Jumat, 07 Oktober 2016

Peredaran Burung : Konflik Kepentingan antara Upaya Konservasi dan Bisnis


Pycnonotus sp di TWA Seblat. Photo : Erni Suyanti Musabine


BURUNG merupakan satwa liar yang paling mudah dijumpai di sekitar kita, namun satwa liar golongan ini juga paling banyak diburu untuk keperluan bisnis perdagangan satwa liar guna memenuhi permintaan sebagai hewan peliharaan/ koleksi di berbagai daerah, juga sering digunakan untuk kompetisi burung berkicau. Memang mereka hidup di habitat yang bervariasi, tidak hanya di lingkungan sekitar rumah, tapi juga di hutan pantai, dataran rendah sampai tinggi. Tidak hanya di jumpai di pemukiman, namun juga di ladang, perkebunan dan areal yang berhutan. Sebagian besar jenis burung yang ditangkap memang belum dilindungi oleh Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, namun penangkapannya telah ditetapkan kuotanya untuk beberapa spesies burung. Di Bengkulu untuk burung berkicau jenis tertentu batas maksimal yang boleh ditangkap hanya 20 ekor saja.

TWA Seblat. Photo: Erni Suyanti Musabine
Bisnis burung berkicau makin hari makin marak, diikuti oleh permintaan yang besar sehingga mendorong tingginya kasus perburuan liar dan perdagangan baik yang legal maupun illegal. Ratusan burung liar per minggu dikirimkan secara illegal dari Provinsi Bengkulu ke penampung kedua di Lampung, kemudian baru  diseberangkan ke Pulau Jawa untuk memenuhi permintaan pasar disana. Perbulan burung yang ditangkap untuk perdagangan tersebut bisa mencapai satu juta bahkan lebih. Mereka menggunakan mobil pribadi tertutup untuk menghindari petugas. Peredaran burung berkicau yang legal (melalui perijinan) dibawa menggunakan maskapai penerbangan.

Peredaran satwa liar terutama burung bisa dilakukan secara legal / diberi ijin oleh management authority setempat bila berasal dari penangkaran atau juga tidak melebihi kuota yang telah ditetapkan untuk penangkapan dari alam. Namun orang yang bekerja dalam bisnis jual beli burung, penangkaran tidak dapat memberikan keuntungan cepat bagi mereka, kenapa ? Karena burung hasil penangkaran yang diperjualbelikan harus jelas penandaan individunya dan jalur keturunannya, serta yang pasti harus memiliki surat ijin penangkaran terlebih dulu yang dikeluarkan oleh BKSDA setempat.

Akhirnya saat ini ada modus baru mengenai peredaran burung yang legal, yakni sebagai souvenir. Peredaran burung berkicau diberi kemudahan untuk diberi ijin dibawa antar daerah di Indonesia hanya dengan persyaratan maksimal 2 ekor (2 pasang) per orang dengan tujuan sebagai souvenir. Saya sendiri baru tahu mengapa satwa liar bisa digolongkan sebagai souvenir, apakah ini untuk memberi peluang bagi para pemburu burung dan pedagang burung hasil tangkapan dari alam dengan cara legal ? Karena asal - usul burung tersebut tidak pernah dipermasalahkan/ diperiksa.

Pycnonotus aurigaster. Photo : Erni Suyanti Musabine
Melihat hampir tiap hari orang dari berbagai daerah berdatangan untuk mengurus surat ijin peredaran burung berkicau, mendorong saya ingin tahu berapa banyak SATDS-DN (Surat Ijin Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri) diterbitkan dalam satu bulan untuk peredaran burung berkicau. Ternyata jumlahnya cukup mengagetkanku, yakni antara 20 hingga 40 surat ijin angkut per bulan. Bila setiap proses pengiriman burung adalah satu pasang per surat ijin maka burung berkicau yang dikeluarkan dari Bengkulu adalah sekitar 40 - 80 ekor per bulan. Ini artinya dalam satu tahun ada sekitar 480 - 960 ekor burung yang diedarkan dari Bengkulu keluar daerah. Dari jumlah tersebut sebagian besar burung berkicau berasal dari Bengkulu, hanya sebagain kecil saja merupakan burung eksotik. Bila burung-burung tersebut berasal dari perdagangan di pasar burung dan dari penampungan kemungkinkan besar merupakan tangkapan dari alam. Sedangkan kuota tangkap untuk burung berkicau jenis tertentu hanya 20 ekor.

Sebagai praktisi konservasi tentu hal ini mengkhawatirkan karena di alam burung memiliki fungsi ekologi, sebagai penyebar biji-bijian sehingga ada penyebaran tumbuhan yang bervariasi, punya peran dalam mengontrol ulat dan serangga lainnya agar populasinya tidak berlebihan, membantu penyerbukan dan banyak fungsi penting lainnya dalam ekosistem. Kontrol populasi tetap harus dilakukan, yakni kuota tangkap yang sudah ditetapkan itu penting artinya dan penting untuk dijadikan acuan bagi pelayanan jasa pada masyarakat yang berbisnis burung berkicau, agar burung liar yang belum dilindungi UU tersebut tidak mengalami penurunan populasi yang drastis karena perburuan yang terjadi terus-menerus untuk memenuhi permintaan konsumen. Pemanfaatan Sumber Daya Alam terutama satwa liar yang berlebihan tentu akan berdampak jangka panjang bila tidak disertai kontrol yang ketat dalam eksploitasinya. Berharap para petugas terkait tidak hanya melakukan pelayanan yang baik tentang perijinan peredaran satwa liar pada masyarakat  yang membutuhkan, dan meningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari perijinan yang dikeluarkan, namun juga sebagai kontrol peredaran satwa burung terutama yang berasal dari perburuan liar dengan mengacu pada kuota tangkap yang telah ditetapkan. 

Sabtu, 01 Oktober 2016

Idealisme vs Kepentingan : Ancaman terhadap Upaya Konservasi Insitu


Sejak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mendorong pejabat dibawahnya melakukan penertiban peredaran satwa liar baik dari perdagangan maupun pemeliharaan illegal di masyarakat, sejak saat itulah para pejabat di tingkat provinsi (Unit Pelaksana Teknis KLHK) memberikan edaran ke masyarakat dan institusi terkait untuk mendukung upaya penertiban satwa langka yang ada di masyarakat. Namun tidak diimbangi dengan persiapan posko penampungan satwa tersebut dengan fasilitas yang layak bagi pemeliharaan sementara satwa liar sesuai dengan jenisnya masing-masing dan ketersediaan dana pakan serta perawatan didasarkan prinsip-prinsip animal welfare. Awal tahun 2016 dimulailah aksi tersebut di Provinsi Bengkulu, banyak satwa liar yang berhasil disita dari perdagangan gelap maupun dari penyerahan sukarela oleh masyarakat seperti kukang, siamang, burung elang, julang, beruang madu, trenggiling, buaya muara, kucing hutan dan lain-lain.

Beberapa satwa liar yang direscue tersebut berhasil dilepasliarkan kembali ke habitatnya di Taman Wisata Alam Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara seperti kucing hutan, dan beberapa ekor siamang di Taman Buru Semidang Bukit Kabu, Kabupaten Seluma serta empat ekor kukang sumatera dilepasliarkan kembali di Taman Wisata Alam Bukit Kaba, Kabupaten Rejang Lebong. Sebelum dilepasliarkan, satwa tersebut melalui proses panjang pemeriksaan medis untuk mengetahui apakah satwa tersebut dalam kondisi sehat ataukah tidak, dirawat sementara di Kantor Resort Kota Bengkulu dan ada yang dititipkan sementara ke Pusat Penyelamatan Satwa yang ada di Sumatera Selatan.

Namun sebagai dokter hewan kebijakan ini menjadi tantangan tersendiri, karena kami antar petugas memiliki pola pikir yang berbeda dalam penanganan satwa liar. Sebelumnya saya pernah bekerja di Pusat Penyelamatan Satwa, di Stasiun Karantina untuk satwa liar serta menjadi konsultan medis di Pusat Rehabilitasi Satwa Liar tentu mengharapkan satwa liar yang direscue dari perdagangan illegal dan kepemilikan illegal harus mendapat pemeriksaan medis yang ketat sesuai dengan masing-masing jenis satwa dan kebutuhannya. Selain itu mereka harus melalui masa karantina dan diisolasi dari satwa lainnya dan manusia, kemudian dari hasil penilaian tersebut baru menjalani proses rehabilitasi dan pelepasliaran kembali. Tentu itu butuh proses bertahap dan butuh dana yang tidak sedikit, apalagi biaya pemeriksaan medis tidak murah. Ditambah lagi tidak ada fasilitas kandang yang layak disesuaikan dengan masing-masing jenis satwa serta sanitasi yang bagus untuk mencegah penularan penyakit hewan ke manusia juga menjadi permasalahan tersendiri. Inilah sebagai gambaran kebijakan yang terlalu dipaksakan tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapi untuk mendukung / menyukseskan kebijakan lainnya yakni penegakkan hukum.

Beberapa petugas ingin mencari jalan pintas dalam menyelesaikan permasalahan penumpukan satwa liar hasil sitaan dan penyerahan masyarakat yang ada di kota Bengkulu dengan langsung melepasliarkan satwa-satwa tersebut tanpa melalui proses pemeriksaan medis seperti burung elang. Tanpa mempertimbangkan permasalahan berikutnya bila ternyata elang tersebut menderita penyakit menular atau sebagai pembawa penyakit yang bisa menularkan ke spesies burung lainnya atau bahkan membahayakan kesehatan manusia. Satwa liar bila sudah dilepasliarkan di hutan akan susah untuk kontrol penyakit berbeda dengan yang berada di lembaga konservasi eksitu atau peliharaan masyarakat. Bagi dokter hewan, kegiatan ini menjadi terasa aneh bila ternyata juga mendapat dukungan dari para pejabat terkait.

Siamang JEN saat proses rehabilitasi untuk dilepasliarkan kembali di kawasan 
Konservasi TB Semidang Bukit Kabu, Kabupaten Seluma, 
Bengkulu, Tanggal 30 Agustus 2016 
Tantangan kami dalam upaya pelestarian satwa liar di habitat tidak hanya sampai disitu, selain tidak adanya dukungan dana untuk kegiatan-kegiatan medis yang berhubungan dengan pemeriksaan sampel ke laboratorium juga dana untuk pembelian obat-obatan dan peralatan medis yang dibutuhkan serta untuk pengadaan pakan satwa.  Namun yang paling membuat kami putus asa adalah, saat ini kami sedang melakukan proses rehabilitasi siamang di sebuah kawasan konservasi di Bengkulu. Setelah beberapa bulan menjalani forest school (sekolah hutan) beberapa siamang berhasil dilepasliarkan kembali ke hutan tanpa ada kendala, dan hanya tinggal satu ekor saja yang masih terus belajar, namun sudah tidak tergantung lagi dengan manusia, sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan baru dan makanan alami. Sebuah kemajuan yang tinggal selangkah lagi untuk bisa direlease kembali ke hutan, tapi akhirnya harus berakhir hidupnya berada di LK selamanya yang berada diluar habitat bahkan di luar pulau, hanya karena sebuah LK / kebun binatang menginginkan jenis satwa tersebut, masa depannya direnggut dengan paksa setelah diambil dari hutan dan diserahkan ke kebun-binatang.

Tumpang tindih kepentingan dalam pemanfaatan satwa liar saat ini menjadi permasalahan serius yang mengancam upaya konservasi satwa liar di insitu, seperti permintaan satwa liar sebagai koleksi lembaga konservasi eksitu baik itu kebun binatang, taman satwa dan lain-lain seringkali ditujukan ke KLHK, dan itu mendorong Unit Pelaksana Teknis untuk memenuhi permintaan tersebut sesuai dengan jenis satwa yang diinginkan. Dalam rekomendasi medis dan conservation biologist sudah jelas bahwa satwa liar yang sehat tidak beresiko dalam transfer penyakit menular baik kepada satwa sejenis, satwa jenis lainnya maupun manusia, dan tidak cacat fisik permanen atau secara fisik masih bisa bertahan hidup dan beradaptasi dengan habitat baru, serta berperilaku normal maka layak untuk dilepasliarkan kembali. Namun bila kemungkinan besar tidak akan bertahan hidup pasca release karena kondisi tertentu maka ditranslokasi ke lembaga konservasi eksitu untuk keperluan breeding dan lain-lain. Dan rekomendasi yang terakhir adalah euthanasi untuk kasus-kasus spesific dengan tujuan mencegah penularan penyakit berbahaya bagi kesehatan hewan dan manusia serta untuk mengurangi penderitaan satwa.

Siamang JEN saat sedang berada di kandang angkut
sebelum ditranslokasi ke Pulau Lombok
Tanggal 29 September 2016
Terkadang rekomendasi tersebut menjadi tidak berarti manakala lembaga konservasi eksitu (LK) sangat menginginkan satwa tersebut menjadi koleksinya, dan para pejabat di management authority setempat bersedia memenuhi permintaan dari LK tersebut, maka pemindahan/ translokasi satwa bisa terjadi. Itu dilakukan secara legal karena memenuhi persyaratan perijinan, administrasi birokrasi yang dibutuhkan. Tapi bagi kami para praktisi konservasi satwa liar memandang hal itu sebagai ancaman upaya konservasi insitu. Secara Illegal seperti perburuan liar dan wildlife trafficking ataupun secara legal dengan semua persyaratan administrasi birokrasi translokasi satwa ke LK terpenuhi, efek samping yang ditimbulkan adalah sama saja menurut kami, bahwa satwa tersebut tidak memiliki kesempatan lagi untuk kembali ke habitatnya dan menjalankan fungsinya dalam ekosistem hutan.

Siamang bernama Jen, pandangannya yang kosong menatap masa depan yang berubah dengan sekejap saat berada dalam kandang angkut menunggu translokasi ke Nusa Tenggara Barat untuk menjadi koleksi sebuah kebun binatang. "Maaafkan aku, Jen tidak bisa berbuat banyak untuk mencegahnya, maafkan aku tidak bisa melepas kepergianmu karena untuk menatap matamu yang sangat sedih itu membuatku berkaca-kaca. Sungguh, aku lebih suka melihatmu di hutan dengan ekspresi bahagia".

Dalam Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan  jelas disebutkan bahwa pemerintah wajib memfasilitasi medik konservasi, forensik veteriner dan medik reproduksi. Berharap kedepan keputusan yang berhubungan dengan nasib satwa liar dan ekosistemnya semakin bijak dalam mendukung upaya konservasi insitu, tidak hanya memikirkan kepentingan perseorangan dan sekelompok orang. Sudah saatnya jeritan satwa liar juga didengar dan diperhatikan, pada dasarnya mereka juga seperti manusia menginginkan kebahagian, hidup normal di tempat yang semestinya. Jangan pernah renggut masa depan satwa liar hanya untuk kepentingan manusia. Tempat tinggal mereka di hutan bukan di dalam kandang seumur hidupnya.