitasi di habitat aslinya agar harimau tidak terus-menerus dipindahkan keluar Provinsi Bengkulu disaat populasi harimau liar di Bengkulu pun semakin terus berkurang, atau berbuat apapun yang lebih nyata untuk kepentingan harimau. Mereka tidak pernah muncul untuk itu, kemampuannya hanya sebatas berkoar-koar di media, dan berharap harimau bisa pindah dengan sendirinya seperti main sulap dengan mantra yang diucapkan di media dan disebarluaskan ke banyak pihak. Dan apa hasilnya ? Akhirnya harimau berada di lokasi pihak-pihak yang peduli mengulurkan dana untuk membantu translokasi, disaat lokasi tempat rehabilitasi yang diinginkan pun menolak untuk membantu, dan LSM yang dengan ambisius menginginkan translokasi harimau Giring pun tidak pernah mengulurkan bantuan dalam bentuk apapun. Hal-hal seperti ini yang membuatku bisa menilai kinerja seseorang atau sebuah lembaga, dari sejauh mana keterlibatan mereka dalam upaya ini, tidak ada komunikasi yang baik dengan berbagai pihak, tidak ada solusi untuk pencarian dana guna translokasi dan bisa kita lihat bagaimana hasil akhirnya bila bekerja hanya bermodal berkoar-koar saja dengan koordinasi seperlunya serta lepas tangan untuk prosesnya. Dan paling parah adalah, kalau bisa saya ibaratkan seperti peribahasa "lempar batu sembunyi tangan", ya seperti itulah kenyataannya.
|
Koleksi sampel darah harimau Giring tanggal 2 April 2015 |
Dalam Undang-Undang dokter hewan memang memiliki otoritas medis, namun di dunia nyata itu tidak pernah ada. Otoritas tetap berada di pimpinan tertinggi dengan jabatan tertinggi. Jadi, masalah kesehatan harimau itu bukan hal yang cocok untuk dijadikan dasar translokasi, karena harimau telah mendapatkan perawatan medis dan pengobatan. Bila hanya sekedar kontrol kesehatan bisa menggunakan sampel darah yang bisa dikirimkan ke laboratorium untuk diketahui hasilnya dan tak perlu lagi membawa harimaunya sekaligus kesana-kemari. Apakah untuk mendeteksi suatu penyakit dengan pemeriksaan laboratorium kita perlu membawa satwanya, tidak kan ? Alangkah repotnya bila itu dilakukan dan tentu akan mengeluarkan banyak biaya, biaya pengangkutan satwa dan biaya pemeriksaan laboratorium dan biaya pakan selama perjalanan. Cukup sampel apa yang diperlukan untuk deteksi penyakit, hasilnya sudah bisa diketahui. Mungkin cara pandang dokter hewan dengan conservasionist serta para birokrat agak sedikit berbeda dalam hal ini maka keputusan yang diambil pun berbeda.
"Satwa liar itu mahkluk hidup, yang hidupnya pun tidak mau dipermainkan seperti halnya manusia. Seyogyanya kita sebagai manusia yang diberi moral dan akal yang baik memperlakukan mereka tidak sebagai obyek semata, setiap tindakan harus direncanakan dengan baik, untuk hasil yang lebih baik bila menyangkut memperjuangkan nasibnya. Jangan mengatasnamakan satwa liar hanya untuk dilihat kita peduli, tapi sungguh-sungguh berbuatlah untuk mereka dengan tulus tanpa menghalalkan segala cara dan tanpa ada kepentingan apapun, berbuatlah sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada dan saling mendukung untuk tujuan yang sama. Dan hargailah orang-orang yang bekerja untuk satwa liar karena anda tidak akan pernah tahu apa yang telah dilakukannya, dikorbankannya dan diperjuangkannya demi satwa-satwa yang diselamatkannya dan dirawatnya"