Selasa, 17 Desember 2013

Pemasangan Microchip pada Orangutan di Taman Satwa Taru Jurug



Program kegiatan pemasangan microchip untuk penandaan individu sedang dilakukan di Taman Satwa Taru Jurug, Solo, Jawa Tengah.  Pemberian microchip sangat penting bagi satwa liar di lembaga konservasi eksitu selain sebagai identitas individu juga sangat membantu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat sebagai lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengawasi peredaran satwa liar, sehingga keluar masuknya satwa liar dari lembaga konservasi eksitu ke tempat lainnya akan terkontrol dengan baik, karena setiap individu memiliki identitas masing-masing yang bisa diperiksa sewaktu-waktu.

Microchip ini merupakan donasi dari Centre for Orangutan Protection (COP), yang ingin membantu program kegiatan pemasangan microchip pada satwa liar koleksi disana.  Tidak hanya itu, COP juga membantu memberikan training kepada petugas disana yakni dokter hewan setempat mengenai pembiusan satwa liar dan pemasangan microchip pada satwa liar.  

Sebelumnya telah dua kali dilakukan pemasangan microchip di TSTJ, yakni pemasangan microchip pada 3 ekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang dilakukan oleh tim khusus dari Kementerian Kehutanan (PHKA/ Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), Taman Safari Indonesia dan Australia Zoo untuk kepentingan program pendataan gajah jinak di seluruh Indonesia.  

Pemasangan microchip kedua adalah pada orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) bernama Kirno. Kirno adalah orangutan hasil penyitaan dari kepemilikan illegal di Jawa Tengah yang dilakukan oleh BKSDA Jawa Tengah dengan dibantu oleh Centre for Orangutan Protection. Kondisinya saat itu sangat mengenaskan, dengan luka bernanah yang membusuk di bagian muka, dikurung dalam kandang sempit tanpa enrichment dan keterbatasan sinar matahari yang masuk serta ditemukan banyak kotoran sampah didalamnya. Orangutan adalah satwa liar yang memiliki perilaku dan perasaan mirip manusia, bisa dibayangkan bila kita tinggal di ruangan seperti itu dalam kurung waktu yang lama.  Setelah penyitaan pun orangutan Kirno mengalami nasib yang tidak jelas, dititipkan perawatannya di TSTJ oleh BKSDA Jawa Tengah dan diletakkan dalam kandang sempit berjeruji besi dengan ukuran 1 meter x 1 meter x 1,5 meter selama kurang lebih 9 bulan lamanya. Saya melihat kirno untuk pertama kalinya saat masih berada dalam kandang tersebut. Dari perilakunya terlihat bahwa dia tampak bosan. Sedih memang melihat kondisinya. Teman-teman di COP tergerak hati untuk membantu dengan melakukan pendekatan pada pengelola TSTJ dan BKSDA Jawa Tengah, dengan memberikan usulan untuk relokasi orangutan Kirno ke sebuah pulau yang lebih luas dan tidak termanfaatkan di areal taman satwa tersebut sampai ada keputusan dari pihak berwenang yakni BKSDA Jawa tengah orangutan tersebut mau dikemanakan.  Namun tidak hanya memberikan usulan saja tetapi juga membantu secara sukarela baik tenaga maupun pembiayaan untuk mewujudkan itu.  Pengelola TSTJ dan BKSDA hanya tinggal melihat hasilnya bahwa orangutan tersebut akan jauh lebih baik di tempat yang baru, baik secara fisik maupun psikis, karena tentu akan lebih mudah untuk orangutan mengekspresikan perilaku alaminya karena banyak pohon besar di pulau tersebut yang juga akan dilengkapi dengan environmental enrichment, dan yang pasti tidak lagi terkurung dalam kandang sempit tanpa enrichment.

Baby, Orangutan at Solo Zoo - Central Java
Pada tanggal 17 Desember 2013 dilakukan pemasangan microchip dan pemeriksaan karantina pada orangutan bernama Baby. Orangutan betina dewasa ini penghuni baru TSTJ dan belum diketahui status kesehatannya, yang juga merupakan korban dari perawatan yang sangat buruk di tempat sebelumnya. Pada saat saya sedang berada di Yogyakarta untuk presentasi tentang upaya konservasi gajah, harimau dan orangutan di Sumatera dalam acara Jambore OranguFriends bersama teman-teman dari berbagai lembaga yang bekerja untuk konservasi satwa liar, saya masih mempunyai sisa waktu sebelum kembali ke Bengkulu pada tanggal 18 Desember 2013 untuk kegiatan lainnya yakni relokasi beruang madu bernama Jony dan Siamang dari BKSDA Bengkulu menuju ke Sanctuary beruang madu dan siamang, owa dan ungko yang dikelola oleh Yayasan Kalaweit Sumatera di Solok, Sumatera Barat. Nasib beruang madu bernama Jony tak jauh berbeda dengan orangutan Kirno, yang terpaksa tinggal di kandang sempit dalam jangka waktu lama sekitar 4 tahun lamanya tanpa ada keputusan dan solusi yang jelas mengenai masa depannya dari pengambil kebijakan. 

Kebetulan saya diminta untuk membantu program kegiatan tersebut di TSTJ, yakni membantu dokter hewan setempat dalam pembiusan orangutan dan prosedur pemeriksaan kesehatan orangutan pada masa karantina. Membantu berarti saya diberi kesempatan untuk berbagi ilmu dan pengalaman, dan ini hal yang sangat membahagiakan, berarti ilmu itu tidak akan pernah mati karena akan terus-menerus terpakai. Mengingat sebelumnya saya sudah pernah melakukan pembiusan orangutan bernama Kirno dan melakukan pemeriksaan kesehatan bersama mereka, dalam kesempatan ini saya akan memposisikan diri sebagai supervisor saja. Mereka sudah pernah terlibat dalam pembiusan orangutan dan itu saya anggap sebagai pelatihan bagi mereka, dan saatnya mereka yang melakukannya sendiri. Karena saya tidak ingin hanya datang kesana membantu melakukan pembiusan orangutan, pemasangan microchip dan pemeriksaan karantina sendiri dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan pengalaman bagi mereka, karena suatu saat mereka harus melakukannya sendiri tanpa supervisi.

Baby, Orangutan at Solo Zoo-Central Java
Sesuai dengan prosedur, orangutan dipuasakan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembiusan. Beberapa obat-obatan saya rekomendasikan untuk disediakan oleh dokter hewan setempat sebelum kegiatan dilakukan. Yakni obat bius dan obat-obatan untuk penanganan kondisi darurat karena efek samping obat bius. Meskipun itu jarang sekali terjadi pada primata dan lebih sering terjadi pada pembiusan harimau dan rusa totol, tetapi harus tetap disediakan sebelum itu terjadi. Lagi-lagi motto saya dalam pembiusan satwa liar adalah "The best way to handle anaesthetic emergencies is to predict the next problem and be ready before It happens". Tahap berikutnya menentukan dosis obat yang akan digunakan, dan memberikannya kepada dokter hewan TSTJ untuk dihitung.  Kebiasaan saya bekerja di lapangan dalam rescue satwa liar bahwa saya selalu mempersiapkan dosis obat bius dan obat-obatan emergency dalam tabel di selembar kertas dengan berbagai estimasi berat badan. Itu akan sangat berguna bila kita bekerja dalam kondisi darurat dan harus bertindak cepat. Saya menyebutnya 'contekan'. Dosis yang telah saya tentukan akan dihitung oleh dokter hewan TSTJ dan volunteer mahasiswa kedokteran hewan dari UGM yang ikut serta. Bagi saya ini adalah salah satu cara memberikan pelatihan praktek secara praktis dan mudah dipahami, 'learning by doing'. Hasil penghitungan tersebut baru akan saya koreksi, karena ini menyangkut dosis obat jadi harus dipastikan terlebih dahulu bahwa tidak ada kesalahan dalam penghitungan.

Juga ditekankan pada mereka bahwa harus tahu obat-obatan dan peralatan apa saja yang diperlukan dalam pembiusan satwa liar, dengan melibatkan mereka secara langsung dalam mempersiapkan itu semua. Karena peralatan pembiusan yang dipakai di klinik atau rumah sakit hewan akan sedikit berbeda dengan peralatan yang dipakai untuk satwa liar di lapangan dengan peralatan minimalis. Dan mereka pun harus tahu bagaimana cara penggunaannya. Bekerja di hutan dengan minimnya fasilitas medis membuat kami sering berimprovisasi sendiri dalam menciptakan alat baru dengan memanfaatkan yang ada disekitar kami untuk pembiusan dan pengobatan satwa liar di habitat. Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa bambu, pipa paralon dan senar pancing serta ranting-ranting pohon sangat bermanfaat untuk keperluan pembiusan dan pengobatan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di hutan. Kreativitas itu diperlukan :) 

Tim Centre for Orangutan Protection membantu pemasangan microchip 
dan pemeriksaan karantina pada orangutan
di Taman Satwa Taru Jurug Solo - Jawa Tengah

Pembagian tugas dilakukan. Dalam kegiatan ini dilakukan oleh delapan orang, yakni keeper orangutan TSTJ yang ikut mendampingi dokter hewan dalam melakukan pembiusan dan restraint orangutan, dokter hewan TSTJ yakni drh. Tiara Debby Carinda yang akan melakukan pembiusan, pengambilan sampel darah, rambut dan pemasangan microchip untuk penandaan individu, mahasiswa kedokteran hewan Universitas Gajah Mada (UGM) yang menjadi volunteer  (relawan) COP yakni Ade Fitri Alfiani, Adinda Medina dan Rezeki Muliani yang akan membantu monitoring vital signs yakni memeriksa frekuensi pernafasan, detak jantung serta pulsus dan pemeriksaan temperatur tubuh per 5 - 10 menit sekali, melakukan pencatatan di immobilization worksheet mengenai hasil pembiusan, dan physiology data selama pembiusan, body measurement, pengambilan sidik jari untuk identifikasi individu, dan photo gigi untuk estimasi umur. Dan dilanjutkan dengan beberapa perlakuan medis lainnya yakni pemberian obat-obatan untuk tindakan pencegahan. Saya sendiri sebagai supervisor dokter hewan dan pengambil tindakan untuk penanganan kondisi emergency bila terjadi efek samping obat bius yang merugikan dan melakukan supervisi semua aktivitas tersebut dan melakukan pemeriksaan fisik orangutan secara keseluruhan, serta Wawan yakni staff Ape Warrior - Centre for Orangutan Protection sebagai pengambil dokumentasi untuk kegiatan.  Dan masih ada relawan COP lainnya yakni Dimas Novrizal Agus yang juga membantu kegiatan ini.

Pilihan immobilization drugs yang digunakan adalah kombinasi antara 0,5-1 mg/kg Xylazine dengan 1-5 mg/kg Ketamine HCl.  Dan Emergency drugs yang perlu dipersiapkan dalam setiap pembiusan satwa liar adalah : Antidote, Doxaparam, Adrenalin (Epinephrine), Atropin sulfate, Dexamethasone, Diazepam, dan lain-lain. Karena handling satwa liar itu tidak seperti handling pet animal yang bisa dipegang sewaktu-waktu, biasanya dalam pembiusan juga dilakukan tindakan pencegahan lainnya seperti pemberian salep mata atau obat tetes mata untuk mencegah infeksi sekunder pada mata karena selama terbius mata akan selalu terbuka, pemberian antibiotik untuk pencegahan infeksi sekunder karena luka bekas suntik bius, dan pemberian anti parasit seperti Ivermectine.  Sedangkan peralatan pendukung yang seharusnya tersedia dalam pembiusan satwa liar adalah ambubag, pulse oxymeter, thermometer, stethoscope, penutup mata dan telinga, slang berdiameter < 0,5 cm dan peralatan lainnya yang diperlukan.

Pemasangan Microchip
Scanning Microchip

Kegiatan pembiusan untuk keperluan pemasangan microchip dan pemeriksaan karantina tersebut berjalan dengan lancar tanpa ada komplikasi selama pembiusan. Kondisi physiology orangutan selama pembiusan sangat baik. Semua itu karena adanya kerjasama tim yang baik selama kegiatan berlangsung, setiap orang yang bekerja telah memahami prosedur pembiusan yang aman dan tahu tugasnya masing-masing. Sehingga semua bisa bekerja dengan baik dalam kondisi yang tenang. Satwa liar yang akan dibius dan selama terbius serta saat dibangunkan kembali membutuhkan kondisi lingkungan yang tenang tanpa suara berisik di sekitarnya.  Karena itu akan berpengaruh terhadap satwa liar yang sedang kita tangani.

"Setiap penanganan satwa liar adalah pengalaman berharga dan pelajaran baru karena setiap individu satwa liar itu berbeda meskipun spesiesnya sama. Kita akan terus belajar dari setiap hal yang kita lakukan, dan di setiap satwa liar yang kita tangani itu terdapat pelajaran yang sangat berharga yang terkadang tidak kita temukan dalam ilmu pengetahuan di perkuliahan atau textbooks manapun".

Senin, 16 Desember 2013

Jambore OranguFriends 2013


Jambore Orangufriends adalah acara tahunan yang diselenggarakan oleh Centre for Orangutan Protection (COP) untuk memfasilitasi orang-orang yang mempunyai minat khusus untuk mengetahui upaya konservasi orangutan di Indonesia, serta yang tertarik dengan kegiatan konservasi satwa liar Indonesia.

Peserta Jambore Orangufriends 2013 di Bumi Perkemahan Wonogondang,
Sleman, Yogyakarta

Pada tahun 2013, acara Jambore Orangufriends diadakan di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Bumi Perkemahan Wonogondang, Umbulharjo, Cangkringan, Kab. Sleman, Yogyakarta. Acara tersebut akan berlangsung pada tanggal 13-15 Desember 2013, yang diikuti oleh kurang lebih 30 peserta. Selain itu Jambore Orangufriends juga diramaikan oleh para volunteer (relawan) COP yang mengurusi kegiatan ini, mulai dari penyiapan tempat, logistik, transportasi dan lain-lain. Mereka bekerja sukarela untuk membantu staff Ape Warrior-COP sebagai penyelenggara kegiatan tersebut. Acara tersebut juga dimeriahkan oleh kawan-kawan yang dulu sama-sama menjadi relawan sebuah organisasi yang berkomitmen untuk perlindungan satwa liar Indonesia dan saat ini telah memiliki lembaga sendiri dan masih terlibat langsung dalam upaya perlindungan satwa liar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang untuk berbagi cerita, berbagi informasi melalui oral presentation tentang upaya konservasi satwa liar yang telah dilakukan pada peserta Jambore orangufriends kali ini.

Kegiatan ini dikemas dengan sederhana, tidak diadakan di tempat yang mewah yang menghabiskan banyak dana, tetapi di sebuah bangunan tua malah terkesan seperti bangunan yang tidak terpakai lagi, dengan suasana alam pedesaan di sekitarnya. Pemberian materi yang tidak kaku, dengan suasana santai penuh canda tawa namun tidak mengurangi kualitas materi yang disampaikan. 

Jumat, tanggal 13 Desember 2013

Hardi Baktiantoro - Centre for Orangutan Protection
Acara hari itu dimulai dengan beberapa presentasi dari Centre for Orangutan Protection, mengenai aktifitas dan perjuangan panjang mereka dalam membantu upaya konservasi orangutan dan habitatnya di Indonesia. Juga upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatan kesejahteraan hewan (animal welfare) dalam kurungan seperti di taman satwa ataupun kebun binatang baik yang berada di Kalimantan, Jawa, Bali maupun Sumatera. Juga membantu pihak berwenang dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat, memberikan bantuan teknis bagi upaya penegakan hukum terhadap perdagangan dan kepemilikan satwa liar dilindungi secara illegal, perawatan orangutan hasil penyitaan BKSDA, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Sabtu, tanggal 14 Desember 2013

Ade Filtria Alfiani - Volunteer Centre for Orangutan Protection
Kemudian presentasi dilanjutkan esok harinya, yakni tanggal 14 Desember 2013 karena masih banyak materi yang perlu disampaikan. Kegiatan COP tersebut dipresentasikan oleh Director & Founder COP yakni Hardi Baktiantoro, kapten Ape Warrior yakni Daniek Hendarto, salah satu staff Ape Warrior sekaligus dokter hewan di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) yakni Tiara Debby Carinda, serta beberapa relawan COP dan alumni COP School diantaranya adalah Ade Filtria Alfiani, Adinda Medina dan Ipul. Presentasi yang disampaikan tentang aktivitas para relawan dalam membantu Centre for Orangutan Protection dalam meningkatkan kesejahteraan orangutan di taman satwa/ kebun binatang dan tentang translokasi orangutan dan membantu pemeriksaan medis yang dilakukan oleh para relawan dari mahasiswa kedokteran hewan  serta upaya penyelamatan hewan korban bencana alam dan upaya membantu meningkatkan kesejahteraan satwa di taman satwa maupun kebun binatang di Sumatera (Sumatera Mission) yang disampaikan oleh Ipul. Dan masih ada presentasi dari relawan COP lainnya yakni Angga Kurniawan, yang turut membantu upaya penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar illegal dan Helen Erdelyi yakni relawan COP dari Adelaide - Australia tentang aktivitasnya dalam berkreasi membuat enrichment sebagai salah satu cara untuk meningkatan kesejahteraan satwa dalam kurungan, baik di taman satwa atau kebun binatang atau sejenisnya. Dia adalah salah satu relawan asing yang beberapa kali membantu COP di Kalimantan Timur dan Jawa Tengah, karena dia merasa sangat peduli dengan upaya konservasi satwa liar di Indonesia. Beberapa kali datang ke Indonesia untuk menjadi relawan bagi kegiatan-kegiatan konservasi orangutan dan satwa liar lainnya.

Aris Hidayat - International Animal Rescue
Pada hari itu juga ada beberapa presentasi kawan-kawan dari International Animal Rescue (IAR) dan Bali Sea Turtle Society (BSTS) yang ingin berbagi cerita tentang aktivitas mereka dalam upaya membantu perlindungan satwa liar di Indonesia, di Jawa, Sumatera dan Bali. Dari IAR diwakili oleh Aris Hidayat dan Ayut Enggeliah Entoh. Aris mempresentasikan tentang morfologi kukang (Nycticebus coucang) untuk identifikasi species kukang secara fisik, karena ini sangat bermanfaat untuk penentuan daerah pelepasliaran, di Jawa atau di Sumatera. Yang tidak kalah menarik presentasinya tentang upaya konservasi kukang mulai dari penyitaan dari kepemilikan dan perdagangan illegal, perawatan dan rehabilitasi sampai dengan pelepasliaran (release) kembali ke habitatnya. Entah sudah berapa ratusan kukang yang dia tangani bersama IAR. Tidak hanya itu dia juga mepresentasikan tentang upaya konservasi macaca, dengan melakukan kegiatan yang sama seperti yang dilakukan untuk konservasi kukang. Presentasinya juga membuka wawasan kita bahwa apa yang dilakukan itu tidak mudah, banyak sekali hambatannya.  Dan yang perlu kita ketahui bahwa, "mengambil satwa liar dari habitatnya dan dijual, harganya tidak sebanding dengan biaya untuk merawat dan merehabilitasi serta melepasliarkan kembali sampai satwa tersebut bisa bertahan hidup di alam liar kembali".  Bagi para pemerhati konservasi satwa liar, mereka harus membayar mahal agar satwa liar bisa kembali ke habitatnya dan itupun melalui proses yang panjang dan tentunya tidak mudah dan banyak hambatan dalam setiap tahap yang dilakukan.

I Wayan Wiradnyana - Bali Sea Turtle Society
Bali Sea Turtle Society (BSTS) yang datang di acara tersebut diwakili oleh Director & Founder BSTS yakni I Wayan Wiradnyana dan Dion. Presentasi BSTS disampaikan oleh I Wayan Wiradnyana (kami biasa memanggilnya Bli Wayan). BSTS mempresentasikan tentang upaya konservasi penyu di Bali terutama di Pantai Kuta. BSTS telah dipercaya oleh masyarakat setempat dalam perlindungan penyu di Bali melebihi kepercayaan mereka terhadap pihak berwenang yang seharusnya menangani itu. Ini karena action-action nyata yang mereka lakukan untuk melindungi penyu. Sudah lama kami mengenalnya, sudah lebih dari sepuluh tahun berkecimpung di dunia konservasi penyu. Turut berperan dalam penegakan hukum perburuan dan perdagangan penyu di Tanjung Benoa, sampai akhirnya merintis kegiatan perlindungan penyu di Pantai Kuta dan melakukan pendampingan masyarakat dalam upaya konservasi penyu di daerah lainnya di Bali. Pengalamannya dan pengetahuannya tentang konservasi penyu tidak diragukan lagi, bahkan dialah salah satu orang di Indonesia yang kami jadikan referensi mengenai konservasi penyu.

Dari hasil presentasinya dan hasil berdiskusi santai dengan BSTS, ternyata upaya yang mereka lakukan pun tidak mudah. Banyak hambatan dalam setiap upaya yang dilakukan. Ternyata niat baik untuk berbuat sesuatu bagi perlindungan satwa liar di negara sendiri belum tentu mendapat sambutan baik dan dukungan penuh dari pihak lain, bahkan dari pihak berwenang yang seharusnya punya tugas dan kewajiban untuk itu.

Minggu, tanggal 15 Desember 2013

Erni Suyanti Musabine - Wildlife Conservation Veterinarian
Di hari terakhir itu ada beberapa presentasi dari Centre for Orangutan Protection, International Animal Rescue dan dari saya sendiri. Saya mempresentasikan tentang 'Role of the Veterinarian in Wildlife Rescue from Poaching, Conflicts and Diseases in Sumatera'. Kebetulan beberapa hari sebelum kegiatan Jambore Orangufriends, saya mempunyai kegiatan yang padat yang membuat saya harus mondar-mandir dari satu provinsi ke provinsi lainnya. Dalam lima hari saya musti bolak-balik dari Bengkulu ke Kerinci, Jambi. Selain itu juga melakukan perjalanan ke Padang Sumatera Barat, Jakarta dan Bogor. Sehingga membuat saya tidak punya waktu lagi untuk mempersiapkan materi untuk presentasi di acara Jambore Orangufriends karena waktu saya habis di perjalanan, juga lebih fokus untuk perawatan harimau sumatera. Selesai berurusan dengan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) kemudian melakukan perawatan medis harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) pasca rescue di Taman Nasional Kerinci Seblat. Bagi saya penanganan satwa liar dalam kondisi darurat adalah prioritas utama akhirnya jadwal kegiatan lainnya pun harus menyesuaikan, membuat saya pun akhirnya membatalkan jadwal penerbangan ke Jawa sampai tiga kali dan menjadwal ulang bahkan mengganti tempat pemberangkatan, dan itu juga yang membuat nama saya terkena black list dan dapat warning dari salah satu maskapai penerbangan karena terlalu sering merubah jadwal penerbangan yang telah dipesan.....hahaha :)

Akhirnya saya menggunakan bahan presentasi yang pernah saya presentasikan di Amerika Serikat dua bulan sebelumnya, dan belum sempat saya translate. Saya pikir materi itu sudah cukup mewakili upaya penyelamatan satwa liar, yakni gajah, harimau, dan orangutan di Sumatera untuk peserta jambore orangufriends. Dalam kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan mengenai peran dokter hewan dalam upaya penyelamatan satwa liar dari perburuan, konflik dengan manusia serta penyakit, juga membantu aparat dalam penyelidikan forensik dan penegakan hukum kejahatan terhadap satwa liar beserta segala permasalahannya. 

Acara Jambore Orangufriends dikemas sangat menarik

Ice Breaking - Jambore Orangufriends 2013 di Yogyakarta

Acara ini dikemas dengan sangat sederhana namun cukup menarik. Serius tapi santai. Materi yang disampaikan oleh pemateri (pemberi materi) pun sangat berkualitas. Disela-sela oral presentation ada pemutaran film dan ice breaking yakni berbagai macam permainan untuk membuat kami semua rileks, baik dilakukan di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Tidak semua permainan saya ikuti karena saya terkadang juga sibuk mengambil dokumentasi.


Ice Breaking - Having Fun at Jambore Orangufriends 2013

Disela-sela bermain, kami pun juga masih sering bercanda. Seperti saat saya sedang lengah di dekat kolam, tiba-tiba teman-teman saya, Daniek Hendarto dan lainnya memegang tangan dan kaki saya kemudian melemparkan saya ke dalam kolam, membuat saya pun minum banyak air kolam yang berwarna coklat itu.....hahaha!  Tidak hanya saya masih ada beberapa orang yang diincar untuk dimasukkan ke dalam kolam itu. That's really fun for us. Dan yang paling aman adalah bagian dokumentasi karena sedang memegang camera milik banyak orang yang tidak mungkin dijeburkan kedalam kolam secara paksa :)


Dari Kiri ke Kanan : Hery, Wayan, Yanti, Aris, Odie, Hardi,
Dian, Daniek, Ayut, Erick, Dion. 
Selain acara formal, kami juga mempunyai acara informal tersendiri yakni sebagai ajang bernostalgia dan diskusi bebas dengan kawan-kawan lama yang dulunya pernah sama-sama bekerja dan menjadi relawan untuk perlindungan satwa liar Indonesia, sebelum akhirnya kami bekerja di institusi/ lembaga masing-masing. Mereka adalah Hardi Baktiantoro, Daniek Hendarto dan Hery Susanto dari Centre for Orangutan Protection; Aris Hidayat dan Ayut Enggeliah Entoh dari International Animal Rescue; I Wayan Wiradnyana  dan Dion dari Bali Sea Turtle Society; Dian Tresno Wikanti dari Pusat Penyelamatan Satwa Yogyakarta; dan beberapa teman lainnya yakni Odie Mahadma dan Erick serta lainnya, sedangkan saya sendiri di Kementerian Kehutanan. Meskipun kami saat ini bekerja dengan logo yang berbeda, di tempat berbeda, dan dengan spesies yang ditangani pun berbeda namun idealisme itu belum mati, semangat untuk berkomitmen membantu upaya konservasi satwa liar di Indonesia masih ada, bahkan kenangan masa lalu saat kami sama-sama menjadi relawan untuk satwa liar memudarkan batas bahwa kami kini di lembaga yang berbeda-beda. Idealisme dan semangat itu yang membuat kami tetap merasa satu kesatuan, dalam ikatan persahabatan dan persaudaraan. Membuat kami tetap saling menjalin komunikasi, saling mengunjungi dan saling mendukung aktivitas masing-masing untuk satwa liar.

Diharapkan setelah acara ini bisa membuka wawasan kita terutama peserta Jambore Orangufriends mengenai upaya konservasi satwa liar secara nyata yang telah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia dan permasalahannya, sehingga membuat kita semua lebih peduli dan ikut berkonstribusi dalam perlindungan satwa liar Indonesia dengan berbagai cara sesuai latar belakang masing-masing.

Minggu, 15 Desember 2013

Reuni dengan Teman-Teman Lama, Para Pejuang Satwa Liar Indonesia



Bahagia dan bangga bisa bertemu kembali 
dengan teman-teman lama, 
para aktivis konservasi satwa liar di Indonesia.

Pada barisan depan dari kiri ke kanan : Heri (Jakarta), Wayan (Bali), Yanti (Bengkulu), 
Odie (Semarang), Dian (Yogyakarta), Ayut (Bogor).  Pada barisan belakang 
dari kiri ke kanan : Aris (Bogor), Hardi (Malang), Daniek (Yogyakarta),
 Erick (Yogyakarta), Dion (Bali)

Centre for Orangutan Protection (COP) akan mengadakan acara tahunan Jambore OranguFriends di Bumi Perkemahan Wonogondang, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta pada tanggal 13-15 Desember 2013. Acara tersebut akan kami jadikan sebagai ajang berkumpul serta reuni dengan teman-teman lama yang dulu sama-sama pernah bekerja dan menjadi relawan di sebuah organisasi non-pemerintah (Non-Goverment Organization) yang bergerak dibidang konservasi satwa liar Indonesia.

Kebetulan kami tertarik untuk datang di acara tersebut dan diminta memberikan presentasi aktivitas kami dalam mendukung upaya perlindungan dan penyelamatan satwa liar di Indonesia sesuai bidang kami masing-masing saat ini.  Hal ini dimaksudkan untuk menambah wawasan pada para anggota orangutan friends tentang upaya konservasi satwa liar lainnya yang ada di berbagai daerah di Indonesia selain konservasi orangutan. Selain ingin berbagi pengalaman tentang aktivitas kami dalam mendukung konservasi satwa liar Indonesia, yang tidak kalah menarik adalah bahwa kami akan bertemu kembali untuk bernostalgia, ini adalah kesempatan langka yang harus dimanfaatkan dengan baik bertemu dengan orang-orang se-idealisme yang tetap bersemangat dalam membantu upaya perlindungan satwa liar dengan action nyata. Bagi saya mereka adalah orang-orang yang hebat, bertemu mereka kembali merupakan hal yang sangat membahagiakan.

Selama ini orang sering beranggapan bahwa orang yang peduli dengan konservasi satwa liar Indonesia hanyalah orang-orang asing dari negara lain,  namun itu sepenuhnya tidak benar. Mungkin karena mereka lebih banyak sebagai peneliti dan mempunyai project konservasi di Indonesia dan lebih dikenal karena sering terpublikasikan dibandingkan teman-teman ini. Bagaimana pun bagi saya, teman-teman saya ini adalah wildlife warriors, pejuang sejati dengan keterbatasan yang ada dalam segi apapun dan minimnya dukungan dari pihak berwenang, juga hambatan yang begitu besar di setiap tahap yang dilaluinya, namun tak membuat mereka putus asa dan tetap bersemangat memperjuangkan nasib satwa liar di negaranya sendiri sampai sekarang. Bagi kebanyakan orang mungkin mereka bukan siapa-siapa dan tidak dikenal banyak kalangan bahkan tidak pernah dilirik orang untuk mendapatkan penghargaan atas upaya yang telah dilakukan, karena dibalik setiap hal yang mereka lakukan jauh dari kepentingan untuk publikasi diri-sendiri di media maupun jejaring sosial tentang aktivitas yang telah mereka lakukan bagi satwa liar di Indonesia. Mungkin bisa dibandingkan dengan orang-orang yang baru hanya sekali membantu satwa liar kemudian membuat publikasi yang besar-besaran secara international, dan mereka pun bisa berkata pada dunia bahwa, "tanpa kami satwa liar di Indonesia itu tidak bisa terselamatkan".  Berbeda dengan kawan-kawan ini, bahkan mungkin mereka sendiri sudah tidak ingat lagi berapa banyak mereka membantu negaranya sendiri dalam upaya perlindungan satwa liar, sudah puluhan mungkin ratusan bahkan lebih tapi mereka nyaris tak terpublikasikan, mereka hanya ingin melakukan upaya lebih banyak dan banyak lagi bagi satwa liar secara nyata.

Seperti apakah teman-teman saya ini ??? 
Baiklah, saya akan menceritakannya satu per satu. Beberapa teman yang saat ini juga sangat berkomitmen untuk membantu upaya perlindungan orangutan di Indonesia, baik yang berada di habitat maupun di lembaga konservasi eksitu melalui organisasinya yakni Centre for Orangutan Protection (COP). Teman-teman saya yang bekerja di Centre for Orangutan Protection diantaranya Hardi Baktiantoro, Daniek Hendarto dan Hery Susanto, dan masih ada beberapa teman lainnya seperti Wahyuni dan Ramadhani, namun tidak hadir dalam acara Jambore OranguFriends kali ini. Saya berteman dengan mereka kurang lebih sudah sepuluh tahun lamanya. Orang-orang yang idealis, berani, kritis dan pantang menyerah, memperjuangkan habitat orangutan di Kalimantan dari keserakahan perusahaan perkebunan sawit dan pengambil kebijakan yang mengijinkan hal itu terjadi.  Dan telah mengungkap pembunuhan massal orangutan disana, membuka mata dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi di Kalimantan, banyak orangutan mati terbunuh karena korban kaum kapitalis. Tidak hanya itu, mereka juga membantu untuk meningkatkan kesejahteraan orangutan dan satwa liar lainnya yang sudah terlanjur masuk kebun binatang dan terpenjara disana seumur hidupnya melalui kreatifitas mereka membuat enrichment dan berbagai bantuan lainnya.

Pada saat pihak lain memperkenalkan animal welfare hanya melalui workshop, training dan semacamnya, namun teman-teman saya ini membuat terobosan baru dan pertama di Indonesia, yakni dengan melakukan pendekatan kepada kebun-binatang, yang menurut sebagian orang yang menganggap dirinya kaum conservationist adalah 'haram' mempunyai kerjasama dengan kebun binatang dan sejenisnya. Bekerjasama dengan kebun-binatang tidak berarti mendukung bahwa satwa liar lebih baik berada di kurungan selamanya, tetapi dengan melihat kondisi beberapa kebun binatang dan taman satwa yang pengelolaan satwanya masih jauh dari sejahtera maka bila kita tidak menyukai kondisi seperti itu tidak hanya cukup mengkritik dengan keras untuk menghujat kebun binatang tersebut. Yang diperlukan adalah perubahan yang lebih baik bagi satwa, dengan membantu membuat perubahan itu secara nyata itu jauh lebih baik dan sangat membantu daripada sibuk mengkritik dan menghujat ataupun hanya mengadakan berbagai workshop/ seminar dan sejenisnya untuk perbaikan.  Dan teman-teman saya ini telah mencoba untuk membantu pengelolaan satwa agar memenuhi standar animal welfare semaksimal mungkin yang bisa mereka lakukan di beberapa lembaga konservasi eksitu dengan cara pendampingan langsung. Identifikasi permasalahan dan mencarikan solusinya. Namun itu semua tak semudah membalikkan telapak tangan, disetiap proses banyak hambatan yang menghadang, dan tidak semua kebun binatang mau membuka diri untuk dibantu, namun mereka tetap semangat dan terus berusaha tanpa kenal lelah demi kesejahteraan satwa liar di kebun binatang.

Hari Rabu, tanggal 11 Desember 2013, 
Saya yang pertama kali datang di kantor Ape Warrior, Centre for Orangutan Protection di Sleman, Yogyakarta malam itu. Kemudian besok paginya disusul oleh Aris Hidayat, seorang teman yang saat ini bekerja di International Animal Rescue (IAR). Dia adalah seorang pekerja untuk konservasi satwa liar yang militan, yang sudah saya kenal sejak belasan tahun yang lalu disaat kami sama-sama menjadi relawan untuk membantu satwa liar. Idealismenya untuk konservasi satwa liar tidak perlu diragukan lagi.  Sejauh yang saya tahu bahwa pekerjaannya adalah merawat, merehabilitasi kukang dan macaca dan melepasliarkan kembali ke alam bersama YIARI (Yayasan IAR Indonesia). 

Hari Kamis, tanggal 12 Desember 2013, 
Teman-teman dari Bali Sea Turtle Society datang ke kantor Ape Warrior, mereka adalah I Wayan Wiradnyana dan Dion. Belasan tahun telah mengenalnya, sebagai orang yang berkomitmen kuat dalam perlindungan penyu di Bali sampai sekarang, meski tanpa dukungan dana dan tanpa ada dukungan moril, serta banyaknya hambatan dari pihak-pihak berwenang setempat, meskipun pada kenyatannya mereka telah banyak membantu lembaga pemerintah yang punya wewenang untuk konservasi penyu di daerahnya, tapi tetap tak memudarkan semangatnya untuk terus berkonstribusi nyata bagi upaya konservasi penyu di Bali.  Perjuangannya untuk konservasi penyu di Bali patut diacungi jempol.  Perjuangan panjang yang melelahkan dengan berbagai hambatan namun mereka tetap semangat melakukan upaya perlindungan penyu di Kuta Bali dan melakukan pendampingan masyarakat untuk kegiatan yang sama di tempat lainnya di Bali.

Di waktu yang bersamaan, seorang teman dari Yogyakarta yang dulu juga sesama relawan sebuah organisasi perlindungan satwa liar Indonesia turut mengikuti kegiatan Jambore OranguFriends bersama kami. Namanya Erick. Wajahnya asing bagi saya padahal teman-teman lainnya sangat mengenalnya dengan baik. Mendengar cerita teman-teman ternyata dia dulunya juga salah satu relawan yang militan dalam mendukung upaya konservasi satwa liar di Indonesia dengan aksi-aksinya yang heroik.

Seorang teman lama yang kini tinggal di Semarang dan bekerja di sebuah perusahaan otomotif menyempatkan diri untuk datang juga di acara Jambore OranguFriends di Yogyakarta. Mahadma Odie namanya, yang telah saya kenal kurang lebih sepuluh tahun sejak sama-sama menjadi relawan di sebuah organisasi perlindungan satwa liar Indonesia. Meskipun kini berkecimpung jauh dari hubunganya dengan konservasi satwa liar tetapi hati dan pikirannya masih belum berubah, dia masih begitu peduli dengan kegiatan yang berhubungan dengan satwa liar Indonesia. Idealisme itu tak pernah mati.

Hari Sabtu, tanggal 14 Desember 2013, 
Dua orang teman lainnya datang menyusul ke bumi perkemahan di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta tempat kami berkemah. Dia saat ini bekerja di International Animal Rescue yang sering memberikan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar kawasan habitat satwa liar baik di Jawa Barat maupun di Provinsi Lampung, Sumatera tentang pentingnya konservasi satwa liar, yakni Ayut Enggeliah Entoh namanya. Dia sudah lama beraktifitas untuk konservasi satwa liar sejak masih tinggal di Malang, Jawa Timur. Seorang teman lagi juga berkecimpung di dunia konservasi satwa liar di Jawa dan sering mengungkap kasus kejahatan terhadap satwa liar di berbagai daerah di Indonesia.  

Karena memiliki minat yang sama mengenai konservasi satwa liar menjadikan pertemanan kami menjadi persaudaraan. Kesibukan dengan aktivitas masing-masing membuat kami lama tidak bertemu, hanya beberapa saja dari mereka yang saya pernah bertemu sebelumnya. Kesempatan ini tidak mungkin dilewatkan begitu saja, untuk nongkrong bersama, bercanda, bermain bersama, saling tukar cerita tentang aktivitas masing-masing dan berdiskusi membicarakan satwa liar dan permasalahannya. Ternyata belum berubah dengan sepuluh tahun yang lalu, mereka masih mempunyai semangat yang sama untuk perlindungan satwa liar meskipun kini sudah memiliki lembaga masing-masing bahkan beberapa dari mereka telah mandiri dan mendirikan lembaga sendiri yang bergerak dibidang konservasi satwa liar, yakni Centre for Orangutan Protection (COP) dan Bali Sea Turtle Society (BSTS).  Apapun latar belakang kita dan di lembaga manapun kita bekerja, justru keanekaragaman ini yang membuat kami saling menyemangati dan mendukung satu sama lain dalam beraktifitas di bidang konservasi satwa liar, dan tidak untuk memusuhi, saling menjatuhkan atau bahkan menganggap sebagai lawan dan ancaman.

Jambore OranguFriends, Yogyakarta 13 - 15 Desember 2013 

Semoga kita masih diberi banyak kesempatan untuk bisa bertemu di waktu yang akan datang. Dan apa yang telah teman-teman perbuat bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang di Indonesia untuk peduli terhadap satwa liar di negaranya sendiri dengan berbagai cara sesuai latar belakang masing-masing.  Karena untuk berbuat sesuatu bagi upaya konservasi satwa liar Indonesia tidak harus kita memiliki pendidikan kehutanan, kedokteran hewan, biologi ataupun peneliti dan berpendidikan tinggi.  Dan tidak harus kita punya latar belakang pekerjaan di Kementerian Kehutanan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi satwa liar. Kita masih bisa berkonstribusi nyata bagi konservasi satwa liar di Indonesia dengan latar belakang apapun sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan masing-masing melalui banyak cara. 

Selasa, 12 November 2013

Chemical and Physical Restraint of Wild Animal


Hanya ingin berbagi beberapa cara pembiusan satwa liar dan cara penanganannya selama terbius. Digunakan pada saat kita melakukan rescue (penyelamatan) satwa liar di habitat baik dari daerah konflik, dari perburuan maupun karena penyakit, dan restraint untuk keperluan pemeriksaan medis pasca rescue, pemasangan transponder pada tubuh satwa untuk tujuan research dan penandaan individu serta pelepasliaran kembali ke habitat. Mengingat setiap spesies satwa liar memiliki teknik yang berbeda dalam penanganannya, begitu juga dengan kondisi satwa dan kondisi lingkungan sekitarnya saat dilakukan pembiusan. Peralatan yang minimalis yang bisa dibawa ke lapangan juga berpengaruh karena tidak akan bisa seperti penanganan satwa liar di rumah sakit atau klinik hewan yang cenderung dilengkapi dengan fasilitas medis yang cukup memadai.


Beberapa cara pembiusan satwa liar :
Chemical Restraint

at Malilangwe Wildlife Reserve, Zimbabwe - Africa. Photo : Michael Sibalatani

Cara pembiusan gajah, badak, jerapah liar di Africa, dengan kondisi habitat terbuka atau satwa liar bisa terlihat dengan mudah dengan tembak bius. Helicopter bergerak mengikuti satwa target yang berlari kencang di bawah. Pembiusan dilakukan dari atas helicopter.


Photo : Erni Suyanti Musabine
Photo : Erni Suyanti Musabine
Cara pembiusan singa liar di Africa, yakni singa dipancing keluar dari perbukitan berbatu dengan menggunakan rekaman suara zebra yang merupakan salah satu satwa mangsanya, dengan menggunakan pengeras suara yang diarahkan ke perbukitan tempat singa berada. Dan disediakan bangkai zebra untuk memancing singa mendekat sesuai dengan yang kita inginkan.  Pembiusan dilakukan dari mobil yang bisa melihat dengan jelas kearah singa tersebut.  Bila pembiusan dilakukan untuk pergantian alat transponder semacam Radio-Frequency Identification yang ditanam di tubuh satwa, maka digunakan juga alat detektor untuk mendeteksi keberadaan singa dan mengidentifikasi singa yang menjadi target pembiusan diantara kelompoknya dan pembiusan dilakukan dengan cara tembak bius dari atas mobil yang diparkir tak jauh dari kelompok singa tersebut.


Photo : Erni Suyanti Musabine
Cara pembiusan keledai (donkey) dalam kandang luas.  Menggunakan tembak bius dari luar kandang.


Photo : Erni Suyanti Musabine
Photo : Erni Suyanti Musabine
Cara pembiusan impala di habitat.  Impala biasa hidup berkelompok, untuk mempermudah pembiusan dilakukan penggiringan kawanan impala terlebih dahulu  dengan menggunakan air craft (pesawat kecil) dan diarahkan menuju jaring yang panjang terbentang. Impala yang terjebak di jaring ditangkap dan dibius dengan cara suntik langsung.


Photo : Erni Suyanti Musabine
Photo : Erni Suyanti Musabine
Cara pembiusan wildebeest di habitat.  Wildebeest juga hidup berkelompok dalam jumlah besar, bahkan seringkali bercampur dengan zebra dan satwa liar lainnya.  Kawanan wildebeest digiring dengan menggunakan air craft (pesawat kecil) dan diarahkan menuju lokasi yang sudah dibatasi terpal yang disekat-sekat dengan bentuk mengerucut, semakin menyempit.  Begitu wilebeest berlarian memasuki lokasi yang dibatasi terpal tersebut, maka langsung ditutup dengan terpal lainnya, sampai akhirnya wildebeest memasuki kandang yakni areal yang telah disekat dengan papan seng. Tembak bius wildebeest dilakukan dari atas mobil atau dari atas kandang.


Sumpit bius harimau terjerat. Photo : BKSDA Bengkulu

Cara pembiusan harimau terjerat.  Kondisi harimau terjerat pasti sangat stress sehingga perlu berhati-hati dalam pembiusan.  Perlu tindakan rescue yang tidak memicu stress harimau seperti diupayakan kehadiran tim rescue tidak terlihat oleh harimau bila memungkinkan.  Tidak berpakaian mencolok dan tidak menggunakan bau-bauan yang menyengat seperti parfum, merokok dan lain-lain saat berada dilokasi sekitar satwa target.   Batasi petugas yang mendekati satwa target, hanya orang yang berkepentingan saja yang mendekati satwa, seperti dokter hewan, seorang petugas dokumentasi dan seorang petugas yang bersenjata untuk mengamankan tim tersebut. Petugas lainnya lebih baik menunggu di lokasi yang jauh dan tidak terlihat oleh satwa target. Pembiusan dilakukan di tempat tersembunyi dengan cara sumpit bius ataupun tembak bius dengan kecepatan dan kekuatan tembak yang tidak terlalu kencang (pilih peluru warna hijau/ untuk jarak dekat) dan ada peredam suara.  Tetapi sumpit bius akan lebih baik dibandingkan dengan tembak bius.


Sumpit bius harimau dalam kandang
Photo : BKSDA Bengkulu
Pembiusan dengan hand inject
Cara pembiusan harimau di dalam kandang.  Bila kandang sempit bisa menggunakan sumpit bius, dan bila kandang luas bisa menggunakan tembak bius, serta jika mempunyai fasilitas kandang jepit maka pembiusan bisa dilakukan dengan cara suntik dengan tangan langsung.


Penanganan satwa liar selama terbius
Reposisi
Reposisi (memperbaiki posisi) tubuh satwa pasca pembiusan sangatlah penting untuk mencegah terjadinya efek samping yang buruk selama terbius seperti depresi nafas.  Pembiusan pada badak, posisi tubuh satwa harus sternal recumbency berbeda dengan pembiusan pada gajah, maka posisi yang aman dan tepat adalah lateral recumbency atau bisa juga dengan posisi standing sedation.  Bila posisi satwa tidak seperti itu maka perlu cepat-cepat direposisi untuk menghindari efek samping yang buruk terjadi.


Reposisi tubuh Badak (Whiterhino) dan Gajah liar pasca anesthesia.
Photo : Erni Suyanti Musabine

Physical restraint.
Terkadang tidak cukup dengan pembiusan saja untuk restraint, juga perlu dikombinasikan dengan physical restraint selama pembiusan seperti contohnya menggunakan tali untuk mempertahankan posisi satwa.  Bisa juga dibantu dengan net (jaring) dan peralatan lainnya yang disesuaikan dengan jenis satwa.

Physical Restraint pada Jerapah, Gajah Sumatera, Harimau Sumatera dan Impala
Photo : Erni Suyanti Musabine

Menutup telinga dan mata

Pembiusan Badak (Whiterhino), Jerapah, Impala, Harimau Sumatera, 
Gajah Sumatera. Photo : Erni Suyanti Musabine

Recording.
Semua tindakan yang dilakukan di setiap tahap pembiusan perlu dicatat dalam immobilization worksheet.


Recording.  Photo : Erni Suyanti Musabine

Monitoring vital signs
Memeriksa frekuensi detak jantung dan pulsus per 5-10 menit sekali

Pemeriksaan frekuensi detak jantung pada Harimau Sumatera 
dan Badak Afrika (Whiterhino). Photo : Erni Suyanti Musabine


Memeriksa frekuensi pernafasan per 5-10 menit sekali

Pemeriksaan frekuensi nafas pada Harimau Sumatera dan Jerapah
Photo : Erni Suyanti Musabine

Memeriksa suhu tubuh per 5-10 menit sekali

Pemeriksaan suhu tubuh pada Gajah Afrika, Badak Afrika, Harimau Sumatera 
dan Rusa Totol. Photo : Erni Suyanti  Musabine & Martin Mulama

Pemberian oksigen

Pembiusan Jerapah dan Whiterhino (badak).  Photo : Erni Suyanti Musabine

Pengambilan sampel darah. 
Selain sampel darah juga bisa dilakukan pengambilan sampel lainnya seperti feces, rambut, parasit, untuk berbagai keperluan seperti tes DNA, pemeriksaan parasitologi, dan lain-lain

Koleksi sampel darah Orangutan Kalimantan, Harimau Sumatera dan Gajah Sumatera
Photo : Centre for Orangutan Protection & Erni Suyanti Musabine

Pengobatan dan Pencegahan
Pemberian antibiotik long acting, untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder pada bekas suntik bius.
Pemberian salep mata

Pemberian antibiotik long acting pasca tembak bius/ sumpit bius
pada Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera
Photo : Erni Suyanti Musabine

Fluid Therapy (jika diperlukan).  
Therapy cairan yang direkomendasikan adalah melalui intra vena, pemberian secara sub cutaneus pada rescue satwa liar kurang banyak membantu.


Fluid therapy pada gajah liar dan harimau sumatera saat rescue dari jerat
Photo : BKSDA Bengkulu

Pemberian obat-obatan emergency dan tindakan medis untuk memperbaiki kondisi bila terjadi efek samping yang merugikan selama pembiusan, seperti hypothermia/ hyperthermia; henti nafas; henti jantung; shock; seizure (kejang); bloat dan lain-lain.

Salah satu cara penangan bila terjadi henti nafas 

Penyemprotan dengan air atau diberi peneduh atau pemberian air dingin per rectal.  Fungsinya untuk mencegah dan therapy hypertermia sebagai efek samping dari pembiusan dan kondisi temperatur lingkungan yang panas.

Mencegah hyperthermia pada Badak (Whiterhino), Jerapah, Harimau Sumatera 
dan Rusa Totol. Photo : Erni Suyanti Musabine & BKSDA Bengkulu 

Body measurement.  Pada gajah body measurement bisa digunakan untuk estimasi berat badan.

Photo : BKSDA Bengkulu 

Photo gigi.  Photo gigi harimau dan orangutan dapat digunakan untuk estimasi umur.

Gigi Orangutan Kalimantan, Harimau Sumatera dan Gajah Sumatera
Photo : Centre for Orangutan Protection & Erni Suyanti Musabine
 

Pemberian antidote
Antidote diberikan setelah semua tindakan yang diperlukan selesai dilakukan, untuk golongan alpha-2 Antagonists yakni Reversine (Yohimbin)  diberikan secara intra vena sedangkan Antisedan (Atipamezole) bisa diberikan dengan cara kombinasi antara intra muscular dan intra vena. Sedangkan untuk golongan opioid antagonists seperti M5050 (Diprenorphine) diberikan secara intra vena.

Penyuntikan antidote pada Gajah Afrika dan Keledai.
Photo : Erni Suyanti Musabine

Dalam setiap rescue (penyelamatan) satwa liar di habitatnya ataupun daerah konflik dengan berbagai penyebab perlu adanya pembatasan petugas yang melakukan chemical restraint, yakni pembiusan guna mencegah satwa panik dan stress melihat kehadiran banyak orang karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap keberhasilan pembiusan (dalam kondisi stress maka obat bius tidak akan bisa bekerja dengan sempurna) dan keselamatan tim terancam bila satwa panik dan berontak atau terlepas dari jerat dan menyerang petugas guna mempertahankan diri. Itu sifat alami satwa liar dalam kondisi terdesak pasti akan berusaha untuk mempertahankan diri.  Tim yang diperlukan saat pertama kali mendekati satwa liar guna pembiusan adalah (untuk rescue harimau) :
  1. Dokter hewan dan atau seorang petugas dibawah supervisi dokter hewan; 
  2. Seorang petugas yang bersenjata (Polisi kehutanan, Polisi, TNI) untuk melindungi dokter hewan saat mendekati satwa target;
  3. Petugas dokumentasi.  
Petugas lainnya menunggu dalam jarak tertentu yang tidak terlihat oleh satwa. Bila satwa tersebut sudah aman didekati atau sudah terbius baru mendekat ke lokasi untuk mulai bekerja.

Minggu, 10 November 2013

Suka Duka dalam Melakukan Pemeriksaan Post Mortem Satwa Liar bagi Dokter Hewan

Necropsy Clouded leopard at BKSDA Bengkulu

Dalam mengungkap penyebab kematian satwa liar dengan pemeriksaan post mortem tidak semudah saat kita melakukan necropsy.  Banyak kendala yang sering dihadapi, dan itu muncul di setiap tahap yang kita lakukan. Diantaranya sebagai berikut :
  • Lokasi kejadian kematian yang berada jauh di tengah hutan, sehingga seringkali satwa liar yang ditemukan telah membusuk dan tinggal tulang-belulang dan mempersulit pemeriksaan, selain perjalanan yang sulit untuk menjangkau lokasi dan musti ditempuh dengan  berjalan kaki dengan medan yang buruk.
  • Lokasi yang jauh di dalam hutan juga mempersulit dalam transportasi dan penyimpanan specimen agar tetap dalam kondisi baik sampai keluar hutan.
  • Bila satwa liar ditemukan mati pada hari libur akan berpengaruh terhadap pengurusan administrasi (surat pengantar specimen) dan pengiriman sampel karena kantor dan jasa pengiriman barang libur, sehingga specimen gagal dikirim dan menjadi tertunda, ini beresiko terhadap rusaknya specimen bila tidak memiliki fasilitas penyimpanan specimen yang baik.
  • Administrasi untuk pengiriman specimen, disaat specimen sudah siap dikirim cepat terkadang terkendala masih harus menunggu agar surat pengantar specimen ditanda-tangani oleh pihak berwenang, bila pihak berwenang sedang tidak ada ditempat atau bertepatan dengan hari libur kerja maka pengiriman specimen jadi tertunda.  
  • Bila specimen sudah siap dikirim cepat dan persyaratan administrasi surat-menyurat telah tersedia terkadang muncul kendala di biro jasa pengiriman barang yang seringkali menolak menerima pengiriman barang berupa bagian-bagian tubuh dari satwa liar dengan tujuan apapun dengan berbagai alasan. 
  • Pengemasan specimen yang kurang tepat dan transportasi yang lama juga akan menyebabkan sampel rusak dan tidak bisa diperiksa, hal ini juga dipengaruhi oleh fasilitas untuk penyimpanan dan transportasi specimen yang kurang memadai.
  • Dalam kasus wildlife crime, setelah hasil pemeriksaan laboratorium keluar bisa dijadikan bukti untuk membantu penyidikan.  Dan tugas dokter hewan tidak akan berhenti sampai disitu, selain membuat Visum et Repertum untuk penyidik kepolisian ataupun PPNS juga terkadang diminta sebagai saksi ahli dalam persidangan dan bisa membuktikan secara ilmiah berdasarkan profesinya kepada hakim bahwa satwa liar yang dimaksud adalah korban kejahatan.  Tentu waktunya akan banyak tersita berurusan dengan penyidik dan pengadilan.