Jumat, 09 Mei 2014

HarimauKita kembali memberikan training 'Human-Tiger Conflict Mitigation' bagi Private Sector di Riau



Catatan Perjalanan

Pagi itu tanggal 5 April 2014, kami anggota tim pemateri dari Forum Konservasi Harimau Sumatera atau lebih dikenal dengan sebutan Forum HarimauKita (FHK) bertemu di Bandara International Soekarno Hatta, Jakarta. Saya berangkat menggunakan pesawat pagi bersama Hariyawan A. Wahyudi dan Amir Hamzah Ritonga menuju Pekanbaru, Provinsi Riau. Di Bandara International Sultan Syarif II, Pekanbaru kami bertemu Adnun Salampessy dan rekan lainnya dari Sinarmas Forestry dan APP yang juga akan menjadi pemateri dalam acara pelatihan tersebut. Sore harinya, tiga pemateri dari FHK menggunakan penerbangan sore datang menyusul, yakni Hariyo T. Wibisono (Beebach) dari Fauna and Flora International (FFI), Nurazman dari Taman Nasional Berbak dan Sartono dari BKSDA Jambi.

Sumatran Tiger Conservation Forum (HarimauKita) and Private Sectors and BBKSDA Riau

Training Mitigasi Konflik Manusia dengan Harimau di Lansekap Hutan Produksi akan dimulai pada tanggal 6 - 8 April 2014 di Balai Pelatihan dan Pengembangan Masyarakat (BPPM), yang berlokasi di Desa Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Peserta pelatihan terdiri dari karyawan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yakni yang bekerja di APP group, juga diikuti oleh staff Balai Besar KSDA Riau yang terdiri dari Paramedis, Polisi Kehutanan (Polhut) dan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Ini adalah pelatihan yang kedua kalinya setelah pelatihan pertama yang diadakan di Provinsi Jambi.

Guideline Book for Human-Tiger Conflict Mitigation
Perlindungan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan tanggung jawab bersama, tidak hanya tanggung jawab pemerintah saja dalam hal ini Kementerian Kehutanan, karena populasi liar harimau sumatera yang tersisa tidak hanya hidup di kawasan konservasi saja seperti Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Buru, Suaka Margasatwa, Cagar Alam, namun juga banyak ditemukan diluar kawasan konservasi seperti kawasan hutan dibawah pengelolaan pemerintah daerah (Pemda) dalam hal ini Dinas Kehutanan baik yang terdapat di tingkat provinsi maupun kabupaten seperti Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi, APL, HPK dan lain-lain. Tidak hanya itu, harimau sumatera juga hidup di areal konsesi sektor swasta dibidang kehutanan tanaman industri seperti HTI, juga terdapat di areal HGU perkebunan baik sawit atau karet dan lain-lain, juga di areal peruntukan lainnya. Dulunya areal konsesi tersebut merupakan habitat harimau sumatera tetapi telah dialihfungsikan bagi pengembangan sektor kehutanan dan perkebunan, sehingga harimau masih bertahan hidup di areal tersebut meskipun telah mengalami perubahan ekosistem dari hutan menjadi areal konsesi perusahaan bidang kehutanan. Untuk itu peran sektor swasta dalam mendukung perlindungan harimau sumatera sangat diperlukan, seperti ikut berperan aktif dalam melindungi populasi liar harimau sumatera yang berada di areal konsesinya dengan berbagai cara diantaranya melakukan penelitian sebaran harimau dan satwa liar lainnya dengan cara pemasangan camera trap, identifikasi jejak satwa liar dan lain-lain, sosialisasi tentang mitigasi konflik manusia dengan harimau bagi pekerja perkebunan dan masyarakat di daerah rawan konflik di wilayahnya, membantu petugas dalam penyelamatan harimau yang bermasalah. Dan diharapkan setiap perusahaan tersebut mempunyai mekanisme yang jelas tentang management penanganan konflik satwa liar dengan manusia yang bisa diterapkan dengan mudah sesuai aturan yang berlaku untuk membantu petugas berwenang. Dan satu hal yang terpenting adalah, perusahaan perkebunan bersedia menyisakan areal yang masih berhutan sebagai tempat tinggal harimau dan satwa liar lainnya yang juga berfungsi sebagai koridor satwa liar dari areal konsesi perusahaan menuju hutan di sekitarnya dan sebaliknya.

Pelatihan ini dibuka oleh Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, sekaligus menyampaikan materi di awal acara. Kemudian dilanjutkan oleh tim pemateri dari Forum HarimauKita, diantaranya Ekologi dan Status Konservasi Harimau oleh Hariyo T. Wibisono dari FFI/ FHK, materi berikutnya adalah Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau, Penjelasan Permenhut P.48 Tahun 2008 dan turunannya disampaikan oleh Nurazman dari Taman Nasional Berbak/ FHK. Forum HarimauKita sebagai komunitas pemerhati perlindungan harimau sumatera juga terpanggil untuk ikut membantu pemerintah dalam mensosialisasikan Permenhut tersebut kepada pihak-pihak terkait. Materi lainnya adalah Identifikasi Jejak Harimau dan Satwa Liar Lainnya disampaikan oleh Adnun Salampessy dari APP/ FHK, materi tentang Mitigasi Konflik Harimau dan Kiat-Kiat Menghindari Konflik dengan Harimau saat Bekerja di HTI disampaikan oleh Sartono dari BKSDA Jambi/ FHK dan Febri Aggriawan Widodo dari WWF/ FHK sekaligus berbagi pengalaman tentang mitigasi konflik harimau di perkebunan. Materi tersebut disampaikan melalui oral presentation dan diselingi dengan ice breaking serta kegiatan praktek di luar ruangan.

Sedangkan saya sendiri pada kesempatan ini sebagai medik veteriner mendapat tugas dari FHK untuk memberikan materi tentang Penanganan Pertama Harimau Korban Konflik. Yang dibagi dalam dua presentasi, untuk materi pertama lebih banyak memaparkan tentang langkah-langkah yang harus diambil bila menemui harimau terjerat atau yang berkonflik dengan manusia, juga menyampaikan tentang ciri-ciri harimau sakit yang ditemukan berkeliaran mendekati aktivitas manusia yang juga diartikan sebagai konflik, serta sistem pelaporannya pada pihak terkait. Dalam beberapa kasus yang pernah kami tangani bahwa seringkali terdapat hubungan antara konflik dan perburuan. Dan cara penanganan harimau pada kedua kasus ini agak berbeda. Pada materi kedua saya menyampaikan tentang apa yang bisa dilakukan untuk membantu petugas berwenang dalam handling harimau, penanganan darurat dan pertolongan pertama pada harimau korban jerat, keracunan, luka tembak ataupun luka karena senjata tajam. Selain itu juga menegaskan tentang apa yang merupakan wewenang tenaga medis (dokter hewan)  dan apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh orang non medis (orang yang profesinya bukan dokter hewan).  Hal ini perlu diingatkan terus-menerus karena Provinsi Riau punya sejarah panjang dalam pembiusan satwa liar tanpa melibatkan dokter hewan sehingga mengakibatkan kematian saat pembiusan dan pasca pembiusan. Peran dokter hewan dalam setiap chemical restraint (pembiusan) sangat diperlukan. Bukan berarti peran petugas/ orang non medis tidak penting, dalam kesempatan ini saya juga menyampaikan bahwa peran masyarakat/ karyawan perusahaan yang bertugas di lapangan juga petugas berwenang yang non medis punya peran penting dalam membantu dokter hewan dalam setiap upaya penyelamatan dan penanganan harimau, karena dokter hewan tidak bisa bekerja sendiri, memerlukan orang yang membantu untuk monitoring vital signs selama proses pembiusan seperti  monitoring frekuensi nafas dan pulsus dan temperatur tubuh. Diperlukan bantuan juga untuk recording (pencatatan data hasil pemeriksaan vital signs, morfometri dan lain-lain). Dengan monitoring data fisiologi tersebut maka dokter hewan akan lebih mudah mengetahui kondisi harimau, apakah dalam kondisi baik atau kah perlu tindakan untuk penanganan darurat. Juga disampaikan mengenai cara transportasi yang aman untuk menghindari terjadinya efek samping yang buruk bahkan kematian.

Selama ini kebanyakan orang bahkan petugas sendiri beranggapan bahwa pembiusan satwa liar dilakukan hanyalah berfungsi untuk mempermudah handling satwa, seperti untuk keperluan memindahkan satwa dari satu tempat ke tempat lain tanpa resiko. Satu hal yang mereka tidak pahami bahwa melakukan pembiusan itu sama artinya dengan melakukan kegiatan yang beresiko tinggi karena efek samping yang buruk dari pemakaian obat-obat anaesthesi bila tidak dimonitoring bisa menyebabkan kematian. Untuk itu selalu ditekankan bahwa pembiusan satwa liar harus dilakukan oleh orang-orang yang tepat, yakni orang-orang yang memang punya profesi untuk itu sesuai aturan hukum yang berlaku. Dan tidak boleh dilakukan oleh petugas non medis, kecuali bila dibawah pengawasan dan panduan dokter hewan. Jangan sampai kita menjadi pembunuh bagi satwa liar terancam punah yang seharusnya kita lindungi hanya karena bertindak yang kurang tepat.

Praktek Pembuatan Meriam Paralon dan Cara Penggunaannya untuk Mitigasi Konflik 

Tanggal 9 April 2014 kegiatan training berakhir, dan kami tim pemateri dari Forum HarimauKita kembali ke institusi/ lembaga masing-masing. Mendorong peran aktif private sector dalam upaya konservasi harimau sumatera adalah hal yang sangat posistif, karena populasi liar harimau sumatera juga berada di areal konsesinya. Berharap hal seperti ini bisa dikembangkan di banyak private sector di Indonesia yang areal konsesinya juga masih merupakan habitat satwa liar, tidak hanya harimau tetapi juga gajah, orangutan dan lainnya. Banyak cara bisa dilakukan untuk membantu upaya konservasi harimau  dan bisa dilakukan oleh semua pihak, tidak hanya pemerintah saja atau NGO saja, tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait termasuk pihak swasta dan masyarakat sendiri. Dan tidak harus bekerja dan berjuang sendirian, berkolaborasi untuk penyelamatan satwa liar dan habitat yang masih tersisa akan terasa lebih meringankan beban. Bila bisa dikerjakan bersama-sama dengan hasil yang lebih baik mengapa harus bekerja sendirian misalnya hanya dilakukan oleh lembaga tertentu saja, toh tujuannya juga sama yakni sama-sama untuk perlindungan satwa liar Indonesia.

1 komentar: