Tampilkan postingan dengan label Taman Wisata Alam Seblat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Taman Wisata Alam Seblat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Juni 2014

Pelepasliaran kembali seekor Soft Shell Turtle di Taman Wisata Alam Seblat


Dinda, Adi and Widiah. Release back a Soft Shell Turtle to the wild.
 Photo: Erni Suyanti Musabine

Sore itu tanggal 15 Juni 2014, seorang warga masyarakat dari desa sekitar kawasan yang baru pulang dari patroli hutan bersama Tim Conservation Response Unit (CRU) memberi saya seekor labi-labi yang ditemukan di sungai di dalam hutan dengan mulut masih terkait tali pancing. Tim CRU adalah tim patroli yang dibentuk sejak tahun 2004 oleh BKSDA Bengkulu dengan International Elephant Foundation dan Sumatran Elephant Conservation Programme - Fauna and Flora International untuk tujuan pengamanan kawasan habitat gajah dari aktivitas illegal dengan memanfaatkan gajah jinak, melakukan edukasi dan awareness kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian gajah dan habitatnya juga melakukan monitoring dan inventarisasi satwa liar yang ada di dalam kawasan konservasi tersebut. Tim patroli yang terdiri dari polisi kehutanan, mahout, masyarakat dari desa sekitar kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat serta gajah jinak PKG Seblat melakukan patroli rutin di kawasan hutan TWA Seblat dan sekitarnya selama dua kali dalam sebulan selama 14 hari. 

Hari mulai gelap sehingga pelepasliaran kembali labi-labi akan dilakukan esok harinya. Setelah mata kail pancing berhasil diambil dari mulutnya, hari itu tanggal 16 Juni 2014 saya mengajak lima mahasiswa Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada, yakni Dinda, Ade, Widiah, Raka Bayu dan Adi yang sedang magang di Pusat Konservasi Gajah Seblat untuk melakukan survey lokasi rawa atau sungai yang ideal sebagai tempat pelepasan labi-labi tersebut. Dibutuhkan rawa yang bebas dari aktivitas manusia untuk pemancingan guna mencegah labi-labi terjerat kembali oleh tali pancing. Atau mencari sungai yang arusnya tenang dan adanya ketersediaan makanan alami untuk labi-labi tersebut. Akhirnya siang itu kami menemukannya di dekat Sungai Seblat. Pasir sungai disekitar sungai tersebut juga seringkali digunakan oleh labi-labi untuk bertelur. Menurut kami ini adalah lokasi yag tepat, terdapat pakan alami bagi labi-labi juga dekat dengan pasir sungai yang disukai labi-labi untuk bertelur, serta lokasinya juga masih di dalam kawasan konservasi TWA Seblat.

Seblat Elephant Conservation Center. Release site of Soft shell turtle. 
Labi-labi berhasil kami lepasliarkan kembali ke sungai kecil ini, dengan harapan binatang ini akan bisa kembali memerankan fungsinya dalam ekologi. Dan bisa hidup aman tanpa terganggu oleh aktivitas manusia serta mampu berkembang biak.

Beberapa tahun yang lalu saya bersama mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang sedang magang di PKG Seblat dan anggota Elephant Care Community juga telah melepasliarkan kembali seekor labi-labi di Sungai Seblat, labi-labi tersebut berhasil kami selamatkan dari warga yang mengambilnya saat satwa ini sedang bertelur di pinggir sungai dan ditangkapnya untuk dikonsumsi.

Melihat satwa liar bisa bebas menikmati kehidupannya kembali di alam liar adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Jangan pernah mengganggu kehidupannya karena mereka juga tidak pernah mengganggu kehidupan kita. Melindungi satwa liar dan tetap membiarkan mereka hidup di habitat aslinya merupakan perilaku yang jauh lebih bijaksana daripada menangkapnya apalagi membunuhnya karena mereka juga diberi kehidupan agar berfungsi bagi lingkungan disekitarnya.

Minggu, 09 Februari 2014

Bekerja sekaligus berwisata alam


Sudah bertahun-tahun saya bekerja sebagai dokter hewan di tempat ini yakni di Pusat Konservasi Gajah  (PKG) Seblat, yang berlokasi di hutan konservasi Taman Wisata Alam Seblat. Kawasan seluas lebih kurang tujuh ribuan hektar ini dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu, Kementerian Kehutanan RI. Hutan tersebut merupakan habitat berbagai jenis satwa liar terancam punah seperti gajah sumatera, harimau sumatera, tapir, beruang madu, rusa sambar, kijang, napu, siamang, owa, simpai, burung rangkong, elang, kuaw dan masih banyak lagi satwa liar jenis lainnya.

Seblat Elephant Concervation Center - Bengkulu

Pertama kali menginjakkan kaki di hutan ini dan mulai bekerja, saya sempat diragukan oleh BKSDA Bengkulu begitu juga oleh beberapa mitra dari negara lain, mereka beranggapan bahwa saya tidak akan bertahan lama bekerja disana, karena akses masuk yang susah, satu-satunya wanita yang harus tinggal di hutan itu, gaji yang sangat kecil dan tidak banyak fasilitas yang akan didapatkan untuk menunjang aktivitas disana. Mungkin pendapat mereka juga berpedoman pada orang-orang sebelumnya yang hanya mampu bertahan bekerja selama satu hari saja dan tidak pernah kembali lagi setelah mengetahui kondisi yang sebenarnya dan hanya mengejar status pegawai negeri. Ini artinya mereka belum mengenali saya dengan baik, bahwa saya sangat menyukai petualangan di alam bebas, tidak peduli ada fasilitas pendukung atau tidak, bahkan tidak memikirkan berapa besar gaji yang akan diterima, yang penting asalkan saya bisa membantu dengan bekerja secara langsung untuk satwa liar di habitatnya. Kenapa akhirnya saya lebih memilih PKG Seblat yang jelas-jelas akan membuat hidup saya akan lebih banyak menderita dengan berbagai tantangan. Bekerja di lembaga pemerintah bukanlah hal yang mudah, tidak hanya akan membuat lelah fisik tapi juga pikiran yang adakalanya tidak sejalan. Makanya saya tidak pernah punya cita-cita untuk menjadi pegawai negeri sipil, cita-cita saya hanya ingin bekerja secara langsung untuk satwa liar apapun caranya. Padahal disaat yang bersamaan ada lima NGO International dan satu NGO nasional baik di Sumatera, Kalimantan dan Jawa yang menginginkan saya bekerja dengan mereka sebagai dokter hewan dengan gaji jauh lebih besar dan berbagai fasilitas yang menunjang.  Mereka menawarkan kepada saya terlebih dulu sebelum ditawarkan ke orang lain. Saya lebih memilih tempat mana yang paling membutuhkan bantuan medis, tentu yang kondisi satwanya jauh dari animal welfare, tempat yang masih butuh diperjuangkan untuk perbaikan pengelolaan satwa liarnya dan tempat dimana dokter hewan tidak suka bekerja disana. Gaji kecil dan fasilitas yang minim tentu tidak akan jadi prioritas dokter hewan untuk mau bekerja disana, dan disitulah satwa liar yang membutuhkan tenaga medis yang sebenarnya. Akhirnya saya memilih untuk tinggal di Bengkulu dan semua itu sudah saya pertimbangkan dari awal konsekuensinya. 


Crossing Seblat River by a Wooden Boat
Kepala Balai KSDA Bengkulu yang meminta saya untuk bersedia bekerja disana pernah menggambarkan kondisi disana, bahwa untuk mencapai tempat tersebut saya harus melewati jalan buruk, lalu menyeberangi Sungai Seblat dengan perahu ataupun dengan bantuan gajah disaat banjir, kemudian berjalan kaki menanjak untuk mencapai camp PKG Seblat. Beliau meminta saya untuk berpikir kembali dan memantapkan hati apakah bersedia ditempatkan di daerah terpencil tanpa banyak fasilitas sebelum menjawabnya. Saat itu saya malah berpikir sebaliknya, serta membayangkan bahwa tempat itu pasti indah dan menyenangkan, saya suka dayung perahu mungkin juga karena saya pernah menjadi atlit dayung bersama teman-teman Pecinta Alam Wanala Universitas Airlangga Surabaya waktu masih mahasiswa dulu dan kami pun pernah jadi juara dayung. Bermain di sungai dengan perahu akan menjadi hal yang mengasyikan buatku. Berjalan menanjak menaiki tebing dan menuruni tebing, serta trekking ke dalam hutan bukankah itu yang saya sukai selama ini, karena saya juga menyukai mendaki gunung dan melakukan kegiatan di hutan sejak masih sekolah. Saat mahasiswa pun kami sering mengadakan kegiatan di beberapa taman nasional yang ada di Jawa Timur. Dan itu kegiatan yang menyenangkan bekerja sebagai volunteer untuk konservasi satwa liar di habitatnya.

Bukankah ini juga telah menjadi cita-citaku sejak masih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) bahwa saya ingin bekerja di luar Pulau Jawa. Entah mengapa saat itu saya berpikir tidak ingin tinggal di Jawa kelak kalau sudah dewasa, ingin tinggal dimana saya tidak memiliki saudara dan keluarga disana, di daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, yang memiliki budaya dan bahasa berbeda dan tentunya daerah tersebut haruslah menarik bagi saya terutama keindahan alamnya. Namun saya belum tahu bagaimana caranya saya bisa keluar Pulau Jawa. Akhirnya mimpi itupun jadi kenyataan, dan Provinsi Bengkulu lah yang saya pilih setelah kurang lebih empat tahun berkeliling Sumatera dari satu provinsi ke provinsi lainnya dari Aceh sampai Lampung mengunjungi seluruh Pusat Konservasi Gajah yang ada di Sumatera dan Unit Patroli Gajah serta membantu harimau dan orangutan sumatera.

Presbytis melalophos melalophos
Pusat Konservasi Gajah Seblat sudah seperti rumah keduaku. Setiap saat saya mengunjungi tempat itu dan ingin terus kembali lagi, tidak hanya untuk bekerja, kadang juga mendampingi tamu seperti mitra, volunteer, mahasiswa penelitian, film maker dan lain-lain. Selain itu terkadang hanya ingin tinggal disana untuk melepas penat. Pemandangannya sangat bagus menurutku, camp tempat tinggal kami yang terletak diatas bukit dengan dibawah tampak aliran Sungai Seblat dan di halaman belakang berbatasan langsung dengan hutan yang kami pun bisa melihat langsung berbagai jenis satwa liar saat mereka sedang mencari makan. Setiap pagi alarm berbunyi yakni kicauan burung dan suara burung Rangkong serta suara primata bersaut-sautan seperti Simpai, Siamang dan Owa Sumatera yang menandakan hari telah pagi.  Sampai sore hari kami masih bisa mendengarkan suara-suara itu. Suara gajah, kijang, babi hutan dan rusa sambar kadangkalan juga bisa didengar dari camp tempat kami tinggal. 


Menunju lokasi itu juga bukan hal yang mudah. Saya harus naik mobil travel dari kota Bengkulu ke Desa Air Muring yakni kecamatan terdekat dari PKG Seblat, yang ditempuh sekitar 3-4 jam perjalanan melalui jalan buruk lintas pantai barat Sumatera. Jangan pernah membayangkan bahwa jalan lintas provinsi di Pulau Sumatera semulus jalan di Pulau Jawa, yang jelas banyak lubang dan bahkan terputus karena abrasi air laut, juga longsor karena hujan yang membuat antrian panjang kendaraan yang lewat dan terkadang membuat mobil terperosok. Dan kami bukan termasuk orang-orang yang terbiasa dimanjakan oleh mobil dinas dan anggaran perjalanan dinas saat melakukan kegiatan di lapangan. Bertahun-tahun lamanya sudah terbiasa mandiri, tanpa fasilitas dan anggaran kegiatan seperti bagian lainnya, dan itu bukan hambatan untuk bisa bekerja. Sengaja berangkat pagi hari agar sesampainya di desa Air Muring siang hari dan bisa langsung masuk ke PKG Seblat, karena mengejar waktu penyeberangan sungai di sore hari. Dalam perjalanan banyak hal yang terjadi, yakni mobil travel dikejutkan oleh rombongan babi hutan yang muncul dari semak-semak dan tiba-tiba menyeberang jalan raya, kemudian dikejutkan lagi dengan seekor anjing yang berlari menyeberang jalan, tidak hanya sampai disitu seekor ayam pun tiba-tiba terbang dari pinggir jalan dan menabrak kaca mobil. 

Namun sesampainya di Air Muring tidak ada satupun orang atau ojek yang bisa mengantarkan saya ke sebrang Sungai Seblat. Akhirnya sayapun harus menginap semalam di desa itu dan baru menlanjutkan perjalanan esok harinya dan mengejar waktu penyeberangan sungai di pagi hari.  Dari Desa Air Muring menuju PKG Seblat sejauh sekitar 17 km yang ditempuh dalam waktu satu jam melalui jalan koral (berbatu) dan berlubang-lubang.


Pengobatan Gajah Tria di PKG Seblat Bengkulu
Kali ini saya kembali kesana untuk pemeriksaan kesehatan gajah secara berkala. Kegiatan yang biasa dilakukan adalah penimbangan gajah, namun karena timbangan digital untuk gajah sedang rusak dan masih dibawa ke United State untuk perbaikan maka hanya dilakukan body measurement untuk estimasi berat badan gajah. Untuk keperluan ini data yang dibutuhkan adalah tinggi bahu (cm) dan lingkar (keliling) dada (cm). Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus untuk mengetahui perkiraan berat badan gajah. Deworming, yakni pencegahan penyakit parasiter dengan pemberian anthelmintic, kali ini obat cacing yang diberikan adalah Febantel. Pemberian obat cacing dilakukan setiap tiga bulan sekali secara rutin dengan jenis obat divariasi untuk mencegah resistensi. Obat cacing yang biasa digunakan di PKG Seblat adalah Ivermectine, Albendazole, Oxyclosanide, dll semua dalam sediaan per oral. Sedangkan cacing yang sering menginvestasi gajah sumatera adalah golongan Trematoda, terkadang juga ditemukan Nematoda. Koleksi sampel feces dan pemeriksaan feces juga perlu dilakukan untuk mengetahui jenis dan banyaknya endoparasite yang menginvestasi gajah sehingga bisa dilakukan pengobatan yang tepat. Dilakukan juga penilaian body condition index, pemerikaan fisik ini untuk mengetahui apakah gajah tersebut masuk golongan obesitas, gemuk, sedang, kurus dan kekurusan (sangat kurus), sebagai evaluasi kondisi tubuh per tiga bulan. Bila ada yang bermasalah dengan kaki terutama telapak kaki dan kuku dilakukan footcare. Dan bila ada masalah dengan kesehatan maka dilakukan pengobatan. Pengambilan photo masing-masing gajah sebagai data dokumentasi kondisi gajah saat diperiksa. 


Flies Mating at Seblat ECC - Bengkulu
Kegiatan sampingan selain bekerja untuk pemeriksaan seluruh gajah adalah photography. Banyaknya obyek-obyek menarik yang dijumpai selama di hutan membuat saya ingin berjalan-jalan dan memotret. Mengambil photo primata yang setiap sore bergelantungan diatas pohon dibelakang camp untuk mencari makan, ada Macaca fascicularis dan Presbytis melalophos melalophos. Mereka hidup berkelompok dan sering bersuara ribut bila merasa terganggu dan melihat kehadiran orang disekitarnya.  Saya lebih suka memotret dari jarak jauh, yakni dari ruang makan sambil duduk menikmati teh hangat dan makanan di sore hari. Lalu lalang gajah-gajah yang menyeberangi Sungai Seblat juga menarik untuk dipotret. Untuk mengisi waktu luang saya juga sering berkeliling untuk memotret insecta dan burung, memotret binatang kecil dan burung yang lincah bergerak merupakan tantangan tersendiri. Mengkombinasikan antara adventure dan art, terkadang musti berbasah-basah di lumpur untuk mendekati mereka. Di kesempatan yang lain saya ikut bergabung dengan mahout (perawat gajah) saat menggembalakan gajah di hutan, saya juga bisa memotret aktivitas mereka dan pemandangan indah disekitarnya.

Selain itu tinggal di hutan itu juga membuat saya bisa memanfaatkan waktu untuk bereksperimen memasak. Saya menyukai kegiatan ini meskipun saya tidak pandai memasak, namun saya suka berinovasi menciptakan makanan baru sesuai dengan selera saya sendiri. Seperti halnya saat saya sedang camping di dalam hutan ini bersama tim patroli CRU, saya suka memanfaatkan bahan yang ada di sekitar saya, seperti daun puar (seperti daun lengkuas dan batangnya bagian dalam biasanya dimakan oleh orangutan). Saya sering menggunakan daun ini untuk membakar ikan hasil memancing di sungai dalam hutan. Daun ini bila dipakai untuk memasak ikan bisa menggantikan fungsi tomat, karena ada rasa kecutnya pada masakan. Penemuan baruku yang sampai sekarang masih sering kumanfaatkan untuk memasak di hutan. 

Selain itu kegiatanku di bulan ini adalah menginvetarisasi obat-obatan dan bahan-bahan medis yang baru dikirim dari BKSDA Bengkulu. Kemudian menata ulang sesuai dengan penggunaannya. Saya lebih suka mengklasifikasikan obat-obatan sesuai dengan cara pemakaiannya yakni injection, orally atau for external used. Kemudian peralatan medis dan bahan-bahan medis juga memiliki tempat tersendiri.  Selain itu juga klasifikasi sesuai dengan fungsinya, yakni peralatan nekropsi (bedah bangkai), peralatan bedah, peralatan laboratorium (untuk koleksi specimen), peralatan untuk pemeriksaan gajah berkala, peralatan rescue gajah dan lain-lain, semua diletakkan dalam tempat tersendiri sehingga saat memerlukannya bisa diambil dengan mudah. Dan khusus untuk obat-obatan guna keperluan pembiusan akan saya simpan tersendiri sehingga orang lain tidak memiliki akses dengan mudah untuk menggunakannya, selain itu setiap pemakaian obat bius atas sepengetahuan dan dibawah kontrol dokter hewan, tidak bisa hanya sebatas perintah atasan. Meskipun pada awalnya tindakan saya ini ditentang oleh beberapa orang namun saya tidak peduli, karena mereka menjadi tidak bebas lagi menggunakan obat bius untuk menangkap satwa liar dengan mengatasnamakan penanggulangan konflik dengan membanting senjata bius di depan saya dan berusaha membeli obat bius sendiri tanpa resep dokter di pasar gelap.  Alasan saya cukup jelas karena dalam aturan hukum sudah jelas, serta obat bius yang disalahgunakan oleh orang-orang non Vet telah menyebabkan kematian pada beberapa satwa liar saat pembiusan karena overdosis dan tanpa termonitoring dengan baik. 

Bekerja di tempat itu seperti berwisata alam bagiku, karena saya menyukai tempat itu dengan hutan masih asri dan satwa liar mudah dijumpai serta pemandangan sekitar yang indah. Bisa bermain dengan gajah, bisa memancing di sungai atau di rawa-rawa, atau duduk santai di teras camp membaca buku atau menikmati suara beraneka macam satwa liar di hutan yang membuat hati damai. Bila berada disana tidak seperti sedang bekerja tetapi serasa berlibur saja, jauh dari hiruk-pikuk kota, jauh dari godaan untuk berhura-hura di mall dan tempat hiburan lainnya, berinteraksi dengan penduduk lokal yang memiliki bahasa daerah berbeda dan saya pun tidak bisa mengerti saat mereka berbicara, membuat ingin belajar banyak tentang budaya dan bahasa lokal yang banyak variasinya dan itu mengagumkan. 


with Elephant Nelson
Dan yang lebih membahagiakan lagi, kami bekerja bisa langsung berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan satwa liar secara langsung, kesempatan yang tidak dimiliki oleh banyak orang tentunya, dan bukan hanya sekedar bekerja di balik meja, di ruang workshop, membuat proyek abal-abal dan diatas kertas semata untuk menghabiskan anggaran negara dengan mengatasnamakan kegiatan konservasi. Kami bekerja juga tidak memerlukan seragam yang bersih, harum dan licin terkadang cukup dengan baju kumal, karena kinerja seseorang tidak dapat dinilai dari pembungkus badannya, pangkat dan golongannya serta jabatannya juga besarnya anggaran yang didapatkannya, tapi berdasarkan otak, kemauan serta kemampuannya untuk menunjang kinerja. 

Minggu, 17 Februari 2013

For seven days stayed in the jungle with elephants and CRU Team

Tujuh hari berada di hutan bersama Tim CRU dan gajah PLG Seblat untuk melakukan patroli, Investigasi, Inventarisasi dan Identifikasi Satwa Liar serta sambil refreshing dengan camping, experimental cooking, fishing dan tak lupa menyalurkan hobby photography tentunya. 

CRU Team at Encroachmnet area - HPT Lebong Kandis

The First Day, Tuesday on February 5th. 2013
All my bags I pack I'm ready to go.....  Selain mengemas peralatan pribadi seperti baju lapangan, sleeping bag, headlamp, dan lainnya dalam ranselku, tak lupa kami membawa GPS lengkap dengan peta kawasan yang telah disetting dalam GPS, worksheet, kamera, dan lain-lain serta peralatan kebutuhan tim patroli, seperti tenda, matras, peralatan memasak, logistik untuk tujuh hari dan masih banyak lagi lainnya.  Setiap perjalanan ke alam bebas, saya sering membawa dua ransel, satu ransel besar untuk dibawa dipunggung dan satu ransel kecil dibawa didepan untuk tempat kamera, mobile phone, botol minum, headlamp dan peralatan penting lainnya yang digunakan sepanjang perjalanan.

Keberangkatan Patroli CRU kali ini dari Camp PLG Seblat memang terlambat dari biasanya, yakni pukul 13.40 WIB.  Karena adanya keterbatasan waktu kesempatan belanja logistik untuk dibawa ke hutan baru bisa dilakukan pagi harinya, tak seperti biasanya bila berangkat pagi hari. Selain itu juga banyak personil  CRU yang jatuh sakit sepulang mitigasi konflik harimau di lokasi lainnya membuat keberangkatan patroli tertunda.   Langit tampak mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, tapi itu tidak menyurutkan niat kami untuk berangkat patroli. Patroli rutin ini biasanya dilakukan selama 7 (tujuh) hari dan sebulan dua kali dengan cara flying camp menuju lokasi-lokasi yang telah menjadi target untuk dicari datanya. Target ditentukan berdasarkan informasi yang  diperoleh dari intelejen kami. Dalam patroli juga menyertakan gajah jinak, pada kesempatan ini kami membawa gajah Fatma, Tria, Darmi, Roby dan Ninda. Dana patroli diperoleh dari pihak ketiga (mitra), sebagai penyandang dana tunggal adalah International Elephant Foundation (IEF) yang telah membantu patroli CRU di PLG Seblat sejak tahun 2004. Tim CRU anggotanya terdiri dari Polisi Kehutanan, Mahout (Pawang Gajah) dan masyarakat yang tinggal di desa sekitar kawasan yang terseleksi.

Elephant Patrol - CRU Team - Seblat ECC

Pada kesempatan ini saya mengikuti Tim Patroli CRU karena ada beberapa target penting dalam patroli yang akan kami investigasi.  Berangkat bersama Polisi Kehutanan, dan lima orang mahout (pawang gajah) serta seorang petugas dari Resort KSDA Enggano yang sedang melakukan studi banding tentang patroli hutan di TWA Seblat. Saya perempuan sendiri dalam Tim ini, tapi itu bukanlah masalah karena selama ini juga sudah terbiasa bekerja dengan laki-laki dan menjadi perempuan sendiri dalam tim di banyak tempat. Sebenarnya masih ada beberapa orang yang ingin kami sertakan dalam patroli ini tetapi karena waktunya bersamaan dengan adanya kepentingan lain dan Human-Tiger Conflict di kecamatan lain, sehingga kami berbagi tugas, ada yang patroli kawasan dan ada yang bertugas untuk mitigasi konflik harimau, karena semua sama-sama penting untuk dilakukan.

Untuk camp pertama tujuan kami adalah Air Cawang.  Dalam perjalanan yang sudah tidak asing lagi bagiku karena sudah terbiasa melewati jalur trekking tersebut untuk mengobati gajah liar maupun gajah jinak, kami harus menyeberangi Sungai Seblat yang sedang banjir, untung ada gajah yang bisa dengan mudah membantu untuk menyeberangi sungai besar itu. Sebelum berangkat tas dan perlengkapan kami sudah dilapisi oleh plastik (karena kami memang tidak memiliki dry bag), sehingga tak perlu khawatir baju dan peralatan basah karena melewati sungai yang dalam. Dalam perjalanan kami juga menemukan bekas pondok pemburu burung dan sampah baterei yang ditinggal begitu saja dalam hutan.  Tidak membuang sampah di sembarang tempat memang belum menjadi budaya masyarakat, dimana-mana sering dijumpai orang membuang sampah sesukanya, kenyataan seperti itu sungguh mengecewakan. 

Elephant Roby and Ranger
Selama perjalanan kami diguyur hujan, yang membuat baju basah kuyup.  Tetapi itu tidak membuat gajah-gajah mempercepat jalannya, masih sering berhenti untuk mencari makan sepanjang jalan yang dilalui.  Hutan kearah camp Air Cawang memang terdapat makanan gajah yang melimpah.  Bisa dimaklumi jika gajah sering berhenti untuk makan, selain juga karena pencernaannya yang kurang sempurna, hanya 50% makanan yang dimakan diserap tubuh dan sisanya terbuang lagi bersama feces.  Dan tubuhnya yang besar juga membutuhkan banyak makanan, yakni sekitar 7-10% berat badannya, dan rata-rata berat badannya sekitar 2 ton.  Untuk itu sekitar 18 jam sehari waktu yang dibutuhkannya untuk mencari makanan untuk memenuhi kebutuhannya. Lokasi tersebut juga merupakan daerah jelajah bagi gajah liar, mungkin karena variasi pakan alami gajah yang melimpah disana.  Seringkali kami jumpai kelompok gajah liar baik secara langsung maupun melalui jejaknya di lokasi tersebut.



Sampai di camp Air Cawang sudah sore, kami langsung bergotong-royong mendirikan tenda yang terbuat dari terpal, mencari kayu bakar untuk membuat perapian / api unggun dan mulai memasak. Semua anggota Tim CRU sudah cekatan untuk urusan ini, karena mereka telah terlatih dan terbiasa selama lebih dari 8 tahun melakukan patroli seperti ini.  Hari itu kami memasak sambal goreng tempe dan telur serta nasi liwet.  Makanan apapun akan terasa nikmat bila dimakan di dalam hutan dengan suasana alami dan penuh kebersamaan.

Setelah makan malam kami berdiskusi (ngobrol) bersama di dalam tenda karena belum ada keinginan untuk beristirahat dan tidur cepat.  Membahas banyak hal, yang berhubungan dengan konservasi tentunya, topik yang menarik untuk dibicarakan seperti ancaman terhadap kawasan hutan habitat gajah, ancaman terhadap gajah itu sendiri serta segala kebijakan pemerintah yang mengatur tentang konservasi dan issue-issue yang berkembang saat ini sehubungan dengan konservasi.  Dan topik yang tentunya menarik adalah yang  berhubungan dengan kawasan hutan di PLG Seblat beserta isinya.  Saya beruntung masih memiliki kawan kerja yang berwawasan luas/ tidak berpandangan sempit serta bersikap kritis dalam menyikapi segala permasalahan yang terjadi, dan yang lebih membahagiakan lagi mereka masih punya kesadaran konservasi yang tinggi, ini yang patut saya acungi jempol.  Bahagia rasanya masih punya kawan kerja di lapangan yang sepemikiran dan pro konservasi disaat saya saat ini kesulitan mencari orang yang bisa dipercaya dalam berpikir, bersikap dan bertindak sebagai seorang yang benar-benar peduli dengan konservasi secara nyata.  Selama ini yang saya temui yang hanya pintar berbicara tetapi tidak ada tindakannya yang nyata (talk only no action)

Air Cawang - Padang Alang Alang
Malam makin larut, akhirnya mengantuk juga. Saya mengambil posisi tidur ditengah.  Biasanya tempat favorit saya mengampil lokasi dipinggir tenda,  tetapi bagian tersebut sudah diincar kawan-kawan, ternyata saya malah beruntung karena kawan yang tidur di bagian pinggir basah kuyup.  Tak terdengar lagi suara binatang malam, yang terdengar suara hujan deras yang tak kunjung reda. Air Cawang adalah salah satu lokasi camping favorit saya selain Senaba Alang Alang.  Disini, tempat camp kami dikelilingi oleh sungai yang jernih dan dangkal, dasarnya bebatuan.  Bisa untuk memancing dan kadang pada malam hari cocok untuk mencari udang sungai, biasanya terlihat diatas batu di dasar sungai. Selain hutan dengan pohon-pohon besar, juga terdapat padang alang-alang meskipun tak seluas yang ada di Senaba Alang Alang.  Alang-Alang tersebut tumbuh di lokasi bekas explorasi bataubara PT. Inmas Abadi beberapa tahun yang lalu, yang telah ditutup.  Pemandangannya lumayan indah.  Juga merupakan feeding site bagi gajah liar, banyak makanan gajah disini, mungkin malam ini gajah kami Fatma, Tria, Darmi, Roby dan Ninda sedang menikmati makan malamnya yang melimpah sambil berhujan-hujanan, hal yang paling disukai oleh gajah. Lokasi ini juga merupakan home range harimau sumatera.  Tak jauh dari camp, merupakan tempat yang ideal untuk bird watching khususnya burung hornbill, ada 6 (enam) jenis burung horbill yang telah teridentifikasi di hutan TWA Seblat dan sekitarnya.  Disini juga merupakan habitat bunga Rafflesia sp, yang merupakan icon Bengkulu. Namun sayangnya, kawasan hutan yang masih bagus ini dan merupakan habitat dari flora fauna langka di Bengkulu telah dialihfungsikan oleh Kementerian Kehutanan menjadi HPK atau Hutan Produksi yang bisa dikonversi dan telah diincar oleh beberapa perusahaan tambang batubara untuk dieksplorasi.  Tempat ini juga sering dipakai dan menjadi tempat favorit  wisatawan asing untuk menginap dengan mengambil paket 2-3 hari wisata trekking gajah dan camping, selain Senaba Alang Alang tentunya yang lebih sering dipakai untuk ecotourism.  Di tempat ini juga masih terjangkau signal telkomsel, jadi kami masih bisa berkomunikasi melalui mobile phone dan masih bisa menggunakan internet.  Entah sudah berapa kali saya camping disini, tidak hanya saat berpatroli bersama CRU dari tahun 2004 tetapi juga membawa teman-teman saya dari negara lain untuk camping disini menikmati keindahan hutan hujan tropis sumatera dan wild animal watching di PLG Seblat.


The Second Day, Wednesday on February 6th. 2013
Memasak air secara
tradisional di hutan
Illegal Logging di kawasan HPK
Pukul 05.00 WIB seorang teman sudah bangun dan membuat api unggun untuk memasak air.  Pagi-pagi kebiasaan kawan laki-laki adalah minum kopi dan teh.  Hari ini kami akan berpatroli dari Air Cawang menuju Air Tenang (PAL 18), melalui jalan setapak baru yang belum pernah kulewati sebelumnya, menelusuri kawasan HPK, sepanjang jalan kami menemukan bekas aktivitas illegal logging yang telah ditebang maupun yang telah dipersiapkan untuk ditebang.  Kami juga menemukan bekas pondok para pelaku illegal logging (pembalak liar).  Pada saat akan memotret bekas-bekas illegal logging, dua orang kawan kami disengat lebah (tawon), mereka menunggu kami melintas tempat sarang tersebut dan ingin menyaksikan kami jadi korban berikutnya.  Untunglah seorang teman memberikan informasi bahwa ada sarang lebah di kayu melintang yang akan kami lewati, akhirnya kamipun luput dari serangan lebah dan jebakan kawan-kawan yang usil dan memilih jalan memutar agar terhindar dari sengatan lebah.

Sungai Air Tenang
Batas kawasan TWA Seblat dan HPK
Baru pertama kali saya camping di Air Tenang PAL 18, ternyata tempatnya lumayan menarik.  Lokasi tenda dikelilingi oleh sungai jernih dengan dasar bebatuan yang besar-besar dan dikelilingi oleh hutan lebat, sungai disini lebih menarik dibanding sungai di Air Cawang. Merupakan lokasi yang ideal untuk mancing dan camping.  Sungai Air Tenang ini membelah kawasan hutan TWA Seblat dan HPK yakni dulunya adalah kawasan PLG Seblat yang telah dialihfungsikan.  Suatu saat saya ingin membawa turis dan kawan-kawan saya untuk camping disini. Kami segera mendirikan tenda dan membuat api unggun untuk memasak, dan beberapa kawan memancing di sungai untuk makan malam kami.  Saya menyebut mereka Tim Berang-Berang yang punya keahlian dalam mencari ikan di sungai :)  Malam itu langit cerah, tidak ada hujan. Disekitar camp kami banyak tanaman hias yang menarik, dan disana saya juga telah menanam bunga itu di depan lokasi camping, sebagai tanda bahwa saya pernah menginap disana untuk pertama kalinya. Di tempat ini saya juga menemukan cacing yang bentuknya unik dan belum pernah kulihat sebelumnya, mirip seperti kawat, pergerakannya kaku seperti kawat.  Entah cacing apa namanya.  


Cacing yang unik di Air Tenang PAL 18


The Third Day, Thursday on February 7th. 2013
Perambahan Air Kuro
yang terorganisir
di HPT Lebong Kandis
Dari camp Air Tenang kami berpatroli kearah perbatasan kawasan TWA Seblat dan Perkebunan Sawit PT. Alno Agro Utama group dan areal perambahan di HPT Lebong Kandis. Dalam perjalanan menemukan jejak harimau sumatera dewasa yang sepertinya baru saja lewat, mungkin saat gajah Roby berteriak pagi tadi, harimau tersebut lewat, tak jauh dari tenda kami. Camp di Air Kuro, terdapat sungai kecil disana, airnya cukup jernih dan banyak bebatuan.  Pemandangan disana tidak menarik, karena depan tenda kami bekas hutan yang telah dibabat habis dan dirambah meski masih ada beberapa pohon besar  saja yang siap tebang, bagian belakang kami ada sisa sedikit hutan dan tak jauh dari situ ada perkebunan sawit skala besar milik perusahaan modal asing (PMA).  Disamping lokasi kami tampak areal perambahan dan pondok-pondok perambah Air Kuro yang berlokasi di Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis.  Ada sekitar lebih dari 400 perambah disana yang sudah mulai membabat hutan sejak akhir tahun 2004.  Perambahan ini terorganisir dan dibiarkan tanpa ada tindakan tegas dari pihak berwenang serta difasilitasi oleh salah satu kepala desa di sekitar kawasan PLG Seblat, bahkan beberapa oknum saat ini menyarankan mereka (perambah) untuk membuka hutan lebih luas lagi, per orang seluas dua hektar, itu yang mereka ceritakan pada kami. Ya beginilah kehidupan, selalu ada hitam ada putih, disaat kami bertahun-tahun dengan segala keterbatasan berusaha menyelamatkan hutan ini beserta isinya, dipihak lain para oknum berseragam melakukan tindakan yang mendukung pengerusakan hutan ini.

Pada tahun 2004 saya pernah berpatroli disini bersama CRU dan kondisinya masih berhutan, dan tidak ada perambahan.  Hutan tersebut merupakan jalur jelajah dan hutan koridor bagi satwa liar dari kawasan PLG Seblat menuju Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan sebaliknya.  Sekarang yang tampak sejauh mata memandang, tidak ada lagi hutan, yang ada hanyalah pondok-pondok perambah dan kebunnya.  Maka tidak heran lagi bila daerah ini rawan konflik dengan satwa liar, yakni kelompok gajah liar sering merusak kebun dan pondok mereka serta perkebunan sawit perusahaan, karena memang dulunya hutan tersebut jalur jelajah gajah liar untuk mencari makan.  Dan gajah selalu kembali melewati jalur jelajahnya semula meskipun sudah berubah fungsi, tetapi manusia yang  katanya makhluk paling mulia dan berakal seringkali mengabaikan perilaku alami satwa liar tersebut dalam membuat tata ruang untuk pengembangan pembangunan dibidang ekonomi dengan AMDAL yang tidak jelas.  Dalam kasus human-elephant conflict tidak hanya manusia yang dirugikan tetapi kadangkala gajah dibunuh dengan diracun di daerah konflik.  Pada bulan Februari s/d Maret 2011 kami telah menemukan 7 ekor bangkai gajah liar yang diduga mati karena keracunan di sepanjang jalur jelajahnya tersebut, dan saya menduga lebih dari itu.  Dan pada akhirnya tanggal 7 April 2011 kami menemukan seekor bayi gajah bernama Bona yang telah kehilangan induk dan kelompoknya, sendirian di perkebunan sawit sebuah perusahaan dalam usianya yang masih bayi, dia sudah harus bertahan hidup sendirian.  Dan ini bukan untuk pertama kalinya Tim CRU me-rescue (menyelamatkan) bayi gajah di Bengkulu.  Alangkah kejamnya kehidupan ini.  Jadi muncul pertanyaan saat itu, apakah anggota keluarganya yang telah mati tersebut ?  

Menurut informasi warga yang tinggal di lokasi perambahan tersebut bahwa gajah liar sering masuk dan mendatangi pondok mereka hampir tiap 2 minggu sekali.  Begitu juga yang dikatakan oleh petugas perkebunan yang mengawasi gajah liar di perbatasan kawasan, hampir setiap 2 minggu sekali kelompok gajah liar melewati daerah disekitar sana.  Memang, disekitar tenda kami juga menemukan bekas gajah liar melintas.  Sekarang saya mulai memahami jalur jelajah yang selalu dilewati oleh gajah liar di sekitar sana, yakni TWA Seblat - HPK - Perambahan Air Kuro - Perkebunan Sawit PT. Alno group - Jalan Poros dalam kawasan TWA Seblat yang dipakai oleh PT. Alno dan perambah Air Kuro - dan terus menuju ke kawasan hutan di Kabupaten Muko Muko dan masuk kembali ke TWA Seblat dan begitu seterusnya, karena jalur jelajah gajah selalu tetap.  Dan daerah-daerah yang dilintasi tersebut bila ada aktivitas manusia maka akan terus-menerus terjadi konflik dengan gajah.  Kelompok gajah melakukan perjalanan seperti itu dengan modal navigasi dan daya ingat yang cukup baik dan dalam setiap kelompok dipimpin oleh seekor gajah betina yang dianggap kelompoknya mempunyai kemampuan lebih dibanding lainnya.  Mereka melakukan menjelajah tidak hanya untuk mencari makanan di tempat-tempat yang telah mereka petakan dalam memory-nya, tetapi juga untuk mencari sumber air dan mineral terutama garam-garaman.  Kebetulan tim patroli CRU juga telah menemukan sumber air yang diduga banyak mengandung mineral disekitar sana, karena berbagai jenis satwa liar tidak hanya mammalia besar, primata bahkan burung-burung sering mendatangi tempat tersebut.  Tempat itu kami rahasiakan :)

Perbatasan Hutan TWA Seblat dengan HPT Lebong Kandis
Dalam perjalanan kami juga menemukan jaring yang dibentang melintang di jalan setapak untuk berburu burung yang dipasang oleh pemburu.  Akhirnya kami bongkar dan membakarnya agar tidak digunakan lagi.  Tampak ada seekor burung yang telah lama terperangkap dalam jaring tersebut dan tidak bisa melepaskan diri hingga akhirnya mati.  Pukul 16.00 WIB terdengar suara chainsaw, setelah melihat posisi koordinat tenda kami dan melihat di peta yang ada dalam GPS, lokasi suara tersebut berada dalam kawasan.  Daerah perbatasan dengan perkebunan dan perambahan itu memang rawan sebagai jalan masuknya para pelaku illegal dalam kawasan, tidak hanya logging tetapi juga perburuan dan survey batubara illegal karena ada akses jalan besar menuju kesini.  Kawasan hutan ini memang telah diminati oleh banyak perusahaan batubara, itu berdasarkan pengakuan salah seorang pengusaha batubara dari India,  mereka tersus berusaha untuk mendapatkan perijinan agar bisa explorasi batubara dalam hutan tersebut.  Beberapa tahun yang lalu kami, Tim CRU juga pernah melakukan pengintaian dan penangkapan pelaku survey batubara illegal yang melakukan pengeboran di dalam kawasan PLG Seblat, saya beserta 5 (lima) orang polisi kehutanan menggerebek dan menangkap mereka yang sedang melakukan aktivitas di dalam kawasan tanpa ijin.  Semua peralatan kami sita dan pelaku kami serahkan pada pihak berwajib untuk ditindaklanjuti.  Sangat menyenangkan punya pengalaman beragam, tidak hanya dibidang medis saja tetapi juga penegakan hukum, meskipun sangat melelahkan harus berjalan jauh tetapi cukup menyenangkan, seperti serasa di film-film action saat menangkap pelaku di dalam hutan, pelaku cukup banyak dan kami hanya 7 orang, tetapi semuanya bersenjata, dan semua berjalan baik seperti rencana. 

Sore itu sampai pagi hujan kembali.  Suara chainsaw tiba-tiba berhenti saat hujan makin lebat dan tak terdengar lagi.  Suara sungai kecil disamping tenda kami juga terasa deras airnya, mungkin banjir. Saya memilih untuk tetap berada di dalam tenda saat hujan deras.  Kondisi saya hari itu kurang sehat, siang harinya saat patroli sangat panas karena melewati daerah perambahan yang tak berhutan lagi, tiba-tiba kepala saya pusing dan seperti mau vomit (muntah) dan tidak ada selera untuk makan, saya hanya minum susu coklat hangat saja hari itu.  Makin malam semakin terasa sakit, setelah membantu memasak sebentar akhirnya saya minum obat dan langsung tidur.  Saat terbangun sudah sehat kembali.  Malam itu terbangun saat ada perubahan posisi tidur karena tenda kami tidak cukup untuk 8 orang sehingga mengatur posisi kembali agar kita semua mendapat tempat untuk tidur.  Terbangun kembali karena salah satu kawan tempat tidurnya (matras) basah karena berada di genangan air.  Jadi ingat yang terjadi sebelumnya, sepertinya pamali bagi orang yang memilih lokasi untuk tidur lebih dulu, karena akan sial.  Sebelumnya kawan kami yang memilih tempat tidur lebih dulu juga akhirnya pindah tidur karena basah kuyup, juga diserang agas dan malam ini seorang kawan lainnya juga basah matrasnya karena memilih tempat tidur lebih dulu.  Dan kami yang tidak memilih tempat bisa tidur lebih nyaman :)


The Fourth Day, Friday on February 8th. 2013
Leeches on my foot
Saya beserta 6 orang lainnya berencana patroli dengan berjalan kaki hari itu menyusuri jalan yang biasa digunakan oleh para pelaku aktivitas illegal di dalam kawasan, baik untuk survey tambang batubara tanpa ijin, illegal logging dan perburuan liar, sedangkan yang dua orang stand by di tenda. Kami menuju pondok perambah di HPT Lebong Kandis untuk berbicara dengan mereka, kemudian melanjutkan perjalanan ke arah kawasan PLG Seblat dan HPK dengan memeriksa sekitar jalan tersebut, mulai pukul 09.21 WIB sampai dengan sekitar pukul 15.00 WIB, kami beristirahat di Air Tenang. Sepanjang perjalanan banyak pacet menggigit kakiku, ada sekitar 30 ekor pacet yang kubiarkan menggigit kedua kakiku hingga berdarah di beberapa tempat. Dulunya saya sangat jijik dengan pacet bahkan saat digigit tidak berani membuangnya sendiri dan minta bantuan kawan untuk mengambilnya, tetapi karena pernah melakukan perjalanan di hutan di Provinsi Jambi di sekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) saat mengobati orangutan dan mencari orangutan, ternyata pacet yang menggigitku sangat banyak dari kaki hingga kepala dan malu untuk minta tolong orang untuk membuangnya, akhirnya saya ambil dan buang sendiri, lama-lama akhirnya tidak jijik lagi. Terapi  psikologi yang cukup manjur :)

Sunbear's footprint
Selama trekking banyak menemukan jejak, feces, bekas tempat tidur dan tempat melintas gajah liar, selain itu juga menemukan jejak beruang madu dan bekas cakaran di pohon serta jejak landak dan feces musang.  Dan sepanjang perjalanan juga diiringi life music suara siamang yang bersaut-sautan, suara burung kuaw dan suara burung rangkong.  Saya sangat menyukai suara burung rangkong meskipun kesannya menyeramkan, mirip suara orang tertawa terbahak-bahak 'hwahahaha...' di dalam hutan yang sunyi. Mendekati lokasi target banyak resam, dan saya paling benci berjalan melewati resam (tanaman pakis) karena batangnya yang menjalar seringkali membuat kaki tersangkut dan pandangan mata tidak bebas memeriksa sekeliling, karena tinggi resam sekitar 2 meteran. 

Malam itu kami tetap menginap di tempat yang sama ditemani hujan.  Sorenya kami kedatangan tamu, yakni petugas perkebunan yang menjaga gangguan gajah liar.  Saat saya bertanya tentang konflik gajah dan harimau, dia mengatakan bahwa terakhir gajah melewati lokasi ini dua hari yang lalu sebanyak 6 ekor dan memakan tanaman karet perambah.  Untuk harimau belum pernah ada konflik disekitar sana, tetapi saya berpikiran lain atau mungkin harimau yang beberapa tahun yang lalu sering melintas disana telah terbunuh oleh pemburu  liar sehingga tidak tampak harimau lagi disekitar sana.  Sebelum hutan dibuka oleh perambah, kami juga masih menemukan jejak-jejak harimau selain gajah dan beruang madu disana.


The Fifth Day, Saturday on February 9th. 2013
Pagi itu sebelum melanjutkan perjalanan patroli di depan tenda kami ada pemandangan yang menarik, keluarga siamang, seekor induk jantan dan betina beserta dua anaknya sedang makan di pohon depan kami. Tertarik saya untuk mendekati dan memotretnya. Primata itu salah satu daya tarik yang membuat saya hijrah ke Sumatera selain gajah, orangutan dan harimau dan meninggalkan satwa liar di Jawa.

Memasak Sayuran Pakis
dengan cara tradisional
selama di hutan
Berangkat dari camp Air Kuro pukul 09.00 WIB menuju camp Air Tenang.  Sepanjang perjalanan terdengar  lagi suara siamang, burung Kuaw dan burung Rangkong, menunjukan bahwa saya benar-benar sedang berada dalam hutan belantara.  Di lokasi camping yang ini kami bisa memanfaatkan apa saja yang ada di hutan untuk survival.  Tersedia sayuran di alam, ada pakis dan genjer yang bisa dimasak.  Juga banyak lokasi untuk memancing di sungai.  Camp Air Tenang yang ini terletak dipinggir sungai besar tetapi kurang menarik karena tidak semua dasar sungai berbatu tetapi lumpur dan pasir,sehingga air sungai tampak tidak jernih.  

Sore harinya, sekitar pukul 16.33 saya sudah bisa bersantai dan melanjutkan menulis diary 'catatan perjalanan'.  Malam itu kembali kami tidur ditemani oleh hujan.


The Sixth Day, Sunday on February 10th. 2013
Bees - Lebah Hitam
Pagi harinya kami mulai tak nyaman dengan adanya pasukan lebah yang mulai menuju lokasi tenda kami.  Dari kejauhan memang tampak sarang-sarang lebah di pohon yang tinggi, jauh dari camp kami.  Semakin lama lebah tersebut semakin banyak disekitar kami.  Di pohon besar dekat tenda kami juga tampak ada sarang lebah hitam yang sebelumnya tidak kami ketahui.  Lebah hitam sengatannya lebih menyakitkan dibanding lebah madu, meski ukuran tubuhnya jauh lebih kecil.  Lebah tidak hanya hinggap dimakanan saja tetapi juga didalam tenda dan hinggap di badan kami. Untuk mengamankan badanku dari sengatan lebah saya memakai sarung hingga muka saja yang terlihat.  Saya sangat menghindari sengatan lebah, karena saya sangat alergi dengan lebah, apapun jenisnya.  Bila disengat lebah, tidak hanya bengkak dan gatal saja, tetapi berefek lebih serius dibanding yang dialami orang lain.  Sebelumnya saya sudah punya pengalaman disengat lebah madu di depan camp PLG Seblat saat sarangnya dirusak oleh burung elang, dan akhirnya lebah menyengat saya saat melewati lokasi sarang tersebut dan kawan-kawan lainnya berhasil kabur kearah sungai untuk menyelamatkan diri.  Padahal tidak banyak sengatan, hanya sekitar 17 saja.  Tapi apa yang terjadi, saya langsung terjatuh dan tak bertenaga lagi, kesulitan bernafas dan jantung berdetak kencang seperti minum obat overdosis dan keracunan obat saja. Diobati dengan obat-obatan kimiawi tidak membuat kondisi saya lebih baik, baru diberi ramuan tanaman yang berasal dari hutan baru saya bisa menggerakan jari-jari tangan, kaki dan bisa duduk.  Dan setelah itu saya juga pernah disengat seekor lebah tanah di dalam hutan yang membuat saya demam tinggi dan terkapar.  Itu sebabnya kenapa saya sangat takut dengan sengatan lebah.  

Sebelumnya kami telah mencoba mengatasi Human-Bees Conflict (serangan lebah) di tenda kami dengan pengasapan, berharap lebah-lebah tersebut akan pergi, ternyata upaya mitigasi konflik tersebut juga kurang berhasil. Akhirnya kami mengalah dan memutuskan untuk pindah lokasi camping siang itu.

Sunset - Air Seblat / Seblat River


Makanan selama di hutan
yang berasal dari hutan
Dari Air Tenang pindah lokasi menuju pinggir Sungai Seblat yang  juga merupakan jalan keluar masuknya aktifitas illegal  logging di dalam kawasan dan agar kami bisa patroli untuk mengawasi pengeluaran kayu melalui Sungai Seblat. Saya belum pernah camping di lokasi ini sebelumnya.  Pemandangannya cukup indah, tenda kami langsung menghadap Sungai Seblat dan menghadap kearah matahari terbenam (sunset).  Sore hari, langit sungguh indah, warna air sungai dan langit berubah menjadi merah-orange pengaruh sinar matahari yang terbenam.  Sore itu kami bersantai dipinggir sungai sambil minum kopi dan teh, kawan lainnya memancing di dekat kami, sekedar untuk menghilangkan penat dan rasa capek setelah patroli hari itu. Makan malam kami sangat istimewa, semua berasal dari alam, ikan hasil memancing dan sayuran genjer hasil panen dari kebun di hutan. Semua terasa nikmat, makan seadanya di tempat yang indah dengan penuh rasa kebersamaan.


The Seventh Day, Monday on February 11th. 2013
Esok harinya kami berpatroli menyusuri Sungai Seblat menuju camp PLG Seblat.  Tak ada pengeluaran kayu hasil illegal logging yang kami temui.  Tetapi setelah patroli selesai baru nampak pelaku illegal logging menghanyutkan kayunya di Sungai Seblat.  Mereka menunggu waktu yang tepat dan aman dari petugas.

Dan selesai patroli hutan, saya secara pribadi langsung membuat meeting dengan PT. Agricinal dan Elephant Care Community untuk mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk bersama-sama membuat kegiatan yang bermanfaat bagi konservasi yang dilakukan di luar kawasan konservasi, karena bila didalam kawasan konservasi urusan birokrasinya sangat ribet meskipun kegiatan yang dilakukan sangat mendukung kegiatan konservasi.  Dalam bekerja untuk konservasi memang dibutuhkan ide-ide kreatif jika ingin berkembang.  Dan saya sangat bersyukur punya banyak kawan yang seide, sepemikiran dan selalu antusias  untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak dan lingkungan secara nyata dan bukan sebatas wacana dan konsep-konsep belaka tanpa ada realitanya atau direalisasikan tetapi tidak tepat sasaran dan tanpa target yang jelas.

Sungai Seblat
Saat kembali ke camp PLG Seblat hari sudah gelap, malam itu Sungai Seblat sedang banjir, bahkan koral dipinggir sungaipun tak nampak lagi.  Kawan saya bilang, bahwa masih memungkinkan untuk menyebrang dengan perahu dayung.  Saat kawan saya sedang mencari dayung, saya memegangi perahu di pinggir sungai agar tidak hanyut, terasa sekali bahwa arus sungai sangat deras karena saya harus memegangi ujung perahu dengan kuat. Agak merasa cemas saat lampu senter saya menangkap gelondongan kayu  ukuran besar hanyut di sungai. Beberapa pertanyaan muncul dibenakku, apakah nanti saya aman menyeberang? Apakah bila kami hanyut dan tenggelam ada orang yang menolong? Sungai sedang banjir tinggi, hujan gerimis dan tak satupun orang ada didekat sungai itu. Bila perahu kami tertabrak kayu sebesar itu pasti terbalik.  Kemudian kawan saya muncul kembali dengan membawa dua dayung.  Saya cek sungai dengan senter dengan keterbatasan jangkauan jarak pandang, sepertinya tidak tampak ada gelondongan kayu lewat, akhirnya kami menyeberang, memang hanyut terbawa arus juga tetapi tidak jauh.  Kami mendarat tepat di depan gajah Natasya yang saat itu ada di dekat sungai.  Melalui pinggir sungai kami berusaha mendayung perahu maju kedepan lagi ke tempat biasa kami parkir perahu, ternyata arus sungai sangat deras, kami tidak menyadari bahwa sungai sedang banjir tinggi, perahu kami tidak bergerak maju, bahkan hampir berbalik arah hanyut mengikuti arus, kami telah mencoba berulang kali tetapi tetap tidak berhasil, sampai terasa kehabisan tenaga.  Akhirnya diputuskan perahu kami ikat di lokasi tersebut dan kami agak jauh berjalan menuju camp PLG Seblat.  

Hidup di dalam hutan memang musti banyak ketrampilan dan mandiri untuk menyiasati kondisi lingkungan dimana kita tinggal.  Serta bekerja keras dan tidak mudah menyerah dengan kerasnya tantangan di alam. Sejak pertama kali datang ke tempat ini saya sudah jatuh cinta dengan tempat ini, karena semua hobby saya bisa tersalurkan, mendayung perahu untuk menyeberangi sungai, trekking di hutan, dan bisa dekat dengan satwa liar di habitatnya memang merupakan cita-cita saya sejak dulu, serta bisa mendokumentasikan tempat-tempat yang indah. Kehidupan seperti itu sayang sekali kalau dilewatkan dan sayang bila tidak dinikmati.  Because.....Life is an adventure.