Selasa, 17 Desember 2013

Pemasangan Microchip pada Orangutan di Taman Satwa Taru Jurug



Program kegiatan pemasangan microchip untuk penandaan individu sedang dilakukan di Taman Satwa Taru Jurug, Solo, Jawa Tengah.  Pemberian microchip sangat penting bagi satwa liar di lembaga konservasi eksitu selain sebagai identitas individu juga sangat membantu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat sebagai lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengawasi peredaran satwa liar, sehingga keluar masuknya satwa liar dari lembaga konservasi eksitu ke tempat lainnya akan terkontrol dengan baik, karena setiap individu memiliki identitas masing-masing yang bisa diperiksa sewaktu-waktu.

Microchip ini merupakan donasi dari Centre for Orangutan Protection (COP), yang ingin membantu program kegiatan pemasangan microchip pada satwa liar koleksi disana.  Tidak hanya itu, COP juga membantu memberikan training kepada petugas disana yakni dokter hewan setempat mengenai pembiusan satwa liar dan pemasangan microchip pada satwa liar.  

Sebelumnya telah dua kali dilakukan pemasangan microchip di TSTJ, yakni pemasangan microchip pada 3 ekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang dilakukan oleh tim khusus dari Kementerian Kehutanan (PHKA/ Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), Taman Safari Indonesia dan Australia Zoo untuk kepentingan program pendataan gajah jinak di seluruh Indonesia.  

Pemasangan microchip kedua adalah pada orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) bernama Kirno. Kirno adalah orangutan hasil penyitaan dari kepemilikan illegal di Jawa Tengah yang dilakukan oleh BKSDA Jawa Tengah dengan dibantu oleh Centre for Orangutan Protection. Kondisinya saat itu sangat mengenaskan, dengan luka bernanah yang membusuk di bagian muka, dikurung dalam kandang sempit tanpa enrichment dan keterbatasan sinar matahari yang masuk serta ditemukan banyak kotoran sampah didalamnya. Orangutan adalah satwa liar yang memiliki perilaku dan perasaan mirip manusia, bisa dibayangkan bila kita tinggal di ruangan seperti itu dalam kurung waktu yang lama.  Setelah penyitaan pun orangutan Kirno mengalami nasib yang tidak jelas, dititipkan perawatannya di TSTJ oleh BKSDA Jawa Tengah dan diletakkan dalam kandang sempit berjeruji besi dengan ukuran 1 meter x 1 meter x 1,5 meter selama kurang lebih 9 bulan lamanya. Saya melihat kirno untuk pertama kalinya saat masih berada dalam kandang tersebut. Dari perilakunya terlihat bahwa dia tampak bosan. Sedih memang melihat kondisinya. Teman-teman di COP tergerak hati untuk membantu dengan melakukan pendekatan pada pengelola TSTJ dan BKSDA Jawa Tengah, dengan memberikan usulan untuk relokasi orangutan Kirno ke sebuah pulau yang lebih luas dan tidak termanfaatkan di areal taman satwa tersebut sampai ada keputusan dari pihak berwenang yakni BKSDA Jawa tengah orangutan tersebut mau dikemanakan.  Namun tidak hanya memberikan usulan saja tetapi juga membantu secara sukarela baik tenaga maupun pembiayaan untuk mewujudkan itu.  Pengelola TSTJ dan BKSDA hanya tinggal melihat hasilnya bahwa orangutan tersebut akan jauh lebih baik di tempat yang baru, baik secara fisik maupun psikis, karena tentu akan lebih mudah untuk orangutan mengekspresikan perilaku alaminya karena banyak pohon besar di pulau tersebut yang juga akan dilengkapi dengan environmental enrichment, dan yang pasti tidak lagi terkurung dalam kandang sempit tanpa enrichment.

Baby, Orangutan at Solo Zoo - Central Java
Pada tanggal 17 Desember 2013 dilakukan pemasangan microchip dan pemeriksaan karantina pada orangutan bernama Baby. Orangutan betina dewasa ini penghuni baru TSTJ dan belum diketahui status kesehatannya, yang juga merupakan korban dari perawatan yang sangat buruk di tempat sebelumnya. Pada saat saya sedang berada di Yogyakarta untuk presentasi tentang upaya konservasi gajah, harimau dan orangutan di Sumatera dalam acara Jambore OranguFriends bersama teman-teman dari berbagai lembaga yang bekerja untuk konservasi satwa liar, saya masih mempunyai sisa waktu sebelum kembali ke Bengkulu pada tanggal 18 Desember 2013 untuk kegiatan lainnya yakni relokasi beruang madu bernama Jony dan Siamang dari BKSDA Bengkulu menuju ke Sanctuary beruang madu dan siamang, owa dan ungko yang dikelola oleh Yayasan Kalaweit Sumatera di Solok, Sumatera Barat. Nasib beruang madu bernama Jony tak jauh berbeda dengan orangutan Kirno, yang terpaksa tinggal di kandang sempit dalam jangka waktu lama sekitar 4 tahun lamanya tanpa ada keputusan dan solusi yang jelas mengenai masa depannya dari pengambil kebijakan. 

Kebetulan saya diminta untuk membantu program kegiatan tersebut di TSTJ, yakni membantu dokter hewan setempat dalam pembiusan orangutan dan prosedur pemeriksaan kesehatan orangutan pada masa karantina. Membantu berarti saya diberi kesempatan untuk berbagi ilmu dan pengalaman, dan ini hal yang sangat membahagiakan, berarti ilmu itu tidak akan pernah mati karena akan terus-menerus terpakai. Mengingat sebelumnya saya sudah pernah melakukan pembiusan orangutan bernama Kirno dan melakukan pemeriksaan kesehatan bersama mereka, dalam kesempatan ini saya akan memposisikan diri sebagai supervisor saja. Mereka sudah pernah terlibat dalam pembiusan orangutan dan itu saya anggap sebagai pelatihan bagi mereka, dan saatnya mereka yang melakukannya sendiri. Karena saya tidak ingin hanya datang kesana membantu melakukan pembiusan orangutan, pemasangan microchip dan pemeriksaan karantina sendiri dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan pengalaman bagi mereka, karena suatu saat mereka harus melakukannya sendiri tanpa supervisi.

Baby, Orangutan at Solo Zoo-Central Java
Sesuai dengan prosedur, orangutan dipuasakan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembiusan. Beberapa obat-obatan saya rekomendasikan untuk disediakan oleh dokter hewan setempat sebelum kegiatan dilakukan. Yakni obat bius dan obat-obatan untuk penanganan kondisi darurat karena efek samping obat bius. Meskipun itu jarang sekali terjadi pada primata dan lebih sering terjadi pada pembiusan harimau dan rusa totol, tetapi harus tetap disediakan sebelum itu terjadi. Lagi-lagi motto saya dalam pembiusan satwa liar adalah "The best way to handle anaesthetic emergencies is to predict the next problem and be ready before It happens". Tahap berikutnya menentukan dosis obat yang akan digunakan, dan memberikannya kepada dokter hewan TSTJ untuk dihitung.  Kebiasaan saya bekerja di lapangan dalam rescue satwa liar bahwa saya selalu mempersiapkan dosis obat bius dan obat-obatan emergency dalam tabel di selembar kertas dengan berbagai estimasi berat badan. Itu akan sangat berguna bila kita bekerja dalam kondisi darurat dan harus bertindak cepat. Saya menyebutnya 'contekan'. Dosis yang telah saya tentukan akan dihitung oleh dokter hewan TSTJ dan volunteer mahasiswa kedokteran hewan dari UGM yang ikut serta. Bagi saya ini adalah salah satu cara memberikan pelatihan praktek secara praktis dan mudah dipahami, 'learning by doing'. Hasil penghitungan tersebut baru akan saya koreksi, karena ini menyangkut dosis obat jadi harus dipastikan terlebih dahulu bahwa tidak ada kesalahan dalam penghitungan.

Juga ditekankan pada mereka bahwa harus tahu obat-obatan dan peralatan apa saja yang diperlukan dalam pembiusan satwa liar, dengan melibatkan mereka secara langsung dalam mempersiapkan itu semua. Karena peralatan pembiusan yang dipakai di klinik atau rumah sakit hewan akan sedikit berbeda dengan peralatan yang dipakai untuk satwa liar di lapangan dengan peralatan minimalis. Dan mereka pun harus tahu bagaimana cara penggunaannya. Bekerja di hutan dengan minimnya fasilitas medis membuat kami sering berimprovisasi sendiri dalam menciptakan alat baru dengan memanfaatkan yang ada disekitar kami untuk pembiusan dan pengobatan satwa liar di habitat. Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa bambu, pipa paralon dan senar pancing serta ranting-ranting pohon sangat bermanfaat untuk keperluan pembiusan dan pengobatan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di hutan. Kreativitas itu diperlukan :) 

Tim Centre for Orangutan Protection membantu pemasangan microchip 
dan pemeriksaan karantina pada orangutan
di Taman Satwa Taru Jurug Solo - Jawa Tengah

Pembagian tugas dilakukan. Dalam kegiatan ini dilakukan oleh delapan orang, yakni keeper orangutan TSTJ yang ikut mendampingi dokter hewan dalam melakukan pembiusan dan restraint orangutan, dokter hewan TSTJ yakni drh. Tiara Debby Carinda yang akan melakukan pembiusan, pengambilan sampel darah, rambut dan pemasangan microchip untuk penandaan individu, mahasiswa kedokteran hewan Universitas Gajah Mada (UGM) yang menjadi volunteer  (relawan) COP yakni Ade Fitri Alfiani, Adinda Medina dan Rezeki Muliani yang akan membantu monitoring vital signs yakni memeriksa frekuensi pernafasan, detak jantung serta pulsus dan pemeriksaan temperatur tubuh per 5 - 10 menit sekali, melakukan pencatatan di immobilization worksheet mengenai hasil pembiusan, dan physiology data selama pembiusan, body measurement, pengambilan sidik jari untuk identifikasi individu, dan photo gigi untuk estimasi umur. Dan dilanjutkan dengan beberapa perlakuan medis lainnya yakni pemberian obat-obatan untuk tindakan pencegahan. Saya sendiri sebagai supervisor dokter hewan dan pengambil tindakan untuk penanganan kondisi emergency bila terjadi efek samping obat bius yang merugikan dan melakukan supervisi semua aktivitas tersebut dan melakukan pemeriksaan fisik orangutan secara keseluruhan, serta Wawan yakni staff Ape Warrior - Centre for Orangutan Protection sebagai pengambil dokumentasi untuk kegiatan.  Dan masih ada relawan COP lainnya yakni Dimas Novrizal Agus yang juga membantu kegiatan ini.

Pilihan immobilization drugs yang digunakan adalah kombinasi antara 0,5-1 mg/kg Xylazine dengan 1-5 mg/kg Ketamine HCl.  Dan Emergency drugs yang perlu dipersiapkan dalam setiap pembiusan satwa liar adalah : Antidote, Doxaparam, Adrenalin (Epinephrine), Atropin sulfate, Dexamethasone, Diazepam, dan lain-lain. Karena handling satwa liar itu tidak seperti handling pet animal yang bisa dipegang sewaktu-waktu, biasanya dalam pembiusan juga dilakukan tindakan pencegahan lainnya seperti pemberian salep mata atau obat tetes mata untuk mencegah infeksi sekunder pada mata karena selama terbius mata akan selalu terbuka, pemberian antibiotik untuk pencegahan infeksi sekunder karena luka bekas suntik bius, dan pemberian anti parasit seperti Ivermectine.  Sedangkan peralatan pendukung yang seharusnya tersedia dalam pembiusan satwa liar adalah ambubag, pulse oxymeter, thermometer, stethoscope, penutup mata dan telinga, slang berdiameter < 0,5 cm dan peralatan lainnya yang diperlukan.

Pemasangan Microchip
Scanning Microchip

Kegiatan pembiusan untuk keperluan pemasangan microchip dan pemeriksaan karantina tersebut berjalan dengan lancar tanpa ada komplikasi selama pembiusan. Kondisi physiology orangutan selama pembiusan sangat baik. Semua itu karena adanya kerjasama tim yang baik selama kegiatan berlangsung, setiap orang yang bekerja telah memahami prosedur pembiusan yang aman dan tahu tugasnya masing-masing. Sehingga semua bisa bekerja dengan baik dalam kondisi yang tenang. Satwa liar yang akan dibius dan selama terbius serta saat dibangunkan kembali membutuhkan kondisi lingkungan yang tenang tanpa suara berisik di sekitarnya.  Karena itu akan berpengaruh terhadap satwa liar yang sedang kita tangani.

"Setiap penanganan satwa liar adalah pengalaman berharga dan pelajaran baru karena setiap individu satwa liar itu berbeda meskipun spesiesnya sama. Kita akan terus belajar dari setiap hal yang kita lakukan, dan di setiap satwa liar yang kita tangani itu terdapat pelajaran yang sangat berharga yang terkadang tidak kita temukan dalam ilmu pengetahuan di perkuliahan atau textbooks manapun".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar