Sabtu, 14 Maret 2015

Trekking di Daerah Jelajah Harimau Sumatera


Jumat, 13 Maret 2015

Tim Rescue Harimau sudah kembali ke Kota Bengkulu namun aku memutuskan untuk tetap tinggal di desa itu selama beberapa hari. Setiap kali bekerja seperti ini aku seperti melakukan wisata alam yang menyenangkan, selalu membuatku bersemangat apalagi bekerja untuk kucing besar yang satu ini.

Pagi itu aku merencanakan untuk trekking ke lokasi-lokasi dimana harimau berada dan mengikuti jalur jelajahnya, berharap akan menemukan tanda-tanda keberadaan satwa predator ini. Semalam aku memutuskan menginap di rumah Kepala Desa, dan paginya dijemput oleh Sekretaris Desa, yakni orang lokal yang akan menemaniku jalan-jalan ke hutan mencari tanda-tanda keberadaan harimau di sekitar desa itu.


Sehari sebelumnya aku bersama tim rescue telah melakukan pemeriksaan TKP (Tempat Kejadian Perkara) harimau yang terjerat perangkap pemburu liar, namun harimau telah hilang. Kepala Desa dan beberapa warga berkeyakinan bahwa harimau tersebut lepas dengan sendirinya, sedangkan kami 'Tim Rescue' berpendapat lain, hasil dari cek TKP menunjukkan bahwa kemungkinan besar harimau sudah dibunuh dan dibawa oleh pemburu. Kami menemukan 9 jerat harimau yang sudah tidak aktif dan bekas kayu pancang yang dipotong dengan senjata tajam dan semua tali sling sudah tidak ada, serta bau busuk dari lokasi-lokasi bekas satwa umpan. Setelah aku bertanya kepada warga desa apakah ada diantara mereka yang merusak jerat-jerat itu ? Mereka bilang, "Tidak ada". Ini artinya orang lain yang melakukannya. Tetapi untuk meyakinkan mereka maka aku harus melakukan pengecekan di daerah sekitarnya untuk menemukan tanda-tanda keberadaan harimau bila itu memang ada, karena menurut pengakuan beberapa warga desa selama tiga malam berturut-turut sejak ditemukan harimau terjerat oleh pencari ikan di Sungai Simpur terdengar suara raungan harimau di sekitar rumah warga dan kebun karet mereka, bahkan ada yang bertemu langsung di sekitar kandang sapi. 

Setelah mengumpulkan banyak informasi dimana warga melihat harimau melintas dan mendengar raungannya maka aku berniat untuk mendatangi tempat-tempat itu serta ingin memeriksa lokasi-lokasi yang selama ini menjadi jalur jelajah mereka. Pukul 09.00 WIB setelah sarapan pagi bersama Ibu Kades (Kepala Desa) dan Ibu Sekdes (Sekretaris Desa), aku bersiap-siap pergi bersama Pak Sekdes. Hari itu aku akan pindah tempat menginap, yakni di rumah seorang nenek yang hidup sendirian dan kebun sekitarnya merupakan tempat perlintasan harimau sumatera. Seorang wanita di desa itu mengatakan bahwa aku memilih tempat menginap yang strategis untuk bisa mendengar suara raungan harimau atau melihatnya melintas di malam hari bila dia sedang lewat di sekitar pemukiman itu seperti malam-malam sebelumnya.  Selain itu aku juga ada janji untuk bertemu teman-teman dari salah satu LSM international yang bekerja untuk konservasi harimau disana esok harinya. Sesampainya di rumah itu, aku letakkan rangselku di kamar bagian depan, kemudian berangkat untuk memeriksa jalur jelajah harimau dengan berjalan kaki. Orang lokal (Sekdes) yang mengantarku berjalan lebih dulu dan aku mengikuti dibelakangnya karena dia yang lebih tahu lokasi disana. Tempat yang pertama kali kami datangi adalah kebun karet warga, disitulah malam sebelumnya terdengar suara raungan harimau, namun kami tidak menemukan tanda-tanda apapun. Untuk memeriksa kebun karet tersebut kami berjalan seperti naik turun bukit, nafasku berat sehingga aku mulai berusaha untuk mengatur nafas agar tidak cepat capek, menarik nafas panjang, menahannya dan mengeluarkannya pelan-pelan, begitu seterusnya yang kulakukan, seperti olahraga Yoga saja. Namun itu juga yang selalu aku lakukan bila mendaki gunung mencegah aku bernafas tidak teratur (ngos-ngosan) karena bisa membuat cepat capek saat berjalan menanjak. Setelah lama mengatur nafas akhirnya aku bisa bernafas teratur dengan sendirinya. Bagiku itu penting untuk menjaga stamina agar tidak mudah kecapekan dengan mengatur pernafasan. 

Beberapa kebun karet yang kami periksa tidak ada tanda-tanda ada harimau yang baru melintas disana, yang banyak terlihat malah jejak babi hutan (celeng), dan kami juga bertemu dengan orang lokal yang sedang bekerja di kebun dan memberi informasi di jalan setapak mana saja harimau sering terlihat melewatinya, akhirnya kami mengikutinya. Entah berapa kali kami harus berjalan menanjak dan menurun, aku tak sanggup menghitungnya, aku hanya fokus dengan apa yang sedang kucari dan juga menjaga nafasku tetap teratur agar tidak mudah lelah. Saat berhenti sambil memeriksa jalan setapak dan sekitarnya, kuteguk air mineral dalam botol sedikit demi sedikit dan menahannya di dalam mulut untuk merasakan kesegarannya disaat hari sangat panas, kemudian baru menelannya. Keringatku sudah banyak mengucur sehingga aku perlu mengimbanginya dengan minum air putih.

Dari kebun karet kami menuju kebun sawit milik warga, saat ditengah perjalanan hidungku mencium bau yang tak asing lagi bagiku. Meski hidungku sedang pilek tetapi aku masih bisa mencium baunya. Kata-kataku membuat orang lokal yang menemaniku berhenti , "Aku mencium baunya di dekat sini, seperti bau kotorannya".  Kami kemudian menuju ke tempat yang kutunjuk dan memeriksa sekitarnya namun tidak menemukan apa-apa. Tentu sulit untuk menemukannya karena banyak semak belukar dan tumpukan daun sawit kering.

Kami berjalan melintasi jalan setapak yang sempit dengan kanan kiri semak belukar yang tingginya diatas kepalaku, aku seperti tenggelam berjalan ditengah-tengahnya. Teringat lagi saat di kabupaten lain, harimau berada di dalam semak belukar seperti itu dan tidak terlihat olehku dari jalan setapak padahal jaraknya kurang dari 2 meter dibelakangku, dan hanya seekor anjing yang mengetahui ada harimau di dalam semak sedang duduk santai dan berteduh sambil mengawasi kami yang berdiri membelakanginya. Orang lokal tersebut menghentikan lamunanku saat berkata, "Nggak apa-apa ya mbak kalau kita lewat kuburan ?" Ternyata jalan setapak yang kami lewati itu menuju areal pemakaman warga. Ternyata harimau suka lewat sini juga pikirku. "Lewat kuburan sih gak masalah pak, yang aku khawatirkan bukan itu tapi bau yang tadi aku cium, semoga dia tidak ada di dekat kita", jawabku.


Sumatran Tiger's Footprint
Keluar dari areal pemakaman, kami bertemu jalan setapak lagi yang masih basah dan becek, disekitarnya semak belukar, tak terlihat adanya kebun meskipun itu areal kebun masyarakat.  Di tengah perjalanan kami menemukan jejak harimau kemungkinan pra-dewasa dan kemungkinan dia baru lewat kemarin, arahnya berlawanan dengan arah kami berjalan, namun ada juga jejak lainnya yang searah dengan arah berjalan kami. Kami mengikuti jejaknya, di tengah perjalanan aku berhenti dan mengatakan, "pak, aku mencium baunya lagi". Orang lokal tersebut kembali bertanya, "Baunya seperti apa ?" "Ya, kayak gini nih", jawabku. Dia berusaha mengendus-ngendus seperti yang aku lakukan. Hidung kami jadi se-sensitive hidung anjing. Kami langsung memeriksa sekitar terutama kearah semak belukar dikanan dan kiri jalan setapak yang kami lalui. Rasa cemas bercampur rasa bahagia saat kami menemukan jejak kaki harimau lagi dengan ukuran berbeda, sepertinya masih kecil, masih anak-anak, berarti ada induknya juga pikirku, tapi kami belum menemukan jejak harimau yang dewasa. Jejak itu terlihat baru, sepertinya baru saja lewat jalan setapak yang kami lewati. Ada beberapa jejak kaki harimau dengan ukuran lebih besar dan terlihat baru, masih basah. Mungkin sekitar tiga kali kami mencium bau harimau lagi di tempat-tempat yang berbeda di sepanjang jalan setapak tersebut. Jalan itu menuju sungai bagian hulu, dan terlihat ada bekas pemasangan camera trap disana. Kami turun ke sungai, pemandangan sekitar sangat indah, kami beristirahat sejenak sambil menikmati hutan disekitar kami yang hijau dan sejuk, aku duduk diatas batu besar. Akhirnya kami ngobrol sejenak, "Dibelakang mbak Yanti itu harimau biasa berenang", katanya membuka percakapan. Aku langsung melihat kearah belakangku, sungai yang airnya jernih dan bersih, wajar bila harimau menyukai juga tempat ini, pikirku. Kemudian dia berkata lagi, "Hutan ini sudah ada ijin konsesi bagi perusahaan, sebentar lagi akan ditebang habis". Mendengar ceritanya membuatku berpikir bagaimana dengan nasib harimau-harimau penghuni hutan itu nantinya. Dan bagaimana nasib warga desa terdekat bila konflik dengan harimau semakin meningkat. Tentu perubahan itu akan membawa dampak yang merugikan bagi mereka. Lagi-lagi aku harus kecewa mendengar khabar buruk ini.

Kami masih harus menyeberangi sungai besar itu dengan arus deras sebelum masuk kembali kedalam hutan di seberang sungai. Aku membawa batang kayu sebagai tongkat untuk memeriksa kedalaman sungai sebelum aku melewatinya. Aku tidak membawa drybag sehingga harus berjalan hati-hati saat menyebrang agar tidak jatuh terpeleset, karena sedang membawa camera, tablet, handphone, headlamp dan lainnya yang tidak boleh terendam air. Ada 4 kali kami harus menyeberangi sungai besar di bagian hulu, dan lainnya menyeberangi sungai kecil (orang lokal menyebutnya anak sungai). Sesampainya di seberang sungai kami memasuki hutan kembali dengan melewati jalan setapak yang dibuat oleh orang logging. Kami menemukan banyak bekas orang menebang pohon disana. Bahkan di dekat sungai kami sempat bertemu dengan mereka yang juga warga desa setempat yang berjalan dari arah berlawanan sambil membawa kayu-kayu papan hasil logging di pundak mereka. Orang lokal itu mengatakan bahwa mereka mendapatkan ijin dari perusahaan pemegang konsesi untuk menebang kayu disana. "Cara teraman untuk menghabisi hutan memang dengan memanfaatkan masyarakat sekitar untuk logging, bila perusahaan yang melakukannya pasti akan banyak kritikan dari penggiat konservasi karena hutan ini merupakan tempat tinggal harimau yang masih tersisa dan satwa liar itu sudah masuk kategori Critically Endangered Species menurut IUCN, ini artinya sebentar lagi punah. Dan itu juga cara yang manjur untuk mengambil hati masyarakat sekitar karena mereka sedang ada bisnis sawit skala besar disana. Ternyata perusak hutan Indonesia yang terbesar adalah bukan orang penghuni daerah itu sendiri tetapi orang-orang dari luar daerah, orang-orang dari Jakarta yang menumpang hidup disana", pikirku. Dari mereka kami mendapat informasi bahwa ada harimau besar berjalan sambil menunjuk kearah hutan yang akan kami datangi. Mungkin itu induk harimau dari harimau anakan yang jejak kaki kecilnya kami lihat tadi, sepertinya mereka baru saja lewat. 

Eight leeches bite my foot
Hutannya sangat lembab dan basah, bisa diduga banyaknya pacet yang menggigit kaki kami. Di kaki kananku dekat tumit ada 8 pacet yang tampak kenyang menghisap darahku di tempat yang berdekatan, terlihat sangat menjijikan. Belum yang berada di dalam sepatuku, di betis, di lutut dan di paha. Namun aku tidak pedulikan, kecuali bila pacet daun yang menggigit akan terasa sakit dan gatal maka aku ingin cepat-cepat membuangnya dari kulitku. Ternyata tidak hanya pacet yang menempel di tubuhku, tetapi juga ulat bulu. Aku paling tidak menyukai hewan kecil yang satu ini karena sangat menjijikkan. Dan tidak hanya kepada pacet-pacet aku menyumbangkan darahku untuk dihisap, tetapi juga kepada nyamuk-nyamuk hutan yang begitu banyak, apalagi aku hanya memakai T-Shirt warna hitam berlengan pendek dan celana pendek.

Di dalam hutan itu lagi-lagi aku mencium bau harimau. Saat kami melintasi jalan setapak yang licin basah dan berlumut, sekitarnya semak belukar yang rimbun tiba-tiba hidungku mencium bau harimau sangat kuat, dan orang lokal yang bersamaku juga mencium bau yang sama. Dia berjalan di depanku tampak cemas, aku juga, dan menjadi semakin waspada, sepertinya baunya dekat sekali, membuatku tidak hanya memeriksa ke semak-semak di sebelah kiri dan kananku tetapi aku juga lebih sering melihat kearah belakang. Seringkali merawat harimau liar membuat hidungku menjadi terbiasa dengan bau harimau. Jalanku sudah pincang karena sebelumnya sudah terpeleset dan lutut kananku mengenai batu sehingga bengkak dan memar, tampak warna gelap lebar di lutut kananku. Disaat jalanku sedang tidak normal, aku malah mencium baunya lagi. "Pak, ada rokok ?", tanyaku. Sebelum dia menjawab aku sudah bicara lagi, "Bapak merokok saja, biar dia tahu kalau ada orang disini agar dia menghindari kita". Meski aku sangat tidak menyukai bau asap rokok atau orang merokok di dekatku tapi kali ini aku malah menyuruhnya merokok. Aku berharap bau asap rokok bisa membuat satwa predator ini menjauhi kami. Orang lokal itu menghisap rokoknya dalam-dalam dan cepat, mungkin untuk membuatnya tenang sesaat karena rasa cemas atau mungkin agar harimau itu bisa mencium baunya dan segera menghindari kami. Aku sempat memperhatikannya saat menghisap rokok, ekspresinya jelas menunjukkan rasa cemas. Dalam kondisi seperti itu untuk menyenangkan diri sendiri aku berkeyakinan bahwa harimau tidak akan melukai orang yang tidak pernah menyakitinya. Dan bagiku aku pernah membedah kepala dan mengamputasi kaki kawan-kawannya karena luka jerat yang membusuk bukan termasuk dari kategori menyakitinya tapi menolongnya, semoga mereka mengerti itu. Pikiranku ini juga mengekspresikan bahwa aku juga cemas dan sempat merinding.  Aku bertanya lagi,"Sebelah kanan kita ini jurang atau sungai dalam ?" Karena tertutup semak belukar yang rapat aku hanya bisa mengira-ngira, dan aku hanya ingin memastikan bahwa bila ada harimau tidak mungkin dari arah kanan kami, tapi mungkin kami hanya perlu mewaspadai sebelah kiri, belakang atau depan. Lama-lama kami sudah tidak mencium baunya lagi. Kami terus melanjutkan perjalanan dan masih saja baunya tercium lagi di lokasi berbeda. Dalam hati aku berkata, "Ini kami yang mengikuti harimau atau harimau yang mengikuti kami". Kami menduga bahwa harimau itu melewati jalan setapak yang kearah kanan menuju perkebunan sawit milik sebuah perusahaan yang baru ditanam, dan akhirnya kami memilih jalur jalan setapak lainnya yakni ke arah kiri menuju desa.


Entah berapa banyak bukit dan turunan yang curam yang telah kami lewati, aku tidak mempedulikannya. Badanku yang banyak keluar keringat karena perjalanan jauh dan naik turun itu sudah mulai protes kehausan sedangkan air mineral di botol minumku tinggal sedikit lagi. Dalam perjalanan orang lokal itu bertanya kepadaku,"Biasanya harimau melakukan apa bila siang-siang begini ?" Sepertinya dia masih cemas dengan bau tadi dan ingin memastikan bahwa jalan yang kami lalui aman karena kami sudah memutuskan untuk tidak mengikuti jejak harimau lagi dan kembali pulang. "Biasanya sih yang pernah kami lihat dia lebih suka berteduh dan bersantai di dalam semak belukar di hari yang panas bila tidak ada banyak pohon yang teduh disana seperti yang kami lihat di Ketahun, atau bersantai di bawah pohon atau di pinggir sungai apalagi setelah makan seperti yang pernah terlihat di Seblat, kalau harimau liar yang kami rawat dikandang perilakunya nggak jauh berbeda selesai makan, membersihkan kaki depan, mulut dan muka lalu dia tidur-tiduran mendekatkan kepalanya ke air mengalir, sepertinya dia mencari tempat yang sejuk di hari yang panas," jawabku. Saat berbicara begitu kami pun berjalan menurun menuju sungai, dalam hati berharap kata-kataku jangan sampai terbukti hari itu melihatnya bersantai di pinggir sungai yang teduh saat kami ingin pulang kembali ke desa, jangan sampai itu terjadi, melihat jejaknya yang masih baru saja sudah cukup membuat kami puas.

Akhirnya kami sampai juga di sungai besar, airnya tampak bersih dan jernih. Aku mencari tempat duduk yang nyaman di atas batu, membersihkan kaki dari pacet dan lumpur, mencuci muka dan yang pasti minum air sungai yang segar. Minum air sungai terasa tidak pernah merasa puas, meski sudah minum begitu banyak tapi aku masih ingin minum lagi dan lagi. Kami duduk lama disana sambil ngobrol, dan aku bertanya, "Adakah orang yang suka mencari ikan sungai disini ?" "Biasanya banyak mbak, mereka biasanya menginap di pinggir sungai dengan membuat pondok, tapi beberapa hari ini nggak ada yang cari ikan karena takut sejak mendengar ada harimau terjerat kemarin", jawabnya. Yang dimaksud pondok adalah tenda darurat yang terbuat dari terpal atau plastik. Aku jadi ingat lagi bahwa orang yang pertama kali menemukan harimau terjerat adalah orang pencari ikan di sungai, dan aku juga melihat bekas pondok mereka yang tinggal kayu pancang saja di seberang sungai dekat lokasi harimau terjerat. Warga desa yang mencari ikan di sungai biasanya penduduk asli dan bukan pendatang atau orang trans, sebutan untuk orang transmigrasi, karena mereka yang punya keahlian untuk itu. Saat kami melanjutkan perjalanan perutku mulai lapar dan kami tidak membawa makanan. Dari kejauhan aku melihat pemandangan menarik, warna merah menyala diantara dedaunan, setelah dekat baru aku tahu kalau itu buah jambu air. Kami berhenti sejenak dan memetiknya untuk dimakan sebelum mendapatkan makan siang yang sesungguhnya.

Seorang warga desa setempat malamnya menemuiku, dia bercerita bahwa hari itu dia juga masuk ke hutan untuk berburu burung. Namun selama di hutan kami tidak bertemu. Saat aku memutuskan pulang kembali ke desa dengan mengambil jalan kearah kiri menuju sungai, sedangkan orang desa tersebut memilih melewati jalan setapak yang ke arah kanan dimana harimau melewatinya, akhirnya disana tanpa sengaja dia menginjak perangkap/ jerat harimau yang dipasang oleh pemburu liar dan membuat kakinya tergantung di atas. Aku membayangkan bila kami tidak memutuskan kembali ke desa dan masih terus mengikuti jejak harimau itu mungkin salah satu dari kami yang akan terkena jerat pemburu. Tentu dengan kaki tergantung diatas bukanlah lelucon yang menarik. Lalu aku menanyakan, "Apakah jerat harimau itu sudah dirusak ?" Katanya, "Sudah". Jawabannya membuatku lega. Lalu aku bertanya lagi, "Apakah tali slingnya diambil ?", katanya, "Tidak". Duuh......seharusnya tali slingnya diambil juga agar tidak digunakan pemburu lagi. Sejak itu kami bersosialisasi dengan warga desa setempat saat kami berkumpul dan membahas harimau dan perburuan, berpesan untuk membersihkan jerat-jerat harimau bila menemukannya tidak hanya di hutan, di jalan setapak atau di kebun mereka untuk merusaknya dan mengambil slingnya. Tidak hanya jerat harimau tetapi juga jerat untuk satwa liar jenis lainnya. Lega sekali saat mendengar mereka akan membantu untuk itu, selama ini mereka juga telah membersihkan jerat-jerat yang dipasang oleh pemburu bila mereka menemukannya. Duh....jerat harimau ada dimana-mana dan ternyata menyebar di banyak tempat. Desa ini sudah menjadi target para pemburu liar.

Sepertinya juga ada kesalahpahaman dalam mengartikan solusi untuk harimau terjerat, hal ini sungguh membuatku sangat kecewa. Mereka tidak memahami bahwa harimau yang terjerat itu harus cepat diselamatkan dan tidak bisa menunggu waktu, karena upaya untuk menyelamatkannya beradu kecepatan dengan upaya pemburu untuk membunuh dan mengambilnya. Lebih-lebih lokasinya sangat dekat dengan sebuah desa dimana pemburu tinggal, dekat dengan jalan lintas antar desa dan ada akses jalan logging yang lebar menuju lokasi, tentu itu akan mempermudah pemburu untuk mendapatkannya. Terlambatnya laporan akan berpengaruh terhadap lambatnya petugas melepaskan harimau dari jerat pemburu. Hal yang sempat membuatku sangat marah saat ada yang mengatakan bahwa nanti kalau petugas datang harimau akan diambil. Dan dia lebih memilih akhirnya harimau diambil juga oleh pemburu, dibunuh dengan sadis dan dijual di pasar gelap daripada kami selamatkan dalam kondisi hidup dan diobati. Logikaku tentu tidak bisa menerima dan memahaminya. Kami punya prosedur dalam penanganan satwa liar korban konflik dan perburuan liar, bila harimau terkena jerat harus secepat mungkin dilepaskan untuk menghindari kematian juga menghindari kaki membusuk karena aliran darah tersumbat oleh jerat. Bila kondisi luka tidak parah tentu harimau bisa langsung dilepasliarkan kembali tanpa harus dievakuasi, namun bila luka sudah membusuk dan jaringan sudah nekrosis maka harus mendapatkan perawatan sementara untuk diamputasi jika tidak infeksinya juga akan menyebar dan meracuni tubuh sehingga menyebakan kematian pada harimau. Kejadian ini benar-benar membuatku sangat marah. Aku terdiam mendengar perkataan itu, rasa kesal dan sedih bercampur aduk, kami pun harus kehilangan dua ekor harimau yang dijerat dan dibunuh pemburu liar karena terlambat mengetahuinya.

Desa itu tampak sudah terbiasa hidup berdampingan dengan harimau karena kondisi lingkungan sekitarnya yang memaksa, semenjak hutan habitat harimau lambat-laun ditebang habis untuk memfasilitasi pengusaha pemegang ijin konsesi bagi perkebunan sawit skala besar. Dalam benakku selalu muncul pertanyaan, "Siapakah yang sebenarnya diuntungkan ? Masyarakat desa yang hidup di sekitar hutan itu? Pengusaha? Pejabat pemberi ijin konsesi? ataukah Harimau? Tidak adakah cara yang lebih bijaksana agar pembangunan ekonomi yang melibatkan pengusaha besar dari luar daerah tanpa merugikan lingkungan dan masyarakat lokal ? Apakah karena uang membutakan semuanya ? Dan mengorbankan hal lain yang seharusnya dijaga ?"

Kamis, 12 Maret 2015

Ditemukan lagi harimau sumatera terjerat, Seluma kini jadi target pemburu harimau


Malam itu pukul 20.29 WIB, hari Rabu tanggal 13 Maret 2015 saya mendapat informasi dari Mayor Usman Kasdim Seluma melalui chatting di WhatsApp bahwa masyarakat melaporkan ada harimau terjerat di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Esok harinya, saya ditelepon oleh BKSDA Bengkulu untuk bersiap-siap berangkat rescue harimau yang terjerat di Seluma. Saya pun langsung mempersiapkan peralatan rescue dan obat bius serta obat-obatan emergency. Lokasi harimau terjerat yang disampaikan kepada saya adalah di Ulu Talo. Ini bukan pertama kalinya harimau terjerat di Ulu Talo, beberapa tahun silam saya bersama tim dari BKSDA Bengkulu dan PHS-KS juga pernah ke HPT Ulu Talo untuk merescue harimau terjerat. Medan yang buruk harus menyeberangi sungai besar lebih dari sepuluh kali dibagian hulu dengan arus deras yang membuat wartawan yang ikut kegiatan tersebut dari salah satu stasiun televisi nasional hanyut terbawa arus namun selamat, dan naik turun bukit dengan trekking selama 6 jam untuk mencapai lokasi harimau terjerat, namun sesampainya disana harimau sudah hilang, hanya tinggal tonggak kayu pengikat jerat dan tali sling yang telah terpotong, serta tak jauh dari lokasi ada saluran pencernaan hewan yang telah berbau busuk.

Dengan pernah punya pengalaman melakukan perjalanan ke Ulu Talo maka saya memilih anggota Tim Rescue yang akan berangkat bersamaku, yang jelas orang-orang yang telah terbiasa melakukan perjalanan di medan yang sulit dan curam. Informasi awal yang kudapatkan bahwa jerat tersebut adalah jerat babi yang tidak sengaja kena harimau, dan harimau terjerat di bagian leher bukan kaki. Sepanjang perjalanan saya berdiskusi dengan teman-teman satu tim yang sama-sama punya pengalaman dalam penyelamatan harimau dari jerat pemburu liar. Saya  mencoba menganalisa dan mengatakan pada mereka, "Bila jeratnya berbentuk spiral seperti jerat yang dipasang pada ladang-ladang masyarakat untuk menjerat babi, bila harimau anakan kemungkinan kecil untuk bisa lolos dan bertahan hidup bila terjeratnya sudah lama, karena bisa tergulung. Tapi bila jeratnya berupa tali nylon atau sling untuk babi maka bila harimau anakan mungkin tidak bisa lepas sendiri tapi kalau harimau dewasa pasti sudah lepas, karena sudah banyak contohnya. Dan bila terjerat di leher diharapkan masih bertahan hidup, meskipun memberontak dia kan merasa kesakitan dan tidak bisa bernafas bila lehernya tercekik jadi akan berusaha untuk tidak tercekik, berbeda bila terjerat di bagian kaki." Namun kami tidak begitu saja bisa percaya dengan informasi dari orang lain bila belum melakukan pengecekan TKP (Tempat Kejadian Perkara) secara langsung. Kadang informasi yang mereka sampaikan tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat namun berdasarkan perkiraan mereka saja.

di Koramil Ulu Talo, Seluma
Sore itu pukul 3.37 WIB kami tiba di kantor Koramil Ulu Talo, untuk mencari informasi mengenai lokasi harimau terjerat, mengingat Koramil lah yang memberikan informasi adanya harimau terjerat ke BKSDA Bengkulu dan bukan dari warga atau aparat desa setempat yang melaporkan. Mereka menyarankan kami untuk tidak ke lokasi lagipula harimaunya sudah hilang dari lokasi. Justru karena mendapat informasi seperti itu, saya bilang ke tim bahwa kami harus tetap ke lokasi kejadian untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, meskipun hari sudah sore tentu itu akan sangat beresiko berada di jalur jelajah harimau, tapi karena kami jumlahnya banyak saya pikir tidak akan ada masalah asalkan kami berjalan beriringan dan tidak terpisah atau berpencar.

Ada dua desa yang harus kami kunjungi berhubungan dengan kasus ini, kami memilih desa terdekat dengan lokasi kejadian untuk mencari informasi dimana harimau terjerat, karena tidak mudah mencari harimau yang terjerat di dalam hutan. Sore itu kami menemui Kepala Desa setempat dan diantar ke lokasi kejadian bersama beberapa warganya.

Pukul 5.52 WIB sore itu kami sudah sampai di TKP. Kami memeriksa lokasi tersebut sampai pukul 6.42 WIB. Dari sekian banyak orang hanya saya saja yang membawa headlamp padahal kami memeriksa lokasi kejadian hingga menjelang gelap. Headlamp yang mereka bawa dari Bengkulu mereka tinggalkan di dalam mobil :D

Lokasi harimau terjerat dekat dengan sungai dan jalan desa penghubung antara desa yang satu dengan lainnya, dan akhirnya saya pun mengetahui bahwa di salah satu desa tersebut ada yang mencari nafkah dengan berburu harimau. Juga terdapat jalan logging, mobil pun bisa melewatinya karena jalannya lebar, yang menghubungkan antara jalan desa dengan lokasi harimau terjerat. Dan berdasarkan informasi masyarakat bahwa orang yang mencari ikan di sungai melihat harimau terjerat di bagian kaki dalam kondisi masih hidup sejak hari Senin malam tanggal 9 Maret 2015, dan kami baru mendapatkan informasi hari Rabu malam tanggal 11 Maret 2015. Bila melihat semua kondisi TKP yang seperti itu wajar bila harimau yang terjerat sudah hilang dari lokasi. Perkiraan saya sudah diambil pemburu yang memasang jerat. Meskipun aparat desa dan warga punya pendapat lain bahwa harimau tersebut lepas sendirinya dan bukan diambil orang, karena mereka mendengar suara raungan harimau di sekitar pemukiman mereka yang jauh dari lokasi kejadian pada malam hari berturut-turut dari tanggal 9-11 Maret 2015. 

Bekas cakaran harimau
Biasanya kalau harimau lepas sendiri dari jerat biasanya tak pernah jauh berjalan dari lokasinya terjerat karena dia terluka, dan kadang masih membawa sling yang mengikat kakinya dan kadang masih menyeret kayu pancang pengikat sling yang seringkali membuat harimau tersangkut dan tidak bisa berjalan lagi. Dan bila harimau melepaskan diri dari jerat pasti tali sling di jerat-jerat lainnya masih ada, namun kami tidak menemui satu pun sling di 9 perangkap yang telah dibuat pemburu di loaksi itu, hanya tinggal kayu pancang dan lubang-lubang perangkap serta bekas umpan yang telah membusuk dan berbau menyengat bahkan tinggal tengkorak saja. Jadi saya semakin yakin bahwa harimau hilang diambil pemburu setelah pemeriksaan TKP. Ada beberapa bekas cakaran kuku pada pohon dan gigitan pada batang pohon di lokasi jerat yang berbeda dan berjauhan, kemungkinan lebih dari satu yang terkena jerat. Selain mengambil dokumentasi, saya juga mengambil sampel rambut harimau yang tertinggal di lubang perangkap.

Malam itu tim rescue BKSDA kembali pulang ke Kota Bengkulu dan melaporkan temuan tersebut kepada Polsek setempat, namun saya memilih untuk tetap tinggal di desa itu selama beberapa hari, karena saya merasa penasaran terhadap siapa-siapa saja yang terlibat dalam jaringan perburuan harimau di daerah itu, serta ingin tahu tentang harimau yang meraung di malam hari selama tiga hari berturut-turut di desa itu, serta ingin mengetahui jalur jelajah harimau disana dan kondisi habitatnya. Dan saya tertarik untuk mengetahui itu semua, dan saya harus sudah mendapatkan jawabannya sebelum kembali pulang ke Bengkulu. Bagi saya bekerja untuk satwa liar tidak harus dengan sokongan dana kegiatan dari pemerintah, namun kita masih bisa bekerja secara mandiri yang penting adalah hasilnya dapat membantu untuk mendukung penegakan hukum terhadap kejahatan pada satwa liar.

Senin, 09 Februari 2015

Liburan akhir pekan mengunjungi Desa Karangpanggung di Provinsi Sumatera Selatan



Liburanku akhir pekan pada tanggal 7 - 8 Pebruari 2015 dimanfaatkan untuk mengunjungi sebuah desa di Provinsi Sumatera Selatan, yang tidak jauh dari perbatasan Bengkulu, yakni Desa Karangpanggung, Kecamatan Selangit, Kabupaten Musirawas. Sudah beberapa kali saya mengunjungi desa tersebut, yakni sejak Animals Indonesia berencana mempunyai proyek konservasi disana dengan akan membangun Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa Liar Sumatera di daerah itu bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Desa itu juga merupakan salah satu lokasi yang menjadi fokus project dari GIZ-Biodiversity & Climate Change.

Namun kali ini saya kesana untuk sekedar berlibur bersama dua orang teman dari Bengkulu yakni Marini Sipayung seorang jurnalis Kantor Berita Antara dan Deska Ayu Safitri seorang mahasiswa salah satu universitas di Bengkulu. Salah satu tokoh masyarakat disana yang juga salah satu tokoh dibidang lingkungan hidup dan sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan kalpataru dari Presdien RI serta salah satu anggota keluarganya juga pernah menjadi anggota tim Tiger Protection and Conservation Unit (TPCU) Kerinci Seblat, tentu membuatku semakin tidak asing dengan mereka karena saya juga sering bekerja bersama tim tersebut dalam upaya penyelamatan harimau sumatera dari jerat pemburu liar. Mereka sudah seperti keluarga sendiri sehingga membuat saya sering bersilahturahmi kesana dan membuat saya tidak bingung lagi mencari tempat untuk menginap di desa itu :)

Berangkat dari Kota Bengkulu pagi hari pukul 09.00 WIB, sesampainya di Kota Lubuk Linggau, Sumatera Selatan sekitar pukul 13.00 WIB. Kami dijemput di Lubuk Linggau, dan siang itupun kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Karangpanggung, sebelumnya menyempatkan diri terlebih dulu untuk berbelanja ke pasar di kota itu.   

Saya melihat sekeliling, ada yang berubah dengan desain rumah itu, halaman belakang rumah dulunya tempat untuk menyimpan bibit tanaman buah, kini disulap menjadi tempat nongkrong yang sangat nyaman, dilengkapi dengan tempat duduk dan colokan listrik serta tampak bersih, sejuk dan yang menyenangkan lagi signal internet di tempat itu lebih kuat dibandingkan di dalam rumah ataupun di teras depan. Sekarang berubah, semua aktivitas orang di dalam rumah itu terpusat di halaman belakang rumah. 


Belajar Memasak

Kami semua langsung menuju ke halaman belakang. Siang itu ada yang menyiapkan perapian untuk barbeque, sebelumnya kami telah membeli ikan nila dan ikan mas untuk hidangan makan kami hari itu. Memasak ikan bakar dengan cara tradisional, hanya dengan batu bata yang ditumpuk rapi dan kayu bakar dan kami pun mendapatkan tips bagaimana cara bakar ikan yang praktis dan rasanya enak. Kebetulan sedang banyak tamu yang juga menginap di rumah itu, tidak hanya kami saja. Kami pun berbicara dengan banyak bahasa, ada yang bicara dengan bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Lembak, bahasa Bengkulu, bahasa Indonesia dan bahasa Rejang, kami tinggal memilih berbicara tergantung bahasa mana yang dikuasainya, tak perlu khawatir karena kami juga bisa sedikit mengerti pembicaraan orang lain dengan bahasa yang berbeda-beda. Ini yang aku sukai bila travelling ke tempat yang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda, akhirnya kita bisa mengenal dan menghargai perbedaan itu. Itu juga yang membuatku sangat mencintai keanekaragaman budaya, bahasa, agama, suku, ras, adat istiadat yang ada di berbagai wilayah di Indonesia. Menurutku itu keunikan bangsa ini yang patut dilestarikan.

Proses Pengolahan Kopi Luwak secara Tradisional
Siang itu saya juga mengutarakan ingin membuat kopi luwak tetapi dengan cara mengolahnya sendiri. Keinginan saya langsung disetujui. Disaat orang membakar ikan, kami juga menyiapkan tungku untuk mengolah kopi luwak. Ini akan menjadi pengalaman yang menarik buat kami, karena belum pernah melakukan hal itu sebelumnya. Saya dan teman-teman mendapat tugas untuk memilih biji kopi yang bagus, dan yang kondisinya jelek dibuang. Kami bertiga akhirnya sibuk membersihkan biji kopi yang akan dimasak. Biji kopi tersebut didapatkan dari feces (kotoran) Musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) yang ada di kebun kopi masyarakat. Kotoran luwak itu dikumpulkan oleh anak-anak kecil desa itu dari kebun kopi dan dijual. Kemudian dibersihkan sampai tinggal biji kopinya saja dan dikeringkan. Dan kami menyeleksi biji-biji kopi yang sudah kering untuk mendapatkan biji kopi terbaik. Kemudian saya mencucinya lagi sampai bersih, sambil menunggu tungku siap digunakan. Penggorengan dari tanah liat sudah disiapkan diatas tungku, dan kami pun bergantian mengaduk biji kopi tersebut sampai masak. Hmm.......ternyata waktu yang dibutuhkan cukup lama, dimulai sekitar pukul 04.00 WIB sampai dengan pukul 05.15 WIB hanya untuk mengsangrai/ memasak biji kopi hingga masak. Benar-benar seperti olahraga dibuatnya, belum lagi rasa panas terasa di kulit karena berdekatan dengan api. Masih ada proses berikutnya, yakni penggilingan dan penyaringan agar bubuk kopi lembut. Teman-temanku pun tak sabar untuk mencicipi kopi buatan sendiri. Dan saya juga membawa beberapa bungkus untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Bangga dan bahagia rasanya bisa mengolah sendiri biji kopi menjadi minuman.

Pohon Sagurisi
Sore harinya masih berhubungan dengan kegiatan masak-memasak, kami mendapat pengalaman baru tentang bahan makanan alternatif yang terbuat dari batang pohon sagurisi sejenis palm yang biasanya tumbuh liar di sekitar sungai yang dapat diolah menjadi bahan makanan dan aneka macam kue. Tentu ini menarik bukan ? Belum banyak penduduk sekitar yang memanfaatkan ini, tapi ibu dari keluarga ini telah memperkenalkan makanan dari bahan sagurisi di berbagai ajang pameran pertanian di banyak tempat, tidak sebatas di Provinsi Sumatera Selatan saja, tapi juga diluar Sumatera. Bahkan beliau punya cita-cita untuk pengembangan home industri di desa itu dengan memanfaatkan bahan olahan dari tanaman liar seperti itu yang tidak dimanfaatkan untuk menjadi sumber bahan makanan alternatif, sekaligus juga memperkenalkan tentang produksi kopi luwak di desa itu yang tentu ramah lingkungan dan tanpa menyiksa binatang, juga memanfaatkan hasil pertanian yang melimpah seperti pisang dan lain-lain untuk bahan makanan yang memiliki nilai jual. Saya sangat senang bila bertemu dengan orang-orang inovatif dan kreatif karena bisa memberi energi positif bagi diri sendiri serta mendorong dan menginspirasi kita agar bisa juga berbuat positif bagi lingkungan sekitarnya.

Kopi luwak dan Kue sagurisi 

Waktu di sore hari kami manfaatkan untuk ngobrol di halaman belakang sambil menikmati kopi luwak dan kue sagurisi. Nikmatnya hidup di pedesaan, penuh kekeluargaan dan hidup lebih alami. Dan satu lagi tak ada rasa individualistis disini seperti saat saya tinggal di kota-kota besar, orang sibuk dengan diri sendiri dan apapun dinilai dengan uang, disini semua dilakukan dengan rasa kebersamaan. Adakalanya saya sangat merindukan lingkungan yang seperti ini. Mungkin itu juga sebabnya saya menyukai menjelajahi daerah-daerah pedesaan dan pedalaman, dan berinteraksi dengan mereka yang tinggal disana.

Makanan tradisional : Dodol durian dan Nogosari
Malam harinya kegiatan belum usai, ibu di keluarga ini hobbynya memasak, jadi tak heran bila setiap berada disana kita dimanjakan dengan makanan. Malam itu orang-orang mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat kue nogosari, makanan yang tak asing lagi bagiku, karena dari kecil aku sudah sering memakannya. Kue yang terbuat dari tepung beras dan santan yang diisi dengan pisang. Melimpahnya panen pisang di kebunnya membuat orang berpikir kreatif untuk memanfaatkannya menjadi berbagai macam makanan olahan. Oya, kami juga disuguhi dodol durian yang juga dibuat sendiri pada saat daerah itu musim durian. Rasanya cukup enak, tidak seperti rasa dodol durian yang pernah saya makan sebelumnya, yang ini benar-benar berbeda. Dan makan malam kami hari itu adalah ikan bakar yang dimasak ramai-ramai siang harinya.

Kami bertiga tidur di lantai dua, akhir-akhir ini saya suka membaca buku sebelum tidur sampai terasa mengantuk, dan itu kulakukan hampir tiap hari, seperti ritual yang musti dilakukan sebelum tidur....hehe ! Dan aku pun punya hobby baru akhirnya, rajin mengunjungi tempat penjualan buku untuk melihat apakah ada diskon buku baru untuk dibeli. Orang sepertiku pasti akan mencari harga murah dan terjangkau :P 

Kebun Pembibitan Tanaman Endemik Sumatera
Hujan seharian sampai pagi membuat kami merasa nyaman dan malas beranjak dari tempat tidur, padahal hari minggu itu kami berencana untuk pergi ke kebun dekat lokasi Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa Sumatera yang akan didirikan oleh Animals Indonesia disana, kami juga akan melihat-lihat kebun pembibitan tanaman endemik sumatera serta berencana untuk mandi di Sungai Lakitan. Sesampainya di kebun pembibitan, kami ngobrol-ngobrol sebentar di gubuk dekat kolam ikan, Dan setelah hujan agak reda akhirnya kami bertiga diajak jalan-jalan untuk melihat pembibitan dan tanaman hutan yang telah ditanam. Konsep perkebunan yang dilakukan disini adalah agroforestry, yakni menanami lahan perkebunan tidak dengan tanaman monokultur seperti karet atau sawit saja, tapi dengan tumbuhan hutan endemik sumatera dan akan diselingi dengan tanaman pertanian atau perkebunan. Mereka melarang menanam sawit di daerah itu bahkan melarang perusahaan perkebunan masuk ke daerah itu bila menanam sawit, karena bagi mereka yang paling penting adalah menyelamatkan sumber air dan menyelamatkan daerah aliran sungai karena ini penting bagi irigasi pertanian mereka, dan mereka lebih tertarik dengan berkebun yang ramah lingkungan.


Belajar Identifikasi Tumbuhan Endemik Sumatera


Ada sekitar 18 tumbuhan endemik yang sedang ditanam di kebun tersebut. Kami diajari cara identifikasi tumbuhan hutan itu, agar bisa membedakan jenis yang satu dengan yang lainnya. Namun tak ada yang bisa kami ingat dengan baik, hanya beberapa saja. Padahal itu baru nama tumbuhan dengan bahasa lokal belum bahasa latinnya. Mungkin ini bisa dimaklumi karena latar belakang kami bertiga tidak ada yang berhubungan dengan ilmu kehutanan dan ilmu botani. Tapi tak ada salahnya juga kami belajar hal-hal baru yang tidak kami ketahui. Meski susah menghafal nama-nama tumbuhan dan identifikasinya secara fisik, tapi yang jelas saya tak asing dengan tumbuhan-tumbuhan itu karena sering menjumpainya bila sedang masuk kawasan hutan konservasi di Bengkulu. 

Saya juga berencana untuk menanam 700 pohon tumbuhan hutan endemik Sumatera untuk langkah awal. Mungkin ini awal yang bagus untuk investasi dibidang agroforestry, karena saya suka konsepnya yang ramah lingkungan dan bisa untuk investasi jangka panjang.

Siang itu kami gagal untuk rencana mandi di Sungai Lakitan. Hujan deras sejak tadi malam hingga siang itu membuat debit air sungai naik dan warnanya tidak jernih lagi. Kami kembali berjalan-jalan mengelilingi kebun pembibitan untuk belajar identifikasi jenis pohon disana, serta sesekali mengambil foto di tempat-tempat yang menarik.

Selain itu tempat tersebut tidak hanya untuk pembibitan dan penanaman tanaman hutan endemik Sumatera yang dikombinasi dengan tanaman pertanian dan perkebunan seperti palawija, karet serta buah-buahan, tetapi juga ada ternak kambing dari berbagai jenis yang sedang mulai dikembangkan, bisa dimanfaatkan susu dan dagingnya. Urine dan feces kambing dimanfaatkan untuk pupuk kandang bagi tanaman pertanian dan perkebunan, karena mereka menghindari pemakaian pupuk anorganik. Jumlah kambing semakin banyak kulihat dari waktu ke waktu dibandingkan saat kunjungan saya sebelumnya. 

Hari sudah siang, kami kembali ke pondok, banyak pekerja kebun yang sedang beristirahat disana. Siang itu kami harus cepat kembali ke rumah karena sore harinya harus sudah berada di Kota Lubuk Linggau dan kembali ke Kota Bengkulu. Saat menunggu mobil berangkat ke Bengkulu kami pun menyempatkan diri jalan-jalan di Kota Lubuk Linggau, dan ternyata pandangan kami tak luput dari trend saat ini dimana banyak orang sangat menggilai batu akik dan berhenti sejenak untuk melihat-lihat. Tidak hanya di Kota Palembang saja, tetapi saat berada di Kota Lubuk Linggau, kawan-kawanku mengajak untuk melihat-ligat benda yang satu ini, disaat aku sendiri belum menemukan dimana daya tariknya. Dan akhirnya kawanku membelinya untuk koleksi..... hmmm !!!  

Liburan kali ini tidak hanya menyenangkan tetapi juga sangat bermanfaat karena mendapat pengalaman baru, bertemu orang-orang kreatif di sebuah desa terpencil yang tak jauh dari Taman Nasional Kerinci Seblat. Sebagai anak muda tentu kita akan merasa termotivasi bila melihat orang-orang tua seperti mereka masih produktif dan selalu berpikir untuk kepentingan penyelamatan lingkungan sekitarnya di sisa usianya, tentu seharusnya lebih banyak yang bisa kita perbuat mengingat energi yang kita miliki jauh lebih banyak, pendidikan yang kita miliki lebih tinggi dan kesempatan kita jauh lebih luas dan panjang. Sudah saatnya kita berpikir untuk tidak selalu menuntut tetapi seharusnya berpikir tentang apa yang bisa kita perbuat untuk lingkungan di sekitar kita.

Jumat, 06 Februari 2015

Wild Animal Watching

"Mengisi waktu luang untuk memotret dan mengamati perilaku satwa liar"


Selasa, 3 Pebruari 2015

Sore itu, begitu sampai di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Seblat, tempat dimana Pusat Konservasi Gajah (PKG) Seblat berada, saya disambut oleh sekelompok burung bondol haji (Lonchura maja) yang terbang rendah di rerumputan depan camp kami. Sudah lama sekali saya ingin bisa memotret burung ini dari jarak dekat karena kamera saya memang tidak mempunyai fasilitas untuk dapat memotret jarak lebih dari 30 meter dengan bagus, namun hingga kini belum terwujud. Saya hanya bisa mengamatinya makan bunga-bunga rumput dan terbang kesana kemari bila didekati tanpa bisa memotretnya. Saya yakin suatu saat saya akan bisa mendapatkan photonya, hanya perlu kesabaran dan kesempatan saja.

Tak ada mammalia besar yang tampak di sekitar camp sore itu, bahkan gajah dan babi hutan yang biasanya banyak berkeliaran pun tidak muncul. Hari itu mungkin waktu yang kurang tepat untuk menyalurkan hobbyku memotret. Saya hanya mendengar suara-suara binatang liar saja yang ada disekitarku tanpa melihat wujudnya, burung gagak bersaut-sautan, suara burung rangkong yang entah mereka sedang bertengger dimana, dan tengah malam terbangun mendengar suara terompet gajah liar yang ternyata memang berada tidak jauh dari tempatku tinggal. Sepertinya mereka sedang berpesta pora malam itu menikmati tanaman sawit di sekitar kawasan PKG Seblat.


Rabu, 4 Pebruari 2015

Pagi itu terdengar sangat keras teriakan siamang (Symphalangus syndactylus) dan owa (Hylobates spp) saling bersaut-sautan di dalam hutan di belakang kamarku, tapi pasti sulit untuk bisa melihatnya dengan jelas. Diiringi suara burung rangkong yang tak mau kalah kerasnya. 


Saat saya sedang berada di dapur sore itu, tiba-tiba saya mendengar suara burung rangkong mendekat, ternyata burung itu bertengger di pohon kenanga yang tak jauh dari tempatku berdiri. Tanpa pikir panjang saya langsung berlari menuju kamar untuk mengambil kamera, meski hanya beberapa detik saja namun saat saya kembali dia sudah terbang berpindah tempat ke pohon petai. Saya harus memotretnya karena kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Beberapa tahun yang lalu masih sangat mudah menjumpai burung rangkong yang berterbangan di depan ataupun di belakang camp kami dan jumlahnya lebih dari satu dari berbagai jenis. Namun sekarang sudah jarang bisa melihatnya dari dekat karena maraknya perburuan rangkong. Bahkan lokasi rangkong untuk mencari makan di hutan ini pun kawasannya sudah dialihfungsikan dan saat ini sudah mulai digunduli oleh para perambah hutan. 



Untuk mengisi waktu di sore hari saya berjalan-jalan di sekitar camp dan lebih tertarik untuk memotret gajah 'Nelson', seekor gajah jinak PKG Seblat. Tak pernah bosan untuk memotretnya. Dia seekor gajah yang photogenic :)  

Tak lama kemudian seorang mahout memanggil saya karena mendengar suara kijang (Muntiacus muntjak), saya pun langsung lari keluar camp sambil membawa kamera, karena suaranya sangat dekat. "Iya benar, saya juga mendengar suaranya, kataku". Tapi karena hujan turun akhirnya saya urungkan niat untuk mencari kijang itu daripada kamera saya rusak terkena hujan. 


Kamis, 5 Pebruari 2015


Pagi itu dikagetkan oleh kedatangan gajah Aswita ke camp saya, ternyata mahoutnya ingin menyerahkan sampel feces gajah untuk saya periksa di Klinik. Hari itu memang jadwalku untuk melakukan pemeriksaan parasitologi dari sampel feces gajah untuk diagnosis penyakit parasiter. Saya melihat sekitar untuk mencari gajah kecil kami 'Bona', karena bila ada Aswita pasti ada Bona di dekatnya, karena Aswita adalah induk angkat Bona setelah dia kehilangan keluarganya. Saya pun berhasil memotret gajah Bona yang saat itu sedang pergi ke hutan untuk mencari makanan alaminya.



Saya mendengar suara primata di hutan belakang tempat tinggalku, saya hafal betul dengan suara itu, meski tanpa melihat dulu binatangnya namun hanya dengan mendengar suaranya sudah bisa diidentifikasi, yakni Presbytis melalophos. Wajahnya yang cantik dan warna rambutnya coklat keemasan selalu menarik untuk difoto. Namun sayang, saya sangat malas beranjak dari tempat duduk untuk berpindah mencari posisi yang strategis, akhirnya tidak bisa mendapatkan foto yang bagus.



Sore harinya saya berjalan-jalan ke arah sungai untuk mencari jejak kijang dan berharap bisa menemukan kotorannya juga, karena saya akan memeriksanya sebagai pembanding dan untuk mengetahui apakah endparasit pada gajah jinak juga sama dengan endoparasit di mammalia liar jenis lainnya. Dalam perjalanan bertemu dengan seekor babi hutan, akhirnya saya mengambil beberapa photo sampai binatang tersebut masuk ke dalam hutan.



Seekor burung terbang melintas di depanku. Karena warnanya menarik, biru adalah warna favoritku membuatku segera memotretnya sebelum dia terbang kembali ke pohon lainnya. Sayang sekali gagal fokus. Sebenarnya masih banyak obyek photo lainya yang menarik disekitarku, seperti berbagai jenis burung berkicau, serangga, monyet ekor panjang, namun kali ini saya tidak tertarik memotretnya.


Jumat, 6 Pebruari 2015


Sungai Seblat terlihat sedang banjir karena hujan deras semalaman, membuat rencanaku gagal pulang ke Kota Bengkulu siang ini. Pagi harinya saya masih mempunyai kegiatan pemeriksaan sampel feces gajah jinak, disela-sela waktu menunggu solar cell siap digunakan maka memanfaatkan waktu di pagi hari untuk memancing ikan di rawa-rawa belakang camp mengingat logistik yang saya bawa habis hari ini. Ternyata saya lebih tertarik untuk memotret karena disekitar rawa-rawa banyak burung berterbangan beraneka warna. Seekor burung berwarna merah terbang melintas, membuatku penasaran untuk mendekat dan memotretnya. Gagang pancing kutinggalkan begitu saja tak peduli ikan akan menyambar umpannya atau tidak, demi mendapat photo burung tersebut. Mencari posisi duduk yang strategis dan berdiam diri lebih dari 15 menit hanya untuk memotret satu ekor burung saja. Dan saya pun tak peduli tanah yang saya duduki basah dan bertebaran kotoran gajah. Akhirnya dapat juga, meski hasilnya tidak maksimal. Duh, seandainya saya punya kamera bagus, pastilah tidak mengeluh dengan hasilnya. Kamera saya jangkauan terjauhnya hanya 15 meter namun saya paksakan untuk memotret jarak 30 meter.



Diwaktu yang bersamaan di pohon sebelah kiriku terlihat anak siamang sedang bergelantungan di atas sana, diikuti induk dibelakangnya. Mereka tidak bersuara, hanya pindah dari satu ranting pohon ke pohon lainnya. Spontan kameraku kuarahkan ke mereka, sedih rasanya tidak bisa mengikuti pergerakannya yang cepat kemudian menghilang dibalik dedaunan yang rimbun. Ada sekitar 10 menit saya menunggu daun-daun yang bergerak itu berharap siamang akan muncul kembali. Sia-sia, siamang tidak mau menampakkan diri dan hujan pun turun. Saya terpaksa harus kembali ke camp. Dan sebelum kembali saya sempat memotret burung ini yang bertengger di puncak pohon.



Setelah selesai melakukan pemeriksaan parasitologi dari sampel feces gajah binaan Pusat Konservasi Gajah (PKG) Seblat sebagai upaya kontrol penyakit parasiter, saya mendengar suara burung elang yang sedang terbang berputar-putar diatas hutan depan klinik. Kemudian saat burung predator tersebut hinggap di salah satu pohon yang berjarak sekitar 100 meter atau mungkin lebih, saya memotretnya. Hasilnya memamg tidak terlalu bagus karena keterbatasan jangkauan dari fasilitas kamera saya yang tidak mendukung.



Di depan klinik juga tampak burung berkicau suku Pynonotidae yang sedang hinggap di pohon makanan kijang. Saya pun tak melewatkan kesempatan ini untuk memotretnya sebelum kembali melanjutkan pekerjaan lainnya memberikan obat cacing pada gajah.

Selasa, 03 Februari 2015

Catatan Perjalanan : Kisah hari ini menuju Pusat Konservasi Gajah Seblat


Pagi-pagi sekali saya sudah berkemas, membawa barang seperlunya untuk dibawa ke hutan. Satu ransel besar di punggung dan daypack kecil di depan yang berisi barang - barang penting seperti HP, tablet, laptop, kamera, dompet, kacamata hitam dan air minum yang tidak boleh lepas dari badan saya kemanapun saya melangkah selama perjalanan, sedangkan barang lainnya ditaruh di ransel yang nantinya akan saya letakkan di bagasi mobil. Saya terbiasa membawa beban double dalam setiap perjalanan, dan memisahkan barang sesuai dengan fungsinya di perjalanan dalam tas yang berbeda. Itu salah satu manajemen perjalanan yang biasa saya lakukan. Pukul 08.00 WIB saya sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Kabupaten Bengkulu Utara dengan menggunakan angkutan umum. Saya biasa menggunakan travel untuk menuju Kecamatan Putri Hijau, Kab. Bengkulu Utara dimana lokasi Pusat Konservasi Gajah (PKG) Seblat berada. Travel baru berangkat pukul 10.00 WIB meskipun saya telah menunggu sejak pukul 8 pagi. Ya begitulah, angkutan umum di Bengkulu waktu keberangkatan tidak pasti dan itupun jumlahnya terbatas, kita tidak bisa naik kendaraan umum sewaktu-sewaktu dan tidak selalu tersedia sepanjang waktu seperti di Jawa.

West Coast of Sumatra

Perjalanan yang memakan waktu sekitar 2,5 jam dengan melewati pantai barat Sumatera dari kota Bengkulu ke Air Muring, yakni sebuah desa yang berada di Kecamatan Putri Hijau, atau sekitar 17 km dari hutan PKG Seblat, merupakan pemberhentian terakhir sebelum memasuki lokasi PKG Seblat. Berbeda sekali dengan di Jawa yang membuat malas berpergian karena jalanan macet, namun di Sumatera jalan raya seperti milik sendiri karena sepi. Selama 2,5 jam tersebut kami terlibat pembicaraan tentang konflik satwa liar, setelah mereka yang berada didalam mobil tersebut mengetahui bahwa saya bekerja untuk satwa liar. Dimanapun berada selalu saja orang-orang tertarik dengan profesi saya, sehingga mendorong muncul banyak keingintahuan mereka dan banyak pertanyaan yang diajukan, sebelum akhirnya terlibat pembicaraan yang serius tentang satwa liar.

Kondisi seperti ini selalu memaksa saya secara informal untuk memberikan sosialisasi (penyuluhan) kepada orang-orang yang saya jumpai di tempat-tempat umum. Saya bukan seorang penyuluh kehutanan atau pun sebagai tenaga fungsional PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) atau sebagai Polisi Kehutanan, saya hanyalah seorang dokter hewan yang kebetulan sering bekerja untuk menangani konflik satwa liar. Saya tidak pernah belajar tentang hal ini di bangku kuliah atau mendapatkan bimbingan teknis (bimtek) atau pelatihan khusus dari institusi tentang itu, saya mendapatkan pengetahuan dan pengalaman itu saat bekerja di lapangan. Dan saya melakukan sosialisasi itu juga tidak untuk mendapatkan angka kredit atau pun karena saya mendapatkan proyek kegiatan tersebut, semua dilakukan secara spontan karena rasa keprihatinan terhadap persepsi masyarakat pada satwa liar yang punya peran dalam konflik. Dan terus terang, hal ini malah yang paling sering saya lakukan sehari-hari untuk merubah persepsi masyarakat terhadap satwa liar yang seringkali negatif.

Dalam setiap awal pembicaraan selalu orang-orang berfikir bahwa satwa liar seperti gajah adalah hama bagi tanaman sawit, harimau adalah pembunuh dan selalu mengancam jiwa orang-orang yang beraktivitas dekat habitatnya. Begitu banyak kerugian yang dialami manusia, kenapa mereka harus dilindungi, untuk apa ? Itu pertanyaan yang seringkali saya dengar dan harus saya jawab dengan sebaik mungkin, karena ini berhubungan dengan pandangan negatif orang terhadap satwa liar. Dan mereka tak pernah menyebutkan bahwa manusialah akar dari permasalahan konflik itu.

Bagi saya adalah kepuasan tersendiri bila dalam setiap berbincang-bincang dengan banyak orang di perjalanan atau dimana pun berada, saya bisa meyakinkan mereka tentang akar permasalahan konflik antara manusia dengan satwa liar, dan saya bisa membuat mereka memahami bahwa satwa liar seperti gajah dan harimau itu perlu dilindungi. Saat mereka setuju dengan pendapat saya dan memahami apa yang sebenarnya terjadi dan akhirnya positif thinking terhadap satwa liar, itu sudah seperti saya mendapatkan kebahagiaan melebihi dari hanya sekedar mendapatkan angka kredit kegiatan atau honor proyek kegiatan penyuluhan, karena memang saya tidak mungkin mendapatkan itu semua dari kegiatan-kegiatan seperti itu karena saya bukan penyuluh kehutanan :)

Tak terasa setelah terlibat pembicaraan yang seru dengan orang-orang baru yang saya jumpai selama perjalanan, akhirnya saya sampai juga di Air Muring, dan saya pun turun untuk makan siang. Ojek yang sudah saya pesan sehari sebelumnya menjemput saya untuk mengantarkan ke PKG Seblat. Ojek saya kali ini bukanlah orang sembarangan, dia tidak hanya mengantarkan saya atau logistik patroli hutan dari Air Muring ke PKG Seblat saja yang berjarak 17 km, namun juga melayani ojek antar provinsi, seperti dari Bengkulu ke Medan, dari Bengkulu ke Lampung dan pernah juga mendapat tawaran untuk mengantarkan penumpang dari Bengkulu ke Dumai-Riau hanya dalam waktu tempuh dua hari satu malam tanpa istirahat. Gila yaaa....???  Entah yang gila ojeknya atau penumpangnya.....hehehe :D

Seblat Elephant Conservation Center
Sesampainya di seberang Sungai Seblat yang merupakan batas alam antara lahan masyarakat dengan kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat dimana PKG Seblat berada, suasana tampak sepi. Tak terlihat ada motor mahout (elephant keeper) yang diparkir disana, ini artinya tidak ada orang yang akan membawa perahu dari seberang sana ke tempat saya menunggu, dan tak tampak gajah - gajah yang lalu lalang, padahal itu alternatif terakhir untuk menyeberangi sungai besar itu bila tidak ada perahu. Hujan mulai turun, saya sendirian menunggu di pinggir sungai, dan tidak bisa menyeberangi sungai. Di bagian hulu sungai, awan tampak gelap pertanda sungai sebentar lagi banjir. Saya harus bisa menyeberangi sungai itu sebelum kedahuluan banjir, tapi bagaimana caranya ????

Conservation Forest - Seblat Ecotourism Park - Elephant Conservation Center

Sudah dua jam saya menunggu namun tak tampak ada tanda-tanda gajah lewat atau perahu ada yang membawa ke seberang sini. Jauh disana tampak anak-anak kecil dari desa terdekat mandi di sungai. Selesai mandi mereka menghampiriku, ternyata mereka mengenaliku, dan akhirnya duduk bersamaku dan mengajakku ngobrol. Kemudian saya bertanya, "kamu nggak nyari batu?" Maksudnya mencari batu sungai dan dikumpulkan serta dijual ke truk-truk penampung untuk bahan bangunan, anak-anak desa itu sering melakukannya untuk mendapatkan uang dan kadang untuk membantu orangtuanya. Kata mereka, "Idak, yuk." Lalu mereka bertanya lagi padaku, "Ayuk, nak ke sebrang?" ('Ayuk' itu bahasa Bengkulu untuk panggilan 'mbak'). Saya menawarkan ke mereka, "Iya. Ada nggak yang bisa ngambilin perahu disana itu?" Saya bicara pada anak yang agak besar, namanya Doni dan Samlan. Dan saya bicara dengan Samlan dengan bahasa isyarat karena dia tuna wicara. Akhirnya mereka setuju, dan saya bersama dua anak kecil lainnya duduk dipinggir sungai menunggu perahu sambil memotret aksi mereka yang heroik menyeberangi sungai besar itu untuk mengambil perahu. Saya tahu mereka adalah anak-anak desa yang pemberani dan perenang yang hebat, sehari-hari mainan mereka berenang di sungai itu dan bahkan menyelam dari ujung ke ujung. Mereka sangat senang saya memotretnya, bahkan setelah lelah berenang di seberang sungai sana mereka masih sempat bergaya saat kamera saya membidiknya. 

Tampak Gajah Dino di seberang Sungai Seblat

Perahu tampak goyang saat mereka menaikinya seperti mau terbalik, membuat mereka membawa perahu dengan cara mendorong sambil berenang daripada mendayungnya. Mereka hanyut sekitar 500 meter dari tempatku duduk. Akhirnya perahu berhasil dibawanya keseberang. Saya mengucapkan terimakasih pada mereka, dan mereka bahagia sekali saat kuberi uang. Dasar anak-anak.....:) Sebenarnya saya ingin mengajak foto selfie anak-anak itu karena mereka suka sekali difoto sebagai bonus telah mengambilkan perahu, tetapi karena hari hujan saya urungkan niat untuk memotret dan lebih memilih menyelamatkan barang-barang saya dari ancaman hujan.

Anak-anak desa itu senang difoto
Doni bertanya kepadaku dengan cemas, "Ayuk, bisa bawa perahu?" Saya jawab, "bisalah. Kamu nggak usah nganterin aku ke sebrang, biar aku bawa perahu sendiri, kamu sudah kecapekan berenang tadi, ya kan?" Saya menyuruh mereka pulang karena hujan sudah turun. Saya mendorong perahu ke arah hulu agar tidak hanyut terlalu jauh bila melalui arus utama sungai. Kuperhatikan empat anak tadi cemas memperhatikanku dari kejauhan, mungkin mereka ingin memastikan apakah saya bisa membawa perahu dan selamat sampai seberang sungai. Dalam hati aku berkata, "Jangan cemas ya, meski cewek gini dulu pernah juara satu lomba dayung dan jadi atlit dayung lho".  Sungai belum banjir jadi tidak ada masalah membawa perahu sendirian, karena tidak perlu mengeluarkan banyak energi untuk melawan arus sungai, bila kondisi sungai sedang tidak banjir mendayung perahu dengan santai pun bisa sampai ke seberang. Namun, juga tidak bisa diremehkan karena Sungai Seblat sering menelan korban saat sungai sedang tidak banjir.

Seblat River
Setelah menambatkan perahu dan mengikatnya ke batang pohon untuk mencegah perahu hanyut saat banjir besar, saya mencari jalan setapak untuk naik tebing ternyata sudah tidak ada lagi, struktur tanah disini cepat sekali berubah, akhirnya harus merangkak untuk sampai keatas sambil menggendong dua ransel dan membawa logistik di tangan. Kedatanganku di camp gajah disambut oleh burung gagak. Saat masih kecil ibuku sering bilang bahwa bila ada suara burung gagak mitosnya ada kematian, maksudnya ada orang yang meninggal. Tapi sepertinya mitos itu tidak berlaku di hutan karena suara burung gagak bisa didengar setiap hari, bahkan sering terbang berombongan di depan camp kami. Sore itu akhirnya saya sampai juga ke PKG Seblat, akhirnya bisa menikmati suasana menyenangkan di hutan, mendengar suara simpai, suara burung rangkong, melihat gajah-gajah dan babi hutan yang berkeliaran di sekitar camp, dan tak henti-hentinya mendengarkan suara kicauan burung dan jeritan serangga. Bagiku, kenyamanan itu adalah berada di tempat yang alami dan dikelilingi oleh satwa liar di sekitar kita.

Sabtu, 17 Januari 2015

the Sub-Regional Southern Biodiversity Workshop

Hari Senin, tanggal 12 Januari 2014 saya melakukan perjalanan menuju kota Palembang, Sumatera Selatan, dengan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia di sore hari. Tujuan kali ini adalah akan menghadiri Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan yang diadakan oleh GIZ-Bioclime Biodiversity and Climate Change Project bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan. Sebelumnya saya ragu untuk mengikuti acara ini karena sepertinya tidak ada hubungannya dengan bidang kerja saya dan akan memilih untuk kembali ke Bengkulu. Namun setelah berkomunikasi dengan teman-teman saya yang sama-sama kerja untuk konservasi harimau di Sumatera dan hasil perbincangan kami saat bertemu di acara Indonesian Tiger Conference di Bogor di bulan Desember 2014 akhirnya perjalanan ke Bengkulu ditunda beberapa hari dan berganti arah ke Palembang, Sumatera Selatan, dan saya juga akan presentasi di workshop tersebut bersama kawan-kawan Forum HarimauKita. Menurut saya hadir di acara itu juga akan bermanfaat mengingat Animals Indonesia memiliki project pembangunan Animal Rescue and Rehabilitation Centre di wilayah Sumatera Selatan guna mendukung BKSDA Sumatera Selatan dalam upaya penyelamatan satwa liar korban konflik, perburuan dan perdagangan illegal dan merupakan salah satu upaya konservasi biodiversitas di provinsi tersebut.

Sore itu saya tiba di Kota Palembang, dan langsung memesan taxi bandara untuk mengantarkan saya menuju Hotel Novotel karena acara seminar tersebut diselenggarakan disana. Ada hal aneh yang terjadi sesampainya saya di lobby hotel, petugas hotel tidak menemukan nama saya sebagai peserta seminar, cukup lama saya menunggu untuk mengecek ulang daftar peserta, sambil saya mencoba menghubungi penyelenggara seminar, tetap nama saya tidak ditemukan. Saat saya menyebutkan nama panggilan saya, baru mereka menemukan nama saya di daftar peserta. Ternyata panitia tidak mencantumkan nama lengkap sana disana dan hanya mencantumkan nama panggilan saya saja.....hehe :)

Malam itu saya menghabiskan waktu bersama teman-teman peserta seminar di restoran hotel, banyak teman lama dan ada juga yang baru saya kenal, dan saya kembali bertemu dengan teman-teman anggota Forum HarimauKita disana yang bekerja di beberapa NGO (Non-Goverment Organization) setelah sebulan sebelumnya kami telah bertemu di Bogor. Acara ini seperti ajang reuni saja bagi kami terutama praktisi lapangan dan peneliti harimau sumatera yang sama-sama menjadi anggota Forum HarimauKita dan juga ada teman sesama anggota Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI). Pertanyaan pertama yang diajukan ke saya saat bertemu, "bagaimana khabar gajahnya ?" Saya tahu, pertanyaan itu menyindir tentang apa yang telah terjadi di Bengkulu, karena beberapa gajah di Pusat Konservasi Gajah di Bengkulu telah dipindahkan ke kebun binatang untuk alasan breeding guna peningkatan populasi gajah......hmmmm !! Setahu saya sesuai dengan strakornas (Strategi Konservasi Nasional) tentang peningkatan populasi satwa liar adalah diutamakan yang di-insitu. Dan menurut informasi yang kudapat anggota forum ada yang mendukung translokasi gajah tersebut dan mendesak mahout di PKG Seblat Bengkulu untuk menyetujuinya. 


Esok harinya, Selasa tanggal 13 Januari 2015 seminar dimulai, sesungguhnya bukan ini seminar yang saya ikuti karena hari itu tentang biomass survey, stock carbon dan biodiversity (flora/ tumbuhan) khusus untuk wilayah Sumatera Selatan, dan saya seharusnya mengikuti seminar di hari berikutnya tentang konservasi biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan. Tapi ternyata tidak ada ruginya juga saya mengikuti seminar itu meskipun topiknya tidak berhubungan dengan satwa liar. Di kesempatan ini saya banyak mengenal orang-orang baru di bidang konservasi, ada beberapa yang sudah pernah saya lihat di konferensi di Bogor namun saya belum mengenalnya. Saya memilih duduk berdampingan dengan teman-teman lama di Forum HarimauKita dari Jambi dan Sumatera Selatan serta teman baru saya dari PT. ASI Pudjiastuti Geo Survey, presentasinya sangat mengesankan bagi saya karena tentang teknologi Lidar (Light Detection and Ranging) untuk kepentingan konservasi di bidang kehutanan. Ini adalah sesuatu yang baru bagi saya, yakni penginderaan jarak jauh dengan Airbone laser untuk keperluan digital photogrametric mapping spatial planning. Dalam areal yang diphoto dengan menggunakan pesawat dapat diketahui jenis pohon dari tingkat rendah sampai tinggi, juga dapat mengukur ketinggian pohon, selain itu juga bisa mengetahui lapisan tanah. Hal ini tentu menarik, bila jenis pohon bisa diketahui per jenis, berarti obyek yang ada diatas permukaan tanah juga bisa diketahui, itu pertanyaan yang saja ajukan saat diskusi setelah presentasi. Logika saya mengatakan bila pohon rendah yang ada dipermukaan tanah bisa diidentifikasi, tentu mammalia besar juga bisa diidentifikasi, selanjutnya bisa dikombinasikan dengan ground check untuk membantu upaya penyelamatan kawasan habitat satwa liar dari alih fungsi dan eksploitasi yang tidak pro-konservasi biodiversity. Namun sayangnya mereka belum ada pengalaman untuk mengidentifikasi biodiversity terutama spesies satwa liar yang ada di dalam kawasan hutan yang dipotretnya dengan sinar laser dari sebuah pesawat, masih terbatas tumbuhan saja, itu jawaban yang diberikan oleh narasumber baik yang dari Indonesia maupun Jerman. Namun diluar acara diskusi saya diyakinkan bahwa suatu saat itu pasti bisa dilakukan karena teknologi terus berkembang. "Ya, jawaban yang masuk akal, pikirku". Seminar hari itu banyak membahas tentang project Biodiversity dan Climate Change (Bioclime) di Indonesia, namun perhatian saya tertuju pada teknologi Lidar yang dipresentasikan juga daerah-daerah yang menjadi fokus Bioclime project.

Malam harinya saya nongkrong dengan teman-teman anggota Forum HarimauKita, kebetulan banyak yang menghadiri seminar ini, yakni sekitar 9 orang atau mungkin lebih. Selain makan malam bersama kami juga berdiskusi tentang konservasi tentunya. Entah sampai jam berapa kami ngobrol malam itu, akhirnya saya dengan teman sekamar yang merupakan sahabat saya kembali ke kamar untuk mempersiapkan bahan presentasi kami karena kami berdua diundang untuk datang di seminar itu juga untuk presentasi.

Rabu, tanggal 14 Januari 2015, Seminar kedua diadakan di Ballroom Novotel Palembang, yakni Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera bagian Selatan. Dihadiri oleh perwakilan masyarakat lokal dan mitra/ LSM yang terlibat dalam aktivitas keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam, perwakilan pemerintah pusat dan daerah, pengambil keputusan program dan kebijakan, peneliti dan akademisi, pihak swasta dan lembaga donor dan lain-lain. Inilah seminar yang seharusnya saya ikuti karena sesuai dengan bidang profesi saya saat ini. Saya bertemu banyak kolega dan pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di acara ini selain bertemu dengan teman-teman lama saya di LSM yang bergerak dibidang konservasi satwa liar.  Hari pertama seminar kami banyak mendengarkan presentasi dari keynote speaker, yakni dari akademisi, LIPI, private sector, juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan Kementerian Kehutanan dan Konservasi Tanah Nepal.

Kesimpulan dari presentasi masing-masing narasumber hasilnya dipampang di dinding ruang seminar berupa karikatur (kartun), cukup unik menurutku, dan menarik orang untuk membacanya juga mendokumentasikannya. Baru kali ini saya menjumpai kesimpulan presentasi seminar dituangkan dalam bentuk cerita kartun, ternyata hal ini sudah dilakukan juga di negara lain.

Di ruang seminar saya lebih memilih duduk semeja dengan teman-teman NGO, meski banyak juga yang saya kenal di dalam ruangan tersebut, tidak hanya dari NGO. Seminar ini dihadiri kurang lebih 150 undangan.

Malam itu diadakan acara Gala Dinner diiringi dengan life music. Namun sepertinya saya dan teman-teman kurang tertarik, kami lebih tertarik nongkrong dengan teman-teman satu komunitas dan memilih duduk diluar ruangan bersama teman-teman Forum HarimauKita untuk berdiskusi sambil makan malam. Malam itu seperti meeting HarimauKita yang kedua di Palembang setelah pertemuan anggota di Bogor sebulan yang lalu. Topik pembicaraan kami tak jauh-kauh dari konservasi, harimau sumatera dan habitatnya. Kesempatan langka untuk bisa berkumpul seperti ini, karena kami memiliki wilayah kerja yang berbeda-beda. Malam harinya sebelum tidur saya masih memperbaiki presentasi untuk persiapan esok harinya.

Kamis, tanggal 15 Januari 2015, merupakan hari terakhir seminar. Kebetulan saya mendapat jadwal untuk memberikan presentasi hari itu bersamaan dengan narasumber dari Forum HarimauKita dan Zoological Society of London (ZSL), karena materi presentasi kami saling berkaitan, yakni tentang konservasi biodiversitas terutama status konservasi, upaya dan ancamannya yang masih berkaitan dengan harimau sumatera.

Sore itu seminar berakhir, tapi kami pun belum beranjak pergi dari sekitar ruangan seminar, masih menyempatkan diri ngobrol dengan teman-teman forum. Malam itu kami berencana akan makan malam bersama diluar. Saya masih punya kesempatan dua jam untuk pergi dengan berjalan kaki ke mall terdekat dari Hotel Novotel karena ada yang ingin kami beli disana.

Kami masih menginap satu malam di hotel tersebut sebelum pulang. Saya berencana pulang hari Sabtu karena tiket pesawat saya dari Palembang ke Jakarta pada hari Sabtu tanggal 17 Januari 2015, sehingga saya mempunyai waktu luang sehari di kota Palembang untuk berjalan-jalan.

Esok harinya, Jumat tanggal 16 Januari 2015 kami pergi ke kantor ZSL bersama teman-teman ZSL, teman-teman dari Jambi akan pulang malam itu dari kantor ZSL di Palembang. Hari itu kami sempat ikut mereka ke kantor Taman Nasional Sembilang. Setelah itu saya memilih memanfaatkan waktu luang di hari itu untuk menerima undangan makan malam bersama teman sebelum kembali pulang.