Sabtu, 18 Januari 2014

Keracunan Zinc Phosphide



Zinc Phosphide merupakan senyawa anorganik yang digunakan dalam produk pestisida sebagai rodenticide. Zinc Phosphide memiliki berbagai macam kegunaan komersial, tidak hanya sebagai rodenticide atau lebih dikenal sebagai racun tikus, tetapi juga sebagai pelindung tanaman pangan dan rumput serta digunakan sebagai insektisida. Berupa bubuk (powder) berwarna abu-abu hitam dengan bau mirip dengan bawang putih. Dijual secara komersial dalam bentuk pelet umpan, butiran, debu dan serbuk. 


Mengapa Zinc Phosphide dapat meracuni satwa liar?
Toksisitas Zinc Phosphide karena memproduksi gas fosfin setelah bereaksi dengan air dan asam lambung di saluran cerna. Kemudian dapat memasuki aliran darah dan mempengaruhi kerja paru-paru, hati, ginjal, jantung dan sistem saraf pusat.

Efek samping pada satwa predator, Zinc Phosphide juga sangat beracun bagi mammalia non-target ketika ditelan langsung. Keracunan satwa liar pemakan hewan lainnya bukan disebabkan satwa predator tersebut memakan daging hewan yang mati keracunan, karena senyawa tersebut tidak menumpuk di otot hewan yang mati karena racun tersebut (spesies sasaran) tetapi keracunan sebagai akibat memakan saluran cerna hewan yang mati karena keracunan Zinc Phosphide.

Clinical Signs (Tanda-Tanda Klinis) Keracunan  Zinc Phosphide pada Satwa Liar
Satwa yang menelan Zinc Phosphide kemungkinan akan menunjukkan gejala klinis dalam waktu 1-4 jam. Gejala awal yang terlihat adalah kehilangan nafsu makan, aktivitas menurun dan tampak depresi, diikuti muntah dan terlihat gejala-gejala mau muntah. Muntahan bisa bercampur darah. Gejala akut tampak satwa merasa kesakitan, nyeri perut, gelisah/ cemas, menggigil. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi (Ataxia), lemah, sesak nafas/ sesak di dada, meronta-ronta, tremor otot dan kejang-kejang, bahkan tidak sadarkan diri. Bila mengenai mata bisa menyebabkan fotopobia.  Bila keracunan melalui inhalasi (dengan cara menghirup racun) akan tampak gejala-gejala muntah, diare, sianosis (mukosa membiru), denyut nadi cepat, demam dan shock.

Munculnya gejala klinis menjadi lebih lambat baru tampak setelah 12 jam bila satwa dalam kondisi perut kosong. Pelepasan fosfin menjadi lebih cepat pada satwa yang baru makan dan melepaskan asam lambung pada saluran cernanya dan dipengaruhi juga oleh kelembaban. 

Pemeriksaan Toxicology pada Satwa Liar yang Keracunan Zinc Phosphide
Residu fosfin terdeteksi di otak, ginjal, jantung, hati.  Sedangkan Phosphorus dan residu aluminium terdeteksi di dalam darah.  Sehingga dalam pemeriksaan post mortem pada satwa yang mati diduga karena keracunan Zinc Phosphide, specimen tersebut musti diambil disamping pengambilan specimen saluran pencernaan dan isi lambung guna pemeriksaan toxicology. 

Field Cases
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)

Harimau Sumatera yang Ditemukan Mati 
karena Keracunan Zinc Phosphate
Pada tahun 2013 saya bersama Tiger Protection and Conservation Unit - Kerinci Seblat National Park telah melakukan nekropsi seekor anak harimau liar pada tanggal 11 April 2013. Anak harimau tersebut berjenis kelamin jantan dan diperkirakan berumur sekitar 4 bulan, ditemukan di Desa Tiangko Panjang, Kecamatan Sungai Manao, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Lokasinya di sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang ditemukan mati karena keracunan Zinc Phosphide.  

Gejala klinis yang tampak menurut keterangan warga adalah harimau sumatera tersebut berjalan sempoyongan di ladang mereka, tidak berperilaku agresif dan bisa didekati, sebelum akhirnya ditemukan mati.


Perubahan Makroskopis Paru (Lung) Harimau Sumatera
karena Keracunan Zinc Phosphate
Perubahan makroskopis yang terlihat dari pemeriksaan Post Mortem (Necropsy) adalah tubuh harimau tampak kurus, ditemukan eksudat dan keluar darah dari rongga hidung, terdapat eksudat berwarna hijau gelap di rongga mulut seperti muntahan, rongga telinga kiri ada bekas perdarahan, terdapat akumulasi cairan bercampur darah pada rongga dada dan rongga perut, permukaan limpa terdapat nodul-nodul putih berisi gas. Organ -organ penting seperti hati, paru, ginjal, jantung warna dan konsistensinya tidak normal, berubah warna menjadi hijau dan coklat kehitaman serta merah kehitaman, konsistensinya lunak/ lembek dan krepitasi bila dipalpasi permukaannya, begitu juga yang terlihat pada lymphoglandula mesenterica, pada selaput jantung terdapat akumulasi cairan. Otak menjadi lunak dan hampir hancur, berwarna kemerahan dan ada pendarahan. Seluruh saluran pencernaan terlihat abnormal mulai dari oesophagus sampai dengan anus, mucosanya dilapisi eksudat warna kuning kecoklatan dan coklat kehitaman disertai dengan pendarahan, juga ditemukan eksudat warna putih susu pada usus halus.  Saluran cerna dipenuhi feces (kotoran) warna hitam dengan konsistensi lembek. Pankreas berwarna coklat dengan konsistensi sangat lunak.  Musculus (otot) tampak berwarna merah gelap sampai kehitaman.

Dari hasil pemeriksaan toxicology di Balai Besar Penelitian Penyakit Veteriner diketahui bahwa harimau sumatera tersebut mati karena keracunan Zinc Phosphate (Zn3P2).


Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)

Pemeriksaan Post Mortem Gajah Sumatera 
(Elephas maximus sumatranus)
Photo : Pusat Konservasi Gajah Seblat
Pada tanggal 8 November 2013 saya bersama Polisi Kehutanan Resort KSDA Seblat dan mahout Pusat Konservasi Gajah Seblat telah melakukan bedah bangkai (necropsy) pada seekor gajah sumatera bernama Yanti, berjenis kelamin betina dan berumur sekitar 29 tahun, yang ditemukan mati di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Seblat, Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara. 

Gejala klinis yang tampak adalah adanya pendarahan di lubang-lubang alami, yakni di rongga mulut, mata, telinga, vulva dan anus, juga terlihat perut membesar karena kembung dan mengejan. Rongga mulut dipenuhi oleh muntahan dan gumpalan darah. 

Dalam kondisi perut gajah penuh dengan makanan karena pakan tambahan yang diberikan pun habis termakan, menyebabkan efek racun menjadi lebih cepat karena pelepasan fosfin. Pelepasan fosfin karena senyawa Zinc Phosphite bereaksi dengan asam lambung.  Produksi asam lambung tinggi saat satwa makan/ lambung terisi makanan karena asam lambung berfungsi untuk membantu mencerna makanan. 

Setelah dilakukan bedah bangkai terlihat adanya timbunan gas dan cairan yang berlebihan dan bercampur darah di rongga dada dan rongga perut.  Warna permukaan limpa abu-abu kehitaman, pada hati berwarna hitam dan bidang sayatan kedua organ tersebut berwarna hitam. Ginjal dan otak, warna dan konsistensinya terlihat normal. Seluruh saluran pencernaan terlihat abnormal, mucosa saluran cerna secara keseluruhan tampak melepuh, terdapat timbunan gas yang berlebihan dan pendarahan. Permukaan isi lambung berwarna abu-abu gelap yang melapisi kotoran, dan mucosa lambung berwarna hitam. Lymphoglandula mesenterica berwarna merah kehitaman.

Hasil pemeriksaan toxicology di Balai Besar Penelitian Penyakit Veteriner diketahui bahwa kematian gajah sumatera bernama Yanti tersebut disebabkan oleh keracunan Zinc Phosphide.

Selasa, 14 Januari 2014

Pemasangan Microchip pada Harimau Sumatera di Taman Satwa Taru Jurug


Taman Satwa Taru Jurug atau lebih dikenal dengan sebutan Kebun Binatang Jurug di Solo, Jawa Tengah merupakan tempat wisata di kota Solo, yang berlokasi di timur Kota Solo dekat perbatasan dengan Karanganyar. Kebun binatang ini terletak di tepian Sungai Bengawan Solo dan berbatasan dengan Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). 


Lokasinya bisa anda lihat pada peta di bawah ini :

Taman Satwa Taru Jurug Solo (Solo Zoo) - Jawa Tengah. Sumber : Google Earth

Saya mengunjungi Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) sejak tahun 2013 lalu bersama Tim Ape Warrior - Centre for Orangutan Protection (COP). Kebetulan COP telah banyak membantu untuk perbaikan kesejahteraan orangutan di TSTJ dengan pembuatan environmental enrichment  bagi orangutan dan primata lainnya serta membantu pembangunan klinik dan karantina disana. Pada kesempatan kunjungan pertama, saya bersama COP yang pada saat itu diwakili oleh Hardi Baktiantoro dan Daniek Hendarto, kami mendapat kesempatan berdiskusi langsung dengan pengelolanya dan menyampaikan kesediaan untuk membantu secara sukarela hal-hal yang berhubungan dengan captive wildlife management terutama manajemen kesehatan satwa liar, diantaranya tentang pembuatan laporan medis, pemeriksaan parasitologi, prosedur pemeriksaan kesehatan satwa, prosedur pembiusan satwa liar,  cara pengisian worksheet immobilization, morfometri untuk primata, harimau dan gajah, serta pelatihan dokter hewan setempat dalam pembiusan satwa liar untuk berbagai keperluan seperti pemeriksaan medis, pemasangan microchip dan pengobatan. Bisa membantu satwa liar untuk memperbaiki kesejahteraannya dan membantu orang-orang yang bekerja untuk satwa liar terutama yang berhubungan dengan penanganan medis satwa liar adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya meskipun semua dilakukan secara sukarela.  Bagi saya bekerja tidak selalu untuk mencari dan mendapatkan uang, karena uang bukanlah tolak ukur sumber kebahagiaan seseorang, tetapi bekerja juga untuk mencari kepuasan batin dengan berbuat sesuatu untuk satwa liar dimanapun berada sesuai dengan profesi kita.

Mungkin tidak semua orang menyukai kebun binatang, begitu juga dengan saya sendiri ikut membantu kebun binatang bukan berarti saya menyetujui satwa liar berada dalam kurungan.  Tapi bukan berarti kita menjadi tidak peduli terhadap mereka yang ada di kebun binatang dan tempat lain sejenisnya. Karena mereka semua ada disana bukan atas kemauan mereka sendiri tetapi karena manusia. Bila ada satwa liar penghuni kebun binatang kondisinya buruk, itupun juga bukan keinginan mereka tetapi perilaku manusialah yang membuat mereka menjadi korban karena hidup mereka tergantung pada manusia yang mengelolanya. Dan bagi saya sendiri saya tidak tertarik untuk ikut campur dalam mengkritik kebun binatang yang fasilitasnya buruk dalam merawat satwa liarnya, karena dengan hanya mengkritik saja tidak akan bisa membuat kondisi menjadi lebih baik, saya dan teman-teman lebih menyukai terjun langsung ke lapangan melihat permasalahan dan membantu sesuai dengan kemampuan untuk memperbaiki keadaan, semua dilakukan hanya demi satwa liar.

Sampai dengan awal tahun 2014 ini sudah lebih dari lima kali saya mengunjungi TSTJ Solo. Kebetulan TSTJ mempunyai program kerja untuk pemasangan microchip pada satwa koleksinya, dan dokter hewan disana meminta bantuan untuk pembiusan satwa terutama orangutan dan harimau sumatera guna keperluan pemeriksaan kesehatan dan pemasangan  microchip.  Akhir tahun lalu kami telah memberikan training untuk dokter hewan setempat dan relawan mahasiswa Kedokteran Hewan UGM tentang prosedur pembiusan orangutan, dan bulan Januari 2014 ini pada harimau sumatera. 

Harimau Sumatera bernama Septi di TSTJ Solo. Photo : Erni Suyanti Musabine

Kegiatan ini dibantu oleh Centre for Orangutan Protection (COP) yang menurunkan tiga timnya sekaligus yakni Ape Warrior, Ape Crusader dan Ape Defender serta melibatkan relawan COP. Pagi itu tanggal 14 Januari 2014 pukul 06.00 WIB kami telah bersiap-siap berangkat dari kantor Ape Warrior di Yogyakarta menuju TSTJ Solo, Jawa Tengah, saat itu saya ditemani oleh staff COP yakni Wawan, Ramadhani, Reza serta volunteer COP yakni Weti dan Elizabeth Laksmi. Sebelumnya saya masih menunggu peralatan medis dan obat-obatan milik saya pribadi untuk keperluan pembiusan satwa liar dikirimkan dari Bengkulu ke Yogyakarta.  Karena paket telah sampai kami pun siap beraksi.

Seperti biasa sebelum melakukan pembiusan satwa liar, saya melakukan check list obat-obatan baik obat bius yang akan digunakan maupun obat-obatan untuk keperluan emergency selama pembiusan, dan mengecek peratan pembiusan, masih berfungsi dengan baik atau tidak, tak lupa kami juga melakukan sterilisasi peralatan pembiusan terlebih dahulu.  Peralatan pembiusan yang tidak steril bisa berakibat buruk bagi satwa liar.  Juga menyarankan kepada dokter hewan setempat agar harimau tersebut dipuasakan terlebih dahulu.


Harimau Sumatera 'Septi'
Juga dilakukan pembagian tugas, ada yang bertugas melakukan sumpit bius, recorder, melakukan pengukuran tubuh harimau (morfometri) sesuai dengan panduan yang ada, melakukan monitoring vital signs selama pembiusan, koleksi sampel, pemasangan microchip, pemeriksaan fisik harimau, penyuntikan antidote dan obat-obatan lain yang diperlukan, petugas dokumentasi baik photo maupun video dan lainnya. Dengan pembagian tugas membuat orang yang bekerja sudah mengetahui tugasnya masing-masing dengan jelas, sehingga diharapkan semua bisa berjalan dengan lancar.


Dalam kegiatan ini kami juga tekankan agar setiap orang memahami prosedur pembiusan satwa liar, seperti harus dalam suasana tenang atau tidak ramai sehingga satwa tidak menjadi stress, gelisah, waspada, bahkan agresif sebelum dibius karena akan mempengaruhi respon obat bius terhadap satwa. Pemilihan waktu yang tepat untuk pembiusan. Menyiapkan peralatan dan obat-obatan emergency sebelum pembiusan dilakukan untuk penanganan efek samping yang buruk karena pembiusan bila itu terjadi. Kata-kata yang selalu saya ingat setiap saya akan melakukan pembiusan satwa liar adalah "The best way to handle anaesthetic emergencies is to predict the next problem and be ready before It happens !!!" Dan kata-kata itu seolah-olah sudah melekat erat di pikiranku.  Itu juga yang membuat saya lebih baik menunda pekerjaan bila peralatan dan obat-obatan yang dibutuhkan untuk pembiusan satwa liar belum lengkap sesuai dengan kebutuhan.

Pembiusan Harimau Sumatera bernama Septi di TSTJ Solo. 
Sumber Photo : Centre for Orangutan Protection

Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB, dan kami harus mulai bekerja karena bila terlalu siang suhu lingkungan akan panas dan bisa berpengaruh terhadap suhu tubuh harimau menjadi hyperthermia selama terbius. Yang menjadi target hari itu adalah harimau sumatera bernama Septi, berusia 9 tahun, yang lahir di TSTJ Solo. Selesai menyiapkan obat-obatan bersama dokter hewan TSTJ, Drh. Tiara Debby Carinda, kami melakukan pembiusan. Pilihan obat yang digunakan adalah kombinasi antara Xylazine dan Ketamine. Pembiusan yang dilakukan hanya selama 1 jam 17 menit saja untuk keperluan pemasangan microchip, pemeriksaan fisik, pengukuran tubuh, photo gigi dan loreng serta pengambilan sampel darah.  Hasil monitoring vital signs, temperatur tubuh normal berkisar 36,8C; frekuensi detak jantung dan pulsus adalah 84-86X per menit; frekuensi pernafasan 7-40X per menit, selama 3 kali pemeriksaan terjadi penurunan frekuensi nafas yakni 7-8X per menit kemudian normal kembali. Monitoring vital signs dilakukan setiap 5-10 menit sekali selama pembiusan. Semua berjalan dengan baik sampai harimau dibangunkan kembali dengan penyuntikan antidote.

Observasi harimau tidak hanya dilakukan selama pembiusan tetapi juga pada saat satwa akan sadar kembali karena itu juga merupakan waktu rawan terjadinya efek samping yang buruk. Masih ada empat ekor lagi harimau sumatera di TSTJ Solo yang juga akan dilakukan pemasagan microchip. Berharap kegiatan hari itu akan bermanfaat bagi dokter hewan setempat dan keeper harimau bila akan melakukan pembiusan untuk keperluan apapun, tidak hanya pemasangan microchip tetapi juga untuk pemeriksaan kesehatan, pengambilan sampel dan pengobatan. Mengingat TSTJ Solo tidak memiliki kandang jepit untuk keperluan tindakan medis.

Minggu, 12 Januari 2014

Camping di Lereng Gunung Lawu



Di awal tahun 2014 diadakan acara annual meeting (rapat tahunan) Centre for Orangutan Protection (COP) di Sleman Yogyakarta, yang diikuti oleh seluruh staff COP baik yang berada di Yogyakarta, Jakarta, Malang dan Kalimantan, hanya yang dari Solo yang tidak bisa hadir. Dan saya sebagai board members juga diundang untuk hadir dalam rapat tersebut. Dari beberapa orang anggota dewan penasehat COP hanya saya sendiri yang bisa menghadiri rapat tahunan kali ini, karena yang lain tidak bisa meluangkan waktu karena kesibukan masing-masing di tempat mereka bekerja.

Slope of Mount. Lawu - Central Java

Annual meeting diakhiri dengan acara wild trip, yakni perjalanan ke alam bebas dengan pilihan tempat yang telah disepakati adalah di lereng Gunung Lawu di Karanganyar - Jawa Tengah. Tidak ada agenda khusus dalam acara santai ini, kami dibebaskan menikmati waktu selama camping sesuai dengan keinginan masing-masing.

Kamis, tanggal 9 Januari 2014
Mulai tanggal 9 Januari 2014 kami sudah sibuk mempersiapkan logistik untuk keperluan camping, bersama 4 orang staff COP yakni Dina, Reza, Paulinus, Hery dan seorang volunteer yakni Ipul dan saya sendiri berbelanja logistik ke sebuah supermarket di Yogyakarta. Sebelumnya saya bersama kawan-kawan membuat list/ daftar bahan logistik yang akan dibawa sesuai kebutuhan.  Tidak hanya itu kami juga mendaftar peralatan camping yang dibutuhkan, seperti tenda, matras, tranqia, senter, sleeping bag, nesting, peralatan makan dan lain-lain.  Ini termasuk salah satu management perjalanan untuk kegiatan di alam bebas. Musibah yang terjadi dalam berkegiatan di alam bebas bisa disebabkan karena management perjalanan yang kurang baik, karena orang mengabaikan kebutuhan logistik, peralatan pendukung, cuaca dan suhu lingkungan serta faktor-faktor alam lainnya, karena yang dibutuhkan tidak hanya kesiapan fisik semata. Melakukan perjalanan ke alam bebas sama seperti kita akan melakukan pembiusan pada satwa liar, yakni lebih baik mencegah hal buruk terjadi dengan mempersiapkan diri dan kebutuhan yang diperlukan sebaik mungkin untuk mencegah sebelum hal buruk itu benar-benar terjadi.

Malam itu kami mulai packing (berkemas) peralatan pribadi, seperti baju, jacket (baju hangat), sleeping bag, dan lainnya. Dilanjutkan esok harinya, packing logistik dan peralatan camping yang akan dibawa. Beberapa tahun sebelumnya saat saya masih kuliah, saya pernah mendaki Gunung Lawu dari Jawa Timur dan turun di Jawa Tengah. Satu hal yang saya masih ingat, bahwa temperatur disana sangat dingin bahkan di pintu pertama jalur pendakian sudah terasa dingin menusuk tulang. Untuk itu dalam perjalanan kali ini perlengkapan untuk menahan dingin wajib dibawa, seperti jacket, syal leher, penutup telinga, kaos kaki tebal dan sleeping bag untuk menghindari hypothermia.

Jumat, tanggal 10 Januari 2014
Pagi itu kami berangkat dari kantor Ape Warrior di Sleman Yogyakarta menggunakan tiga buah mobil menuju Karanganyar, Jawa Tengah.  Di perjalanan masih harus menjemput seorang staff Ape Warrior di Solo Jawa Tengah. Dan berhenti di pasar terdekat di Tawangmangu untuk berbelanja sayuran dan kuliner.

Sebelum akhirnya sampai di desa terdekat dari lokasi camping ground, mobil kami sempat beberapa kali salah arah. Kami tiba di lokasi menjelang sore hari dan disambut oleh hujan dan kabut. Udara tak sedingin dahulu, bahkan saya pun tidak mengenakan jacket saat turun dari mobil dan mulai berjalan.  Perubahan lingkungan sekitar berpengaruh besar terhadap perubahan suhu.

Kami berjalan di jalan setapak beringinan sambil membawa backpack dan ransel masing-masing melewati ladang pertanian masyarakat dan kawasan Perhutani Unit I Jawa Tengah, tepatnya di lereng Gunung Lawu bagian utara. Bagi saya kawasan itu lebih mirip Hutan Tanaman Industri karena jenis tanaman yang ditanam monokultur. Tak satupun kami melihat satwa liar sepanjang perjalanan kecuali burung.  

the Summit of Hargo Dumilah - Mount. Lawu
looks from camping ground
Kebetulan Ipul berada paling depan dan saya mengikuti dibelakangnya, kami mencari lokasi yang nyaman untuk camping, akhirnya pilihan jatuh pada lokasi yang dekat sumber air dengan pemandagan bagus yakni puncak Hargo Dumilah dari Gunung Lawu. Di bawah sana ada aliran sungai yang tak jauh dari lokasi camping, namun untuk menuju kesana ada jalan kecil yang turunnya sangat licin dan curam. Naik turun di jalan kecil itu sudah seperti extra exercise, karena membuat jantung akan berdetak kencang dan nafas ngos-ngosan.

Sore itu kami langsung mendirikan tenda sebelum hari gelap.  Kemudian dilanjutkan persiapan memasak untuk makan malam. Kami melakukan pembagian tugas, ada yang membuat sambal, ada yang menggoreng tempe, ada yang memasak nasi, memasak sarden dan ada yang membuat mie goreng. Masak-memasak di alam bebas merupakan salah satu kegiatan yang menghibur. Sore itu saya juga berencana untuk pergi ke sungai karena ingin membersihkan badan dan sikat gigi, untuk itu saya tidak ingin ditemani siapapun. Baju di badan saya basah karena kehujanan saat perjalanan dan saya tidak memiliki raincoat. Waktu hampir gelap, memang sebenarnya tidak bagus untuk pergi sendirian di tempat seperti itu. Sesampainya dibawah melihat air bening, terasa segar dan dingin, tak sabar untuk mencuci muka dan membersihkan badan sekedarnya, karena untuk mandi tidak memungkinkan lagi. Disekitar sungai semak belukar tinggi yang menghalangi pandangan dari sungai ke jalan setapak. Beruntung di tempat itu tidak ada binatang buas. Disekitar sungai juga tampak bekas banyak sesajen yang diletakkan di bawah pohon dan dipinggir sungai. Sempat berpikir apakah tempat ini angker ? Hari yang menjelang gelap memudarkan hal-hal yang menyeramkan dipikiranku dan memaksaku untuk cepat-cepat keluar dari sungai sebelum jalan tak terlihat lagi karena saya pun tidak membawa senter atau head lamp. Malam itu saya berganti baju yang kering di tenda dan mulai memakai segala perlengkapan untuk menahan dingin, yakni jacket polar, kaos kaki tebal, syal leher dan penutup telinga. 

making a campfire, playing guitar and singing
at the slope of Mount. Lawu
Waktunya makan malam bersama. Apapun menunya bila makannya di tempat terbuka seperti itu semua akan terasa nikmat. Malam itu kami habiskan untuk berkumpul bersama di luar tenda, membuat api unggun, bermain gitar dan bernyanyi serta membuat minuman hangat. Kondisi tubuhku yang sedang tidak sehat namun tidak menghalangi saya untuk bergabung dengan mereka hingga dini hari. Setelah terasa mengantuk baru kami masuk ke tenda masing-masing.

Sabtu, tanggal 11 Januari 2014
Pagi itu diawali dengan kegiatan masak-memasak. Saya hanya membantu mengupas buah mangga untuk hidangan pencuci mulut. Menu makanan lainnya sudah dibuat oleh kawan-kawan.  Setelah sarapan dilanjutkan foto bersama dan permainan, namun saya tidak ikut bergabung. Saya memilih membantu teman lainnya untuk memulai membongkar tenda satu persatu. Selesailah kegiatan camping hari itu, dan kami kembali pulang menuju Yogyakarta.


Selasa, 17 Desember 2013

Pemasangan Microchip pada Orangutan di Taman Satwa Taru Jurug



Program kegiatan pemasangan microchip untuk penandaan individu sedang dilakukan di Taman Satwa Taru Jurug, Solo, Jawa Tengah.  Pemberian microchip sangat penting bagi satwa liar di lembaga konservasi eksitu selain sebagai identitas individu juga sangat membantu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat sebagai lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengawasi peredaran satwa liar, sehingga keluar masuknya satwa liar dari lembaga konservasi eksitu ke tempat lainnya akan terkontrol dengan baik, karena setiap individu memiliki identitas masing-masing yang bisa diperiksa sewaktu-waktu.

Microchip ini merupakan donasi dari Centre for Orangutan Protection (COP), yang ingin membantu program kegiatan pemasangan microchip pada satwa liar koleksi disana.  Tidak hanya itu, COP juga membantu memberikan training kepada petugas disana yakni dokter hewan setempat mengenai pembiusan satwa liar dan pemasangan microchip pada satwa liar.  

Sebelumnya telah dua kali dilakukan pemasangan microchip di TSTJ, yakni pemasangan microchip pada 3 ekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang dilakukan oleh tim khusus dari Kementerian Kehutanan (PHKA/ Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), Taman Safari Indonesia dan Australia Zoo untuk kepentingan program pendataan gajah jinak di seluruh Indonesia.  

Pemasangan microchip kedua adalah pada orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) bernama Kirno. Kirno adalah orangutan hasil penyitaan dari kepemilikan illegal di Jawa Tengah yang dilakukan oleh BKSDA Jawa Tengah dengan dibantu oleh Centre for Orangutan Protection. Kondisinya saat itu sangat mengenaskan, dengan luka bernanah yang membusuk di bagian muka, dikurung dalam kandang sempit tanpa enrichment dan keterbatasan sinar matahari yang masuk serta ditemukan banyak kotoran sampah didalamnya. Orangutan adalah satwa liar yang memiliki perilaku dan perasaan mirip manusia, bisa dibayangkan bila kita tinggal di ruangan seperti itu dalam kurung waktu yang lama.  Setelah penyitaan pun orangutan Kirno mengalami nasib yang tidak jelas, dititipkan perawatannya di TSTJ oleh BKSDA Jawa Tengah dan diletakkan dalam kandang sempit berjeruji besi dengan ukuran 1 meter x 1 meter x 1,5 meter selama kurang lebih 9 bulan lamanya. Saya melihat kirno untuk pertama kalinya saat masih berada dalam kandang tersebut. Dari perilakunya terlihat bahwa dia tampak bosan. Sedih memang melihat kondisinya. Teman-teman di COP tergerak hati untuk membantu dengan melakukan pendekatan pada pengelola TSTJ dan BKSDA Jawa Tengah, dengan memberikan usulan untuk relokasi orangutan Kirno ke sebuah pulau yang lebih luas dan tidak termanfaatkan di areal taman satwa tersebut sampai ada keputusan dari pihak berwenang yakni BKSDA Jawa tengah orangutan tersebut mau dikemanakan.  Namun tidak hanya memberikan usulan saja tetapi juga membantu secara sukarela baik tenaga maupun pembiayaan untuk mewujudkan itu.  Pengelola TSTJ dan BKSDA hanya tinggal melihat hasilnya bahwa orangutan tersebut akan jauh lebih baik di tempat yang baru, baik secara fisik maupun psikis, karena tentu akan lebih mudah untuk orangutan mengekspresikan perilaku alaminya karena banyak pohon besar di pulau tersebut yang juga akan dilengkapi dengan environmental enrichment, dan yang pasti tidak lagi terkurung dalam kandang sempit tanpa enrichment.

Baby, Orangutan at Solo Zoo - Central Java
Pada tanggal 17 Desember 2013 dilakukan pemasangan microchip dan pemeriksaan karantina pada orangutan bernama Baby. Orangutan betina dewasa ini penghuni baru TSTJ dan belum diketahui status kesehatannya, yang juga merupakan korban dari perawatan yang sangat buruk di tempat sebelumnya. Pada saat saya sedang berada di Yogyakarta untuk presentasi tentang upaya konservasi gajah, harimau dan orangutan di Sumatera dalam acara Jambore OranguFriends bersama teman-teman dari berbagai lembaga yang bekerja untuk konservasi satwa liar, saya masih mempunyai sisa waktu sebelum kembali ke Bengkulu pada tanggal 18 Desember 2013 untuk kegiatan lainnya yakni relokasi beruang madu bernama Jony dan Siamang dari BKSDA Bengkulu menuju ke Sanctuary beruang madu dan siamang, owa dan ungko yang dikelola oleh Yayasan Kalaweit Sumatera di Solok, Sumatera Barat. Nasib beruang madu bernama Jony tak jauh berbeda dengan orangutan Kirno, yang terpaksa tinggal di kandang sempit dalam jangka waktu lama sekitar 4 tahun lamanya tanpa ada keputusan dan solusi yang jelas mengenai masa depannya dari pengambil kebijakan. 

Kebetulan saya diminta untuk membantu program kegiatan tersebut di TSTJ, yakni membantu dokter hewan setempat dalam pembiusan orangutan dan prosedur pemeriksaan kesehatan orangutan pada masa karantina. Membantu berarti saya diberi kesempatan untuk berbagi ilmu dan pengalaman, dan ini hal yang sangat membahagiakan, berarti ilmu itu tidak akan pernah mati karena akan terus-menerus terpakai. Mengingat sebelumnya saya sudah pernah melakukan pembiusan orangutan bernama Kirno dan melakukan pemeriksaan kesehatan bersama mereka, dalam kesempatan ini saya akan memposisikan diri sebagai supervisor saja. Mereka sudah pernah terlibat dalam pembiusan orangutan dan itu saya anggap sebagai pelatihan bagi mereka, dan saatnya mereka yang melakukannya sendiri. Karena saya tidak ingin hanya datang kesana membantu melakukan pembiusan orangutan, pemasangan microchip dan pemeriksaan karantina sendiri dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan pengalaman bagi mereka, karena suatu saat mereka harus melakukannya sendiri tanpa supervisi.

Baby, Orangutan at Solo Zoo-Central Java
Sesuai dengan prosedur, orangutan dipuasakan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembiusan. Beberapa obat-obatan saya rekomendasikan untuk disediakan oleh dokter hewan setempat sebelum kegiatan dilakukan. Yakni obat bius dan obat-obatan untuk penanganan kondisi darurat karena efek samping obat bius. Meskipun itu jarang sekali terjadi pada primata dan lebih sering terjadi pada pembiusan harimau dan rusa totol, tetapi harus tetap disediakan sebelum itu terjadi. Lagi-lagi motto saya dalam pembiusan satwa liar adalah "The best way to handle anaesthetic emergencies is to predict the next problem and be ready before It happens". Tahap berikutnya menentukan dosis obat yang akan digunakan, dan memberikannya kepada dokter hewan TSTJ untuk dihitung.  Kebiasaan saya bekerja di lapangan dalam rescue satwa liar bahwa saya selalu mempersiapkan dosis obat bius dan obat-obatan emergency dalam tabel di selembar kertas dengan berbagai estimasi berat badan. Itu akan sangat berguna bila kita bekerja dalam kondisi darurat dan harus bertindak cepat. Saya menyebutnya 'contekan'. Dosis yang telah saya tentukan akan dihitung oleh dokter hewan TSTJ dan volunteer mahasiswa kedokteran hewan dari UGM yang ikut serta. Bagi saya ini adalah salah satu cara memberikan pelatihan praktek secara praktis dan mudah dipahami, 'learning by doing'. Hasil penghitungan tersebut baru akan saya koreksi, karena ini menyangkut dosis obat jadi harus dipastikan terlebih dahulu bahwa tidak ada kesalahan dalam penghitungan.

Juga ditekankan pada mereka bahwa harus tahu obat-obatan dan peralatan apa saja yang diperlukan dalam pembiusan satwa liar, dengan melibatkan mereka secara langsung dalam mempersiapkan itu semua. Karena peralatan pembiusan yang dipakai di klinik atau rumah sakit hewan akan sedikit berbeda dengan peralatan yang dipakai untuk satwa liar di lapangan dengan peralatan minimalis. Dan mereka pun harus tahu bagaimana cara penggunaannya. Bekerja di hutan dengan minimnya fasilitas medis membuat kami sering berimprovisasi sendiri dalam menciptakan alat baru dengan memanfaatkan yang ada disekitar kami untuk pembiusan dan pengobatan satwa liar di habitat. Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa bambu, pipa paralon dan senar pancing serta ranting-ranting pohon sangat bermanfaat untuk keperluan pembiusan dan pengobatan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di hutan. Kreativitas itu diperlukan :) 

Tim Centre for Orangutan Protection membantu pemasangan microchip 
dan pemeriksaan karantina pada orangutan
di Taman Satwa Taru Jurug Solo - Jawa Tengah

Pembagian tugas dilakukan. Dalam kegiatan ini dilakukan oleh delapan orang, yakni keeper orangutan TSTJ yang ikut mendampingi dokter hewan dalam melakukan pembiusan dan restraint orangutan, dokter hewan TSTJ yakni drh. Tiara Debby Carinda yang akan melakukan pembiusan, pengambilan sampel darah, rambut dan pemasangan microchip untuk penandaan individu, mahasiswa kedokteran hewan Universitas Gajah Mada (UGM) yang menjadi volunteer  (relawan) COP yakni Ade Fitri Alfiani, Adinda Medina dan Rezeki Muliani yang akan membantu monitoring vital signs yakni memeriksa frekuensi pernafasan, detak jantung serta pulsus dan pemeriksaan temperatur tubuh per 5 - 10 menit sekali, melakukan pencatatan di immobilization worksheet mengenai hasil pembiusan, dan physiology data selama pembiusan, body measurement, pengambilan sidik jari untuk identifikasi individu, dan photo gigi untuk estimasi umur. Dan dilanjutkan dengan beberapa perlakuan medis lainnya yakni pemberian obat-obatan untuk tindakan pencegahan. Saya sendiri sebagai supervisor dokter hewan dan pengambil tindakan untuk penanganan kondisi emergency bila terjadi efek samping obat bius yang merugikan dan melakukan supervisi semua aktivitas tersebut dan melakukan pemeriksaan fisik orangutan secara keseluruhan, serta Wawan yakni staff Ape Warrior - Centre for Orangutan Protection sebagai pengambil dokumentasi untuk kegiatan.  Dan masih ada relawan COP lainnya yakni Dimas Novrizal Agus yang juga membantu kegiatan ini.

Pilihan immobilization drugs yang digunakan adalah kombinasi antara 0,5-1 mg/kg Xylazine dengan 1-5 mg/kg Ketamine HCl.  Dan Emergency drugs yang perlu dipersiapkan dalam setiap pembiusan satwa liar adalah : Antidote, Doxaparam, Adrenalin (Epinephrine), Atropin sulfate, Dexamethasone, Diazepam, dan lain-lain. Karena handling satwa liar itu tidak seperti handling pet animal yang bisa dipegang sewaktu-waktu, biasanya dalam pembiusan juga dilakukan tindakan pencegahan lainnya seperti pemberian salep mata atau obat tetes mata untuk mencegah infeksi sekunder pada mata karena selama terbius mata akan selalu terbuka, pemberian antibiotik untuk pencegahan infeksi sekunder karena luka bekas suntik bius, dan pemberian anti parasit seperti Ivermectine.  Sedangkan peralatan pendukung yang seharusnya tersedia dalam pembiusan satwa liar adalah ambubag, pulse oxymeter, thermometer, stethoscope, penutup mata dan telinga, slang berdiameter < 0,5 cm dan peralatan lainnya yang diperlukan.

Pemasangan Microchip
Scanning Microchip

Kegiatan pembiusan untuk keperluan pemasangan microchip dan pemeriksaan karantina tersebut berjalan dengan lancar tanpa ada komplikasi selama pembiusan. Kondisi physiology orangutan selama pembiusan sangat baik. Semua itu karena adanya kerjasama tim yang baik selama kegiatan berlangsung, setiap orang yang bekerja telah memahami prosedur pembiusan yang aman dan tahu tugasnya masing-masing. Sehingga semua bisa bekerja dengan baik dalam kondisi yang tenang. Satwa liar yang akan dibius dan selama terbius serta saat dibangunkan kembali membutuhkan kondisi lingkungan yang tenang tanpa suara berisik di sekitarnya.  Karena itu akan berpengaruh terhadap satwa liar yang sedang kita tangani.

"Setiap penanganan satwa liar adalah pengalaman berharga dan pelajaran baru karena setiap individu satwa liar itu berbeda meskipun spesiesnya sama. Kita akan terus belajar dari setiap hal yang kita lakukan, dan di setiap satwa liar yang kita tangani itu terdapat pelajaran yang sangat berharga yang terkadang tidak kita temukan dalam ilmu pengetahuan di perkuliahan atau textbooks manapun".

Senin, 16 Desember 2013

Jambore OranguFriends 2013


Jambore Orangufriends adalah acara tahunan yang diselenggarakan oleh Centre for Orangutan Protection (COP) untuk memfasilitasi orang-orang yang mempunyai minat khusus untuk mengetahui upaya konservasi orangutan di Indonesia, serta yang tertarik dengan kegiatan konservasi satwa liar Indonesia.

Peserta Jambore Orangufriends 2013 di Bumi Perkemahan Wonogondang,
Sleman, Yogyakarta

Pada tahun 2013, acara Jambore Orangufriends diadakan di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Bumi Perkemahan Wonogondang, Umbulharjo, Cangkringan, Kab. Sleman, Yogyakarta. Acara tersebut akan berlangsung pada tanggal 13-15 Desember 2013, yang diikuti oleh kurang lebih 30 peserta. Selain itu Jambore Orangufriends juga diramaikan oleh para volunteer (relawan) COP yang mengurusi kegiatan ini, mulai dari penyiapan tempat, logistik, transportasi dan lain-lain. Mereka bekerja sukarela untuk membantu staff Ape Warrior-COP sebagai penyelenggara kegiatan tersebut. Acara tersebut juga dimeriahkan oleh kawan-kawan yang dulu sama-sama menjadi relawan sebuah organisasi yang berkomitmen untuk perlindungan satwa liar Indonesia dan saat ini telah memiliki lembaga sendiri dan masih terlibat langsung dalam upaya perlindungan satwa liar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang untuk berbagi cerita, berbagi informasi melalui oral presentation tentang upaya konservasi satwa liar yang telah dilakukan pada peserta Jambore orangufriends kali ini.

Kegiatan ini dikemas dengan sederhana, tidak diadakan di tempat yang mewah yang menghabiskan banyak dana, tetapi di sebuah bangunan tua malah terkesan seperti bangunan yang tidak terpakai lagi, dengan suasana alam pedesaan di sekitarnya. Pemberian materi yang tidak kaku, dengan suasana santai penuh canda tawa namun tidak mengurangi kualitas materi yang disampaikan. 

Jumat, tanggal 13 Desember 2013

Hardi Baktiantoro - Centre for Orangutan Protection
Acara hari itu dimulai dengan beberapa presentasi dari Centre for Orangutan Protection, mengenai aktifitas dan perjuangan panjang mereka dalam membantu upaya konservasi orangutan dan habitatnya di Indonesia. Juga upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatan kesejahteraan hewan (animal welfare) dalam kurungan seperti di taman satwa ataupun kebun binatang baik yang berada di Kalimantan, Jawa, Bali maupun Sumatera. Juga membantu pihak berwenang dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat, memberikan bantuan teknis bagi upaya penegakan hukum terhadap perdagangan dan kepemilikan satwa liar dilindungi secara illegal, perawatan orangutan hasil penyitaan BKSDA, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Sabtu, tanggal 14 Desember 2013

Ade Filtria Alfiani - Volunteer Centre for Orangutan Protection
Kemudian presentasi dilanjutkan esok harinya, yakni tanggal 14 Desember 2013 karena masih banyak materi yang perlu disampaikan. Kegiatan COP tersebut dipresentasikan oleh Director & Founder COP yakni Hardi Baktiantoro, kapten Ape Warrior yakni Daniek Hendarto, salah satu staff Ape Warrior sekaligus dokter hewan di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) yakni Tiara Debby Carinda, serta beberapa relawan COP dan alumni COP School diantaranya adalah Ade Filtria Alfiani, Adinda Medina dan Ipul. Presentasi yang disampaikan tentang aktivitas para relawan dalam membantu Centre for Orangutan Protection dalam meningkatkan kesejahteraan orangutan di taman satwa/ kebun binatang dan tentang translokasi orangutan dan membantu pemeriksaan medis yang dilakukan oleh para relawan dari mahasiswa kedokteran hewan  serta upaya penyelamatan hewan korban bencana alam dan upaya membantu meningkatkan kesejahteraan satwa di taman satwa maupun kebun binatang di Sumatera (Sumatera Mission) yang disampaikan oleh Ipul. Dan masih ada presentasi dari relawan COP lainnya yakni Angga Kurniawan, yang turut membantu upaya penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar illegal dan Helen Erdelyi yakni relawan COP dari Adelaide - Australia tentang aktivitasnya dalam berkreasi membuat enrichment sebagai salah satu cara untuk meningkatan kesejahteraan satwa dalam kurungan, baik di taman satwa atau kebun binatang atau sejenisnya. Dia adalah salah satu relawan asing yang beberapa kali membantu COP di Kalimantan Timur dan Jawa Tengah, karena dia merasa sangat peduli dengan upaya konservasi satwa liar di Indonesia. Beberapa kali datang ke Indonesia untuk menjadi relawan bagi kegiatan-kegiatan konservasi orangutan dan satwa liar lainnya.

Aris Hidayat - International Animal Rescue
Pada hari itu juga ada beberapa presentasi kawan-kawan dari International Animal Rescue (IAR) dan Bali Sea Turtle Society (BSTS) yang ingin berbagi cerita tentang aktivitas mereka dalam upaya membantu perlindungan satwa liar di Indonesia, di Jawa, Sumatera dan Bali. Dari IAR diwakili oleh Aris Hidayat dan Ayut Enggeliah Entoh. Aris mempresentasikan tentang morfologi kukang (Nycticebus coucang) untuk identifikasi species kukang secara fisik, karena ini sangat bermanfaat untuk penentuan daerah pelepasliaran, di Jawa atau di Sumatera. Yang tidak kalah menarik presentasinya tentang upaya konservasi kukang mulai dari penyitaan dari kepemilikan dan perdagangan illegal, perawatan dan rehabilitasi sampai dengan pelepasliaran (release) kembali ke habitatnya. Entah sudah berapa ratusan kukang yang dia tangani bersama IAR. Tidak hanya itu dia juga mepresentasikan tentang upaya konservasi macaca, dengan melakukan kegiatan yang sama seperti yang dilakukan untuk konservasi kukang. Presentasinya juga membuka wawasan kita bahwa apa yang dilakukan itu tidak mudah, banyak sekali hambatannya.  Dan yang perlu kita ketahui bahwa, "mengambil satwa liar dari habitatnya dan dijual, harganya tidak sebanding dengan biaya untuk merawat dan merehabilitasi serta melepasliarkan kembali sampai satwa tersebut bisa bertahan hidup di alam liar kembali".  Bagi para pemerhati konservasi satwa liar, mereka harus membayar mahal agar satwa liar bisa kembali ke habitatnya dan itupun melalui proses yang panjang dan tentunya tidak mudah dan banyak hambatan dalam setiap tahap yang dilakukan.

I Wayan Wiradnyana - Bali Sea Turtle Society
Bali Sea Turtle Society (BSTS) yang datang di acara tersebut diwakili oleh Director & Founder BSTS yakni I Wayan Wiradnyana dan Dion. Presentasi BSTS disampaikan oleh I Wayan Wiradnyana (kami biasa memanggilnya Bli Wayan). BSTS mempresentasikan tentang upaya konservasi penyu di Bali terutama di Pantai Kuta. BSTS telah dipercaya oleh masyarakat setempat dalam perlindungan penyu di Bali melebihi kepercayaan mereka terhadap pihak berwenang yang seharusnya menangani itu. Ini karena action-action nyata yang mereka lakukan untuk melindungi penyu. Sudah lama kami mengenalnya, sudah lebih dari sepuluh tahun berkecimpung di dunia konservasi penyu. Turut berperan dalam penegakan hukum perburuan dan perdagangan penyu di Tanjung Benoa, sampai akhirnya merintis kegiatan perlindungan penyu di Pantai Kuta dan melakukan pendampingan masyarakat dalam upaya konservasi penyu di daerah lainnya di Bali. Pengalamannya dan pengetahuannya tentang konservasi penyu tidak diragukan lagi, bahkan dialah salah satu orang di Indonesia yang kami jadikan referensi mengenai konservasi penyu.

Dari hasil presentasinya dan hasil berdiskusi santai dengan BSTS, ternyata upaya yang mereka lakukan pun tidak mudah. Banyak hambatan dalam setiap upaya yang dilakukan. Ternyata niat baik untuk berbuat sesuatu bagi perlindungan satwa liar di negara sendiri belum tentu mendapat sambutan baik dan dukungan penuh dari pihak lain, bahkan dari pihak berwenang yang seharusnya punya tugas dan kewajiban untuk itu.

Minggu, tanggal 15 Desember 2013

Erni Suyanti Musabine - Wildlife Conservation Veterinarian
Di hari terakhir itu ada beberapa presentasi dari Centre for Orangutan Protection, International Animal Rescue dan dari saya sendiri. Saya mempresentasikan tentang 'Role of the Veterinarian in Wildlife Rescue from Poaching, Conflicts and Diseases in Sumatera'. Kebetulan beberapa hari sebelum kegiatan Jambore Orangufriends, saya mempunyai kegiatan yang padat yang membuat saya harus mondar-mandir dari satu provinsi ke provinsi lainnya. Dalam lima hari saya musti bolak-balik dari Bengkulu ke Kerinci, Jambi. Selain itu juga melakukan perjalanan ke Padang Sumatera Barat, Jakarta dan Bogor. Sehingga membuat saya tidak punya waktu lagi untuk mempersiapkan materi untuk presentasi di acara Jambore Orangufriends karena waktu saya habis di perjalanan, juga lebih fokus untuk perawatan harimau sumatera. Selesai berurusan dengan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) kemudian melakukan perawatan medis harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) pasca rescue di Taman Nasional Kerinci Seblat. Bagi saya penanganan satwa liar dalam kondisi darurat adalah prioritas utama akhirnya jadwal kegiatan lainnya pun harus menyesuaikan, membuat saya pun akhirnya membatalkan jadwal penerbangan ke Jawa sampai tiga kali dan menjadwal ulang bahkan mengganti tempat pemberangkatan, dan itu juga yang membuat nama saya terkena black list dan dapat warning dari salah satu maskapai penerbangan karena terlalu sering merubah jadwal penerbangan yang telah dipesan.....hahaha :)

Akhirnya saya menggunakan bahan presentasi yang pernah saya presentasikan di Amerika Serikat dua bulan sebelumnya, dan belum sempat saya translate. Saya pikir materi itu sudah cukup mewakili upaya penyelamatan satwa liar, yakni gajah, harimau, dan orangutan di Sumatera untuk peserta jambore orangufriends. Dalam kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan mengenai peran dokter hewan dalam upaya penyelamatan satwa liar dari perburuan, konflik dengan manusia serta penyakit, juga membantu aparat dalam penyelidikan forensik dan penegakan hukum kejahatan terhadap satwa liar beserta segala permasalahannya. 

Acara Jambore Orangufriends dikemas sangat menarik

Ice Breaking - Jambore Orangufriends 2013 di Yogyakarta

Acara ini dikemas dengan sangat sederhana namun cukup menarik. Serius tapi santai. Materi yang disampaikan oleh pemateri (pemberi materi) pun sangat berkualitas. Disela-sela oral presentation ada pemutaran film dan ice breaking yakni berbagai macam permainan untuk membuat kami semua rileks, baik dilakukan di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Tidak semua permainan saya ikuti karena saya terkadang juga sibuk mengambil dokumentasi.


Ice Breaking - Having Fun at Jambore Orangufriends 2013

Disela-sela bermain, kami pun juga masih sering bercanda. Seperti saat saya sedang lengah di dekat kolam, tiba-tiba teman-teman saya, Daniek Hendarto dan lainnya memegang tangan dan kaki saya kemudian melemparkan saya ke dalam kolam, membuat saya pun minum banyak air kolam yang berwarna coklat itu.....hahaha!  Tidak hanya saya masih ada beberapa orang yang diincar untuk dimasukkan ke dalam kolam itu. That's really fun for us. Dan yang paling aman adalah bagian dokumentasi karena sedang memegang camera milik banyak orang yang tidak mungkin dijeburkan kedalam kolam secara paksa :)


Dari Kiri ke Kanan : Hery, Wayan, Yanti, Aris, Odie, Hardi,
Dian, Daniek, Ayut, Erick, Dion. 
Selain acara formal, kami juga mempunyai acara informal tersendiri yakni sebagai ajang bernostalgia dan diskusi bebas dengan kawan-kawan lama yang dulunya pernah sama-sama bekerja dan menjadi relawan untuk perlindungan satwa liar Indonesia, sebelum akhirnya kami bekerja di institusi/ lembaga masing-masing. Mereka adalah Hardi Baktiantoro, Daniek Hendarto dan Hery Susanto dari Centre for Orangutan Protection; Aris Hidayat dan Ayut Enggeliah Entoh dari International Animal Rescue; I Wayan Wiradnyana  dan Dion dari Bali Sea Turtle Society; Dian Tresno Wikanti dari Pusat Penyelamatan Satwa Yogyakarta; dan beberapa teman lainnya yakni Odie Mahadma dan Erick serta lainnya, sedangkan saya sendiri di Kementerian Kehutanan. Meskipun kami saat ini bekerja dengan logo yang berbeda, di tempat berbeda, dan dengan spesies yang ditangani pun berbeda namun idealisme itu belum mati, semangat untuk berkomitmen membantu upaya konservasi satwa liar di Indonesia masih ada, bahkan kenangan masa lalu saat kami sama-sama menjadi relawan untuk satwa liar memudarkan batas bahwa kami kini di lembaga yang berbeda-beda. Idealisme dan semangat itu yang membuat kami tetap merasa satu kesatuan, dalam ikatan persahabatan dan persaudaraan. Membuat kami tetap saling menjalin komunikasi, saling mengunjungi dan saling mendukung aktivitas masing-masing untuk satwa liar.

Diharapkan setelah acara ini bisa membuka wawasan kita terutama peserta Jambore Orangufriends mengenai upaya konservasi satwa liar secara nyata yang telah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia dan permasalahannya, sehingga membuat kita semua lebih peduli dan ikut berkonstribusi dalam perlindungan satwa liar Indonesia dengan berbagai cara sesuai latar belakang masing-masing.

Minggu, 15 Desember 2013

Reuni dengan Teman-Teman Lama, Para Pejuang Satwa Liar Indonesia



Bahagia dan bangga bisa bertemu kembali 
dengan teman-teman lama, 
para aktivis konservasi satwa liar di Indonesia.

Pada barisan depan dari kiri ke kanan : Heri (Jakarta), Wayan (Bali), Yanti (Bengkulu), 
Odie (Semarang), Dian (Yogyakarta), Ayut (Bogor).  Pada barisan belakang 
dari kiri ke kanan : Aris (Bogor), Hardi (Malang), Daniek (Yogyakarta),
 Erick (Yogyakarta), Dion (Bali)

Centre for Orangutan Protection (COP) akan mengadakan acara tahunan Jambore OranguFriends di Bumi Perkemahan Wonogondang, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta pada tanggal 13-15 Desember 2013. Acara tersebut akan kami jadikan sebagai ajang berkumpul serta reuni dengan teman-teman lama yang dulu sama-sama pernah bekerja dan menjadi relawan di sebuah organisasi non-pemerintah (Non-Goverment Organization) yang bergerak dibidang konservasi satwa liar Indonesia.

Kebetulan kami tertarik untuk datang di acara tersebut dan diminta memberikan presentasi aktivitas kami dalam mendukung upaya perlindungan dan penyelamatan satwa liar di Indonesia sesuai bidang kami masing-masing saat ini.  Hal ini dimaksudkan untuk menambah wawasan pada para anggota orangutan friends tentang upaya konservasi satwa liar lainnya yang ada di berbagai daerah di Indonesia selain konservasi orangutan. Selain ingin berbagi pengalaman tentang aktivitas kami dalam mendukung konservasi satwa liar Indonesia, yang tidak kalah menarik adalah bahwa kami akan bertemu kembali untuk bernostalgia, ini adalah kesempatan langka yang harus dimanfaatkan dengan baik bertemu dengan orang-orang se-idealisme yang tetap bersemangat dalam membantu upaya perlindungan satwa liar dengan action nyata. Bagi saya mereka adalah orang-orang yang hebat, bertemu mereka kembali merupakan hal yang sangat membahagiakan.

Selama ini orang sering beranggapan bahwa orang yang peduli dengan konservasi satwa liar Indonesia hanyalah orang-orang asing dari negara lain,  namun itu sepenuhnya tidak benar. Mungkin karena mereka lebih banyak sebagai peneliti dan mempunyai project konservasi di Indonesia dan lebih dikenal karena sering terpublikasikan dibandingkan teman-teman ini. Bagaimana pun bagi saya, teman-teman saya ini adalah wildlife warriors, pejuang sejati dengan keterbatasan yang ada dalam segi apapun dan minimnya dukungan dari pihak berwenang, juga hambatan yang begitu besar di setiap tahap yang dilaluinya, namun tak membuat mereka putus asa dan tetap bersemangat memperjuangkan nasib satwa liar di negaranya sendiri sampai sekarang. Bagi kebanyakan orang mungkin mereka bukan siapa-siapa dan tidak dikenal banyak kalangan bahkan tidak pernah dilirik orang untuk mendapatkan penghargaan atas upaya yang telah dilakukan, karena dibalik setiap hal yang mereka lakukan jauh dari kepentingan untuk publikasi diri-sendiri di media maupun jejaring sosial tentang aktivitas yang telah mereka lakukan bagi satwa liar di Indonesia. Mungkin bisa dibandingkan dengan orang-orang yang baru hanya sekali membantu satwa liar kemudian membuat publikasi yang besar-besaran secara international, dan mereka pun bisa berkata pada dunia bahwa, "tanpa kami satwa liar di Indonesia itu tidak bisa terselamatkan".  Berbeda dengan kawan-kawan ini, bahkan mungkin mereka sendiri sudah tidak ingat lagi berapa banyak mereka membantu negaranya sendiri dalam upaya perlindungan satwa liar, sudah puluhan mungkin ratusan bahkan lebih tapi mereka nyaris tak terpublikasikan, mereka hanya ingin melakukan upaya lebih banyak dan banyak lagi bagi satwa liar secara nyata.

Seperti apakah teman-teman saya ini ??? 
Baiklah, saya akan menceritakannya satu per satu. Beberapa teman yang saat ini juga sangat berkomitmen untuk membantu upaya perlindungan orangutan di Indonesia, baik yang berada di habitat maupun di lembaga konservasi eksitu melalui organisasinya yakni Centre for Orangutan Protection (COP). Teman-teman saya yang bekerja di Centre for Orangutan Protection diantaranya Hardi Baktiantoro, Daniek Hendarto dan Hery Susanto, dan masih ada beberapa teman lainnya seperti Wahyuni dan Ramadhani, namun tidak hadir dalam acara Jambore OranguFriends kali ini. Saya berteman dengan mereka kurang lebih sudah sepuluh tahun lamanya. Orang-orang yang idealis, berani, kritis dan pantang menyerah, memperjuangkan habitat orangutan di Kalimantan dari keserakahan perusahaan perkebunan sawit dan pengambil kebijakan yang mengijinkan hal itu terjadi.  Dan telah mengungkap pembunuhan massal orangutan disana, membuka mata dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi di Kalimantan, banyak orangutan mati terbunuh karena korban kaum kapitalis. Tidak hanya itu, mereka juga membantu untuk meningkatkan kesejahteraan orangutan dan satwa liar lainnya yang sudah terlanjur masuk kebun binatang dan terpenjara disana seumur hidupnya melalui kreatifitas mereka membuat enrichment dan berbagai bantuan lainnya.

Pada saat pihak lain memperkenalkan animal welfare hanya melalui workshop, training dan semacamnya, namun teman-teman saya ini membuat terobosan baru dan pertama di Indonesia, yakni dengan melakukan pendekatan kepada kebun-binatang, yang menurut sebagian orang yang menganggap dirinya kaum conservationist adalah 'haram' mempunyai kerjasama dengan kebun binatang dan sejenisnya. Bekerjasama dengan kebun-binatang tidak berarti mendukung bahwa satwa liar lebih baik berada di kurungan selamanya, tetapi dengan melihat kondisi beberapa kebun binatang dan taman satwa yang pengelolaan satwanya masih jauh dari sejahtera maka bila kita tidak menyukai kondisi seperti itu tidak hanya cukup mengkritik dengan keras untuk menghujat kebun binatang tersebut. Yang diperlukan adalah perubahan yang lebih baik bagi satwa, dengan membantu membuat perubahan itu secara nyata itu jauh lebih baik dan sangat membantu daripada sibuk mengkritik dan menghujat ataupun hanya mengadakan berbagai workshop/ seminar dan sejenisnya untuk perbaikan.  Dan teman-teman saya ini telah mencoba untuk membantu pengelolaan satwa agar memenuhi standar animal welfare semaksimal mungkin yang bisa mereka lakukan di beberapa lembaga konservasi eksitu dengan cara pendampingan langsung. Identifikasi permasalahan dan mencarikan solusinya. Namun itu semua tak semudah membalikkan telapak tangan, disetiap proses banyak hambatan yang menghadang, dan tidak semua kebun binatang mau membuka diri untuk dibantu, namun mereka tetap semangat dan terus berusaha tanpa kenal lelah demi kesejahteraan satwa liar di kebun binatang.

Hari Rabu, tanggal 11 Desember 2013, 
Saya yang pertama kali datang di kantor Ape Warrior, Centre for Orangutan Protection di Sleman, Yogyakarta malam itu. Kemudian besok paginya disusul oleh Aris Hidayat, seorang teman yang saat ini bekerja di International Animal Rescue (IAR). Dia adalah seorang pekerja untuk konservasi satwa liar yang militan, yang sudah saya kenal sejak belasan tahun yang lalu disaat kami sama-sama menjadi relawan untuk membantu satwa liar. Idealismenya untuk konservasi satwa liar tidak perlu diragukan lagi.  Sejauh yang saya tahu bahwa pekerjaannya adalah merawat, merehabilitasi kukang dan macaca dan melepasliarkan kembali ke alam bersama YIARI (Yayasan IAR Indonesia). 

Hari Kamis, tanggal 12 Desember 2013, 
Teman-teman dari Bali Sea Turtle Society datang ke kantor Ape Warrior, mereka adalah I Wayan Wiradnyana dan Dion. Belasan tahun telah mengenalnya, sebagai orang yang berkomitmen kuat dalam perlindungan penyu di Bali sampai sekarang, meski tanpa dukungan dana dan tanpa ada dukungan moril, serta banyaknya hambatan dari pihak-pihak berwenang setempat, meskipun pada kenyatannya mereka telah banyak membantu lembaga pemerintah yang punya wewenang untuk konservasi penyu di daerahnya, tapi tetap tak memudarkan semangatnya untuk terus berkonstribusi nyata bagi upaya konservasi penyu di Bali.  Perjuangannya untuk konservasi penyu di Bali patut diacungi jempol.  Perjuangan panjang yang melelahkan dengan berbagai hambatan namun mereka tetap semangat melakukan upaya perlindungan penyu di Kuta Bali dan melakukan pendampingan masyarakat untuk kegiatan yang sama di tempat lainnya di Bali.

Di waktu yang bersamaan, seorang teman dari Yogyakarta yang dulu juga sesama relawan sebuah organisasi perlindungan satwa liar Indonesia turut mengikuti kegiatan Jambore OranguFriends bersama kami. Namanya Erick. Wajahnya asing bagi saya padahal teman-teman lainnya sangat mengenalnya dengan baik. Mendengar cerita teman-teman ternyata dia dulunya juga salah satu relawan yang militan dalam mendukung upaya konservasi satwa liar di Indonesia dengan aksi-aksinya yang heroik.

Seorang teman lama yang kini tinggal di Semarang dan bekerja di sebuah perusahaan otomotif menyempatkan diri untuk datang juga di acara Jambore OranguFriends di Yogyakarta. Mahadma Odie namanya, yang telah saya kenal kurang lebih sepuluh tahun sejak sama-sama menjadi relawan di sebuah organisasi perlindungan satwa liar Indonesia. Meskipun kini berkecimpung jauh dari hubunganya dengan konservasi satwa liar tetapi hati dan pikirannya masih belum berubah, dia masih begitu peduli dengan kegiatan yang berhubungan dengan satwa liar Indonesia. Idealisme itu tak pernah mati.

Hari Sabtu, tanggal 14 Desember 2013, 
Dua orang teman lainnya datang menyusul ke bumi perkemahan di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta tempat kami berkemah. Dia saat ini bekerja di International Animal Rescue yang sering memberikan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar kawasan habitat satwa liar baik di Jawa Barat maupun di Provinsi Lampung, Sumatera tentang pentingnya konservasi satwa liar, yakni Ayut Enggeliah Entoh namanya. Dia sudah lama beraktifitas untuk konservasi satwa liar sejak masih tinggal di Malang, Jawa Timur. Seorang teman lagi juga berkecimpung di dunia konservasi satwa liar di Jawa dan sering mengungkap kasus kejahatan terhadap satwa liar di berbagai daerah di Indonesia.  

Karena memiliki minat yang sama mengenai konservasi satwa liar menjadikan pertemanan kami menjadi persaudaraan. Kesibukan dengan aktivitas masing-masing membuat kami lama tidak bertemu, hanya beberapa saja dari mereka yang saya pernah bertemu sebelumnya. Kesempatan ini tidak mungkin dilewatkan begitu saja, untuk nongkrong bersama, bercanda, bermain bersama, saling tukar cerita tentang aktivitas masing-masing dan berdiskusi membicarakan satwa liar dan permasalahannya. Ternyata belum berubah dengan sepuluh tahun yang lalu, mereka masih mempunyai semangat yang sama untuk perlindungan satwa liar meskipun kini sudah memiliki lembaga masing-masing bahkan beberapa dari mereka telah mandiri dan mendirikan lembaga sendiri yang bergerak dibidang konservasi satwa liar, yakni Centre for Orangutan Protection (COP) dan Bali Sea Turtle Society (BSTS).  Apapun latar belakang kita dan di lembaga manapun kita bekerja, justru keanekaragaman ini yang membuat kami saling menyemangati dan mendukung satu sama lain dalam beraktifitas di bidang konservasi satwa liar, dan tidak untuk memusuhi, saling menjatuhkan atau bahkan menganggap sebagai lawan dan ancaman.

Jambore OranguFriends, Yogyakarta 13 - 15 Desember 2013 

Semoga kita masih diberi banyak kesempatan untuk bisa bertemu di waktu yang akan datang. Dan apa yang telah teman-teman perbuat bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang di Indonesia untuk peduli terhadap satwa liar di negaranya sendiri dengan berbagai cara sesuai latar belakang masing-masing.  Karena untuk berbuat sesuatu bagi upaya konservasi satwa liar Indonesia tidak harus kita memiliki pendidikan kehutanan, kedokteran hewan, biologi ataupun peneliti dan berpendidikan tinggi.  Dan tidak harus kita punya latar belakang pekerjaan di Kementerian Kehutanan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi satwa liar. Kita masih bisa berkonstribusi nyata bagi konservasi satwa liar di Indonesia dengan latar belakang apapun sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan masing-masing melalui banyak cara.