Catatan Perjalanan
Berawal dari janjian nongkrong bareng dengan kawan-kawan saat makan siang di pinggir pantai dengan menu khusus gulai kepala ikan, yakni bersama kawan dari local NGO yakni Yayasan Genesis Bengkulu serta jurnalis dari Kantor Berita Antara, tiba-tiba mendadak muncul keinginan untuk jalan-jalan ke Desa Sungai Ipuh, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu di akhir pekan. Esok hari sudah akhir pekan. Tujuan utama adalah ingin mengunjungi sekolah MTs Syuhada yang memberikan fasilitas pendidikan gratis bagi anak-anak di desa tersebut. Hari gini masih ada sekolah gratis ?! Bagiku ini adalah menarik dan sekaligus membanggakan. Selama ini banyak digembar-gemborkan tentang sekolah gratis namun masih tetap membayar juga. Tapi ini malah ada yang benar-benar tidak dipungut biaya dan adanya di sebuah desa terpencil atas inisiatif salah satu warganya. Aku benar-benar tertarik untuk ikut mengunjungi dan berkenalan dengan pahlawan pendidikan tersebut.
Aku memang tidak suka memanfaatkan liburan dengan menghabiskan waktu untuk nongkrong di mall, dan hanya melihat-lihat barang-barang yang dipajang disana atau orang yang lalu-lalang, karena aku memang tidak suka keramaian. Aku hanya pergi ke tempat-tempat tersebut bila ada tujuan yang jelas seperti berbelanja, nonton bioskop atau sekedar makan dan itupun tidak sering kulakukan. Dan lebih menyukai suasana tenang dan alami seperti bepergian ke daerah pedalaman untuk melihat kehidupan sehari-hari masyarakat disana atau ke hutan habitat satwa liar dan tempat-tempat alami lainnya yang memiliki pemandangan indah serta menyukai kegiatan petualangan ke alam bebas. Itu justru lebih menyenangkan dan bisa kunikmati.
Aku memang tidak suka memanfaatkan liburan dengan menghabiskan waktu untuk nongkrong di mall, dan hanya melihat-lihat barang-barang yang dipajang disana atau orang yang lalu-lalang, karena aku memang tidak suka keramaian. Aku hanya pergi ke tempat-tempat tersebut bila ada tujuan yang jelas seperti berbelanja, nonton bioskop atau sekedar makan dan itupun tidak sering kulakukan. Dan lebih menyukai suasana tenang dan alami seperti bepergian ke daerah pedalaman untuk melihat kehidupan sehari-hari masyarakat disana atau ke hutan habitat satwa liar dan tempat-tempat alami lainnya yang memiliki pemandangan indah serta menyukai kegiatan petualangan ke alam bebas. Itu justru lebih menyenangkan dan bisa kunikmati.
Jumat, 25 April 2014
Jumat malam sehabis maghrib kami berdua, yakni saya bersama seorang teman, Marini Sipayung yang bekerja sebagai jurnalis di Kantor Berita Antara melakukan travelling ke Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko dengan menaiki mobil travel yang telah kami pesan sebelumnya. Hanya dengan membayar Rp. 120.000 per orang sudah membawa kami sampai ke desa yang dituju, yakni Desa Sungai Ipuh. Jarak tempuh malam itu sekitar delapan jam. Kami berhenti di Seblat, Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara untuk makan malam, dan masih berhenti lagi untuk mengisi BBM di SPBU di Penarik, Kabupaten Mukomuko sebelum melakukan perjalanan kembali menuju desa terpencil itu.
Malam itu waktu menunjukkan pukul 01.24 dini hari, saat kami berhenti di SPBU Penarik, pemandangan sekitar yang terlihat adalah puluhan jirigen besar kemungkinan kapasitasnya sekitar 20 - 25 liter per jirigen diletakkan mengelilingi SPBU, bahkan mobil yang akan mengisi bensin atau solar harus mengantri. Bagiku itu pemandangan yang sangat menarik sekaligus memprihatinkan, karena yang kulihat malam itu adalah sebuah kecurangan yang sudah menjadi budaya dan dibiarkan. Solar atau bensin yang ada dalam jirigen tersebut akan dijual kembali di sepanjang jalan dengan harga per liternya lebih tinggi dari harga jual Pertamina dan bahkan dengan kuantitas dan kualitas yang kurang dari seharusnya. Para pengemudi yang membeli bahan bakar minyak (BBM) dari tempat tersebut biasanya karena terpaksa atau tempat tinggalnya jauh dari SPBU, seperti di daerah terpencil. Terpaksa karena persedian solar atau bensin yang cepat habis karena diborong oleh pemilik jirigen-jirigen tersebut, yang seringkali membuat BBM menjadi barang langka dan menyebabkan antrian panjang hanya untuk mendapatkan bahan bakar minyak di SPBU. Menurut teman-teman saya dari luar Provinsi Bengkulu bahwa antrian panjang yang terjadi di SPBU hanya ditemui di Provinsi Bengkulu, dan tidak ditemui di Provinsi lainnya. Jadi muncul pertanyaan di benakku, "ada apa dengan Bengkulu, kenapa itu bisa terus terjadi sampai hari ini ?" Bagiku apa yang kulihat malam itu adalah obyek yang menarik untuk diphoto, namun aku ragu, bila saya memotretnya takut orang-orang itu curiga dan berbuat sesuatu yang tidak kami inginkan, hanya gara-gara saya memotret aktivitas illegal seperti itu. Kenapa saya menyebutnya aktivitas illegal, karena perilaku tersebut sangat merugikan kepentingan umum pengguna BBM.
Setelah mengisi BBM, mobil travel yang kami naiki mulai memasuki jalan poros menuju kecamatan Selagan Raya. Ada yang aneh menurutku dengan sopirnya, sepanjang jalan dia sangat faseh berbahasa Batak dengan para penumpang yang hampir keseluruhan orang Batak, kecuali saya tentunya. Namun saat memasuki desa terpencil yang kami tuju, dia berubah aksen bicara menjadi sangat faseh berbahasa Jawa dengan orang disampingnya yang sepertinya berasal dari keturunan Jawa. Membuatku penasaran dan beberapa kali melihatnya dan memastikan apakah orang yang ada di depan saya itu adalah sopir travel yang sebelumnya atau sudah ganti, karena sangat faseh berbahasa daerah Batak dan Jawa, bagiku itu aneh karena saya belum pernah menemui orang yang seperti itu sebelumnya :)
Dalam kegelapan malam itu yang kulihat di sebelah kiri dan kanan jalan yang kulalui ada hutan dan kebun sawit yang didominasi oleh belukar. Sudah biasa bila melakukan perjalanan ke daerah terpencil di Sumatera adakalanya jarang melihat pondok atau rumah warga. Pemukiman penduduk biasanya terkonsentrasi di suatu tempat saja, sedangkan untuk menuju kesana banyak melewati perkebunan atau hutan belukar.
Di Desa Sungai Ipuh, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu kami memiliki seorang teman yang asli berasal dari sana dan tinggal di desa itu, namanya Barlian, dia bekerja di local NGO yakni Genesis Bengkulu yang bergerak dibidang konservasi biodiversity dan habitatnya dan masuk jaringan AKAR (AKAR Network) yang memiliki project kegiatan berbasis konservasi di sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Di desa tersebut kami tinggal di rumah keluarganya yang tak jauh dari rumahnya. Sampai di Desa Sungai Ipuh sekitar jam setengah tiga pagi. Teman perjalanan saya sudah seringkali mengunjungi desa itu dan menginap di sana sejak tahun 2007, dan bagi saya sendiri ini adalah untuk pertama kalinya saya mengunjungi daerah tersebut. Desa Sungai Ipuh seperti kampung tua, bangunan rumah didominasi rumah panggung yang terbuat dari kayu, ciri khas rumah adat di Bengkulu. Bahasa daerah disana pun berbeda dengan bahasa daerah yang digunakan masyarakat Mukomuko pada umumnya, malah punya kemiripan dengan bahasa Kerinci, Jambi. Pemukiman di desa ini mengingatkanku pada Desa Suka Merindu yang berlokasi tak jauh dari Pusat Konservasi Gajah Seblat yang dihuni oleh Suku Pekal.
Sabtu, 26 April 2014
Sekolah gratis MTs Syuhada di Kec. Selagan Raya, Mukomuko |
Jalan desa yang belum beraspal, masih tanah dan batu koral dan kondisinya naik turun membuatku sempat terjatuh dari motor dan hampir tertimpa motor saat melewati jalan buruk menanjak menuju sekolah tersebut. Meskipun jarang sekali mengendarai motor selama tinggal di Bengkulu tapi saya bisa mengendarai motor tapi bukan di jalan buruk seperti itu...hahaha ! Pada dasarnya saya menyukai petualangan dan hal-hal ekstrim untuk dicoba akhirnya dengan senang hati saya menyetujui saat diminta untuk mengendarai motor sendiri hari itu. Dan hasilnya dapat kenang-kenangan kaki kiri saya bengkak dan memar karena dipakai untuk menyangga motor yang akan terjatuh :)
Minggu, 27 April 2014
Pagi itu kami berencana pergi ke ladang yang lokasinya lumayan jauh dari desa tersebut. Kami packing dengan membawa keperluan untuk mandi di Sungai Selagan, yakni celana pendek, handuk, peralatan mandi dan baju ganti. Camera wajib dibawa karena pasti banyak obyek photo yang menarik disana. Tak lupa kami juga membawa bekal makanan. Saya menanyakan kondisi jalan kepada teman saya yang rumahnya di desa itu untuk memastikan bahwa saya bisa membawa motor sendiri atau perlu bantuan orang lain. Menurut penjelasannya bahwa jalannya jauh lebih buruk. Ya saya bisa membayangkan seperti halnya jalan-jalan kebun/ ladang di pelosok Sumatera tentu tidak ada yang kondisinya bagus karena saya sering blusukan ke tempat-tempat seperti itu sebelumnya. Akhirnya aku punya permintaan untuk dicarikan orang untuk memboncengku. Kami akan membawa dua motor, karena kami bertiga, maka perlu satu orang lagi yang mengendarai motor bersamaku. Semula saya beranggapan bahwa yang akan memboncengku adalah orang dewasa, namun pagi itu yang ada di depanku adalah seorang anak kecil yang baru kelas tiga Sekolah Dasar (SD). Dia membawa motor besarnya, yakni motor modifikasi hingga bentuk fisiknya menyerupai trail. Aku melihat kakinya pun tidak bisa mencapai tanah saat dia duduk di motor, dan tidak ada tempat pijakan kaki bagi yang dibonceng. Jalan buruk akan menyiksa bila kita tidak bisa duduk dengan nyaman. Disarankan dia berganti motor yang lain yang lebih kecil dan ada tempat pijakan kaki bagi yang dibonceng, namun dia tetap memilih memakai motornya sendiri. Akhirnya saya berpikir bahwa orang akan lebih terbiasa atau menguasai motornya sendiri yang dipakai sehari-hari dibandingkan harus memakai motor orang lain. Dan untuk keselamatan saya membutuhkan orang yang menguasai motornya disaat kami akan melewati jalan-jalan buruk.
Aku baru mengenal anak kecil itu pagi itu, namanya Fernando atau lebih sering dipanggil dengan sebutan Nando, maka sepanjang jalan aku banyak bertanya tentang sekolahnya, motor kesayangannya, hobbynya dan lain-lain. Namun kami sudah mengenal ibunya sehari sebelumnya, saat menceriterakan kenakalan anak itu yang tidak mengikuti kegiatan belajar di sekolah tapi sukanya malah main bola saja. Menurut pengamatanku sekilas bahwa anak tersebut sangat rajin, punya inisiatif dan punya banyak kelebihan, mungkin itu yang belum tersalurkan.
Perjalanan menuju ke ladang
Jangan pernah beranggapan bahwa jalan-jalan di daerah pelosok Sumatera sebagus jalan-jalan di Pulau Jawa. Bahkan dulu waktu saya masih sekolah dan melakukan perjalanan ke beberapa taman nasional di Jawa Timur bisa ditemui jalan beraspal pun sudah masuk ke dalam taman nasional yang digunakan untuk akses menuju ke taman nasional. Namun tidak di Sumatera, justru pembukaan jalan melalui kawasan konservasi seperti taman nasional akan merusak ekosistem yang ada di dalamnya juga mendorong terjadinya banyak aktivitas illegal di bidang kehutanan, ini artinya memberi akses dengan mudah bagi perambah masuk kawasan juga pelaku illegal logging, perburuan satwa liar, survey pertambangan illegal dan lain-lain. Dengan memberikan ijin bagi pembuatan jalan yang melalui zona inti taman nasional itu sama artinya orang tersebut mendukung perusakan ekositem di taman nasional itu sendiri. Dan bila taman nasional rusak dan menyebabkan bencana alam atau juga konflik satwa liar dengan manusia yang tidak pernah ada akhirnya maka yang menanggung derita dan terkena dampaknya secara nyata tentunya adalah masyarakat sekitarnya dan bukan pengambil kebijakan yang mengijinkan itu terjadi baik yang ada di tingkat pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat.
Jalan yang kami lalui menuju ladang adalah jalan kebun, dan jalan tersebut ternyata juga berujung dengan jalan yang sekarang sedang diusulkan oleh pemerintah daerah untuk pembuatan jalan melalui kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sebagai dalih untuk jalur evakuasi bencana dari Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu menuju Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Padahal jalan yang menghubungkan kedua wilayah tersebut sudah ada yang selama ini dipakai sebagai jalan lintas antar provinsi Bengkulu - Jambi dan kondisinya jauh lebih baik, lebih datar daripada jalan ke ladang ini yang naik turun dan ekstrim untuk dilalui. Bagi para pemerhati konservasi, proyek jalan ini adalah sarat dengan kepentingan dan termasuk proyek abal-abal dan proyek akal busuk yang tujuannya tidak sesuai dengan manfaatnya kedepan. Seolah-olah mereka hanya ingin membuat akses yang mudah untuk bisa mengeksploitasi kekayaan alam yang ada di dalam Taman Nasional yang belum terjamah, seperti kayu dan lain-lain.
Setelah melalui pemukiman penduduk, kami melalui jalan kebun berupa jalan coral dan dikombinasi dengan jalan tanah merah berlumpur yang licin, kondisinya naik turun dengan tanjakan dan turunan yang ekstrim, bahkan kami juga masuk kedalam sungai dan sempat terjebak dalam lumpur sehingga aku pun ikut mendorong motor agar terlepas dari jebakan lumpur yang dalam. Nando, anak kecil yang membonceng saya sangat piawai dalam mengendarai motor meskipun kakinya tidak bisa menyentuh tanah saat diatas motor, terutama saat menuruni jalan buruk yang turunannya sangat curam begitu juga saat menaiki tanjakan. Dia juga lihai dalam menjaga keseimbangan, saya memperhatikannya dari belakang bagaimana cara dia menjaga keseimbangan motor saat melewati jalan licin yang membuat roda motor terpeleset kesana kemari dan melewati jalan berbatu lepas/ yang tidak tertanam sehingga membuat roda motor tergelincir, Bila jalan yang dilalui buruk dan licin kakinya sibuk menendang tanah ke samping kiri dan kanan guna mendorong motor agar tetap seimbang, agar berdiri tegak kembali bila motor telah miring dan hampir jatuh. Dan saat saya minta berhenti karena mau mengambil dokumentasi, dia tidak akan langsung berhenti tetapi masih mencari gundukan tanah agar kakinya bisa memijak tanah dan menghentikan motornya di tempat itu....hahaha! Benar-benar kemampuannya melebihi usianya.
Setiap kali melewati turunan dan tanjakan ekstrim atau menerjang lubang-lubang lumpur di jalanan yang membuat kami pun seperti meloncat di atas motor, saya berteriak kegirangan dan anak kecil di depanku itu hanya tertawa saja, namun kadang-kadang ikut juga berteriak bersamaku. Melewati jalan buruk itu ternyata menyenangkan meski memacu adrenalin dan harus siap-siap terjatuh dari motor setiap saat. Karena yang mengendarai motornya cukup terampil maka saat berangkat dan pulang tidak pernah ada kendala di jalan. Kami tidak pernah terjatuh sekalipun, meski melewati jalan buruk.
Siang itu, kami sampai juga di ladang padi yang berada di pinggir jalan. Bila menelusuri jalan tersebut bisa berujung ke kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang tak jauh dari tempat itu. Kami memarkir motor dekat pondok petani disana dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, dua kali menyeberangi sungai besar. Air sungai sangat jernih dan dasar sungai berupa batu-batuan terlihat jelas, sesekali kakiku terpeleset karena batu licin. Kami bertemu dengan empat orang anak-anak yang sedang mencari ikan di sungai, ternyata anak-anak itu adalah siswa sekolah gratis di MTs Syuhada, kawan saya mengenalinya dengan baik. Waktu berkunjung ke sekolah tersebut aku memang tidak memperhatikan wajah murid disana satu per satu, sehingga tidak bisa mengenalinya. Kami juga melihat pipa PDAM di sekitar sungai tersebut, ini artinya penduduk sekitar memanfaatkan sumber air disana untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Saat menyeberangi Sungai Selagan yang dalamnya sepinggang di arus utamanya, di pinggir sungai saya melihat capung warna hijau metalik, " ini capung yang selama ini aku cari ", pikirku. Saya biasa menjumpainya di sungai-sungai di dalam hutan yang masih alami di kawasan konservasi Pusat Konservasi Gajah Seblat saat mengikuti patroli hutan. Kami biasa mendirikan tenda berdekatan dengan sungai, dan di sungai-sungai tersebut saya sering menjumpai capung jenis ini. Saat itupun saya langsung berniat ingin memotretnya.
Ladang Kacang Tanah |
Membersihkan kulit kayu manis yang baru dipanen |
Hidup di daerah pelosok memang sangat sederhana, sederhana dalam hidup dan sederhana dalam berpikir dan tentu membuat orang-orang terlihat awet muda dari usia yang sebenarnya. Karena mereka berkegiatan secara fisik yang berarti melakukan olahraga rutin setiap hari saat bekerja, dan makanan yang dikonsumsi pun jauh lebih sehat tanpa bahan pengawet, sayuran dan buah-buahan organik, ikan pun didapat masih segar dari sungai yang masih alami. Lingkungan sekitar yang tenang dan nyaman tanpa harus mendengar hiruk pikuk berita-berita di berbagai belahan daerah tentang kekerasan, sepak terjang orang-orang berpolitik yang tidak sehat, membudayanya korupsi, dan kekacauan lainnya yang tentu saja bisa mendorong kekecewaan kita terhadap pemerintah, wakil rakyat, partai politik juga penegak hukum dan orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan kejadian-kejadian tersebut. Tinggal di tempat seperti itu kita hanya bisa mendengarkan suara alam, burung-burung berkicau, suara monyet dari hutan sekitar dan suara aliran air dan melihat pemandangan sekitar yang hijau tanpa ada akses media komunikasi seperti televisi dan jaringan internet untuk melihat kejadian kekacauan di negeri ini yang memuakan atau dijejali dengan acara-acara televisi yang tidak mendidik dan hanya memicu kecemburuan sosial dengan adanya iklan-iklan pemilik modal dengan rumah mewah/ apartemen mewah dan segala fasilitasnya, pembangunan kota besar yang terus berjalan sedangkan pada kenyataannya di waktu yang bersamaan pembangunan di daerah terpencil di luar Pulau Jawa yang tidak tersentuh. Hal ini yang selalu membuatku terharu dan tersentuh setiap kali travelling ke daerah-daerah pelosok yang jauh dari jangkauan pembangunan. Sampai hari ini pun saya masih beranggapan bahwa pembangunan itu sebenarnya memang tidak adil dan tidak merata, tidak seperti yang telah diamanatkan dalam aturan hukum tertinggi di negara ini.
Seorang ibu yang telah berusia lanjut penghuni pondok tersebut terlihat sibuk memanen sayuran terong dan kecipir dari hasil kebunnya dan mencari sayuran pakis dari hutan belukar di sekitarnya. Beliau memasaknya untuk makan siang. Sungguh lezat sekali masakannya, dan makan siang kami hari itu terasa sangat nikmat. Kami makan siang setelah selesai mandi dan berenang di Sungai Selagan.
Dragon Fly 'Neurobasis sp' at Selagan River, Mukomuko. Photo by Erni Suyanti Musabine |
Siang itu kami bertiga dengan seorang penghuni pondok pergi ke sungai untuk berenang. Saya teringat capung warna hijau metalik yang sering hinggap di akar-akar pohon di pinggir sungai, saya masih ingin memotretnya, karena tidak di setiap tempat yang saya kunjungi saya bisa menjumpai capung itu. Saya melihat beberapa capung sejenis yang berterbangan disana, tidak hanya hinggap di akar pohon, di atas batu bahkan sesekali hinggap di punggung dan jari kami saat mandi di sungai. Untuk bisa mendekatinya harus masuk kedalam sungai yang tingginya sebatas pinggang, sambil menenteng camera. Karena saya akan motret capung itu dari dekat dengan fasilitas photo makro. Saya harus berdiri di dalam sungai dan berdiam lama untuk menunggu capung hinggap kembali ke tempat semula yang ada di depanku. Akhirnya sayapun bisa mendapat puluhan photo untuk satu obyek saja. Dan saya masih menemukan beberapa jenis capung lainnya yang ada di pinggir sungai tersebut. Disaat saya sedang sibuk memotret capung, kawan-kawan lainnya mandi dan berenang sedangkan Nando sibuk mencari udang sungai dengan menyelam.
Sungai Selagan, Mukomuko, Bengkulu |
Kembali pulang
Menjelang sore itu kami berempat kembali ke desa dengan mengendarai motor masing-masing. Di tengah perjalanan turun hujan lebat, namun kami tetap ingin melanjutkan perjalanan meskipun basah kuyup. Jalan berubah menjadi licin dan seringkali roda sepeda motor terpeleset saat menanjak ataupun melewati turunan yang curam. Hujan lebat mengiringi perjalanan kami sampai ke desa. Saat melewati jalan kebun yang buruk, terasa nyaman karena Nando bisa mengendarai motornya dengan baik, namun setelah memasuki jalan desa yang sudah beraspal dan banyak lubangnya bahkan ada yang terputus malah terasa sakit semua, karena pengemudi motor didepanku melaju kencang tanpa peduli roda melewati lubang-lubang aspal yang dalam tanpa mau memilih jalan yang lebih baik untuk dilewati. Alasannya hanya karena ingin mengejar waktu untuk bisa bermain sepakbola. Saat perjalanan pulang itu kami telah selamat kembali ke desa tanpa mengalami kendala meski melewati jalan buruk yang licin sekalipun. Selesai membersihkan badan akhirnya kami tertidur karena kelelahan. Tiba-tiba dibangunkan saat travel telah datang menjemput kami untuk kembali ke kota Bengkulu sore itu. Hujan pun masih mengiringi perjalanan kami sampai kota Bengkulu.
Liburan yang mengesankan di akhir pekan. Hari-hariku selalu penuh dengan kejutan dan selalu memiliki pengalaman perjalanan yang luar biasa, seperti halnya yang kurasakan saat liburan kali ini. Suatu saat aku ingin kembali kesana lagi dan menginap di pondok di tengah ladang, melupakan rutinitas harian dan menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan kota, pasti akan menyenangkan dan menentramkan hati.