Siamang gibbon / Symphalangus syndactylus |
SIAMANG adalah kera berwarna hitam tak berekor yang hidup arboreal atau sebagain besar hidupnya dihabiskan diatas pohon. Aktif pada siang hari dan hidup dalam kelompok kecil. Tidur dengan posisi duduk di percabangan pohon dengan bantalan di sekitar pantatnya yang disebut ischial callosities. Dan salah satu ciri khas siamang adalah memiliki kantung gular di bagian leher depan, sehingga saat kantung tersebut mengembang menyebabkan pita suara/ mengeluarkan suara lebih keras. Makanan alami siamang sebagian besar adalah buah-buahan yang bisa mencapai 75% dari keseluruhan pakan hariannya, sisanya berupa daun-daunan, bunga, biji-bijian, kulit kayu, serangga, telur burung bahkan burung kecil. Mampu berkembang biak pada umur 5-7 tahun, dan dapat bertahan hidup hingga umur sekitar 35-40 tahun. Anak siamang akan disapih induknya pada umur 1 tahun, namun masih hidup bersama induk mereka sampai umur 5-7 tahun.
Tentu saya sudah tidak asing lagi dengan kera hitam yang satu ini karena sebelumnya pernah bekerja sebagai dokter hewan di Wild Animal Rescue Centre yang ada di Jawa Timur, dan satwa liar yang menjadi fokus kami untuk dirawat dan direhabilitasi adalah primata, termasuk didalamnya golongan gibbon. Bahkan di depan klinik tempat saya bekerja adalah kandang siamang yang dalam sehari selalu saya kunjungi setiap pagi dan sore hari. Belum termasuk siamang lainnya yang berada di kandang yang berbeda. Dan saat telah pindah ke Pulau Sumatra yang merupakan habitat siamang di Indonesia, saya juga sering menjumpai siamang liar di dalam hutan baik melihat langsung maupun mendengar suara long call-nya. Binatang ini memang sangat menarik, suaranya nyaring dan keras dengan membentuk irama yang unik, rambutnya yang tebal dengan model yang menarik dan rapi.
Selain itu siamang juga memiliki wajah yang imut dan tingkah laku yang lucu, sehingga banyak siamang yang diburu untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan. Apalagi siamang yang masih anakan bisa sangat dekat dengan manusia. Karena hal itu juga membuat status siamang adalah satwa liar dilindungi UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena terancam punah.
Provinsi Bengkulu juga merupakan habitat siamang, penyebarannya merata hampir di setiap wilayah yang masih berhutan. Perburuan liar siamang juga merupakan ancaman bagi upaya pelestarian satwa liar di provinsi ini. Masih banyak dijumpai masyarakat memelihara siamang secara illegal sebagai hewan peliharaan, di Provinsi Bengkulu sendiri kini ada sekitar 10 ekor siamang yang dipeliharan oleh masyarakat. Kontak langsung dengan satwa liar seperti primata sangat beresiko terhadap penularan penyakit zoonosis yang berbahaya. Masih banyak orang yang tidak menyadari akan hal ini.
Pada bulan Mei 2015 ada dua ekor siamang yang diserahkan masyarakat kepada BKSDA Bengkulu. Ini merupakan efek samping dari instruksi menteri kehutanan yang membuka posko untuk penyerahan kakatua jambul kuning ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai tindak lanjut adanya temuan kasus penyelundupan kakatua jambul kuning di Surabaya, Jawa Timur. Di Provinsi Bengkulu pun akhirnya pihak terkait mengeluarkan surat edaran tentang instruksi kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait untuk penyerahan burung kakatua jambul kuning dan satwa liar dilindungi lainnya dalam jangka waktu 1 bulan, bila tidak diserahkan akan dikenai sanksi pidana.
Medical Examination on Siamang gibbon after confiscation from illegal owner |
Karena tidak adanya solusi bagi dua ekor siamang yang telah diserahkan itu maka kami, anggota wildlife rescue unit mengambil langkah-langkah inisiatif sendiri untuk melakukan pemeriksaan kesehatan siamang, memperbaiki kandang untuk penampungan sementara agar sedikit lebih layak, seperti mengganti atap kandang dari terpal plastik ke peneduh khusus yang bisa mereduksi panas matahari hingga 70%, melengkapi kandang dengan enrichment, menyediakan air minum sepanjang hari (ad libitum), dan memebrsihkan kandang secara rutin. Membuat rekomendasi tentang bagaimana perawatan dan nutrisi yang harus diberikan sesuai dengan kebutuhan alaminya, dengan membuat menu pakan harian, melarang orang lain memberi pakan kecuali petugas, juga merekomendasi untuk menunjuk secara resmi petugas khusus guna perawatan satwa dalam bentuk Surat Keputusan, semua ini dilakukan agar satwa tidak terlantar dan mendapat perawatan lebih baik. Dan yang pasti semua kegiatan yang berhubungan dengan satwa ini dilakukan secara sukarela. Bekerja volunteering tanpa berorientasi honor perlu ditanamkan juga pada masing-masing orang.
Pembiusan siamang
Sebelum dibius sehari sebelumnya siamang dipuasakan minimal 8 jam. Pembiusan dengan menggunakan dua dosis yang berbeda bagi dua ekor siamang, untuk pertama kalinya saya menggunakan dosis ini pada siamang untuk mengetahui sejauh mana efeknya dengan dosis yang lebih rendah. Immobilisasi untuk siamang betina menggunakan 4,4 mg/kg Ketamine yang memberikan efek selama 1 jam 28 menit. Immobilisasi untuk siamang jantan menggunakan kombinasi dari 1 mg/kg Xylazine + 5 mg/kg Ketamine yang memberikan efek selama 1 jam 8 menit. Masing-masing ditambah setengah dosis setelah 15 menit dan 20 menit kemudian karena belum tidur sempurna. Efek samping dari stress dan cemas sebelum pembiusan pada siamang jantan sepertinya berpengaruh terhadap durasi terimmobilisasi, dengan melihat dosis yang digunakan seharusnya dia tidur lebih lama. Namun juga perlu diingat bahwa efek obat pada setiap individu berbeda selain faktor lainnya.
Pemeriksaan medis
Collecting blood sample |
Pemeriksaan medis yang dilakukan berupa pemeriksaan fisik dengan melihat kondisi extremitas dan persendiannya, pemeriksaan mata dan mucosa mata, pemeriksaan rongga mulut dan gigi, dan lain-lain. Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan dan morfometri. Selama terimmobilisasi juga dilakukan pemberian obat mata, penyuntikan anti parasit dan antibiotik long acting untuk mencegah infeksi sekunder bekas injeksi blow dart.
Monitoring vital signs
Selama pembiusan juga dilakukan monitoring pulsus/ detak jantung, respirasi (pernafasan) dan temperatur tubuh per 5-10 menit sekali untuk mengetahui kondisi satwa selama terbius. Semua perlakukan dan hasil pemeriksaan dicatat oleh recorder. Tidak ada komplikasi selama pembiusan. Pembiusan primata jarang sekali menimbulkan komplikasi. Berbeda dengan pembiusan harimau sumatra, terkadang terjadi hypertermia, seizure, vomit dan depresi nafas. Sedangkan paling banyak komplikasi selama pembiusan adalah pada rusa, yakni seringkali terjadi bloat, hypertermia, shock, seizure, torticolis dan stress tinggi. Untuk itu dalam pembiusan satwa liar baik yang berpotensi menimbulkan komplikasi maupun tidak maka harus juga sudah menyediakan obat-obatan emergency. Suksesnya pembiusan bila bisa memprediksi apa yang akan terjadi selama pembiusan dan sudah siap dan tahu apa yang akan dilakukan untuk mengatasi itu bila terjadi. Kata-kata itu selalu saya ingat sejak saya belajar pembiusan satwa liar di waktu dulu hingga kini.
Pemeriksaan medis adalah prosedur yang harus dilakukan pada setiap satwa liar yang baru datang untuk mengetahui status kesehatannya. Kemudian kami juga membuat rekomendasi untuk dilakukan proses rehabilitasi agar selanjutnya dapat dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Beberapa tahun yang lalu BKSDA Bengkulu telah punya pengalaman dalam melepasliarkan siamang dari penyitaan kepemilikan illegal masyarakat dan berhasil survive di alam hingga kini di kawasan Taman Wisata Alam Seblat. Menurut saya memberi kesempatan hidup dan masa depan yang lebih baik bagi satwa liar dengan memfasilitasinya agar bisa kembali ke habitat alaminya adalah sesuatu yang mulia. Sebagai manusia kita tidak bisa dengan sepihak dan sewenang-wenang mengakhiri masa depan siamang di dalam jeruji kandang seumur hidupnya. Siamang yang telah menderita karena diburu dan dikeluarkan dari habitatnya jangan diakhiri lagi hidupnya dengan dipindahkan ke balik jeruji kebun binatang atau taman satwa, karena mereka masih punya kesempatan untuk bisa hidup bebas di alam guna menjalankan fungsinya bagi ekosistem. Dan satu hal lagi, satwa liar seperti siamang adalah korban kejahatan perburuan dan perdanganan illegal, dan bila ditranslokasi ke lembaga konservasi eksitu sebagai barang komoditas yang bernilai ekonomi, lalu praktek-praktek seperti itu apa bedanya dengan pelaku perdagangan satwa liar dilindungi ?