Selasa, 03 Februari 2015

Catatan Perjalanan : Kisah hari ini menuju Pusat Konservasi Gajah Seblat


Pagi-pagi sekali saya sudah berkemas, membawa barang seperlunya untuk dibawa ke hutan. Satu ransel besar di punggung dan daypack kecil di depan yang berisi barang - barang penting seperti HP, tablet, laptop, kamera, dompet, kacamata hitam dan air minum yang tidak boleh lepas dari badan saya kemanapun saya melangkah selama perjalanan, sedangkan barang lainnya ditaruh di ransel yang nantinya akan saya letakkan di bagasi mobil. Saya terbiasa membawa beban double dalam setiap perjalanan, dan memisahkan barang sesuai dengan fungsinya di perjalanan dalam tas yang berbeda. Itu salah satu manajemen perjalanan yang biasa saya lakukan. Pukul 08.00 WIB saya sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Kabupaten Bengkulu Utara dengan menggunakan angkutan umum. Saya biasa menggunakan travel untuk menuju Kecamatan Putri Hijau, Kab. Bengkulu Utara dimana lokasi Pusat Konservasi Gajah (PKG) Seblat berada. Travel baru berangkat pukul 10.00 WIB meskipun saya telah menunggu sejak pukul 8 pagi. Ya begitulah, angkutan umum di Bengkulu waktu keberangkatan tidak pasti dan itupun jumlahnya terbatas, kita tidak bisa naik kendaraan umum sewaktu-sewaktu dan tidak selalu tersedia sepanjang waktu seperti di Jawa.

West Coast of Sumatra

Perjalanan yang memakan waktu sekitar 2,5 jam dengan melewati pantai barat Sumatera dari kota Bengkulu ke Air Muring, yakni sebuah desa yang berada di Kecamatan Putri Hijau, atau sekitar 17 km dari hutan PKG Seblat, merupakan pemberhentian terakhir sebelum memasuki lokasi PKG Seblat. Berbeda sekali dengan di Jawa yang membuat malas berpergian karena jalanan macet, namun di Sumatera jalan raya seperti milik sendiri karena sepi. Selama 2,5 jam tersebut kami terlibat pembicaraan tentang konflik satwa liar, setelah mereka yang berada didalam mobil tersebut mengetahui bahwa saya bekerja untuk satwa liar. Dimanapun berada selalu saja orang-orang tertarik dengan profesi saya, sehingga mendorong muncul banyak keingintahuan mereka dan banyak pertanyaan yang diajukan, sebelum akhirnya terlibat pembicaraan yang serius tentang satwa liar.

Kondisi seperti ini selalu memaksa saya secara informal untuk memberikan sosialisasi (penyuluhan) kepada orang-orang yang saya jumpai di tempat-tempat umum. Saya bukan seorang penyuluh kehutanan atau pun sebagai tenaga fungsional PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) atau sebagai Polisi Kehutanan, saya hanyalah seorang dokter hewan yang kebetulan sering bekerja untuk menangani konflik satwa liar. Saya tidak pernah belajar tentang hal ini di bangku kuliah atau mendapatkan bimbingan teknis (bimtek) atau pelatihan khusus dari institusi tentang itu, saya mendapatkan pengetahuan dan pengalaman itu saat bekerja di lapangan. Dan saya melakukan sosialisasi itu juga tidak untuk mendapatkan angka kredit atau pun karena saya mendapatkan proyek kegiatan tersebut, semua dilakukan secara spontan karena rasa keprihatinan terhadap persepsi masyarakat pada satwa liar yang punya peran dalam konflik. Dan terus terang, hal ini malah yang paling sering saya lakukan sehari-hari untuk merubah persepsi masyarakat terhadap satwa liar yang seringkali negatif.

Dalam setiap awal pembicaraan selalu orang-orang berfikir bahwa satwa liar seperti gajah adalah hama bagi tanaman sawit, harimau adalah pembunuh dan selalu mengancam jiwa orang-orang yang beraktivitas dekat habitatnya. Begitu banyak kerugian yang dialami manusia, kenapa mereka harus dilindungi, untuk apa ? Itu pertanyaan yang seringkali saya dengar dan harus saya jawab dengan sebaik mungkin, karena ini berhubungan dengan pandangan negatif orang terhadap satwa liar. Dan mereka tak pernah menyebutkan bahwa manusialah akar dari permasalahan konflik itu.

Bagi saya adalah kepuasan tersendiri bila dalam setiap berbincang-bincang dengan banyak orang di perjalanan atau dimana pun berada, saya bisa meyakinkan mereka tentang akar permasalahan konflik antara manusia dengan satwa liar, dan saya bisa membuat mereka memahami bahwa satwa liar seperti gajah dan harimau itu perlu dilindungi. Saat mereka setuju dengan pendapat saya dan memahami apa yang sebenarnya terjadi dan akhirnya positif thinking terhadap satwa liar, itu sudah seperti saya mendapatkan kebahagiaan melebihi dari hanya sekedar mendapatkan angka kredit kegiatan atau honor proyek kegiatan penyuluhan, karena memang saya tidak mungkin mendapatkan itu semua dari kegiatan-kegiatan seperti itu karena saya bukan penyuluh kehutanan :)

Tak terasa setelah terlibat pembicaraan yang seru dengan orang-orang baru yang saya jumpai selama perjalanan, akhirnya saya sampai juga di Air Muring, dan saya pun turun untuk makan siang. Ojek yang sudah saya pesan sehari sebelumnya menjemput saya untuk mengantarkan ke PKG Seblat. Ojek saya kali ini bukanlah orang sembarangan, dia tidak hanya mengantarkan saya atau logistik patroli hutan dari Air Muring ke PKG Seblat saja yang berjarak 17 km, namun juga melayani ojek antar provinsi, seperti dari Bengkulu ke Medan, dari Bengkulu ke Lampung dan pernah juga mendapat tawaran untuk mengantarkan penumpang dari Bengkulu ke Dumai-Riau hanya dalam waktu tempuh dua hari satu malam tanpa istirahat. Gila yaaa....???  Entah yang gila ojeknya atau penumpangnya.....hehehe :D

Seblat Elephant Conservation Center
Sesampainya di seberang Sungai Seblat yang merupakan batas alam antara lahan masyarakat dengan kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat dimana PKG Seblat berada, suasana tampak sepi. Tak terlihat ada motor mahout (elephant keeper) yang diparkir disana, ini artinya tidak ada orang yang akan membawa perahu dari seberang sana ke tempat saya menunggu, dan tak tampak gajah - gajah yang lalu lalang, padahal itu alternatif terakhir untuk menyeberangi sungai besar itu bila tidak ada perahu. Hujan mulai turun, saya sendirian menunggu di pinggir sungai, dan tidak bisa menyeberangi sungai. Di bagian hulu sungai, awan tampak gelap pertanda sungai sebentar lagi banjir. Saya harus bisa menyeberangi sungai itu sebelum kedahuluan banjir, tapi bagaimana caranya ????

Conservation Forest - Seblat Ecotourism Park - Elephant Conservation Center

Sudah dua jam saya menunggu namun tak tampak ada tanda-tanda gajah lewat atau perahu ada yang membawa ke seberang sini. Jauh disana tampak anak-anak kecil dari desa terdekat mandi di sungai. Selesai mandi mereka menghampiriku, ternyata mereka mengenaliku, dan akhirnya duduk bersamaku dan mengajakku ngobrol. Kemudian saya bertanya, "kamu nggak nyari batu?" Maksudnya mencari batu sungai dan dikumpulkan serta dijual ke truk-truk penampung untuk bahan bangunan, anak-anak desa itu sering melakukannya untuk mendapatkan uang dan kadang untuk membantu orangtuanya. Kata mereka, "Idak, yuk." Lalu mereka bertanya lagi padaku, "Ayuk, nak ke sebrang?" ('Ayuk' itu bahasa Bengkulu untuk panggilan 'mbak'). Saya menawarkan ke mereka, "Iya. Ada nggak yang bisa ngambilin perahu disana itu?" Saya bicara pada anak yang agak besar, namanya Doni dan Samlan. Dan saya bicara dengan Samlan dengan bahasa isyarat karena dia tuna wicara. Akhirnya mereka setuju, dan saya bersama dua anak kecil lainnya duduk dipinggir sungai menunggu perahu sambil memotret aksi mereka yang heroik menyeberangi sungai besar itu untuk mengambil perahu. Saya tahu mereka adalah anak-anak desa yang pemberani dan perenang yang hebat, sehari-hari mainan mereka berenang di sungai itu dan bahkan menyelam dari ujung ke ujung. Mereka sangat senang saya memotretnya, bahkan setelah lelah berenang di seberang sungai sana mereka masih sempat bergaya saat kamera saya membidiknya. 

Tampak Gajah Dino di seberang Sungai Seblat

Perahu tampak goyang saat mereka menaikinya seperti mau terbalik, membuat mereka membawa perahu dengan cara mendorong sambil berenang daripada mendayungnya. Mereka hanyut sekitar 500 meter dari tempatku duduk. Akhirnya perahu berhasil dibawanya keseberang. Saya mengucapkan terimakasih pada mereka, dan mereka bahagia sekali saat kuberi uang. Dasar anak-anak.....:) Sebenarnya saya ingin mengajak foto selfie anak-anak itu karena mereka suka sekali difoto sebagai bonus telah mengambilkan perahu, tetapi karena hari hujan saya urungkan niat untuk memotret dan lebih memilih menyelamatkan barang-barang saya dari ancaman hujan.

Anak-anak desa itu senang difoto
Doni bertanya kepadaku dengan cemas, "Ayuk, bisa bawa perahu?" Saya jawab, "bisalah. Kamu nggak usah nganterin aku ke sebrang, biar aku bawa perahu sendiri, kamu sudah kecapekan berenang tadi, ya kan?" Saya menyuruh mereka pulang karena hujan sudah turun. Saya mendorong perahu ke arah hulu agar tidak hanyut terlalu jauh bila melalui arus utama sungai. Kuperhatikan empat anak tadi cemas memperhatikanku dari kejauhan, mungkin mereka ingin memastikan apakah saya bisa membawa perahu dan selamat sampai seberang sungai. Dalam hati aku berkata, "Jangan cemas ya, meski cewek gini dulu pernah juara satu lomba dayung dan jadi atlit dayung lho".  Sungai belum banjir jadi tidak ada masalah membawa perahu sendirian, karena tidak perlu mengeluarkan banyak energi untuk melawan arus sungai, bila kondisi sungai sedang tidak banjir mendayung perahu dengan santai pun bisa sampai ke seberang. Namun, juga tidak bisa diremehkan karena Sungai Seblat sering menelan korban saat sungai sedang tidak banjir.

Seblat River
Setelah menambatkan perahu dan mengikatnya ke batang pohon untuk mencegah perahu hanyut saat banjir besar, saya mencari jalan setapak untuk naik tebing ternyata sudah tidak ada lagi, struktur tanah disini cepat sekali berubah, akhirnya harus merangkak untuk sampai keatas sambil menggendong dua ransel dan membawa logistik di tangan. Kedatanganku di camp gajah disambut oleh burung gagak. Saat masih kecil ibuku sering bilang bahwa bila ada suara burung gagak mitosnya ada kematian, maksudnya ada orang yang meninggal. Tapi sepertinya mitos itu tidak berlaku di hutan karena suara burung gagak bisa didengar setiap hari, bahkan sering terbang berombongan di depan camp kami. Sore itu akhirnya saya sampai juga ke PKG Seblat, akhirnya bisa menikmati suasana menyenangkan di hutan, mendengar suara simpai, suara burung rangkong, melihat gajah-gajah dan babi hutan yang berkeliaran di sekitar camp, dan tak henti-hentinya mendengarkan suara kicauan burung dan jeritan serangga. Bagiku, kenyamanan itu adalah berada di tempat yang alami dan dikelilingi oleh satwa liar di sekitar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar