Rabu, 14 September 2011

The East Nusa Tenggara Museum, near the tourist office, houses of collection of arts, crafts and artefacts from all over the province

Mengenal budaya Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan mengunjungi Museum Negeri Kupang.  Museum yang menyimpan koleksi bersejarah Nusa Tenggara Timur termasuk adat istiadat dan sejarah masa lalu.

Kerangka Ikan Paus di Museum Negeri Kupang
Setelah membaca di internet tentang ada tulang kerangka ikan paus yang panjangnya mencapai 18 meter tersimpan di Museum Negeri Kupang, membuat saya penasaran ingin melihatnya.  Sebelum berangkat ke museum tersebut, saya mencari informasi terlebih dulu melalui internet mengenai lokasinya, biaya masuk dan waktu kunjungan.

Museum tersebut dikelola oleh Dinas Pariwisata Provinsi NTT.  Museum dibuka mulai pukul 08.00 WITA s/d pukul 16.00 WITA.  Biaya masuk yang dikenakan pada pengunjung hanya Rp. 750,  sangat murah bukan ?  Di gedung pertama kami berkeliling tanpa ditemani oleh interpreter.  Tampak ada sebuah bendera merah putih dengan ukuran sangat besar terletak dalam kaca, menurut informasi bendera tersebut sepanjang 1000 meter.  Bendera tersebut pernah diarak keliling Kota Kupang merupakan pemberian Front Pembela Tanah Air pimpinan Eurico Guiteres, sebagai bukti mereka lebih cinta tanah air Indonesia pasca jajak pendapat di Timor Timur.  Selain itu ada berbagai macam benda-benda yang menunjukkan keanekaragaman  suku dan budaya di NTT serta benda-benda arkeolog.

Ikan Paus ini dulunya terdampar di Pantai Oeba,
Kupang, pada tahun 1972
Setelah bertanya pada seseorang yang kami jumpai diluar gedung akhirnya kami menemukan juga letak tulang kerangka ikan paus yang ingin kami lihat.  Di ruangan berdinding kaca tersebut terlihat ada kerangka kan paus yang panjang.  Ternyata ikan paus tersebut ditemukan di Pantai Oeba saat terdampar disana pada tahun 1972.  Pantai Oeba, pantai yang tidak asing bagiku karena sering mengunjungi pantai tersebut, tidak hanya pergi ke pasar tradisional dan lokasi nelayan menurunkan ikan, juga hanya untuk sekedar berjalan-jalan di pagi hari.  Konon, daging paus tersebut dibagi-bagikan kepada warga sekitar, dan kerangkanya akhirnya disimpan di Universitas Nusa Cendana, kemudian dipindahkan ke Museum Negeri Kupang.

Museum Negeri Kupang, NTT
Membagi-bagikan daging paus bukanlah pekerjaan yang mudah, memisahkan daging dan kerangka membutuhkan waktu satu hari lebih jika dilakukan beramai-ramai.  Dan untuk menyelesaikan ritual pemotongan paus secara keseluruhan bisa menghabiskan waktu selama dua hari.  Tugas untuk membagikan daging paus secara merata diberikan kepada salah satu Atamola (pembuat perahu penangkap Ikan Paus Paledang),  istilah ini juga berarti orang pintar.  Atamola akan menggunakan pisau yang dibuat khusus berukuran panjang atau disebut dengan duri, yakni untuk membelah paus pertama kali sebelum memotong kerangka paus.  Goresan -goresan ini akan menentukan pembagian daging paus secara merata diantara para penangkap, pemilik Paledang, tuan tanah dan para penduduk yang membantu proses pembagian daging ikan paus ini.       

Pesona Keindahan Pulau Rote, Kepulauan Paling Selatan Indonesia ini akhirnya menjadi tempat berlibur yang mengesankan di tahun ini



Pulau Rote

Berawal dari keinginan untuk berlibur menikmati kembali pesona keindahan alam pulau-pulau terluar di bagian timur wilayah Indonesia akhirnya membuatku mencoba untuk mencari informasi tentang tempat-tempat indah yang bisa dikunjungi, bagaimana caranya pergi kesana, berapa biaya yang dibutuhkan serta mencari tempat penginapan yang ideal disana melalui browsing informasi di internet.  Akhirnya Rote Island menjadi pilihan pertama.

Baa, Ibukota Kabupaten Rote Ndao, NTT

Kepulauan Rote merupakan satu wilayah kabupaten, yakni Kapubaten Rote Ndao di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.  Merupakan kabupaten paling selatan di Republik Indonesia.  Ibukota kabupaten ini terletak di Baa. Kabupaten Rote Ndao memiliki luas wilayah 1.731 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 76.352 jiwa (Th. 2000).  Terdapat 8 kecamatan di kabupaten ini, yakni Kec. Rote Timur; Kec. Pantai Baru; Kec. Rote Tengah; Kec. Rote Selatan; Kec. Busalangga; Kec. Rote Barat Daya; Kec. Rote Barat Laut dan Kec. Rote Barat.


Asal Mula Nama Pulau Rote

Konon, asal nama Pulau Rote berasal dari kisah sebuah kapal Portugis yang terkena badai di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur.  Kapal itu karam tetapi penumpangnya berhasil menyelamatkan diri ke sebuah pulau. Saat tentara Portugis itu sampai ke pulau tersebut, mereka bertemu dengan penduduk lokal, seorang petani. Petani itu terkejut melihat orang kulit putih, karena terkejutnya saat salah satu tentara tersebut bertanya dimana dia berada sekarang, si petani yang tidak mengerti bahasa Portugis tergagap-gagap menjawab hanya dengan menyebutkan namanya...."Rote...Rote...", karena itu akhirnya pulau tersebut diberi nama 'Rote' dan sering disebut 'Roti' oleh orang luar negeri.


Transportasi


Kapal Ferry biasa dari Pelabuhan Bolok menuju
Pelabuhan Pantai Baru, Rote Ndao
Perjalananku dimulai dari Juanda Airport, Surabaya pada tanggal 2 September 2011.  Ada beberapa penerbangan domestik dari Surabaya, Jawa Timur menuju Kupang, Nusa Tenggara Timur, diantaranya Garuda Indonesia, Batavia Air, Sriwijaya Air dan Lion Air.  Dengan menggunakan penerbangan sore yakni Batavia Air pada pukul 16.45 WIB akhirnya saya sampai juga di El Tari Airport Kupang pada pukul 19.55 WITA.  Perjalanan kemudian dilanjutkan ke tujuan utama yakni Kepulauan Rote.  Banyak pilihan untuk menuju Pulau Rote, bisa mengunakan pesawat kecil 'Susi Air' dari El Tari Airport Kupang menuju Rote Ndao, atau bisa dengan naik kapal ferry cepat dari Pelabuhan Tenau menuju Pelabuhan Baa di Rote Ndao.  Kalau ingin yang lebih murah lagi bisa menggunakan kapal ferry biasa dari Pelabuhan Bolok menuju Pelabuhan Pantai Baru dengan biaya jauh lebih murah dan perjalanan jauh lebih lama.

Pilihanku jatuh pada 'ML Express Bahari' yakni sebuah kapal cepat yang membawaku meninggalkan Timor Island menuju Rote Island, karena dengan ferry cepat bisa turun langsung di Ibukota Kapubaten Rote Ndao yang punya akses transportasi lebih mudah untuk menuju Nembrala.  Pagi itu pukul 07.00 WITA saya dijemput taxi yang akan mengantarku ke Pelabuhan Tenau.  Mobil taxi disini tidak seperti taxi-taxi di kota besar yang berplat nomor warna kuning harga sesuai jarak tempuh yang tertera di argo, tetapi yang menjemputku adalah mobil APV berplat nomor hitam dan harga sudah dipatok sebesar Rp. 70.000,- per trip menuju ke Pelabuhan Tenau.  Pukul 07.27 WITA, sampailah saya di Pelabuhan Tenau. Ada 2 ticket yang ditawarkan, VIP class biayanya sebesar Rp. 165.000,- per orang sedangkan economics class sebsar Rp. 120.000,- per orang.  Sedangkan biaya masuk mobil pengantar penumpang ke pelabuhan sebesar Rp. 5000,- per mobil yang juga ditanggung oleh penumpang.  Perjalanan menggunakan kapal ferry ML Express Bahari ditempuh hampir 2 jam, yakni mulai dari pukul 08.45 WITA sampai di Pelabuhan Baa pukul 10.31 WITA.  Tapi kalau sedang musim angin barat, yaitu antara bulan Januari s/d Pebruari perjalanan yang ditempuh bisa sampai 2,5 jam.  Dan kita tidak bisa menikmati  perjalanan dan indahnya pemandangan Selat Rote atau disebut juga dengan Selat Pukuafu.  Pada saat musim angin barat tinggi gelombang laut bisa mencapai 3-6 meter dengan kecepatan angin 25-30 knot/jam atau 40-45 km/jam.  Menurut informasi Selat Rote termasuk selat paling ganas di perairan Indonesia karena di selat ini merupakan tempat bertemunya arus gelombang dari Laut Sawu, Laut Timor, Laut Flores dan Samudra Hindia. Saat kapal ferry yang kunaiki melewati selat ini akan terasa perbedaannya adanya goncangan dan kapal bergoyang-goyang lebih keras di banding sebelum dan setelah melewati selat tersebut yang cenderung lebih tenang gelombangnya.

Boa Beach
Teman seperjalananku selain penduduk lokal, terlihat banyak wisatawan asing yang juga mengunjungi Pulau Rote, dengan masing-masing membawa papan untuk surfing.  Tujuan mereka adalah Pantai Nembrala yang terletak di Barat Daya Pulau Rote.  Nembrala adalah surganya bagi peselancar yang sudah tersohor ke berbagai negara sebagai tempat favorit untuk surfing.  Tak heran bila pengunjung terbanyak adalah orang asing yang ingin berselancar.  Pada musim kemarau yakni mulai dari April dan puncaknya Juli s/d September, ombak akan sangat besar  di Nembrala.  Khabarnya 'Surfing Festival' tahun ini akan diadakan sekitar pertengahan Bulan September atau awal Bulan Oktober di Pantai Boa, yang merupakan tempat paling indah dan ombak paling ideal untuk surfing di Pulau Rote. Sayang sekali, saya mengunjungi tempat itu di awal Bulan September sehingga tidak bisa menyaksikan festival tersebut.

Angkutan umum dari Baa ke Nembrala
Sesampainya di Pelabuhan Baa, cuaca terasa lebih panas dari Kota Kupang.  Cuaca panas jadi tak terasa, terobati oleh perasaan gembira karena akhirnya bisa menginjakkan kaki juga di Pulau Rote.  Dekat pintu keluar Pelabuhan Tenau terlihat angkutan umum 'Dolo Rossa' dan mobil bison warna merah bertuliskan Nembrala.  Mobil warna putih bertuliskan 'Dolo Rossa' dan 'Nembrala' merupakan angkutan umum dari Pelabuhan Tenau menuju Desa Nembrala dengan biaya Rp. 25.000,- per orang. Bila charter angkutan tersebut dikenai biaya Rp. 250.000,- per mobil.  Selain angkutan umum juga ada ojek dan mobil jemputan tamu/wisatawan milik salah satu resort di Nembrala Beach.  Sebelum memutuskan naik angkutan umum, mampir sebentar ke Bank, hanya ada 2 bank di Kota Baa yakni Bank BRI dan Bank NTT yang letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Tenau dan bisa berjalan kaki untuk menuju kesana.  di kota inilah terakhir kita bisa menarik uang karena setelah itu kita tidak akan menjumpai Bank dan ATM lagi sampai di Nembrala.


Penginapan

Sesuai dengan pesanan, pukul 11.14 WITA angkutan umum 'Dolo Rossa' menjemputku ke Bank BRI Baa dan selanjutnya membawaku menuju Desa Nembrala.  Penumpangnya hampir seluruhnya adalah penduduk lokal, selama di dalam angkutan serasa berada di planet lain karena bahasa mereka tidak bisa kumengerti berbeda sekali dengan bahasa yang digunakan oleh orang-orang di Kupang yang masih bisa kumengerti.  Sesampainya di desa Nembrala tujuanku pertama kali adalah penginapan Anugerah yang terletak di dekat Pantai Nembrala, biaya penginapan yang ditawarkan sebesar Rp. 200.000,- per malam per orang.  Tampak banyak wisatawan manca negara yang menginap disana.  Akhirnya kuputuskan untuk mencari tahu beberapa penginapan lainnya di Pantai Nembrala, dari seorang guru SD yang kujumpai di jalan akhirnya mengantarku ke homestay Tirosa pada pukul 12.55 WITA.  Homestay Tirosa jadi pilihan karena harganya lebih murah yakni Rp. 150.000,- per malam per orang dibanding lainnya.  Selain itu yang jadi pertimbangan adalah penginapan Tirosa letaknya berbatasan langsung dengan Pantai  Nembrala, memiliki restorant sehingga tidak susah payah untuk mencari makan selama berada disana serta pengelolanya sangat ramah. Selain Tirosa masih banyak penginapan lainnya seperti homestay Jenet yang harganya Rp. 250.000,- per malam per orang,  Nembrala Beach Resort yang dikelola oleh orang asing mematok biaya US $160 per malam dan masih banyak lagi yang lainnya. Biaya penginapan di Nembrala tidak dihitung per kamar tetapi per kepala, jadi jika ada orang yang menginap dalam satu kamar berisi dua orang atau lebih maka biaya per malam akan menjadi beberapa kali lipat dari harga yang ditawarkan sesuai dengan jumlah orang yang memakai kamar tersebut dibandingkan dengan harga per kamar per orang.  Tempat tidur sudah dilengkapi dengan mosquito net jadi tidak perlu mengkhawatirkan serangan nyamuk.  Akses internet dengan Telkomflash cukup lancar disana bisa dinikmati siang malam, hanya listrik baru menyala pada sore hari sampai pagi hari saja. Ketersediaan air untuk keperluan mandi akan dibiarkan kosong bila kita tidak minta ke pengelola penginapan.

Salah satu penginapan di Nembara Beach
Dari seluruh wisatawan yang menginap di Homestay Tirosa hanya 3 orang yang bukan wisatawan asing, dan lainnya adalah semua orang bule yang hobby surfing.  Bermalam di penginapan di Nembrala serasa berada di rumah sendiri karena hubungan kekeluargaan terasa dekat tidak hanya dengan pengelola penginapan tetapi juga dengan sesama pengunjung yang menginap disana, bisa saling mengenal, bertukar cerita dan selalu makan bersama dalam satu meja, dan ini adalah kesempatan untuk bisa saling mengenal satu sama lain. Ternyata wisatawan asing yang mengunjungi Nembrala Beach dan menginap di Homestay Tirosa saja berasal dari berbagai negara, yakni Australia, New Zealand, Bosnia, Portugal, Germany, UK dan lain-lain. Nembrala adalah surganya para peselancar.  Konon kedahsyatan ombaknya nomor dua di dunia setelah Hawaii, mengalahkan Kuta yang lebih tenar.  Tak mengherankan secara diam-diam di kalangan peselancar asing, Nembrala merupakan daerah tujuan wisata minat khusus.  Dan secara rutin Pulau Rote dijadikan sebagai tempat diadakannya 'Surfing Festival' setiap tahunnya. 


Nembrala Beach


Nembrala Beach. Photo by Erni Suyanti Musabine


Sunset at Nembrala Beach 
Hari pertama di Nembrala sehabis makan siang sampai sore kumanfaatkan untuk jalan-jalan di pantai sambil menikmati sunset dan hunting obyek menarik untuk difoto.  Setelah matahari terbenam baru kembali ke penginapan. 

Hari kedua di Nembrala memutuskan menyewa sepeda motor untuk dipakai berkeliling Rote.  Di Desa Nembrala ada penyewaan sepeda motor Rp. 60.000,- per motor per hari terhitung pemakaiannya dari pagi hingga sore hari.  Sedangkan penyewaan sepeda gunung (mountain bike) hanya Rp. 35.000,- per hari.  Rencana  hari itu sehabis sarapan pagi kami akan berkeliling dan pergi ke Pantai Boa untuk berenang dengan menggunakan motor sewaan.  Saat makan malam saya diberi saran oleh seorang turis asal New Zealand untuk pergi berenang di Pantai Boa karena tempatnya sangat indah, berpasir putih dan arusnya tenang. Ombak di Boa Beach lebih menarik untuk surfing dan pemandangannya sangat indah, namun sayang belum banyak penginapan disana, hanya terlihat satu penginapan di pinggir Pantai Boa, sehingga turis yang ingin ke Pantai Boa menginapnya di Nembrala.


Nembrala Beach. Photo by Erni Suyanti Musabine


Anak-Anak Rote Ndao
Nembrala Village
Sepanjang perjalanan dari Desa Nembrala menuju Pantai Boa pemandangan di kiri kanan jalan adalah laut biru yang jernih, serta bukit-bukit karang dan pepohonan khas daerah kering dengan daun berwarna hijau kecoklatan, serta terlihat ada beberapa ekor kuda yang sedang merumput.  Kondisi jalan cukup bagus, sudah beraspal tetapi mendekati Boa jalan rusak.  Memasuki Boa, terlihat anak-anak kecil ramai menyapa kami dan berlarian mengejar kami dengan memberikan tangannya untuk 'tos'.  Sungguh menyenangkan.


Perjalanan dari Nembrala menuju Boa



Boa Beach

Boa Beach. Photo by Erni Suyanti Musabine


under water - Boa Beach
menikmati sunset
bersama anak-anak di Desa Nembrala

Sesampainya di Pantai Boa tampak air laut berwarna bening kehijauan dan kebiruan, pantai berpasir putih bersih. Tidak ada tenda-tenda penjual makanan di pinggir pantai sehingga tampak sepi dan masih alami.  Pantai seperti ini yang kucari. Saat itu air laut sedang surut sehingga saya bisa mendekati  ombak tinggi yang bisa dipakai untuk surfing karena jaraknya tidak terlalu jauh dari bibir pantai. Berjalan diatas batu karang yang dangkal karena surutnya air laut seperti berjalan diatas akuarium raksasa karena saya bisa sambil melihat-lihat ikan-ikan kecil beraneka warna dan melihat bulu babi, bintang laut, siput laut yang berenang dan bersembunyi disela-sela batu karang. Tak terasa sudah menghabiskan waktu di Pantai Boa sampai pukul 12.05 WITA.  Waktunya kembali ke penginapan di Desa Nembrala untuk makan siang.  Setelah istirahat siang sebentar, dilanjutkan dengan berkeliling Desa Nembrala dengan menggunakan motor sewaan.  menjelang sore hari tampak beberapa warga Desa Nembrala mencari rumput laut yang terseret ombak kepinggir pantai.  Sepanjang pantai Nembrala merupakan tempat budidaya rumput laut, bibit rumput laut didatangkan dari luar daerah, ada yang berwarna hijau ada juga yang berwarna merah keunguan.  Jalan-jalan dilanjutkan ke Pantai Nembrala sambil menikmati sunset dan bermain-main dengan anak-anak Rote, dan duduk dipinggir pantai sampai saatnya makan malam tiba.  Di kesunyian Desa Nembrala dan heningnya malam,  yang terdengar hanya suara ombak dan suara babi yang berkeliaran dimana-mana sebagai nyanyian pengantar tidur. 


Ada keunikan yang terlihat di Desa Nembrala, yakni bahwa makam-makam leluhur diletakkan di depan rumah ataupun di samping rumah bahkan ada yang dipinggir jalan.  Bentuknya yang unik tidak seperti kuburan yang umum sehingga banyak dimanfaatkan orang untuk berbagai macam keperluan.  Disana kuburan bukanlah hal yang menyeramkan, tetapi malah biasa dipakai untuk tempat ngobrol, duduk santai, tempat menumpuk kayu bakar, tempat bermain anak-anak, bahkan ada yang memakainya untuk tidur siang. Pernah terlihat ada orang yang meletakkan bantal diatas kuburan untuk tidur siang.  Pagar yang mengelilingi rumah dan kebun warga desa tersebut pun terlihat sangat unik, mungkin hanya bisa ditemukan di Pulau Rote, yakni terbuat dari tumpukan batu karang yang tertata rapi dengan ketinggian yang sama.  Hewan peliharaan yang sering terlihat adalah babi.  Seringkali menjumpai babi berkeliaran dimana-mana, di pantai, di halaman rumah warga dan dijalan-jalan.  Hewan itu tidak dikandangkan tetapi dibiarkan berkeliaran dimana-mana seperti pelihara ayam kampung saja.


Rumah Raja Kedoh dan Raja Ti'i

Rumah Raja Ti'i

Rumah Raja Kedoh di Baa
Dihari terakhir di Nembrala, kuhabiskan waktuku duduk sendiri di pinggir pantai sambil menikmati teh hangat dan pisang goreng serta memandangi ombak di laut.  Rasanya enggan meninggalkan tempat yang sunyi dan indah itu.  Tak lama kemudian seorang turis dari Australia menemaniku ngobrol.  Sampai akhirnya angkutan 'Dolo Rossa' menjemputku ke penginapan.  Pukul 06.55 WITA kami meninggalkan Nembrala dan menuju ke Baa, Ibukota Kabupaten Rote Ndao tempat dimana Pelabuhan Baa berada.  Selama perjalanan antara Nembrala dan Baa, kusempatkan diri untuk melihat dan mengabadikan rumah peninggalan Raja Ti'i dengan kameraku.  Selain itu angkutan juga berhenti sejenak di pasar Kecamatan Rote Barat Laut untuk beristirahat dan mencari tambahan penumpang.  
Pukul 09.25 WITA sampai juga di Kota Baa.  Untuk mengisi waktu luang sambil menunggu ferry cepat 'ML Express Bahari' berlabuh, saya mengunjungi bekas tempat tinggal Raja Kedoh di Baa, yang letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Tenau.  Rumah Raja Kedoh didirikan pada tahun 1939.  Sekarang ini rumah tersebut ditempati oleh keturunan dari Raja Kedoh.

Pukul 10.46 WITA, ferry ML Express Bahari baru saja berlabuh dan kemudian berangkat kembali menuju Pulau Timor (Kupang) pukul 11.49 WITA.  Sebelum meninggalkan Pulau Rote kusempatkan untuk membeli kain tenun hasil karya masyarakat disana dan topi khas Rote yang disebut topi Ti'i Langga.  Berharap kedua barang ini akan selalu mengingatkanku akan keindahan dan keunikan Pulau Rote, sekaligus membuatku merasa bangga bahwa Indonesia memang mempunyai pesona alam yang sangat indah yang banyak dikagumi oleh wisatawan manca negara.