Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada atau setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada di sebuah desa terpencil di Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Lokasi desa tersebut juga tidak jauh dari kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kawasan TNKS memang meliputi empat provinsi, yakni Provinsi Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Sedangkan di wilayah Bengkulu, salah satu wilayah kabupaten yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat adalah Kabupaten Mukomuko.
Kamis, 24 April 2014
Keinginan mengunjungi sekolah MTs Syuhada tersebut dari ide yang muncul tiba-tiba saat saya sedang nongkrong dengan dua orang teman dari LSM lokal, yakni dari Yayasan Genesis dan Ulayat, serta seorang wartawan dari Kantor Berita Antara. Seperti biasa saat bertemu kami seringkali membahas soal lingkungan, konservasi, satwa liar dan segala hal yang berhubungan dengan itu. Hari ini tak luput pula kami membicarakan tentang sekolah gratis yang didirikan secara swadana oleh seorang warga di Kecamatan Selagan Raya, Mukomuko, Bengkulu. Membuatku tertarik untuk membicarakannya. Kebetulan teman saya seorang wartawan dari Kantor Berita Antara ingin meliputnya, dan saya pun tertarik untuk mengunjunginya. Dan teman lainnya yang berasal dari LSM lokal dan tinggal di daerah tersebut meminta saya untuk mengajar muatan lokal tentang konservasi di sekolah itu saat nanti berkunjung. Akhirnya kami pun memutuskan bahwa besok malam kami akan berangkat kesana.
Keinginan mengunjungi sekolah MTs Syuhada tersebut dari ide yang muncul tiba-tiba saat saya sedang nongkrong dengan dua orang teman dari LSM lokal, yakni dari Yayasan Genesis dan Ulayat, serta seorang wartawan dari Kantor Berita Antara. Seperti biasa saat bertemu kami seringkali membahas soal lingkungan, konservasi, satwa liar dan segala hal yang berhubungan dengan itu. Hari ini tak luput pula kami membicarakan tentang sekolah gratis yang didirikan secara swadana oleh seorang warga di Kecamatan Selagan Raya, Mukomuko, Bengkulu. Membuatku tertarik untuk membicarakannya. Kebetulan teman saya seorang wartawan dari Kantor Berita Antara ingin meliputnya, dan saya pun tertarik untuk mengunjunginya. Dan teman lainnya yang berasal dari LSM lokal dan tinggal di daerah tersebut meminta saya untuk mengajar muatan lokal tentang konservasi di sekolah itu saat nanti berkunjung. Akhirnya kami pun memutuskan bahwa besok malam kami akan berangkat kesana.
Jumat, 25 April 2014
Dengan menggunakan angkutan umum yakni mobil travel dari Kota Bengkulu menuju ke Kecamatan Selagan Raya, saya bersama seorang teman Marini Sipayung, yang bekerja sebagai wartawan Kantor Berita Antara melakukan perjalanan ke daerah tersebut malam itu. Hanya dengan membayar Rp. 120.000 per orang dengan jarak tempuh kurang lebih selama 8 jam akhirnya kami sampai juga di Desa Sungai Ipuh II, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu. Sekitar pukul setengah tiga dini hari kami berhenti di depan sebuah rumah panggung berdinding kayu. Dalam hati saya berkata, "sepertinya ini pemukiman penduduk asli dan bukan pendatang atau daerah transmigrasi", berdasarkan pengamatanku sekilas ke rumah-rumah di sekitarnya, karena di desa itu rumah warga didominasi dengan bentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu yang mencirikan bahwa pemukiman tersebut adalah pemukiman penduduk asli disana.
Bahasa daerah yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari di desa itu tidak bisa saya mengerti. Dan berbeda dengan bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Mukomuko pada umumnya. Saya hanya menguasai satu bahasa daerah saja disini yakni Bahasa Bengkulu yang biasa digunakan untuk percakapan sehari-hari di Kota Bengkulu dan penggunaannya pun lebih luas di banyak wilayah di Bengkulu. Begitu banyaknya bahasa daerah yang berbeda-beda di Provinsi Bengkulu membuatku sulit untuk bisa menguasainya satu persatu meskipun saya sudah beberapa tahun tinggal disini dan sering berpergian ke tempat-tempat tersebut yang memiliki bahasa daerah berbeda-beda.
Sabtu, 26 April 2014
Pagi itu setelah sarapan pagi, agenda kami adalah mengunjungi MTs Syuhada, yakni sekolah yang memberikan pelayanan gratis bagi siswanya untuk bersekolah disana. Lokasinya di Desa Aur Cina, Jln. Depati 6, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, tak jauh dari tempat kami menginap di Desa Sungai Ipuh II.
Saya bersama dua orang teman, yakni wartawan Kantor Berita Antara dan seorang lainnya dari LSM lokal Yayasan Genesis yang berasal dari Selagan Raya. Kami bertiga mengunjungi sekolah MTs Syuhada pada jam istirahat siang. Kehadiran kami disambut dengan ramah oleh Ketua Yayasan Syuhada yakni Bapak Muhammad Zabur beserta istrinya juga para guru disana. Sambil berbincang-bincang dengan mereka, saya juga memyempatkan diri untuk melihat-lihat sekitar. Sekolah MTs Syuhada hanya terdiri dari dua ruang kelas yang bentuk fisiknya sangat sederhana. Salah satu ruang kelas masih harus berbagi tempat dengan ruang guru dan kepala sekolah. Berdinding kayu papan, berlantai semen dan beratap seng bekas. Dalam ruang kelas terdapat satu whiteboard (papan tulis) dan beberapa kursi serta meja belajar. Di halaman depan sekolah merupakan tempat olahraga dan upacara bendera, terdapat satu tiang bendera yang terbuat dari bambu, sebuah lapangan sepak bola dengan ukuran lebih kecil dari ukuran yang seharusnya dan lapangan bola voli. Sekolah itu berdiri di areal seluas sekitar seperempat hektar. Didirikan pada tahun 2012 oleh Muhammad Zabur sebagai penyandang dana dan ketua Yayasan Syuhada.
Pak Zabur kami memanggilnya, adalah seorang petani dan petugas irigasi di desa tersebut. Merasa prihatin saat menjumpai bahwa pemuda desa itu tidak memiliki kemampuan untuk adzan, menjadi imam masjid, berkotbah dan ketrampilan lainnya yang berhubungan dengan kegiataan adat istiadat, budaya dan agama di desa itu. Bila suatu kaum (sebutan untuk suku) tidak memiliki orang yang terampil dalam hal-hal tersebut diatas maka akan dikenai denda. Ada 12 kaum di Kecamatan Selagan Raya dan dipimpin oleh kepala kaum setiap tiga tahun yang tentunya harus menguasai ilmu agama.
Berawal dari keprihatinan itu akhirnya Pak Zabur yang kini berusia 50 tahun bertekat untuk mendirikan sekolah gratis yang berbasis agama, dengan porsi pelajaran agama lebih banyak dari sekolah lainnya dan pendidikan yang diberikan akan disesuaikan dengan kebutuhan sosial masyarakat disana. Butuh pengorbanan besar untuk mewujudkan itu. Diatas tanah seluas seperempat hektar yang dibelinya dari hasil menjual kebun keluarga dan keikhlasan istrinya untuk mendukung cita-cita tersebut, akhirnya sekolah itupun bisa diwujudkan. Biaya yang telah dihabiskan sebanyak 50 juta rupiah. Sekolah tersebut dibangun juga secara gotong-royong tanpa mengeluarkan biaya upah kerja. Pada awalnya Pak Zabur dianggap gila memiliki cita-cita yang tak wajar itu bagi warga lainnya, "seorang petani ingin mendirikan sekolah tanpa memungut biaya atau gratis bagi siswanya". Setelah berhasil didirikan, sekolah itu juga tidak serta merta bisa diterima oleh warga lainnya. Pada awalnya warga tidak mempercayai sekolah ini, namun akhirnya ada 20 siswa yang mendaftar pada awal berdiri. "Orangtua murid ada yang membawa uang untuk membayar pendaftaran sekolah namun ditolak," kata Pak Zabur, karena Pak Zabur tidak mau memungut biaya apapun bagi siswa yang bersekolah disana. Karena Pak Zabur juga punya keinginan agar anak-anak dari orangtua yang kurang mampu masih bisa mendapatkan pendidikan yang layak bagi anaknya dengan sekolah gratis disana. Sekolah ini juga sebagai alternatif pilihan yang ditujukan bagi anak-anak yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi sekolah negeri dan tidak memiliki kendaraan untuk bersekolah.
Penerimaan siswa sekolah angkatan pertama yakni sebanyak 20 orang, mereka juga difasilitasi seragam sekolah gratis. Pak Zabur telah menghabiskan uang pribadinya sebanyak 20 juta rupiah untuk keperluan tersebut. Sedangkan untuk operasional sekolah menggunakan uang yang didapat dari hasil panen kebunnya. Siswa sekolah benar-benar tidak dibebani dengan biaya sekolah. Pak Zabur juga beruntung telah didukung oleh 10 orang guru sekolah yang ikhlas mengajar di sekolah tersebut meski tanpa bayaran yang layak, hanya bantuan uang transportasi saja. Sedangkan angkatan kedua sebanyak 30 siswa. Pada tahun 2014 ini juga telah mendaftar 40 calon siswa yang ingin bersekolah di tempat tersebut, namun masih terkendala tidak ada ruang kelas, karena ruang kelas yang tersedia baru ada dua buah ruangan saja. Selain kendala ruangan, juga keterbatasan fasilitas buku pelajaran, karena sekolah ini masih meminjam buku dari SMP Negeri 9 Selagan Raya. Kurikulum pelajaran sekolah juga disesuaikan dengan kurikulum pendidikan resmi, namun bedanya hanya pada pendidikan agama yang porsinya lebih banyak yakni 12 jam per minggu dan pelajarannya disesuaikan dengan kebutuhan sosial masyarakat di Kecamatan Selagan Raya.
Di kesempatan hari itu saya juga diminta untuk pertama kalinya mengajar muatan lokal tentang pendidikan lingkungan. Permintaan yang mendadak itu tentunya tidak ada materi yang bisa saya persiapkan seperti saat saya diminta untuk mengajar di sekolah-sekolah lainnya atau di lembaga-lembaga lain. Saya hanya bercerita di depan kelas dengan media papan tulis dan spidol serta melakukan diskusi interaktif sesuai dengan materi yang saya berikan dengan siswa sekolah dan para guru. Kebetulan yang mengikuti materi yang saya sampaikan tidak hanya semua siswa sekolah tetapi juga para guru, kepala sekolah dan kepala Yayasan Syuhada. Saya tertarik menyampaikan materi yang disesuaikan dengan daerah tersebut, karena Kecamatan Selagan Raya berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) maka saya lebih banyak membahas tentang konservasi harimau sumatera dan habitatnya serta hal-hal yang berhubungan dengan itu seperti ancaman bagi perlindungan harimau sumatera, hal-hal pemicu human-tiger conflict dan bagaimana cara mencegah dan mengatasinya, fungsi ekologis harimau dalam ekosistem dan manfaatnya bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan habitat harimau, dan lain-lain. Mengingat TNKS merupakan salah satu habitat harimau sumatera. Selain itu juga pengenalan satwa liar dilindungi di Indonesia serta peraturan perundangan yang melindunginya. Dalam diskusi siang itu banyak pertanyaan berbobot dari siswa sekolah dan para guru, diantaranya adalah : "Kenapa harimau harus dilindungi dan apa fungsinya harimau bagi kehidupan manusia ? ; Apa yang harus dilakukan bila kita bertemu harimau di dalam hutan ? ; Adakah aturan hukum yang bisa memberi sanksi bagi pemburu liar harimau ?" ; dan masih banyak lagi lainnya. Saya merasa senang karena diskusi menjadi hidup karena mereka aktif bertanya, tak lupa saya pun juga mempunyai pertanyaan yang saya tujukan pada siswa sekolah tentang hal-hal mendasar yang berhubungan dengan satwa liar yang ada di sekitar mereka. Saya berharap semoga di lain waktu masih mendapat kesempatan untuk mengajar muatan lokal tentang pendidikan lingkungan di sekolah tersebut serta berharap kedepannya mereka juga akan peduli dengan konservasi mengingat desa mereka berdekatan dengan kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat serta kawasan hutan lainnya seperti Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Majunto yang sama-sama merupakan habitat satwa liar terutama harimau sumatera. Mengingat Kabupaten Mukomuko juga rawan terhadap perburuan liar harimau sumatera. Saya sendiri bersama tim rescue BKSDA Bengkulu dan Tim Perlindungan Harimau Sumatera (Tiger Protection and Conservation Unit) pernah mengevakuasi harimau terjerat di Kabupaten Mukomuko dan menemukan banyak jerat harimau yang masih aktif di sekitarnya. Pada kesempatan itu tidak hanya saya yang menyampaikan materi tentang konservasi satwa liar dan habitatnya tetapi juga dilanjutkan oleh rekan kami, Barlian dari Yayasan Genesis.
Selesai memberikan pelajaran muatan lokal, kami masih berbincang-bincang lagi diluar ruangan kelas, karena ruang kelas akan dipakai untuk pelajaran berikutnya. Kami lebih memilih duduk di warung, saya menyebutnya kantin, yakni sebuah gubug sederhana yang berada di seberang sekolah. Di halaman sekolah beberapa siswa juga tampak sedang berlatih upacara bendera. Di hari itu juga dilakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepakatan antara Yayasan Genesis dengan Yayasan Syuhada tentang penambahan pelajaran sekolah dengan muatan lokal tentang pendidikan lingkungan. Diharapkan kelak mereka menjadi generasi penerus yang sadar akan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Sungguh terharu mendengar langsung cerita tentang perjuangan seorang petani yang ingin mendirikan sekolah yang berbasis agama dengan biaya sendiri serta semangatnya untuk memajukan pendidikan di daerahnya dengan gratis, sungguh patut dibanggakan. Namun kondisi secara fisik sekolah tersebut masih apa adanya, dan belum dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Untuk itu bagi rekan-rekan yang berminat ingin membantu buku bacaan setingkat Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) akan sangat saya apresiasi. Dan saat ini juga sangat dibutuhkan guru relawan untuk mengajar Bahasa Arab. Begitu juga masih dibutuhkan bantuan dalam bentuk lainnya, seperti sarana prasarana sekolah, bila dalam bentuk dana bisa langsung disalurkan melalui Rekening BRI cabang Penarik Mukomuko atas nama Yayasan MTs Syuhada nomor 5586 01 011622 53 5. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan membalasnya.
Bahasa daerah yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari di desa itu tidak bisa saya mengerti. Dan berbeda dengan bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Mukomuko pada umumnya. Saya hanya menguasai satu bahasa daerah saja disini yakni Bahasa Bengkulu yang biasa digunakan untuk percakapan sehari-hari di Kota Bengkulu dan penggunaannya pun lebih luas di banyak wilayah di Bengkulu. Begitu banyaknya bahasa daerah yang berbeda-beda di Provinsi Bengkulu membuatku sulit untuk bisa menguasainya satu persatu meskipun saya sudah beberapa tahun tinggal disini dan sering berpergian ke tempat-tempat tersebut yang memiliki bahasa daerah berbeda-beda.
Sabtu, 26 April 2014
Pagi itu setelah sarapan pagi, agenda kami adalah mengunjungi MTs Syuhada, yakni sekolah yang memberikan pelayanan gratis bagi siswanya untuk bersekolah disana. Lokasinya di Desa Aur Cina, Jln. Depati 6, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, tak jauh dari tempat kami menginap di Desa Sungai Ipuh II.
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada di Desa Aur Cina, Kec. Selagan Raya, Kab. Mukomuko, Bengkulu |
Saya bersama dua orang teman, yakni wartawan Kantor Berita Antara dan seorang lainnya dari LSM lokal Yayasan Genesis yang berasal dari Selagan Raya. Kami bertiga mengunjungi sekolah MTs Syuhada pada jam istirahat siang. Kehadiran kami disambut dengan ramah oleh Ketua Yayasan Syuhada yakni Bapak Muhammad Zabur beserta istrinya juga para guru disana. Sambil berbincang-bincang dengan mereka, saya juga memyempatkan diri untuk melihat-lihat sekitar. Sekolah MTs Syuhada hanya terdiri dari dua ruang kelas yang bentuk fisiknya sangat sederhana. Salah satu ruang kelas masih harus berbagi tempat dengan ruang guru dan kepala sekolah. Berdinding kayu papan, berlantai semen dan beratap seng bekas. Dalam ruang kelas terdapat satu whiteboard (papan tulis) dan beberapa kursi serta meja belajar. Di halaman depan sekolah merupakan tempat olahraga dan upacara bendera, terdapat satu tiang bendera yang terbuat dari bambu, sebuah lapangan sepak bola dengan ukuran lebih kecil dari ukuran yang seharusnya dan lapangan bola voli. Sekolah itu berdiri di areal seluas sekitar seperempat hektar. Didirikan pada tahun 2012 oleh Muhammad Zabur sebagai penyandang dana dan ketua Yayasan Syuhada.
Muhammad Zabur, Pendiri dan Ketua Yayasan Syuhada |
Berawal dari keprihatinan itu akhirnya Pak Zabur yang kini berusia 50 tahun bertekat untuk mendirikan sekolah gratis yang berbasis agama, dengan porsi pelajaran agama lebih banyak dari sekolah lainnya dan pendidikan yang diberikan akan disesuaikan dengan kebutuhan sosial masyarakat disana. Butuh pengorbanan besar untuk mewujudkan itu. Diatas tanah seluas seperempat hektar yang dibelinya dari hasil menjual kebun keluarga dan keikhlasan istrinya untuk mendukung cita-cita tersebut, akhirnya sekolah itupun bisa diwujudkan. Biaya yang telah dihabiskan sebanyak 50 juta rupiah. Sekolah tersebut dibangun juga secara gotong-royong tanpa mengeluarkan biaya upah kerja. Pada awalnya Pak Zabur dianggap gila memiliki cita-cita yang tak wajar itu bagi warga lainnya, "seorang petani ingin mendirikan sekolah tanpa memungut biaya atau gratis bagi siswanya". Setelah berhasil didirikan, sekolah itu juga tidak serta merta bisa diterima oleh warga lainnya. Pada awalnya warga tidak mempercayai sekolah ini, namun akhirnya ada 20 siswa yang mendaftar pada awal berdiri. "Orangtua murid ada yang membawa uang untuk membayar pendaftaran sekolah namun ditolak," kata Pak Zabur, karena Pak Zabur tidak mau memungut biaya apapun bagi siswa yang bersekolah disana. Karena Pak Zabur juga punya keinginan agar anak-anak dari orangtua yang kurang mampu masih bisa mendapatkan pendidikan yang layak bagi anaknya dengan sekolah gratis disana. Sekolah ini juga sebagai alternatif pilihan yang ditujukan bagi anak-anak yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi sekolah negeri dan tidak memiliki kendaraan untuk bersekolah.
Kegiatan Belajar Mengajar di MTs Syuhada |
Teaching about wildlife conservation to students and teachers at Junior High School in the hinterland of Bengkulu |
Di kesempatan hari itu saya juga diminta untuk pertama kalinya mengajar muatan lokal tentang pendidikan lingkungan. Permintaan yang mendadak itu tentunya tidak ada materi yang bisa saya persiapkan seperti saat saya diminta untuk mengajar di sekolah-sekolah lainnya atau di lembaga-lembaga lain. Saya hanya bercerita di depan kelas dengan media papan tulis dan spidol serta melakukan diskusi interaktif sesuai dengan materi yang saya berikan dengan siswa sekolah dan para guru. Kebetulan yang mengikuti materi yang saya sampaikan tidak hanya semua siswa sekolah tetapi juga para guru, kepala sekolah dan kepala Yayasan Syuhada. Saya tertarik menyampaikan materi yang disesuaikan dengan daerah tersebut, karena Kecamatan Selagan Raya berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) maka saya lebih banyak membahas tentang konservasi harimau sumatera dan habitatnya serta hal-hal yang berhubungan dengan itu seperti ancaman bagi perlindungan harimau sumatera, hal-hal pemicu human-tiger conflict dan bagaimana cara mencegah dan mengatasinya, fungsi ekologis harimau dalam ekosistem dan manfaatnya bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan habitat harimau, dan lain-lain. Mengingat TNKS merupakan salah satu habitat harimau sumatera. Selain itu juga pengenalan satwa liar dilindungi di Indonesia serta peraturan perundangan yang melindunginya. Dalam diskusi siang itu banyak pertanyaan berbobot dari siswa sekolah dan para guru, diantaranya adalah : "Kenapa harimau harus dilindungi dan apa fungsinya harimau bagi kehidupan manusia ? ; Apa yang harus dilakukan bila kita bertemu harimau di dalam hutan ? ; Adakah aturan hukum yang bisa memberi sanksi bagi pemburu liar harimau ?" ; dan masih banyak lagi lainnya. Saya merasa senang karena diskusi menjadi hidup karena mereka aktif bertanya, tak lupa saya pun juga mempunyai pertanyaan yang saya tujukan pada siswa sekolah tentang hal-hal mendasar yang berhubungan dengan satwa liar yang ada di sekitar mereka. Saya berharap semoga di lain waktu masih mendapat kesempatan untuk mengajar muatan lokal tentang pendidikan lingkungan di sekolah tersebut serta berharap kedepannya mereka juga akan peduli dengan konservasi mengingat desa mereka berdekatan dengan kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat serta kawasan hutan lainnya seperti Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Majunto yang sama-sama merupakan habitat satwa liar terutama harimau sumatera. Mengingat Kabupaten Mukomuko juga rawan terhadap perburuan liar harimau sumatera. Saya sendiri bersama tim rescue BKSDA Bengkulu dan Tim Perlindungan Harimau Sumatera (Tiger Protection and Conservation Unit) pernah mengevakuasi harimau terjerat di Kabupaten Mukomuko dan menemukan banyak jerat harimau yang masih aktif di sekitarnya. Pada kesempatan itu tidak hanya saya yang menyampaikan materi tentang konservasi satwa liar dan habitatnya tetapi juga dilanjutkan oleh rekan kami, Barlian dari Yayasan Genesis.
Kantin Sekolah MTs Syuhada |
Sungguh terharu mendengar langsung cerita tentang perjuangan seorang petani yang ingin mendirikan sekolah yang berbasis agama dengan biaya sendiri serta semangatnya untuk memajukan pendidikan di daerahnya dengan gratis, sungguh patut dibanggakan. Namun kondisi secara fisik sekolah tersebut masih apa adanya, dan belum dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Untuk itu bagi rekan-rekan yang berminat ingin membantu buku bacaan setingkat Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) akan sangat saya apresiasi. Dan saat ini juga sangat dibutuhkan guru relawan untuk mengajar Bahasa Arab. Begitu juga masih dibutuhkan bantuan dalam bentuk lainnya, seperti sarana prasarana sekolah, bila dalam bentuk dana bisa langsung disalurkan melalui Rekening BRI cabang Penarik Mukomuko atas nama Yayasan MTs Syuhada nomor 5586 01 011622 53 5. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan membalasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar