Pagi itu, Jumat tanggal 11 April 2014 saya dihubungi oleh bagian humas Balai KSDA Bengkulu bahwa ada tamu yakni ECCMU (Elephant Conservation & Conflict Mitigation Unit dari LSM Frankfurt Zoological Society (FZS) Jambi yang akan mengunjungi Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat untuk kegiatan training, dan satu perwakilan mereka sudah berada di kantor BKSDA Bengkulu. Saya diminta untuk mendampinginya. Bila berhubungan dengan LSM ataupun tamu asing pasti sayalah yang mendapatkan tugas untuk mendampinginya karena rata-rata mereka telah mengenali saya sebelumnya.
Perwakilan dari FZS tersebut sedang mengurus simaksi (surat ijin masuk kawasan konservasi) guna kunjungan ke PLG Seblat yang berada di dalam kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat. Surat permohonan simaksi tersebut sudah diajukan sejak tanggal 28 Maret 2014, namun setelah sekian lama tidak pernah mendapat balasan. Akhirnya mereka berniat untuk berkunjung langsung ke BKSDA Bengkulu guna menanyakan jawaban dari surat mereka dan untuk melanjutkan pengurusan simaksi tentunya.
Saya sendiri sebenarnya sudah trauma bila membantu pengurusan simaksi tamu yang akan berkunjung ke PLG Seblat. Karena tamu-tamu yang datang pernah diminta persyaratan tambahan yang tidak masuk akal dan tidak ada dalam aturan yang berlaku agar simaksi bisa dikeluarkan. Menurut saya lembaga pemerintah sebagai pelayan masyarakat seharusnya bersikap memberi pelayan prima kepada publik dan bukan membebani dengan permasalahan internal yang memaksa pemohon simaksi untuk ikut menanggungnya, yang mana persyaratan tersebut di dalam aturan yang berlaku pun tidak ada. Dan merespon surat permohonan dengan cepat dan informatif adalah tugas pelayan masyarakat. Selain itu seharusnya tidak membuat orang menunggu dalam jangka waktu lama dan bahkan tidak mendapat jawaban sama sekali terhadap surat permohonan resmi yang dikirimkan. Sistem birokrasi dan administrasi dalam pelayanan publik yang tidak efisien dan tebang pilih seharusnya sudah tidak menjadi budaya. Oleh karena itu dalam setahun terakhir saya memilih untuk tidak membantu teman-teman baik dari Indonesia maupun dari negara lain dalam pengurusan simaksi dan menyarankan mereka untuk mengurus sendiri ke pihak yang berwenang. Itu juga yang menyebabkan selama ini pengunjung PLG Seblat menurun drastis dari tahun - tahun sebelumnya dengan tujuan apapun, baik ecotourism, volunteer, edukasi, research dan lain-lain. Bahkan karena pengurusan simaksi itu juga para mahasiswa lokal membatalkan kunjungan perjalanan lapangan untuk tujuan pendidikan ke PLG Seblat dan mengalihkan kunjungan ke tempat lain. Upaya yang telah kami rintis dari awal untuk pengembangan PLG Seblat sebagai tujuan utama wisata alam di Provinsi Bengkulu, sebagai pusat pendidikan konservasi dan penelitian serta tujuan volunteer untuk kegiatan konservasi satwa liar dan berbagai upaya pengembangan untuk tujuan bermanfaat lainnya seolah-olah pupus karena tidak diimbangi dengan efisiensi birokrasi yang bersih dan jelas sesuai aturan yang ada di masa sekarang.
Namun karena pihak ECCMU-FZS mengajukan permintaan agar saya saja yang mendampingi mereka di lapangan, akhirnya sayapun terlibat lagi dalam urusan birokrasi yang rumit ini. Dan saya tidak bisa mengelak karena saya mengenal lembaga tersebut sudah lama dan saya juga pernah bekerja disana sebagai dokter hewan konsultan bagi FZS selama beberapa tahun disamping saya bekerja di BKSDA Bengkulu. Hal yang saya takutkan terjadi, informasi yang tidak pernah jelas dan pasti bagi pemohon simaksi membuat pengurusan simaksi tidak lancar. Padahal perkembangan teknologi media komunikasi makin lama makin cepat dan efisien, namun teknologi yang ada itupun tak pernah dimanfaatkan bagi pelayanan publik hanya sekedar merespon atau memberi informasi yang jelas kepada masyarakat/ individu/ lembaga yang membutuhkan. Padahal mereka semua pengguna smart phone dan lagipula ada layanan internet gratis sebagai sarana prasarana kantor. Jadi semua itu ada untuk apa ???
Setelah pengurusan simaksi yang baru selesai hingga malam, akhirnya esok harinya Sabtu tanggal 12 April 2014 saya bersama rombongan ECCMU sebanyak 7 orang berangkat menuju PLG Seblat. Pagi itu kami berbelanja logistik terlebih dahulu di kota Bengkulu, dan setelah sampai Kecamatan Putri Hijau yang jauhnya sekitar 17 km dari camp gajah, kami berbelanja sayuran dan kebutuhan yang belum terbeli. Mengingat camp gajah tempat kami menginap nantinya berada di dalam kawasan hutan dan terisolasi oleh Sungai Seblat sehingga logistik harus dipersiapkan sebelum menuju lokasi. Kami juga makan siang terlebih dahulu di daerah tersebut.
Kami di PLG Seblat sudah terbiasa mengurus tamu yang berkunjung dari yang jumlahnya satu orang sampai dengan tujuh puluhan orang, baik wisatawan asing dan domestik, volunteer asing maupun domestik, peneliti asing ataupun WNI, siswa sekolah dan mahasiswa, peserta workshop atau pelatihan dan lain-lain. Namun baru kali ini kami merasa tidak mengelola pengunjung dengan baik karena semua serba mendadak dan kurang informasi. Biasanya setiap ada pengunjung, kami telah mempersiapkan tukang memasak yang diambil dari masyarakat sekitar agar pada saat tamu sudah datang makanan telah tersedia dan pengunjung pun tidak perlu berbelanja sendiri, mempersiapkan tempat penginapan, membagi tugas untuk porter dan menyeberangi sungai dengan aman serta pembagian tugas untuk membantu kegiatan agar berjalan dengan lancar. Sehingga kali ini semua baru dipersiapkan saat perjalanan dan setelah tiba di lokasi. Kami di PLG Seblat punya prinsip bahwa pengunjung dengan tujuan baik selayaknya dilayani dengan baik dan tidak boleh mengecewakan sehingga saat pulang mereka punya kesan yang baik pada PLG Seblat dan membuat mereka ingin datang kembali. Itu juga yang membuat tamu asing maupun domestik yang pernah datang ke PLG Seblat ingin kembali lagi.
Satupun dari kami tidak ada yang pernah belajar khusus atau mendapat training tentang pengelolaan ekowisata, guiding pengunjung, mengurus tamu dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu, namun kami banyak belajar dari pengalaman selama bertahun-tahun mengurus tamu mulai dari airport sampai ke PLG Seblat dan kembali ke airport lagi, serta masukan yang didapat dari hasil bertukar pikiran dengan para pengunjung. Justru yang mendapatkan pelatihan khusus tentang itu dan pernah studi banding adalah kawan-kawan yang bertugas di Balai KSDA Bengkulu, namun sejauh ini mereka belum pernah mempraktekan ilmunya dalam menghadapi dan mengelola pengunjung kawasan konservasi seperti TWA Seblat.
Adapun tujuan pengunjung kali ini adalah memilih PLG Seblat sebagai lokasi pelatihan tim ECCMU-FZS. Kenapa PLG Seblat dipilih untuk tempat pelatihan mereka ? Karena bukan sekali ini mereka mengadakan pelatihan di PLG Seblat, sebelumnya tim Wildlife Response Unit (WPU) - FZS juga mengadakan pelatihan investigasi di PLG Seblat pada tahun 2008. Staff lembaga tersebut juga pernah melakukan penelitian tentang DNA gajah di PLG Seblat. Dengan mengadakan pelatihan di lokasi dimana merupakan habitat gajah liar dan juga merawat gajah jinak diharapkan peserta pelatihan bisa berinteraksi langsung dengan gajah-gajah tersebut guna menumbuhkan hubungan emosional dan ketertarikan dengan gajah. Seperti pepatah 'tak kenal maka tak sayang'. Dengan berinteraksi sehari-hari dengan gajah jinak diharapkan peserta pelatihan tidak hanya mengetahui perilaku alami gajah tetapi juga lebih menyukai spesies satwa liar yang satu ini, karena pekerjaan mereka sehari-hari juga berhubungan langsung dengan konservasi gajah dan gajah liar yang terlibat konflik dengan manusia (masyarakat).
Selain itu mereka juga pelatihan tentang praktek telemetry untuk monitoring gajah dan pengolahan data telemetry. Dan mengikuti aktivitas harian mahout PLG Seblat dalam perawatan gajah jinak guna observasi perilaku alami gajah. Kebetulan di hari pertama pelatihan, saya juga mendapat jadwal untuk menjelaskan tentang anatomi fisiologi gajah, behavior dan komunikasi dan hubungan sosial antar gajah. Seperti biasa, saya lebih suka memberi penjelasan di alam terbuka dan tidak di dalam ruangan, dengan gajah ada di depan kami, agar peserta juga bisa mengamatinya secara langsung sambil mendengarkan penjelasan.
Selama empat hari pelatihan ECCMU berjalan dengan lancar tanpa ada kendala selama di PLG Seblat. Pada hari Selasa tanggal 15 April 2014 kami kembali ke kota Bengkulu setelah makan siang. Tak lupa kami dari tim PLG Seblat dan ECCMU berfoto bersama untuk kenang-kenangan. Kami selalu berharap bisa melayani tamu yang datang ke PLG Seblat lebih baik lagi dari waktu ke waktu dan mereka kembali pulang dengan kesan yang baik pula. Semoga keinginan ini juga didukung oleh birokrasi yang tidak rumit dan jelas sesuai aturan yang ada dalam pengurusan perijinan kunjungan ke PLG Seblat, karena BKSDA adalah pintu gerbangnya menuju ke PLG Seblat. Bila dari awal pengunjung sudah punya kesan yang tidak baik maka akan berpengaruh pada perjalanan berikutnya. Bukankan reformasi birokrasi tujuannya untuk memberikan pelayanan prima pada publik ?!
Namun karena pihak ECCMU-FZS mengajukan permintaan agar saya saja yang mendampingi mereka di lapangan, akhirnya sayapun terlibat lagi dalam urusan birokrasi yang rumit ini. Dan saya tidak bisa mengelak karena saya mengenal lembaga tersebut sudah lama dan saya juga pernah bekerja disana sebagai dokter hewan konsultan bagi FZS selama beberapa tahun disamping saya bekerja di BKSDA Bengkulu. Hal yang saya takutkan terjadi, informasi yang tidak pernah jelas dan pasti bagi pemohon simaksi membuat pengurusan simaksi tidak lancar. Padahal perkembangan teknologi media komunikasi makin lama makin cepat dan efisien, namun teknologi yang ada itupun tak pernah dimanfaatkan bagi pelayanan publik hanya sekedar merespon atau memberi informasi yang jelas kepada masyarakat/ individu/ lembaga yang membutuhkan. Padahal mereka semua pengguna smart phone dan lagipula ada layanan internet gratis sebagai sarana prasarana kantor. Jadi semua itu ada untuk apa ???
Setelah pengurusan simaksi yang baru selesai hingga malam, akhirnya esok harinya Sabtu tanggal 12 April 2014 saya bersama rombongan ECCMU sebanyak 7 orang berangkat menuju PLG Seblat. Pagi itu kami berbelanja logistik terlebih dahulu di kota Bengkulu, dan setelah sampai Kecamatan Putri Hijau yang jauhnya sekitar 17 km dari camp gajah, kami berbelanja sayuran dan kebutuhan yang belum terbeli. Mengingat camp gajah tempat kami menginap nantinya berada di dalam kawasan hutan dan terisolasi oleh Sungai Seblat sehingga logistik harus dipersiapkan sebelum menuju lokasi. Kami juga makan siang terlebih dahulu di daerah tersebut.
Kami di PLG Seblat sudah terbiasa mengurus tamu yang berkunjung dari yang jumlahnya satu orang sampai dengan tujuh puluhan orang, baik wisatawan asing dan domestik, volunteer asing maupun domestik, peneliti asing ataupun WNI, siswa sekolah dan mahasiswa, peserta workshop atau pelatihan dan lain-lain. Namun baru kali ini kami merasa tidak mengelola pengunjung dengan baik karena semua serba mendadak dan kurang informasi. Biasanya setiap ada pengunjung, kami telah mempersiapkan tukang memasak yang diambil dari masyarakat sekitar agar pada saat tamu sudah datang makanan telah tersedia dan pengunjung pun tidak perlu berbelanja sendiri, mempersiapkan tempat penginapan, membagi tugas untuk porter dan menyeberangi sungai dengan aman serta pembagian tugas untuk membantu kegiatan agar berjalan dengan lancar. Sehingga kali ini semua baru dipersiapkan saat perjalanan dan setelah tiba di lokasi. Kami di PLG Seblat punya prinsip bahwa pengunjung dengan tujuan baik selayaknya dilayani dengan baik dan tidak boleh mengecewakan sehingga saat pulang mereka punya kesan yang baik pada PLG Seblat dan membuat mereka ingin datang kembali. Itu juga yang membuat tamu asing maupun domestik yang pernah datang ke PLG Seblat ingin kembali lagi.
Satupun dari kami tidak ada yang pernah belajar khusus atau mendapat training tentang pengelolaan ekowisata, guiding pengunjung, mengurus tamu dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu, namun kami banyak belajar dari pengalaman selama bertahun-tahun mengurus tamu mulai dari airport sampai ke PLG Seblat dan kembali ke airport lagi, serta masukan yang didapat dari hasil bertukar pikiran dengan para pengunjung. Justru yang mendapatkan pelatihan khusus tentang itu dan pernah studi banding adalah kawan-kawan yang bertugas di Balai KSDA Bengkulu, namun sejauh ini mereka belum pernah mempraktekan ilmunya dalam menghadapi dan mengelola pengunjung kawasan konservasi seperti TWA Seblat.
Selain itu mereka juga pelatihan tentang praktek telemetry untuk monitoring gajah dan pengolahan data telemetry. Dan mengikuti aktivitas harian mahout PLG Seblat dalam perawatan gajah jinak guna observasi perilaku alami gajah. Kebetulan di hari pertama pelatihan, saya juga mendapat jadwal untuk menjelaskan tentang anatomi fisiologi gajah, behavior dan komunikasi dan hubungan sosial antar gajah. Seperti biasa, saya lebih suka memberi penjelasan di alam terbuka dan tidak di dalam ruangan, dengan gajah ada di depan kami, agar peserta juga bisa mengamatinya secara langsung sambil mendengarkan penjelasan.
Selama empat hari pelatihan ECCMU berjalan dengan lancar tanpa ada kendala selama di PLG Seblat. Pada hari Selasa tanggal 15 April 2014 kami kembali ke kota Bengkulu setelah makan siang. Tak lupa kami dari tim PLG Seblat dan ECCMU berfoto bersama untuk kenang-kenangan. Kami selalu berharap bisa melayani tamu yang datang ke PLG Seblat lebih baik lagi dari waktu ke waktu dan mereka kembali pulang dengan kesan yang baik pula. Semoga keinginan ini juga didukung oleh birokrasi yang tidak rumit dan jelas sesuai aturan yang ada dalam pengurusan perijinan kunjungan ke PLG Seblat, karena BKSDA adalah pintu gerbangnya menuju ke PLG Seblat. Bila dari awal pengunjung sudah punya kesan yang tidak baik maka akan berpengaruh pada perjalanan berikutnya. Bukankan reformasi birokrasi tujuannya untuk memberikan pelayanan prima pada publik ?!
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus