Seorang teman dari Jakarta meneleponku yang kebetulan sedang berada di Sumatera. Dia adalah kawan lama yang dulunya sama-sama bekerja di sebuah lembaga non-government dan non profit untuk konservasi satwa liar terancam punah di Indonesia. Setelah sekian tahun lamanya tidak pernah berkomunikasi akhirnya kami bertemu kembali di acara Centre for Orangutan Protection/ COP Batch # 4 di Yogyakarta awal bulan ini.
Disela-sela kegiatannya survey lokasi untuk pembangunan Pusat Penyelamatan Satwa di Provinsi Sumatera Selatan bekerjasama dengan Balai KSDA Sumatera Selatan akhirnya menyempatakan diri untuk menemuiku di Bengkulu bersama seorang kawan lainnya yang memang orang Bengkulu dan sudah tidak asing lagi bagiku, karena dia juga kawan lama yang kukenal sejak saya tinggal di Bengkulu.
Seblat Elephant Conservation Center. Photo by Erni Suyanti Musabine |
Mereka berdua hanya ingin bertemu denganku dan berbincang-bincang karena memang sudah lama kami tidak pernah bertemu. Ini seperti reuni saja. Namun mereka tidak ingin bertemu denganku di kota, maunya di hutan saja. Dan mereka memberi ide bagaimana kalau kami pergi ke Pusat Konservasi Gajah Seblat dan bermalam disana. Bertemu dengan orang-orang yang tertarik dengan satwa liar, nongkrongnya pun minta di habitat satwa liar. Padahal untuk menuju kesana harus menempuh perjalanan kurang lebih 4-5 jam dari kota Bengkulu ke arah Sumatera Barat atau Kerinci-Jambi.
Esok harinya, tanggal 25 Juni 2014 mereka menjemputku di rumah. Dan siang itu pun kami langsung berangkat menuju camp gajah di Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara melintasi jalan di pesisir pantai barat Sumatera. Sesampainya di Air Muring, Kecamatan Putri Hijau kami berbelanja logistik bahan mentah untuk bekal makanan selama tinggal di camp gajah, dan membeli makanan siap santap untuk makan malam bertiga, juga air mineral dan snack sebagai teman ngobrol malam harinya. Kopi dan teh serta gula sudah tersedia sepanjang hari dan gratis di camp PKG Seblat jadi kami tidak perlu membelinya di mini market itu.
Prionailurus bengalensis |
Dalam perjalanan kami juga menjumpai satwa liar korban tertabrak mobil yakni biawak dan kucing hutan (Prionailurus bengalensis) dan sudah dalam kondisi mati. Banyak orang yang belum bisa menghargai nyawa binatang, dan lebih memilih menabraknya saat satwa liar itu sedang menyeberangi jalan daripada memberi kesempatan pada satwa itu agar menyeberangi jalan dengan aman. Bagi saya semua satwa liar mempunyai hak hidup tidak hanya manusia. Karena mereka diciptakan Tuhan tentu juga ada fungsinya bagi kehidupan di sekitarnya. Kami berhenti sejenak untuk melihat kondisi satwa tersebut, ternyata sudah mati dengan kondisi mengenaskan dan mengalami pendarahan dari rongga mulut. Seorang kawan menutupi tubuhnya dengan karung yang didapat di sekitar jalan.
Akhirnya kami sampai juga ke tujuan. Mobil kami titipkan ke rumah salah satu warga desa yang berdekatan dengan Sungai Seblat. Sore itu kami menyeberangi Sungai Seblat dengan perahu dayung. Dan masih harus berjalan kaki menanjak menuju camp PKG Seblat dengan pemandangan sepanjang jalan setapak adalah gajah-gajah binaan PKG Seblat dan babi hutan yang mencari makanan di lokasi pakan gajah. Sekitar pukul setengah tujuh sore kami baru sampai ke camp tempat menginap yang berada di pinggir hutan TWA Seblat.
Mereka berdua saya tempatkan di guest house (camp tamu), sedangkan saya tinggal di tempat tinggal saya sendiri di rumah panggung yang berlainan. Setelah membersihkan diri kami ngobrol bersama di ruang makan terbuka sambil makan malam. Obrolan kami tentu tak jauh-jauh dari satwa liar, peredaran dan perdagangan satwa liar illegal, perburuan liar dan semacamnya.
Presbytis melalophos |
Pagi harinya tanggal 26 Juni 2014, saya bersama seorang mahout memasak untuk makan pagi kami berempat. Sambil menunggu sarapan siap, kami melanjutkan ngobrol bersama bersama mahout. Terlihat ada simpai (Presbytis melalophos) yang sedang mencari makan di pohon yang tak jauh dari tempat kami nongkrong. Seperti biasa aku selalu ingin mengabadikan perilakunya dengan camera. Selesai sarapan, kami bertiga melanjutkan ngobrol bareng di shelter depan camp sambil menyaksikan gajah yang lalu lalang. Kesempatan pagi itu juga kami manfaatkan untuk melihat kandang perawatan harimau dilengkapi dengan kandang jepit yang berada di Pusat Konservasi Gajah Seblat. Kandang cukup besar, dan bisa juga dimanfaatkan untuk species satwa liar lainnya seperti primata sebelum dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Lokasinya tersembunyi dan dijauhkan dari camp dan dekat dengan hutan. Sudah lama kami berharap bahwa tempat tersebut bisa difungsikan untuk perawatan harimau sumatera korban perburuan atau konflik dengan manusia karena lokasinya terisolasi dan berada di kawasan habitat satwa liar, sehingga secara psikologi pun akan bagus bagi satwa itu sendiri kaena terhindar dari kemungkinan stress karena suara bising dan kehadiran manusia di sekitarnya. Pakan alami bagi harimau pun juga tersedia.
Panthera tigris sumatrae. Photo by Erni Suyanti Musabine |
Siang itu kami bertiga siap-siap kembali ke kota Bengkulu. Setelah membersihkan diri kemudian packing dan kembali menyeberangi Sungai Seblat untuk pulang. Kami menyusuri pantai di Kota Bengkulu sampai akhirnya mereka mengantarkan saya untuk memeriksa kondisi kucing Leopad cat dan Harimau sumatera yang sedang mendapatkan perawatan pasca amputasi kaki depan. Kucing hutan bernama Rong rong tampak lincah di dalam kandang barunya yang berukuran lebih besar dan kondisinya jauh lebih baik daripada berada dalam kandang sempit, panas dan penuh kotoran selama bertahun-tahun tanpa keputusan yang jelas akan dikemanakan. Sedangkan kondisi harimau bernama Elsa hari itu tidak seperti biasanya, tampak lesu dan tidak agressive, dia lebih memilih tidur di pojok kandang, luka pada kaki depan bekas operasi amputasi pun sudah mulai membaik. Saat kami akan meninggalkannya, seorang teman kerja memberitahukan pada saya bahwa dana pakan untuk harimau telah habis dan mereka kesulitan memintanya pada pihak berwenang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap satwa ini, membuat saya hari itu harus berpikir kembali untuk mendapatkan dana dari pihak lain yang peduli.
Menjadi dokter hewan satwa liar ternyata tidak mudah, bukan karena profesinya menuntut kita untuk memiliki skilll dalam mencegah, mendiagnosa dan mengobati satwa liar, namun juga dituntut untuk sanggup mendanai sendiri kebutuhan obat dan pakan bagi satwa yang dirawatnya tanpa tergantung pada dana pemerintah meskipun sebenarnya tanggung jawab ada di tangan mereka. Kuakui memang tak semudah menjadi dokter hewan saat saya bekerja di lembaga non-government dan non profit atau yayasan yang bergerak dalam bidang konservasi satwa liar terancam punah, karena semua yang kami butuhkan untuk keperluan medis sudah tersedia hanya kita tinggal melaksanakan tugas kita dengan baik dan profesional, dan tidak perlu lagi kebingungan untuk mencari dana pembelian obat-obatan serta pakan dan meminta-minta belas kasihan pihak lain yang peduli disaat tidak ada pilihan lain dan selalu mendapat jawaban yang sama bahwa dana untuk itu tidak tersedia dari pihak bewenang. Lalu...??? Apakah harimau itu akan kita biarkan saja mati kelaparan bila tidak ada dana untuk pakannya ?! Be wise for your wildlife management, Sir !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar