Kamis, 01 Agustus 2013

Kejahatan yang Tak Pernah Terungkap


Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)
Pratama, mati dibunuh pemburu
dan gadingnya hilang
Hari itu di tahun 2007, saya sedang mengobati gajah jinak di camp Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara. Gajah yang diberi nama Pratama kondisinya memang kurang sehat, tampak kurus dan nafsu makan kurang.  Pratama artinya yang pertama, karena gajah tersebut memang tangkapan pertama dan penghuni pertama saat PLG Seblat didirikan, yakni sekitar tahun 90an.  Menurut informasi dari mahout (pawang gajah), sejak pertama ditangkap kondisi tubuh gajah Pratama memang sudah kurus seperti itu dan makannya lambat serta pilih-pilih makanan, tidak seperti gajah lainnya.  Saat itu dia tampak lesu, sehingga therapy yang dilakukan juga untuk menambah nafsu makannya, selain dilakukan beberapa pemeriksaan medis termasuk pemeriksaan laboratorium guna mengetahui agen penyebabnya. 

Kemudian selama dua hari saya meninggalkannya pergi ke kota Bengkulu untuk mengambil obat-obatan yang telah saya pesan sebelumnya untuk mengobati gajah Pratama.  Saat itu perjalanan di dalam kota saya memilih naik angkutan umum.  Sekembalinya saya mengambil obat-obatan, sebuah short message masuk ke handphone saya dari koordinator PLG Seblat waktu itu dan mengabarkan bahwa gajah Pratama ditemukan mati pagi itu di dalam hutan.  Seketika itu juga saya tidak bisa menahan lagi air mata yang jatuh, tiba-tiba saya menangis dan tak peduli lagi bahwa saya sedang berada di tempat umum.  Rasanya begitu sedih dan sempat membuatku mengeluh pada diri-sendiri, "kenapa saya tidak diberi kesempatan untuk mengobatinya, kenapa Pratama mati pada saat saya meninggalkannya dan sedang mengambil obat untuknya, kenapa secepat ini", dan segudang pertanyaan lainnya yang memenuhi otakku.  Tak lama kemudian ada short message lagi ke handphone saya, tulisan itu mengatakan bahwa "gading dan gigi Pratama hilang." Seketika itu juga perasaanku jadi berubah marah, karena dari pesan yang kuterima itu menandakan bahwa Pratama mati bukan karena sakit tetapi karena dibunuh......dibunuh oleh pemburu.  Selain rasa marah, juga ada dorongan yang kuat dalam hati kecilku, "saya ingin tahu siapa pembunuhnya.  Pembunuh gajah kami, saya benar-benar ingin tahu siapa pembunuh itu.  Dia harus ditemukan."

Hari itu akhirnya saya berangkat ke camp PLG Seblat yang ditempuh selama 4-5 jam dengan perjalanan darat dari Kota Bengkulu.  Esok paginya kami berjalan menuju ke hutan dimana Pratama ditemukan mati oleh mahout-nya (pawang gajah) untuk melakukan otopsi.  Sesampainya di lokasi terlihat ada seekor gajah yang rebah dibalik semak-semak, bila dilihat dari belakang tidak tampak kalau gajah tersebut mati dibunuh, begitu melihat dari depan akan terlihat bagian kepala dari atas mata sampai mulut hancur bekas luka senjata tajam dan masih mengeluarkan darah segar.  Tidak tahu lagi bagaimana menggambarkan kesedihan di hati kami melihat itu semua.  Hanya satu yang ada dibenak saya waktu itu, "sungguh biadab pelakunya, pelakunya harus diganjar hukuman setimpal".  Kami tidak hanya melakukan otopsi tetapi juga memeriksa lingkungan sekitarnya, ditemukan ada tas plastik sepertinya bekas bungkus makanan yang diberikan ke gajah tersebut (kemungkinan bungkus makanan yang dicampur dengan racun), ada bekas muntahan di sekitar bangkai, juga ditemukan beberapa jejak kaki kemungkinan kaki-kaki pemburu yang membunuhnya.  Mereka mengarah ke Sungai Seblat.

Sepulang dari melakukan otopsi, saya melihat-lihat lagi album photo saya, ada koleksi photo gajah Pratama yang saya ambil terakhir sebelum dia mati dibunuh.  Membuat saya sangat sedih mengingatnya. Gading Pratama yang panjang dan besar, dan paling bagus diantara gading gajah jantan PLG Seblat lainnya membuatnya menjadi incaran pemburu dan hidupnya pun berakhir dengan kematian karena dibunuh hanya untuk mengambil sepasang gading miliknya dan giginya.  Nyawa seekor gajah tidak ada nilainya dibandingkan dengan sepasang gading. Gading yang akan dijadikan souvenir untuk pipa rokok, perhiasan, tongkat, atau sekedar menjadi pajangan di rumah-rumah orang berduit dan bahkan ada yang menjadikannya sebagai souvenir untuk bekal mutasi ataupun promosi jabatan para aparat kepada atasannya dan lain-lain.

Setelah 6 tahun berlalu sejak kejadian itupun tak pernah terdengar adanya upaya untuk mengungkap kejadian pembunuhan gajah tersebut.  Kasus kejahatan itupun sirna begitu saja dan meninggalkan teka-teki yang tak terjawab, siapakah pembunuhnya dan siapakah yang terlibat dalam aksi tersebut.  Namun, bagi kami yang bekerja dengan gajah-gajah itu, kejadian itu tak mungkin terlupakan, dan masih membekas jelas di pikiran kami masing-masing.  Dan ternyata sebelum kasus itu terjadi di tahun-tahun sebelumnya telah beberapa kali terjadi pembunuhan gajah jantan untuk diambil gadingnya di PLG Seblat yang dilakukan oleh pemburu.  Dan pelakunya pun tidak diungkap sampai akhirnya pun tak pernah terungkap.


Paula dan Gia, mati tertembak
Di tahun 2009 telah terjadi pembunuhan gajah di empat provinsi yakni Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Riau dan di lima lokasi secara serentak yang dilakukan oleh pemburu, dan semuanya adalah gajah jinak. Semua yang dibunuh adalah gajah jantan untuk diambil gadingnya, kecuali di Bengkulu, keduanya adalah gajah betina.  Dua ekor gajah jinak yang dibunuh adalah gajah patroli kawasan yang sedang berpatroli bersama tim Conservation Response Unit untuk mengamankan kawasan habitat gajah liar dari aktivitas illegal. Namun naas, kedua gajah tersebut yakni Paula dan Gia setelah patroli dibiarkan disekitar tenda tim patroli untuk mencari makan bersama dua ekor gajah lainnya yakni Devi dan Nelson di dalam kawasan hutan TWA Seblat.  Malam itu terdengar suara tembakan di dalam kawasan, setelah diperiksa ternyata gajah bernama Paula dan Gia telah roboh dengan luka tembak tepat di kepala dan tembus ke otak.  Kedua gajah tersebut mati seketika.  Sedangkan gajah Nelson dan Devi selamat dari sasaran peluru. Setelah dilakukan otopsi (bedah bangkai) ditemukan serpihan peluru di dalam otak yang sudah hancur seperti bubur.  Barang bukti berupa peluru dikirim ke laboratorium forensik di Palembang untuk identifikasi jenis senjatanya.  Seperti dugaan semula bahwa jenis senjata dari peluru itu adalah milik aparat.  Setelah kejadian itu semua aparat yang bertugas di perkebunan kelapa sawit di sekitar kawasan TWA Seblat ditarik mundur oleh institusinya, dan sejak itu pula adanya ancaman melalui sms dari orang-orang yang tidak dikenal kepada tim patroli hutan.  Kami pun sudah bisa menduga dan bisa mengidentifikasi siapa sesungguhnya pelakunya, karena aparat yang ditugaskan di perusahaan perkebunan sawit bisa diidentifikasi dengan mudah apalagi yang keluar masuk hutan secara illegal. Namun sayangnya, untuk pemeriksaan lanjutan tidak bisa dilaksanakan dengan alasan tidak adanya dana untuk pemeriksaan itu menurut institusi tersebut, sehingga muncul dugaan apakah karena ini satu institusi dengan pelaku akhirnya untuk upaya penyelidikan lebih lanjut pun harus berakhir sampai disitu.  Suatu hari saya dipanggil pimpinan, yang berusaha meredam amarahku karena kasus ini tidak tuntas dengan mengatakan, "kita masih membutuhkan institusi itu untuk bekerjasama menangani kejahatan dibidang kehutanan lainnya, kalau kita menuntut kasus ini sampai tuntas hubungan antar institusi akan tidak baik."  Dan diharapkan saya bisa memaklumi itu, tapi kenyataannya rasa sakit hati dan kecewa yang mendalam yang muncul.  Mereka tidak pernah merasakan apa yang kami rasakan, kami setiap hari dekat dan bekerja dengan gajah-gajah itu, sudah terjalin ikatan emosional dengan mereka karena interaksi setiap hari dengan gajah-gajah terlebih lagi hubungan emosional antara mahout dan gajahnya, kehilangan mereka seperti kehilangan anggota keluarga kami. Dan saat itu kami harus menerima bila kasus itu tidak ditindaklanjuti.  Sakit rasanya mendengarnya.  Paula adalah gajah remaja yang pintar, dia sedang dalam program pelatihan pemeriksaan medis. Gia juga gajah yang baik.  Kami harus kehilangan mereka karena tingkah aparat yang masuk kawasan konservasi secara illegal dan menyalahgunakan senjata untuk membunuh satwa liar dilindungi. Dan sampai akhirnya untuk kesekian kalinya kami pun harus memaklumi perbuatannya untuk tidak ditindak secara hukum.

Wild Elephant
Pada tahun 2007, seekor gajah liar anakan ditemukan di dalam sungai kecil di areal perkebunan sawit milik perusahaan di Jambi.  Gajah ditemukan masih dalam kondisi hidup namun sudah tidak bertenaga lagi. Sesaat setelah mendapat informasi saya berangkat ke Jambi malam itu untuk membantu tim patroli yang sedang berada di lokasi untuk merescue gajah tersebut.  Sampai di kota Jambi pagi hari dan mendapat khabar bahwa gajah tersebut telah mati, satu jam kemudian kami berangkat menuju lokasi bersama polisi kehutanan, wartawan, dan kasat reskrim dari polres setempat serta kawan-kawan tim patroli dari LSM setempat. Karena jalan sangat buruk, berlumpur dalam, kami terjebak dalam lumpur dan mobil tidak bisa melanjutkan perjalanan. Setelah seharian dalam perjalanan, hari sudah gelap akhirnya kami memutuskan untuk menginap di jalan tersebut. Tidak ada rumah penduduk di sekitar sana dan tidak ada tempat yang nyaman untuk tidur di lokasi itu, saya memilih tidur di bak mobil bagian belakang yang terbuka daripada tidur di jalan yang berlumpur.  Karena hawa dingin akhirnya saya mencari lokasi lain untuk pindah tidur, dan menemukan sebuah gubug seperti post kampling di pinggir jalan.  Tempat yang nyaman untuk beristirahat dibandingkan di bak belakang mobil ataupun di atas tanah. Pagi-pagi sekali kami melanjutkan perjalanan dan berganti mobil hardtop agar bisa mencapai lokasi gajah.  Sore harinya kami baru sampai di lokasi dan langsung melakukan otopsi (bedah bangkai) sampai malam hari, setelah selesai langsung kembali lagi ke kota Jambi.  Hasil dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa gajah tersebut mati karena keracunan.  Dan menurut informasi yang saya dapatkan bahwa kasus tersebut tidak ditindak lanjuti untuk penyelidikan lebih lanjut.  Dan perusahaan telah memberi jaminan kepada aparat agar kasus tidak dilanjutkan.  Informasi yang mengecewakan buat saya dan teman-teman saya yang telah membantu untuk melakukan pemeriksaan nekropsi guna mengungkap penyebab kematian gajah itu.  Rasanya kerja yang telah dilakukan, jauhnya dan sulitnya perjalanan menuju lokasi tidak sebanding dengan niat untuk serius melakukan penegakan hukum.  Damai bersyarat antara aparat dan perusahaan yang lebih dipilih mereka dan menganggap kejahatan itu tak pernah ada.

Wild Elephant
Pada tahun 2011, ditemukan bangkai 7 ekor gajah liar di lokasi perkebunan sawit perusahaan yang statusnya masih kawasan Hutan Produksi Terbatas yang belum dialihfungsikan menjadi HGU dan juga ditemukan di dalam hutan konservasi TWA Seblat serta di hutan sekitarnya.  Saat itu saya menduga jumlah bangkai gajah liar yang mati lebih dari 10 ekor tetapi yang berhasil ditemukan dan dilakukan pemeriksaan nekropsi hanya 7 ekor, karena bau bangkai yang lain yang tercium di lokasi berbeda belum ditemukan.  Dari hasil pemeriksaan laboratorium diketahui bahwa gajah tersebut keracunan.  Gajah-gajah tersebut sepertinya mati diracun selain itu juga ditemukan adanya bekas gergaji dan bekas senjata tajam di tulang tengkorak.  Diduga ada unsur kejahatan dibalik kematian gajah-gajah tersebut.  Namun, seperti biasa tindakan yang dilakukan hanya sebatas pemeriksaan forensik tanpa ada penyelidikan lebih lanjut, sehingga wajar bila kejadian seperti ini selalu berulang karena tidak ada efek jera bagi pelaku.

Orangutan Sumatra (Pongo abelii)
Leuser - 3 November 2006
Leuser, dalam perawatan medis
Pada saat saya bersama tim sedang melakukan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Manggatal, yakni sebuah lokasi di dalam hutan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh Provinsi Jambi untuk melakukan pelepasliaran orangutan bernama Tesi, ditengah perjalanan seorang teknisi menyusul dan mengabarkan bahwa ada seekor orangutan ditemukan di sebuah desa dengan luka di kepala.  Membuat saya membatalkan niat untuk ikut pelepasliaran orangutan Tesi dan kembali ke Stasiun Re-Introduksi Orangutan di Sungai Pengian untuk mempersiapkan obat-obatan dan segera berangkat menuju lokasi yang dimaksud.  Bersama seorang polisi kehutanan, seorang keeper orangutan dan seorang driver kami menuju lokasi di Desa Mangupeh.  Suasananya sangat ramai, banyak masayarakat yang sedang berkumpul disana bahkan juga ada aparat desa dan kecamatan setempat.  Namun saya dan seorang keeper tidak peduli dengan kondisi sekitar, kami langsung memeriksa lokasi untuk menemukan orangutan tersebut yang ternyata diletakkan di belakang rumah dalam kandang papan berukuran 1m x 1m x 1m. Setelah diidentifikasi oleh keeper ternyata orangutan tersebut adalah Leuser. Driver kami standby di mobil dan mempersiapkan kandang angkut, sedangkan seorang polisi kehutanan melakukan negosiasi untuk mengambil orangutan tersebut.  Sedangkan kami berdua sibuk dibelakang rumah untuk memeriksa orangutan, ditemukan terdapat luka bacokan senjata tajam di kedua tangannya, beberapa luka memar di bagian tangan dan ada bekas luka tembakan di pelipis, jari dan bagian tubuh lainnya. Luka pada tangannya masih ada yang mengeluarkan darah segar dan ada yang telah busuk dan bernanah. Suhu badannya sangat tinggi (hyperthermia). Setelah selesai memberi pengobatan, membersihkan luka dan membalutnya, kemudian saya memberi informasi hasil temuan dari pemeriksaan tersebut kepada polisi kehutanan yang berada di dalam ruangan.  Saat semua orang sedang sibuk bernegosiasi di dalam ruangan, kami berencana membawa lari kabur orangutan tersebut secepat mungkin, karena masyarakat melarang orangutan dibawa pergi sebelum kami menggantinya dengan sejumlah uang sesuai dengan permintaan mereka. Akhirnya kami pun berhasil kabur dengan mengelabuhi mereka semua dan langsung menuju ke kota Jambi untuk memberi perawatan medis yang memadai.  Sesampai di kota Jambi saya berusaha memberinya buah-buahan tetapi Leuser tidak memberi respon, baru saya menyadari bahwa Leuser mengalami kebutaan. Sedih sekali rasanya waktu itu dan membuat saya seketika itu menangis di depannya. "Apa yang sebenarnya terjadi pada Leuser ?", pikirku. Dari hasil pemeriksaan radiologi (X-Ray) diketahui ada 62 peluru di sekujur tubuhnya dari kepala sampai kaki, dan ditemukan masing-masing ada 2 peluru bersarang di belakang matanya, inilah yang menyebabkan dia buta. Saya juga sempat bolak-balik konsultasi ke dokter spesialis mata dengan harapan salah satu matanya bisa diselamatkan dengan cara operasi. Padahal sebelumnya Leuser adalah orangutan yang sangat pintar dan liar, sekarang dia harus mengalami kebutaan dan tak berdaya seperti ini. Kemudian dilakukan operasi penjahitan luka dan pengeluaran peluru, berangsur-angsur kondisi Leuser semakin membaik.  Tapi hukum harus tetap dijalankan. Membuat saya juga harus hilir mudik Bengkulu-Jambi untuk membantu penyelidikan polisi setempat dan juga hadir di persidangan sebagai saksi ahli dan juga bertemu dengan para pelaku yang jumlahnya 6 orang, salah satunya siswa STM (SMK). Akhirnya mereka divonis 6 bulan penjara, dan yang memperberat hukumannya bahwa akibat perbuatan mereka menyebabkan cacat fisik seumur hidup bagi orangutan dengan bisa dibuktikan bahwa peluru yang terdapat dimata dapat menyebabkan orangutan buta, sehingga orangutan tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya lagi di alam seperti semula. Tidak hanya itu, kamipun harus sosialisasi terlebih dulu tentang Undang-Undang yang berhubungan dengan perlindungan satwa liar di Indonesia kepada aparat penegak hukum. Dan inilah kasus pertama kalinya kejahatan terhadap satwa liar yang ditindaklanjuti sampai putusan pengadilan di Provinsi Jambi menurut mereka.


Macan Dahan (Neofelis diardi)
Neo, Macan Dahan
terjerat pemburu di bagian perut
Saya memberi nama seekor macan dahan yang saya rawat pada tahun 2007 'Neo', nama itu saya ambil dari nama latinnya Neofelis diardi.  Macan dahan berjenis kelamin jantan itu hasil penyitaan dari mobil aparat di Provinsi Bengkulu.  Ada bekas luka jerat di sekeliling perutnya.  Rencananya macan dahan itu sebagai hadiah buat sang penguasa di Provinsi Bengkulu.  Aksi penyitaan satwa liar dilindungi tersebut berjalan sangat alot, di perjalanan mobil aparat tersebut sudah dicurigai oleh polisi kehutanan sehingga dilakukan pengintaian di jalan, dan untuk mengehentikan mobil tersebut sampai terjadi aksi kejar-kejaran.  Akhirnya polisi kehutanan harus mengambil paksa satwa tersebut di markas aparat.  Dalam kondisi terluka parah, macan dahan itupun sempat sulit untuk disita. Setelah berhasil akhirnya mendapat perawatan medis di BKSDA Bengkulu dan Kantor Resort Balai Besar TNKS Seblat selama kurang lebih satu bulan.  Setelah sembuh dilakukan pelepasliaran kembali di hutan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat.  Namun kasus perburuan (penjeratan) yang melibatkan aparat tersebut tak pernah tersentuh hukum, dan dilupakan begitu saja tanpa ada tindak lanjutnya sesuai dengan hukum yang berlaku.


Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)
Putri Buana, kaki membusuk
karena jerat pemburu 
Seekor harimau sumatera yang kami beri nama Putri Buana, berjenis kelamin betina usia dewasa terjerat kurang lebih 4 hari di perkebunan karet dan kakao sebuah perusahaan.  Kakinya telah membusuk karena jerat dan harus diamputasi.  Ingin sekali rasanya membawa pemburu itu dan menunjukkan kondisi harimau yang dia jerat begitu mengenaskan, agar dia tahu atas perbuatan keji yang dia lakukan. Tapi yang kami khawatirkan, setelah itu kami akan memukulinya karena marah atas perbuatan yang dia lakukan terhadap harimau itu. Ini adalah harimau pertama yang saya tangani untuk dilepaskan dari jerat pemburu tanpa menggunakan peralatan medis yang memadai, hanya bermodalkan obat bius dan keberanian menyuntiknya secara langsung dengan menghadapi resiko buruk yang terjadi bila harimau memberontak dan menerkam.  Dan kami punya ikatan emosional dengan harimau ini setelah merawatnya selama 29 hari.  Namun pada akhirnya harimau inipun tidak bisa diselamatkan karena kondisinya memburuk. Sebelumnya telah direkomendasikan untuk dieuthanasia, tetapi dua jam sebelum pelaksanaan euthanasia, harimau tersebut mati dengan sendirinya. Membuat kami semua menangisi kepergiannya seperti tak rela dia pergi untuk selamanya.  Tanpa sadar saya pun menangis dan memeluknya erat-erat sesaat setelah dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dan tak percaya bahwa dia telah mati dan berusaha membangunkannya kembali.

Meskipun barang bukti ditemukan dalam kondisi hidup, jerat yang dipakai diidentifikasi tim Perlindungan Harimau Sumatra sebagai jerat khusus  harimau dan bukan jenis jerat untuk satwa liar lainnya seperti babi dan lain-lain seperti yang di ungkapkan oleh pemburunya dan aparat setempat.  Juga adanya umpan darah dan daging babi menuju jerat yang diduga difungsikan untuk memancing harimau datang menuju jerat. Pemburunya jelas orangnya.  Namun, penegakan hukum untuk kejahatan yang dilakukannya tak pernah ada, bahkan aparat penegak hukum pun menyangkal bahwa pemburu tersebut bermaksud untuk memburu harimau.  Akhirnya bisa ditebak, kasus inipun menguap begitu saja.  Beberapa tahun kemudian kami pun mendengar bahwa aparat penegak hukum tersebut juga terlibat kasus kejahatan pada harimau di daerahnya.

Saat itu saya menerima kiriman bangkai seekor anakan harimau sumatera. Ditemukan mati di daerah bagian selatan dari Provinsi Bengkulu yang menurut informasi hanyut di sungai.  Saya sudah tidak ingat lagi tahun berapa kejadian itu, dikarenakan banyaknya kejadian kematian harimau dan macan dahan yang berasal dari daerah Bengkulu bagian selatan.  Dibantu dengan seorang mahasiswa kedokteran hewan yang magang, kami melakukan bedah bangkai (pemeriksaan nekropsi) untuk mengetahui penyebab kematiannya.  Anak harimau tersebut sudah kehilangan kedua alis mata, kulit dibagian dahi, kumis, dan seluruh kuku telah dicabut.  Dan ada jahitan dengan senar pancing pada luka sayatan tersebut.  Namun sayangnya, pemeriksaan forensik tersebut hanya formalitas saja, karena petugas setempat menyampaikan bahwa harimau tersebut mati dengan sendirinya berbeda dengan hasil forensik yang telah dilakukan yang menunjukkan adanya unsur kejahatan dibalik kematian harimau tersebut.  Bahkan saya pun bisa membuktikan dengan pemeriksaan forensik apakah harimau tersebut dibunuh terlebih dahulu baru dihanyutkan ke sungai atau harimau tersebut mati karena hanyut di sungai.  Namun, hasil forensik yang telah dilakukan tidak pernah dijadikan dasar untuk melakukan penyidikan lebih lanjut, sehingga penegakan hukum untuk kasus ini pun tak pernah ada dan pelakunya pun tak pernah terungkap.  Lagi-lagi membuat saya sangat kecewa, seperti sia-sia pemeriksaan yang dilakukan karena tidak ada tindak-lanjutnya.

Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu merupakan salah satu kabupaten yang seringkali terjadi human-tiger conflicts. Frekuensi terjadinya konflik urutan kedua setelah kabupaten Seluma di Bengkulu.  Seringkali terdengar harimau turun ke jalan raya di siang hari bahkan bisa dipotret langsung oleh pengguna jalan. Hari itu seorang kepala desa yang desanya menjadi tempat berkeliaran harimau mendatangi kantor BKSDA Bengkulu. Kebetulan saya juga bertemu dengan kepala desa tersebut dan mendengarkan informasi tentang harimau yang selama ini berkeliaran di desanya. Saya juga mendapatkan video hasil rekaman masyarakat yang menunjukkan saat harimau tersebut jalan-jalan di jalan lintas di desa tersebut. Tidak lama setelah itu tiba-tiba saya mendengar berita buruk bahwa harimau itu telah ditembak mati.  Berdasarkan informasi dari masyarakat bahwa harimau tersebut ditembak mati oleh aparat di Polsek setempat dan harimau dibawa dengan mobil dinasnya. Kemudian SPORC dan Polisi Kehutanan menuju kesana untuk mencari barang bukti dan ternyata ditemukan.  Dan hukuman bagi seorang aparat penegak hukum menyalahgunakan senjata untuk membunuh harimau sumatera tidak setimpal dengan akibat dari perbuatannya yang menghilangkan nyawa seekor satwa liar yang masuk kategori critical endangered species dan melarikan/ menyembunyikan barang bukti, dan hanya mendapatkan sanksi dipindah tugaskan.  Menyedihkan sekali kenyataan yang terjadi.  Undang-Undang no 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya dirasa mandul karena tidak diaplikasikan.

Rajo, Mata Kirinya Buta
karena Tertembak
Pada tahun 2012, ditemukan seekor harimau terjerat oleh pemburu di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.  Tidak hanya itu, disekitar lokasi juga ditemukan 5 buah tombak.  Tidak hanya luka jerat yang membuat kaki harimau membusuk, tetapi ada 9 luka tusukan tombak di sekujur tubuhnya serta ditemukan banyak peluru di kepalanya dan membuat mata harimau buta karena luka tembak.  Harimau yang saya beri nama Rajo itu akhirnya hanya bertahan selama seminggu dalam perawatan medis di rumah sakit satwa liar karena lukanya yang cukup serius dan membuat kondisinya memburuk (kritis).  Bahkan beberapa dokter hewan menyarankan untuk dieuthanasia saja, namun kami masih ingin mengupayakan untuk pengobatan semaksimal mungkin.  Dengan kondisinya yang sangat buruk itu, bahkan saya menduga dia tidak akan bertahan saat dibius dan dilepaskan dari jerat pemburu, atau mungkin tidak akan bertahan saat perjalanan menuju kota Bengkulu atau saat perjalanan menuju rumah sakit satwa liar.  Dan ternyata Rajo pun masih bertahan. Bahkan kami pun sempat mengalami penolakan dari semua penerbangan karena tidak mau mengangkut harimau yang kritis karena tidak mau beresiko,  akhirnya setelah dua hari bernegosiasi mereka pun mengijinkan harimau Rajo diterbangkan untuk dirujuk ke rumah sakit satwa liar di Jawa untuk perawatan lebih lanjut guna menyelamatkannya.  Namun upaya terakhir pun tidak bisa menyelamatkannya, lagi-lagi membuat saya sangat bersedih harus kehilangan dia.  Dan yang membuat saya bersedih lagi karena pelaku tidak terkena jerat hukum apapun atas perbuatannya.  Upaya yang telah kami lakukan untuk menyelamatkannya tidak sebanding dengan hukuman yang seharusnya diberikan pada pelaku kejahatan tersebut. Mereka bebas tanpa sanksi apapun. Untuk kesekian kalinya, kejahatan inipun tak pernah terungkap.

Dara, dijerat Pemburu
Pada tahun 2012, sebulan setelah kejadian harimau terjerat di Kabupaten Lebong, saya mendapat informasi kembali ditemukan seekor harimau terjerat di dalam kawasan Hutan Produksi Air Rami, berjenis kelamin betina, usia dewasa.  Ini adalah satu-satunya lokasi tersulit yang dicapai untuk melepas jerat harimau dibanding kasus-kasus serupa yang terjadi sebelumnya.  Untuk mencapai lokasi harimau terjerat, kami naik mobil seharian melintas areal perkebunan sawit perusahaan untuk menuju perbatasan hutan.  Kemudian dilanjutnya jalan kaki selama dua hari, dengan menyeberangi sungai besar di bagian hulu dan turun naik bukit terjal.  Dan kamipun masih harus tinggal di dalam hutan selama kurang lebih seminggu untuk melakukan amputasi kaki harimau dan melakukan perawatan medis sambil menunggu bantuan kandang angkut datang.  Harimau yang saya beri nama Dara itu akhirnya harus kehilangan kedua kaki depannya karena jerat dan telah membusuk sehingga harus diamputasi.  Namun tak pernah ada upaya untuk mencari pelaku/ pemburunya.  Pelakunya adalah para pemburu profesional khusus harimau, karena banyak juga ditemukan jerat yang masih aktif di sekitar lokasi kejadian dan jerat-jerat yang telah dirusak oleh tim patroli.  Tapi, untuk menjerat hukum pelaku perburuan itu tidak mudah, kalaupun dijerat hukum, vonis hukumannya pun tidak setimpal dengan perbuatannya yang telah membuat harimau cacat seumur hidup dan tidak bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya, sehingga tidak bisa lagi menjalankan fungsinya di alam.  Dan yang terjadinya biasanya para pelaku tetap bebas berkeliaran dan berusaha untuk menjalankan aksi berikutnya, menjerat harimau kembali.

Dari sekitar 20 kasus yang pernah saya lakukan pemeriksaan forensik dan bisa membuktikan bahwa kematian satwa liar dilindungi tersebut akibat wildlife crimes, dan dari semua kasus tersebut hanya satu yang ditindak-lanjuti secara hukum, namun vonis hukumannya pun tidak setimpal dengan akibat yang telah ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan yakni membuat cacat seumur hidup satwa liar tersebut (buta) dan pelaku hanya diganjar hukuman selama 6 bulan penjara.  Sangat jauh dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, yang menyatakan bahwa :

Pasal 21

(2) Setiap orang dilarang untuk :
a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, 
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, 
dan memperniagakan satwa dilindungi dalam keadaan mati;

c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi 
dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, 
atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat 
dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat 
di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyiman 
atau memiliki telur atau sarang satwa liar yang dilindungi.


Pasal 40

(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar