Senin, 29 September 2014

Narasumber dalam Training "Human-Tiger Conflicts Mitigation" di Bengkulu


Hari Sabtu, tanggal 20 September 2014 saya mendapat undangan dari Yayasan Genesis Bengkulu untuk memberikan training sehari tentang 'Penanggulangan Konflik Manusia dengan Harimau' di Kota Bengkulu. Peserta pelatihan tersebut adalah perwakilan masyarakat dari beberapa desa di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu yang desanya berdekatan dengan habitat harimau sumatera dan Taman Nasional Kerinci Seblat, dan tentunya punya resiko tinggi terhadap terjadinya konflik antara warga setempat dengan harimau. Materi pelatihan yang diberikan diantaranya "Cara Identifikasi Keberadaan Harimau Sumatera", dilanjutkan dengan "Kiat-Kiat Mengindari Konflik dengan Harimau Sumatera", serta materi terakhir adalah "Metode Penanggulangan Konflik dengan Harimau Sumatera". Selain materi berupa presentasi lisan tersebut juga disediakan waktu untuk berdiskusi/ tanya jawab dan praktek. Kegiatan tersebut berjalan dengan lancar dimulai dari pagi dan berakhir di sore hari.

Beberapa hari kemudian saya kembali melakukan perjalanan ke luar kota yakni ke Kabupaten Mukomuko yang terletak diujung bagian utara Provinsi Bengkulu. Kebetulan saya mendapat undangan untuk menjadi narasumber dalam training yang sama, yakni tentang Human-Tiger Conflic Mitigation untuk private sectors (sektor swasta) yang akan dilaksanakan pada tanggal 24-25 September 2014. Sebelumnya di awal tahun ini saya beserta tim dari Forum Konservasi Harimau Sumatera (Forum HarimauKita) juga pernah memberikan training yang sama untuk private sectors di Provinsi Jambi dan Provinsi Riau. Dan kini diundang untuk menjadi narasumber bagi training yang diadakan oleh perusahaan perkebunan di Provinsi Bengkulu, yang juga memiliki areal HGU (Hak Guna Usaha) berdampingan langsung dengan habitat harimau serta memiliki hutan restorasi yang memang merupakan habitat harimau sumatera di areal konsesinya tersebut.

Mukomuko Airport. Photo : Erni Suyanti Musabine
Hari itu Selasa, tanggal 23 September 2014 saya berangkat dari Kota Bengkulu pukul 13.00 WIB dengan menggunakan pesawat kecil berkapasitas 12 orang dari Bandara Fatmawati Bengkulu menuju Bandara Mukomuko. Perjalanan yang ditempuh hanya selama 40 menit. Biasanya saya melakukan perjalanan ke Kabupaten Mukomuko via darat dengan jarak tempuh selama kurang lebih 7 jam. Harga tiket pesawat dan biaya travel juga tidak terlalu jauh, tiket penerbangan dengan pesawat kecil tersebut sebesar Rp. 340.000,- sedangkan dengan menggunakan travel sekitar Rp. 100.000,- s/d Rp. 180.000,- belum termasuk biaya untuk makan di perjalanan, dan ditambah lagi rasa kecapekan karena berjalanan yang lama dan jauh.

Sesampainya di Bandara Mukomuko, saya dijemput oleh karyawan dari perusahan tersebut untuk diantarkan ke guest house di tempat mereka. Terlihat disana juga sedang banyak tamu, saya tidak sendirian, namun kami mempunyai tujuan yang berbeda. Mereka ada yang sedang bekerja sebagai auditor dan dua orang lainnya dari perusaahan lain yang bergerak dibidang pengolahan limbah dan pemanfaatan limbah untuk biogas. Malam itu saya lebih banyak beristirahat di dalam kamar, sambil sebelumnya memeriksa kembali materi presentasi untuk training yang akan saya sampaikan esok hari nya.

Rabu tanggal 24 September 2014, pagi-pagi saya sudah bersiap diri untuk menuju lokasi training. Sebelum dimulai, di tempat training saya diperkenalkan dan berbincang-bincang sebentar dengan seorang expratiate yang merupakan General Manager perusahaan tersebut dan Bupati Mukomuko yang kebetulan juga ada di lokasi. Mendengar bahwa saya akan memberikan training tentang Human-Tiger Conflict Mitigation, bupati tersebut juga menghubungi organisasi Pencinta Alam di Kabupaten Mukomuko untuk ikut serta dalam pelatihan ini. Hari itu adalah jadwal saya seharian memberikan training tentang Human-Tiger Conflict Mitigation bagi semua manager di group perusahaan tersebut dan seluruh rangers dan asisten dari PT. Agromuko dan PT. MMAS. Materi training tidak hanya berupa oral presentation tetapi juga diskusi interaktif (tanya jawab) dan praktek di akhir kegiatan.

Training 'Human-Tiger Conflict Mitigation' di PT. Agromuko dan PT. MMAS, Mukomuko Bengkulu. 

Sesuai dengan hasil diskusi sebelumnya dan permintaan dari pihak perusahaan maka materi training yang saya berikan adalah 1. Sosialisasi Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-II/ 2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar; 2. Sosialisasi Panduan Praktis Penanganan Konflik antara Manusia dengan Harimau; 3. Cara Identifikasi Keberadaan Harimau dan Satwa Liar Lainnya; 4. Kiat-Kiat Mencegah dan Menghindari Konflik dengan Harimau; 5. Penanganan Harimau Sumatera Korban Konflik dan Perburuan Liar; 6. Praktek Pengenalan Alat untuk Mitigasi Konflik dengan Harimau. Materi yang harus saya sampaikan cukup banyak dan padat. Biasanya kami membutuhkan waktu sekitar 3 hari untuk pemberian materi seperti itu, namun kini dituntut untuk meringkasnya menjadi satu hari saja dan dengan hasil yang optimal. Sungguh ini pekerjaan yang berat, sebagai instructor, kita akan selalu berharap bahwa materi yang diberikan akan dipahami seluruhnya dan bisa diaplikasikan demi keselamatan karyawan dan orang-orang yang pekerjaannya sehari-hari bersinggungan langsung dengan habitat harimau serta demi keamanan harimau itu sendiri. Dan dari semua materi yang diberikan berhubungan dengan hal itu.

Selama waktu diskusi banyak pertanyaan dan juga berbagi pengalaman yang berhubungan dengan materi yang diberikan. Bahkan waktu training yang diberikan dirasa sangat kurang karena peserta sangat antusias untuk berdiskusi. Banyak pertanyaan yang sangat bagus disampaikan, diantaranya yang menjadi perhatian saya adalah :
Pertanyaan ini disampaikan oleh para manager :

  • Seperti apa peran sektor swasta dalam Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar ?
  • Bila terjadi Human-Elephant Conficts di areal perusahaan perkebunan, dan satwa tersebut dibunuh, apakah hukumannya dan adakah peraturan yang mengatur tentang itu ?

Pertanyaan seperti ini juga diajukan oleh manager lainnya yakni,

  • Di Kalimantan banyak orangutan yang dibunuh oleh perusahaan perkebunan sawit karena dianggap hama, begitu juga dengan gajah di Sumatera. Adakah aturan hukum yang mengatur untuk memberi sanksi pada para pelaku tersebut ?
  • Bila perburuan harimau hanya dikenai sanksi hukuman 5 tahun penjara dan denda 100 juta apakah hukuman itu tidak terlalu ringan karena tidak sebanding dengan harga jual harimau hasil perburuan di pasar gelap.
  • Apakah perambahan yang terjadi pada habitat harimau juga akan memicu terjadinya konflik ? Dan mengapa perambahan dan illegal logging seringkali tidak segera ditangani saat sebelum meluas dan semakin banyak ?

Pertanyaan yang diajukan oleh karyawan/ ranger :

  • Bagaimana cara penanganan konflik harimau yang berkeliaran di pemukiman ?
  • Pada tahun 2011 ada harimau yang berkeliaran di pinggir perkebunan dan terjadi perjumpaan langsung dengan masyarakat yang akan pergi ke ladang, harimau berjalan mengarah ke orang tersebut, apa yang harus dilakukan ?
  • Bila mencium bau bangkai dan juga menemukan jejak harimau disekitarnya maka apa yang harus dilakukan ?
  • Di salah satu estate milik perusahaan perkebunan juga banyak dijumpai macan dahan. Apakah perilaku makan macan dahan sama dengan harimau ?

Peserta Training dari PT. Agromuko dan PT. MMAS
Dan masih banyak pertanyaan berbobot lainnya yang tak mungkin saya sebutkan satu per satu disini. Dalam diskusi tersebut saya banyak menjelaskan hal-hal teknis di lapangan yang berhubungan dengan konflik harimau, kemudian tentang Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, karena harus menjelaskan tentang pengertian hutan dan institusi apa saja sebagai management authority baik yang di pusat atau daerah sebagai pengelolanya. Juga memberikan penjelasan mengenai Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kedua peraturan perundangan itu erat hubungannya dengan Human-Wildlife Conflict, yang satu membahas tentang satwa liar dilindungi dan satunya lagi membahas tentang habitatnya. Dan ini juga sangat berkaitan dengan Permenhut No. P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Satwa Liar, maka dalam Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik Manusia-Satwa Liar serta Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Manusia-Satwa Liar harus melibatkan banyak pihak, tidak hanya pemerintah pusat saja (Kementerian Kehutanan) tetapi juga pemerintah daerah, pihak swasta, LSM yang bergerak dibidang itu serta masyarakat dan aparat. Mereka punya peran masing-masing.

Kita ketahui selama ini dalam kejadian konflik antara manusia dengan satwa liar bahwa, "Siapa yang berbuat ? Siapa yang menanggung akibatnya ? Dan Siapa yang bertanggung jawab ?" Semua berbeda, bukan pihak yang sama, untuk itu sekarang semua harus ikut bertanggung jawab dalam penanganan konflik antara manusia dengan satwa liar ini. Mengingat pemicu konflik ini penyebabnya sangat komplek dan melibatkan banyak pihak untuk itu juga menuntut banyak pihak ikut bertanggung jawab dalam penanganan konflik ini.

Praktek Mitigasi Konflik Harimau. 
Siang harinya sampai menjelang sore hari, training dilanjutkan dengan praktek tentang pembuatan salah satu alat untuk mitigasi konflik harimau, yakni meriam karbit. Peserta kali ini hanya diikuti oleh petugas lapangan yakni asisten dan ranger. Kemudian kami praktekan cara pemakaiannya.

Pukul 17.00 WIB kegiatan training hari itu selesai dan akan dilanjutkan esok hari untuk materi lainnya. Saya diantarkan ke guest house. Sesampainya di depan penginapan, teman baru saya yang saya kenal ditempat itu, satu dari Indonesia dan satu lagi dari India, mereka adalah staff perusahaan pengolahan limbah untuk dijadikan biogas, menawari saya untuk ikut keluar makan bersama di Penarik. Akhirnya kami bertiga keluar ditemani oleh seorang supir perusahaan. Lumayan untuk refreshing sejenak dengan berbincang-bincang membahas makanan khas negara masing-masing, setelah capek seharian berbicara serius di depan peserta pelatihan. Malam itu saya ditraktir oleh teman dari India untuk makan Kwiteau, itulah makanan favoritnya selama berada di Mukomuko. Sepulang dari jalan-jalan dan sampai di guest house, kami masih juga makan malam kembali bersama dengan tamu lainnya :)

Saya tidak langsung beristirahat dan tidur, tapi masih berbincang-bincang santai di teras dengan teman lainnya. Akhirnya saya kembali ke kamar karena masih ada pekerjaan yang belum selesai dan musti saya ketik malam itu.

Praktek Analisa Vegetasi

Kamis, tanggal 25 September 2014. Hari itu materi training akan disampaikan oleh internal perusahaan yakni tentang Analisa Vegetasi, materi lainnya adalah Teknik Patroli dan Input Data Hasil Patroli ke Program Smart, Penggunaan GPS serta praktek lapangan. Peserta pelatihan adalah ranger, asisten serta diikuti oleh Pencinta Alam di Mukomuko yang ditugasi oleh Bupati Mukomuko untuk ikut serta. Sisa waktu hari itu saya manfaatkan untuk mengikuti training tersebut sambil menunggu jadwal penerbangan kembali ke Kota Bengkulu.

Sejak siang hari turun hujan deras, yang membuat cemas takut pesawat akan batal terbang ke Kota Bengkulu padahal saya musti kembali ke Bengkulu secepatnya karena ada tugas lainnya. Secepatnya membuat rencana/ Plan B bila diputuskan tidak ada penerbangan ke Bengkulu karena cuaca buruk. Saya akan naik travel malam harinya dan akan sampai Kota Bengkulu pagi harinya. Setelah menunggu lama di bandara dengan ditemani sopir dari perusahaan akhirnya hujan reda dan saya mempersilahkan sopir tersebut untuk kembali ke perusahaan, karena penerbangan ke Bengkulu akan tetap ada sore itu. Pukul 16.00 WIB berangkat dari bandara Mukomuko, sore itu saya bertemu lagi dengan Bupati Mukomuko yang kebetulan juga satu penerbangan dengan saya menuju Bengkulu.

Narasumber dalam Training Human-Tiger Conflict Mitigation
dan Analisa Vegetasi
Seharusnya kegiatan sosialisasi seperti ini bisa dilakukan oleh Penyuluh Kehutanan dan sudah harus menjadi kegiatan rutin di setiap BKSDA atau Taman Nasional yang di wilayahnya rawan konflik dengan satwa liar. Materi yang diberikan juga harus tepat sasaran dan sesuai kebutuhan disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah serta satwa liar jenis apa saja yang berkonflik dengan masyarakat disana. Karena cara penanganan konflik masing-masing satwa liar berbeda, harus memahami perilaku satwa liar dan hal-hal lain yang berhubungan dengan satwa liar tersebut. Materi juga harus mudah dipahami oleh masyarakat yang hidup berdampingan dengan habitat satwa liar serta bisa diaplikasikan secara nyata. Semua dilakukan untuk perlindungan satwa liar yang terlibat konflik, dalam hal ini adalah harimau sumatera dan habitatnya juga kenyamanan orang-orang yang tinggal berbatasan langsung dengan habitat harimau, mendorong mereka untuk bisa hidup berdampingan dengan harimau.

Dalam pelatihan ini juga diharapkan adanya peran aktif perusahaan sektor swasta dalam mencegah dan menangani konflik satwa liar, diharapkan di internal mereka sendiri sudah memiliki protokol pengambilan keputusan yang jelas bila menjumpai kasus konflik manusia-satwa liar di areal konsesinya. Dan setiap tindakan yang dilakukan tetap berpedoman bahwa Satwa Liar dan Manusia sama-sama penting, dan dilakukan secara tepat, cepat, efektif dan efisien. Dan mereka harus tahu sejauh mana yang bisa dilakukan oleh perusahaan/ sektor swasta dalam penanganan konflik satwa liar, dan tindakan apa saja yang hanya boleh dilakukan oleh petugas terkait/ pihak berwenang. Seperti penangkapan satwa liar sebagai upaya penanggulangan konflik atau penyelamatan dari perburuan hanya boleh dilakukan oleh pihak berwenang atau seijin pihak berwenang dalam hal ini BKSDA setempat, untuk menghindari terjadinya tindakan anarkis yang merugikan satwa liar dan mengancam jiwanya.

Minggu, 14 September 2014

Berbagi makanan untuk harimau di hari ulang tahunku :)


14 September 2014, adalah hari ulang tahunku. Aku sendiri tak selalu mengingatnya,
Sumatran tiger 'Elsa'. Photo by Erni Suyanti M
terkadang baru mengetahui kalau sedang berulang tahun dari teman-teman yang begitu banyak mengirimkan ucapan di hari ulang tahunku.  Dari masa kanak-kanak sampai dewasa di keluargaku memang tak pernah ada tradisi untuk perayaan ulang tahun sehingga bagiku pun hari ulang tahun sama seperti hari-hari lainnya. Tak pernah menerima kado ulang tahun dari keluarga, yang ada hanya hadiah bila kami mendapatkan nilai bagus di sekolah itupun untuk mendapatkannya musti berkompetisi ketat dengan saudara-saudaraku. Kebetulan mereka adalah juara kelas bahkan siswa terbaik di sekolahnya. Sedangkan aku di masa kecilku, aku bukanlah juara kelas hanya seorang siswa dengan nilai matematika terbaik di sekolah, dan juga senang ikut berorganisasi sejak usia dini serta senang ikut perlombaan bakat baik dibidang seni maupun olahraga.

Setelah beranjak dewasa baru aku mulai punya tradisi merayakannya bersama teman-teman dekatku. Seperti kebanyakan remaja lainnya yang suka merayakan ulang tahun dengan makan bersama, dan mendapat hadiah istimewa dari mereka. Moment seperti itu adalah saat yang paling membahagiakan tentunya. 

Saat aku telah bekerja dan berkecimpung dengan satwa liar, tradisi seperti itu tidak selalu dilakukan lagi. Mungkin karena aku sangat menyukai pekerjaanku dan menyukai satwa liar terancam punah yang aku tangani terkadang muncul ide-ide secara spontan untuk merayakan ulang tahun bersama mereka. Bukan aku namanya kalau tidak selalu punya ide-ide yang aneh. Berbagi kebahagian di hari yang istimewa tidak musti dengan sesama teman dan keluarga atau dengan sesama manusia, dengan makhluk lainnya pun tak ada salahnya menurutku. 

Sumatran orangutan ' Temara'. Photo by Erni Suyanti Musabine
Beberapa tahun yang lalu saat aku masih menjadi konsultan medis di Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera ada salah seekor orangutan betina bernama Temara. Orangutan ini lahir di kebun binatang Perth, Western Australia kemudian dilepasliarkan kembali ke hutan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Provinsi Jambi. Yang membuatku berkesan saat itu, orangutan Temara hari ulang tahunnya sama denganku, sehingga aku pun pernah punya ide untuk merayakan ulang tahun bersamanya di hutan. Sederhana saja, dengan membeli buah-buahan yang disukainya kemudian aku berbagi makanan itu dengannya :)

Dan hari ini, saat aku berulang tahun kembali aku ingin merayakannya dengan satwa yang ada disekitarku. Ide itu muncul tiba-tiba, kemudian aku langsung melaksanakannya tanpa berpikir panjang, aku ingin berbagi makanan dengan harimau kami bernama Elsa di hari ulang tahunku kali ini. 


Kenapa harus dengan harimau Elsa ?

with Tiger 'Elsa' on my Birthday
Karena dia salah satu harimau sumatera yang kondisinya telah menguras simpati dan emosiku saat ini. Teringat lagi hari itu, Kamis tanggal 3 April 2014 pukul 11.33 WIB telah berhasil membius harimau tersebut untuk melepaskannya dari jerat pemburu liar. Tim rescue dan harimaunya dalam kondisi selamat. Untuk menyelamatkannya pun bukanlah hal yang mudah, karena disaat itu ada dua ekor harimau lain yang menunggu dekat harimau terjerat, dan jerat sling masih terikat di kaki depannya meski telah putus dari kayu pengikatnya yang membuat harimau tersebut berjalan-jalan dan berpindah tempat serta harimau tak bisa terlihat dengan jelas dari jalan setapak karena masuk semak belukar. Upaya rescue harimau yang penuh resiko bagi keselamatan petugas dan tentu nyawa taruhannya karena harimau dalam kondisi bebas. Apapun kesulitannya namun akhirnya harimau bisa dievakuasi dengan berbagai trik yang muncul spontan di lapangan. Harimau selamat, petugas pun selamat setelah bekerja selama lebih dari 24 jam untuk penyelamatan harimau itu. Padahal kondisiku sendiri pada saat itu sedang sakit serius yang mengharuskan aku untuk istirahat total (bedrest). Bahkan dua petugas kami yang mengamankan lokasi harimau kelaparan karena tidak ada logistik yang datang karena harus menunggu lebih dari sehari.

Kedatangan kami bersama harimau pun tak pernah membuat orang-orang itu menanyakan hingga kini, "Bagaimana kondisi harimaunya ? Apakah tim rescue baik-baik saja? Apakah yang dibutuhkan untuk perawatan harimau itu ?" Ketahuilah, kami bukan orang yang minta dihargai dalam setiap kegiatan yang kami lakukan untuk satwa liar, yang kami inginkan hanya satwa yang kami bawa dan terluka itu perlu diperhatikan.   

Harimau sumatera yang aku beri nama Elsa akhirnya harus kehilangan 4 jari dan telapak kaki depannya yang bagian kanan karena harus diamputasi demi untuk menyelamatkan nyawanya. Kaki yang terkena jerat itu telah membusuk, jaringannya telah mati. Itu artinya dia akan cacat seumur hidup akibat korban para pemburu liar. Tidak cukup sampai disitu, bantuan makanan dari pihak otoritas pun tersendat-sendat yang membuatku harus menggalang dana dan mencari bantuan dari pihak lain. Karena nutrisi yang baik adalah salah satu faktor yang mempercepat penyembuhan. Meski aku sendiri tahu bahwa pegawai negeri sipil dilarang untuk mencari dana dari pihak lain kecuali dalam kondisi darurat, itu yang pernah diucapkan oleh pimpinanku. Bagiku harimau yang kelaparan dan tidak ada dana untuk membeli pakannya adalah kondisi darurat, tapi entah menurut pihak lain bila harimau yang lapar tidak dianggap darurat dan masih bisa diacuhkan. Berpikirku sederhana saja, bila lapar ya harus makan, dengan hanya menurut aturan tidak bisa membuat satwa menjadi kenyang dengan sendirinya tanpa adanya dana untuk membeli makanannya. Beberapa teman yang aku kenal baik yang di Indonesia maupun diluar negeri secara individu patungan untuk memberi makan harimau Elsa, mereka adalah teman-temanku di komunitas Forum Konservasi Harimau Sumatera (Forum HarimauKita) juga teman Pecinta Alam Wanala Unair, Juga mendapat bantuan dari beberapa orang yang bekerja di lembaga yang bergerak dibidang konservasi satwa liar baik perorangan maupun organisasi seperti ASTI dan Animals Indonesia. Dan yang lebih mengharukan lagi, para mahasiswa Kedokteran Hewan di Universitas Udayana Bali yang rela melelang barang-barang pribadinya untuk mengumpulkan dana guna membantu memberi makan harimau Elsa. Aku merasa terharu sekaligus bangga dan bahagia menghadapi kenyataan bahwa orang-orang Indonesia masih banyak yang peduli dengan satwa liar Indonesia sendiri. Karena selama ini kita sering mendengar bahwa bantuan untuk satwa liar seringkali datang dari orang asing.  

Setelah lima bulan berlalu kondisi Elsa sudah membaik tentunya. Dan secara medis telah direkomendasikan untuk ditranslokasi ke tempat yang lebih baik ataupun dilepasliarkan kembali bila perilakunya masih memungkinkan. Keinginan itupun belum terwujud karena adanya beberapa kepentingan yang membuat harimau itu akhirnya tetap dipertahankan dalam kandang sempit seperti saat perawatan untuk penyembuhan. Aku pun menghentikan upaya pencarian dana pakannya setelah membaca surat instruksi itu dengan tidak sengaja, karena aku tidak mau mengecewakan orang-orang yang telah menyumbangkan dananya untuk pakan Elsa, tentunya mereka banyak berharap agar selanjutnya hidup Elsa berakhir di tempat yang lebih baik. Dua kepentingan yang bertolak belakang itu membuatku kecewa tentunya, karena tidak setimpal dengan upaya yang telah kami lakukan untuk menyelamatkannya sampai sembuh. Kami juga tidak rela hidupnya akan berakhir di tempat yang kurang nyaman dan menyenangkan baginya. Akhirnya kusampaikan dan kuserahkan kembali perawatan harimau tersebut kepada pihak berwenang untuk menghidupinya. 


Hari ini, minggu tanggal 14 September 2014 aku teringat padanya. Beberapa cerita pilu yang sering kudengar, bahwa Elsa belum makan karena tidak ada dana untuk itu. Aku menelpon petugas yang biasa memberi makan untuk menanyakan sudah berapa hari Elsa tidak makan. Jawabannya membuatku bergegas ke pasar tradisional yang tak jauh dari tempatku tinggal. Aku ingin merayakan ulang tahunku dengannya. Aku tidak ingin merayakan ulang tahun dengan siapa pun, hanya  ingin dengannya saja. Aku ingin mentraktirnya makan. Aku mencari daging ayam yang masih segar, karena daging sapi adanya hanya di waktu pagi saja, sambil membayangkan pasti dia senang dengan apa yang kubawa ini untuknya.

Seperti biasa, dia tahu saat aku datang meski pintu belum aku buka, terdengar raungan dari dalam sana itu artinya dia tahu ada orang yang sedang berdiri dibalik pintu kandangnya. Dia begitu agresif melihatku membawa hadiah untuknya. Bahagia melihatnya lagi, juga sedih karena dia tampak lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Berulang kali dalam hati aku meminta maaf padanya karena tidak mampu membuat kondisinya jauh lebih baik sesegera mungkin. Aku merasa menjadi orang tidak berguna dihadapannya. Pertemuanku dengan Elsa saat ini banyak menguras emosiku, aku menangis terharu. Bahkan saat menulis ini pun air mata ini tak juga berhenti. 

Harimau Elsa makan dengan rakusnya tanpa ada sedikitpun yang tersisa. Bahkan dia akan meraung marah bila aku terlambat menyuapinya. Seorang rekan kerja datang sore itu dan bercerita bahwa teman kami yang selama ini secara sukarela sering membantuku dalam perawatan harimau telah melakukan penggalangan dana sendiri tanpa sepengetahuanku, yakni dengan meminta dan mengumpulkan sumbangan sukarela pada orang-orang di kantor kami guna membeli makanan untuk harimau Elsa. Apa yang dia lakukan sungguh membuatku terharu. Ternyata aku tidak sendiri, masih ada orang-orang disekitarku yang juga peduli. Kuakui, baru kali inilah kami merasa kesulitan dalam perawatan harimau korban perburuan liar karena sebelumnya tak pernah dalam kondisi seburuk ini. Di hari ini aku hanya bisa berharap semoga harimau Elsa cepat mendapatkan tempat yang lebih layak agar kondisinya jauh lebih baik dan welfare, serta semoga orang-orang yang telah membantu dan berbuat baik untuknya mendapat balasan di akhirat nanti. Aamiin.....Ya Allah Ya Rabbal 'Alamin.

Minggu, 07 September 2014

Pelatihan Dokter Hewan dan Paramedis untuk Penanganan Satwa Liar



the 1st Veterinarian Training in Sumatra : Tiger Rescue - Health and Handling


Praktek Pembiusan Harimau Sumatera di Kebun Binatang Bukittinggi. 

Berdasarkan fakta yang ada bahwa beberapa tahun terakhir konflik antara manusia dan satwa liar semakin meningkat karena berbagai sebab. Salah satu satwa liar yang seringkali dianggap berkonflik dengan manusia adalah harimau sumatera. Konflik antara manusia dengan satwa liar seperti harimau, gajah dan beruang madu seringkali menimbulkan kerugian di kedua belah pihak, yakni kerugian harta benda, ancaman keselamatan jiwa manusia dan satwa liar terancam punah itu sendiri tentunya. 

Dalam setiap upaya penyelamatan satwa liar dari korban konflik juga perburuan selalu membutuhkan dokter hewan yang memiliki kemampuan dalam penanganan satwa liar. Karena penanganan satwa liar di habitatnya agak berbeda dengan hewan ternak dan hewan peliharaan lainnya. Penanganan satwa liar yang tepat akan berpengaruh terhadap keamanan dan keselamatan tim atau petugas juga bagi satwa liar itu sendiri.

Praktek Pelatihan Sumpit Bius di Kebun Binatang Bukittinggi
Untuk itu perlu adanya pembekalan bagi dokter hewan yang memiliki wilayah kerja di sekitar daerah konflik satwa liar di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat yang berasal dari empat provinsi, yakni Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu dengan pemberian pelatihan khusus tentang Tiger Rescue, Health Care and Handling; Animal Welfare; Profil Konservasi Satwa Liar Indonesia secara umum dan lain-lain. Juga dilakukan praktek pembiusan harimau sumatera dan praktek sumpit bius. Pelatihan ini diadakan oleh Akar Network bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat. Diadakan di Bukittinggi pada tanggal 6 s/d 7 September 2014.

Petugas medis (dokter hewan) yang bekerja untuk satwa liar sangat terbatas, terutama yang memiliki kemampuan dalam penanganan harimau sumatera. Itu juga menjadi salah satu kendala bagi otoritas terkait yakni Kementerian Kehutanan dalam hal ini BKSDA dan Taman Nasional dalam melakukan penyelamatan harimau sumatera dari konflik dan perburuan. Dan ini merupakan pelatihan yang diadakan untuk pertama kalinya di Sumatera bagi para dokter hewan di daerah rawan konflik satwa liar guna membantu Kementerian Kehutanan dalam upaya penyelamatan satwa liar terutama harimau sumatera. 

Materi Kelas oleh Drh. Wisnu Wardana dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia

Peserta pelatihan diwakili oleh dokter hewan praktisi yang bekerja di berbagai institusi, sebagian besar berasal dari Dinas Peternakan/ Puskeswan yang berlokasi di dekat daerah-daerah rawan konflik satwa liar dengan manusia, yakni yang daerahnya berdekatan dengan kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Selain itu juga ada beberapa dokter hewan praktisi, dokter hewan kebun binatang setempat serta paramedis yang biasa membantu dokter hewan dalam penanganan satwa liar.  Dengan harapan para kolega ini adalah orang terdekat di daerah konflik satwa liar, sehingga upaya penyelamatan satwa liar bisa dengan cepat dilakukan tanpa perlu menunggu tenaga medis dari daerah lain. Peserta pelatihan juga diikuti oleh petugas lapangan dari BKSDA terkait. Peminat pelatihan ini sangat banyak, peserta yang mengikuti pelatihan membengkak dua kali lipat dari jatah yang diberikan. Dan itupun masih banyak para kolega yang berminat namun tidak bisa mengikuti pelatihan meskipun mereka bersedia membayar akomodasi dan transportasi sendiri. Kami memang membatasi peserta untuk pelatihan seperti ini karena bila terlalu banyak juga tidak bisa efektif dalam penyampaian materi dan praktek.

Materi Kelas oleh Drh. Erni Suyanti Musabine dari BKSDA Bengkulu - Kementerian Kehutanan

Sebagai narasumber dalam pelatihan ini adalah Drh. Wisnu Wardana dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia yang memberikan materi tentang Profil Konservasi Satwa Liar Indonesia, Animal Welfare dan Am a brave enough to be wildlife veterinarian? Tips and trick to be wildlife veterinarian. Selain itu Drh. Wisnu Wardana juga menyampaikan materi tentang Jenis-Jenis Obat Bius : Kelebihan dan Kekurangannya.  Sedangkan narasumber lainnya adalah saya sendiri dari BKSDA Bengkulu. Kami berdua juga merupakan anggota Forum Konservasi Harimau Sumatera (Forum HarimauKita). Saya memberikan materi teknis tentang The Basics of Safe Anaesthesia in Sumatran Tigers, Anaesthetic Emergencies and health care, praktek penggunaan blowdart dan praktek pembiusan harimau sumatera di Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan Bukittinggi, Sumatera Barat. Selain itu juga dilakukan evaluasi kegiatan pembiusan harimau dan diskusi interaktif.

Diharapkan dengan adanya kegiatan ini akan dimanfaatkan untuk menjalin komunikasi antara jaringan Akar Network yang berada di wilayah potensial konflik satwa liar dengan para kolega dokter hewan di wilayah tersebut juga dengan pihak otoritas setempat yakni Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di daerah dalam hal ini BKSDA dan Balai Taman Nasional. Sehingga satwa liar korban konflik bisa tertangani dengan cepat serta untk mengurangi kerugian/ dampak akibat konflik satwa liar juga perburuan. 

Peserta Pelatihan Dokter Hewan dan Paramedis di Bukittinggi

Semoga pelatihan seperti ini bisa dilakukan di daerah lain yang juga rawan konflik satwa liar terutama harimau sumatera. Penanggulangan konflik secara kolaborasi dengan berbagai pihak yang berkompeten akan sangat membantu mengurangi dampak akibat konflik itu sendiri terutama bagi satwa liar terancam punah agar bisa ditangani dengan cepat dan tepat.

Jumat, 29 Agustus 2014

One day trip to the Tikus Island (Perjalanan sehari ke Pulau Tikus)


Sepuluh tahun yang lalu untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke Pulau Tikus saat saya melakukan travelling dari Surabaya, Jawa Timur ke Bengkulu untuk berlibur dan camping. Dan itu juga untuk pertama kalinya saya mengunjungi Provinsi Bengkulu untuk jalan-jalan, selain Pulau Tikus saya juga menyempatkan diri untuk travelling ke Pulau Enggano, naik gunung ke Bukit Kaba, mengunjungi Pusat Konservasi Gajah Seblat untuk melihat gajah di habitatnya, menelusuri sepanjang pantai di Kota Bengkulu serta panjat tebing di Tebing Kandis yang tak jauh dari Kota Bengkulu dan masih banyak lagi tempat lainnya yang saya kunjungi. Saya tidak memiliki teman dan saudara di Provinsi Bengkulu namun karena melakukan travelling ke daerah ini membuat saya lama-kelamaan memiliki banyak teman disini. Dan sekarang untuk kedua kalinya saya mengunjungi pulau kecil ini untuk snorkeling, disaat saya telah tinggal menetap dan bekerja di Bengkulu, Sumatera. Setelah sepuluh tahun berlalu banyak yang berubah di pulau ini, terutama bangunan penjaga mercusuar dan pondok nelayan telah berpindah lokasi karena terkena abrasi. 

Tikus Island, Bengkulu - Sumatra

Pulau Tikus adalah sebuah pulau kecil yang terletak di bagian barat pantai Bengkulu dan masuk wilayah administratif Kota Bengkulu. Luasnya semula adalah sekitar 2 hektar namun karena abrasi terus-menerus luasnya mengecil menjadi sekitar 0,77 hektar. Pulau ini masih bisa terlihat dari Kota Bengkulu karena jaraknya yang relatif dekat yakni sekitar 10 km dari daratan Kota Bengkulu.

How to get there ?
Untuk mengunjungi Pulau Tikus bisa dengan menyewa perahu nelayan dari Pantai Zakat, Pantai Tapak Padri atau Pantai Berkas seharga Rp. 750.000,- s/d Rp. 1.000.000,- untuk perjalanan pergi pulang dalam waktu setengah hari. Namun bila ingin menginap (camping) disana maka biaya yang harus dikeluarkan lebih mahal dari itu. Waktu tempuh dari Kota Bengkulu menuju ke Pulau Tikus kurang lebih 1 jam menggunakan perahu nelayan. Juga bisa ditempuh dengan speed boat memakan waktu selama 40 menit dari pelabuhan Pulau Baai. Sedangkan kegiatan ekowisata bahari yang bisa dilakukan bila travelling ke pulau ini adalah camping, snorkeling, diving, swimming dan fishing.

Perahu nelayan sebagai alat transportasi 
ke Pulau Tikus
Bulan Agustus 2014, saya melakukan perjalanan untuk kedua kalinya ke Pulau Tikus bersama teman-teman Pecinta Alam dari Universitas Bengkulu dengan menyewa perahu nelayan seharga Rp. 750.000,- Untuk mempermurah biaya transportasi maka bisa bepergian secara rombongan misalnya 10 orang. Hari itu rencana perahu akan berangkat pada pukul 08.00 WIB, yang akan berangkat dari Pantai Berkas, Kota Bengkulu, namun menjadi terlambat karena masih harus mencari logistik untuk bekal perjalanan. Perjalanan yang akan kami lakukan adalah one day trip, sehingga kami berangkat di pagi hari dan kembali pulang di sore hari. Untuk itu perlu membawa bekal makan siang dari Kota Bengkulu, karena di pulau tersebut tidak ada penjual makanan. 

Saat berangkat air laut sedang pasang, sehingga untuk mencapai perahu kami harus basah kuyup terendam air laut karena perahu tidak bisa merapat ke pantai. Setiap perjalanan di laut, saya selalu packing barang bawaan dilapisi dengan plastik sebelum dimasukkan dalam backpack agar barang tidak basah bila backpack terendam air laut. Sedangkan barang-barang elektronik seperti phone cell dan barang penting lainnya seperti camera dan dompet saya kemas tersendiri dalam dry bag. Satu jam kemudian kami telah sampai ke Pulau Tikus dengan melewati sebuah kapal besar yang sedang melakukan bongkar muat batubara. Tampak dari kejauhan juga ada sebuah perahu nelayan yang ukurannya lebih kecil sedang melintas di dekat Pulau Tikus untuk mencari ikan. Dari sela-sela mangrove terlihat seorang wanita tua memperhatikan kami yang sedang merapat ke daratan. Pulau ini memang berpenghuni, yakni dihuni oleh penjaga mercusuar dan nelayan yang mendirikan pondok disana sebagai tempat singgah saat mencari ikan disekitar Pulau Tikus.

Snorkeling in the Tikus Island - Bengkulu
Tak lama kemudian saya bersama seorang teman melakukan survey lokasi snorkeling terbaik yakni yang masih ada terumbu karang dengan berbagai jenis ikan dan ternyaman tanpa adanya gangguan arus yang deras. Tak lupa kami pun mengabadikan pemandangan under water dengan camera. Banyak sekali terumbu karang yang telah rusak dan mati. Kerusakan terumbu karang juga dipicu oleh adanya aktivitas bongkar muat batubara oleh kapal-kapal besar di sekitar Pulau Tikus diwaktu lalu.

Waktu telah menunjukkan pukul 12 siang, namun saya masih betah berlama-lama di pantai memotret ikan-ikan yang hilir - mudik di sela-sela terumbu karang. Selain ikan hias warna - warni, saya juga menemukan ikan kerapu, ikan yang rasanya cukup enak dan mahal harganya. Namun sayangnya tidak ada ikan badut (Clown fish) di pantai ini, yakni ikan favorite saya yang selalu saya cari di setiap snorkeling. Siang itu kami beristirahat sebentar dan makan siang bersama di pinggir pantai ditemani oleh segerombolan kucing. Pulau ini dinamakan Pulau Tikus, saya mengira dulunya mungkin banyak tikus di pulau ini, tapi kenyataannya tak ada tikus yang terlihat, malah yang banyak ditemukan adalah kucing :)

Tikus Island - Bengkulu Sumatra

Di akhir perjalanan kami berpindah lokasi dengan menggunakan perahu, yakni melihat lokasi restorasi terumbu karang yang dilakukan oleh Universitas Bengkulu. Tentu lokasinya di bawah permukaan laut. Di tempat itu ada sebuah kendaraan vespa yang sengaja ditenggelamkan untuk pertumbuhan terumbu karang. Perahu sudah mendekat ke lokasi, jangkar sudah diturunkan, saatnya kami turun ke laut kembali dan berenang menuju lokasi yang dimaksud. Arus tak begitu deras dibandingkan dengan di pantai dekat Pulau Tikus. Begitu saya turun ke laut tiba-tiba tangan dan kaki saya gatal ternyata menurut nelayan itu karena ada ubur-ubur. Saya bisa melihat sebuah vespa di dasar laut dan sekitarnya ada tumpukan batok kelapa yakni salah satu media yang digunakan untuk merangsang pertumbuhan terumbu karang. Di sekitar lokasi tersebut pemandangan under water sangat indah dibandingkan lokasi sebelumnya, banyak ikan dengan ukuran lebih besar dan beraneka macam warnanya di sela-sela terumbu karang. Jumlah ikan pun yang terlihat jauh lebih banyak. Di lokasi ini juga sering terlihat penyu berenang. Namun sayangnya sesampainya di lokasi ini camera waterproof kami tidak bisa digunakan lagi untuk memotret karena habis baterei.  

Sayang sekali kami tidak punya waktu lebih lama disitu karena waktu sudah menjelang sore dan kami pun harus cepat kembali sebelum terjadi badai dan hujan deras seperti hari-hari sebelumnya. Lokasi tersebut memang agak jauh dari pantai Pulau Tikus namun saya rekomendasikan sebagai tempat pilihan untuk snorkeling karena pemandangan under waternya jauh lebih indah dibandingkan di sekitar pantai Pulau Tikus. 

Snorkeling di Pulau Tikus
Pulau Tikus juga telah menjadi salah satu tujuan ekowisata bahari di Provinsi Bengkulu. Seyogyanya pemerintah daerah lebih serius melindungi Pulau Tikus dari kerusakan, tidak hanya dari ancaman abrasi namun juga ancaman kerusakan terumbu karang akibat aktivitas manusia. Mengingat terumbu karang besar fungsinya bagi ekosistem laut, merupakan habitat bagi banyak spesies laut untuk melakukan reproduksi (pemijahan), peneluran, pembesaran anak, feeding dan foraging terutama bagi spesies yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sehingga kerusakan terumbu karang akan berefek langsung bagi nelayan karena berpengaruh terhadap sumber penghasilan dari tangkapan ikan laut. Kekayaan laut juga bermanfaat bagi sumber obat-obatan alami, pemandangan bawah laut yang menakjubkan juga sebagai sumber penghasilan dari kegiatan ekowisata bahari, serta masih banyak lagi manfaat lainnya. Bila itu semua bisa disadari oleh masyarakat maupun pemerintah sebagai otoritas yang berwenang maka Provinsi Bengkulu akan memiliki satu sumber lagi untuk bisa mendatangkan uang bagi daerahnya dengan memanfaatkan sumber kekayaan alam secara lestari, yakni ecotourism. Namun harus diimbangi dengan budaya semua pihak dan komitmen untuk tidak merusak lingkungan. Hal-hal kecil yang bisa dilakukan adalah tidak membuang sampah sembarangan di pantai atau laut, menjaga terumbu karang dari kerusakan, restorasi terumbu karang yang telah rusak, menanam mangrove untuk mencegah abrasi dan lain-lain. 

Rabu, 20 Agustus 2014

Medical checkup pre-release pada Harimau sumatera di Sumatera Barat


Pada hari Sabtu tanggal 16 Agustus 2014 saya melakukan perjalanan ke Padang, Sumatera Barat setelah mewakili Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) untuk mengikuti pertemuan Konsultasi Publik berhubungan dengan program tentang "Transforming Effectiveness of Biodiversity Conservation in Priority Sumatran Landscapes" di Muara Bangko, Kabupaten Merangin Jambi. Pertemuan tersebut atas inisiasi beberapa Non-Government Organization (NGO) International yang bekerja di lansekap keanekaragaman hayati utama di Pulau Sumatera, juga Forum Konservasi Harimau Sumatera serta Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BB TNKS). 

Perjalanan ke Sumatera Barat atas permintaan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat untuk membantu pemeriksaan kesehatan harimau sumatera. Mengingat BKSDA Sumatera Barat tidak memiliki tenaga profesi dokter hewan (medik veteriner). Hari Minggu tanggal 17 Agustus 2014, saya beserta staff dari BKSDA Sumatera Barat mengunjungi Taman Satwa dan Budaya Kinantan Bukittinggi untuk melihat harimau yang akan diperiksa, serta berkoordinasi dengan Kepala Taman Satwa tersebut beserta dokter hewan setempat. Tanggal 18 September 2014 saya dipertemukan dengan Kepala Sub Bag TU BKSDA Sumbar untuk rencana administrasi dan birokrasinya guna meminjam tenaga medis dari BKSDA Bengkulu. Selain itu kami juga berbelanja beberapa peralatan medis yang akan digunakan untuk pemeriksaan harimau sumatera. 

Medical Checkup on Sumatran Tiger in Sumatera Barat
Esok harinya, Selasa tanggal 19 Agustus 2014 adalah jadwal yang direncanakan untuk pemeriksaan harimau sumatera. Pagi itu kami bertemu dengan Kepala Balai KSDA Sumatera Barat sebelum berangkat ke lokasi, yakni ke Kota Bukittinggi. Kami juga berkoordinasi dengan Dinas Peternakan serta Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) setempat untuk meminta bantuan peralatan medis yang dibutuhkan, serta mengundang dokter hewan serta paramedis setempat untuk turut bergabung dalam pemeriksaan harimau tersebut.  Selain itu kami juga berkoordinasi dengan laboratorium setempat untuk mengetahui pemeriksaan spesimen apa saja yang tersedia dan bisa dilakukan disana, kami berkoordinasi dengan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional II Bukittinggi.

Dalam setiap kegiatan untuk pemeriksaan kesehatan harimau, saya biasanya akan mempersiapkan semua peralatan medis dan obat-obatan yang dibutuhkan, tidak hanya itu saya juga sudah mengetahui ke laboratorium mana spesimen akan dikirimkan sesuai dengan pengujian yang kita inginkan. Untuk itu koordinasi dengan banyak pihak diperlukan sebelum tindakan pembiusan satwa liar untuk pemeriksaan medis. Karena saat itu saya memang tidak membawa peralatan medis sendiri maka harus memastikan bahwa mereka bisa menyediakan peralatan medis yang dibutuhkan.


Ultrasonography examination on a wild Sumatran tiger. 

Akhirnya pada hari Selasa tanggal 20 Agustus 2014, pemeriksaan kesehatan harimau sumatera baru bisa dilakukan. Langkah-langkah yang diambil dalam pemeriksaan harimau yang akan dilepasliarkan tersebut disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan, yakni sebagai berikut :
  • Estimasi berat badan.
  • Persiapan peralatan medis dan obat-obatan, baik obat bius maupun obat-obatan emergency.
  • Pembiusan harimau sumatera dengan sebelumnya dipuasakan dari makan dan minum sekitar 8-12 jam. 
  • Monitoring vital signs selama pembiusan.
  • Recording data fisiologi dan pembiusan serta hasil pengukuran tubuh harimau.
  • Koleksi sampel diantaranya sampel rambut untuk tes DNA, sampel darah untuk pemeriksaan hematologi (darah lengkap), serologi dan bloodsmear/ preparat ulas darah. Ektoparasit dan feces serta urine tidak ada sehingga tidak dikoleksi. 
  • Body measurement.
  • Pemeriksaan fisik.
  • Pemeriksaan gigi dan pengambilan photo gigi untuk estimasi umur.
  • Pengambilan photo loreng untuk identifikasi individu. Pemasangan microchip dan tatto untuk identifikasi individu tidak dilakukan karena peralatan tidak tersedia.
  • Pemberian antibiotik long acting untuk mencegah infeksi sekunder pada luka bekas sumpit bius.
  • Pemeriksaan ultrasonography.
  • Sebelum dan setelah pembiusan juga dilakukan observasi behavior (perilaku alaminya) dari pengamatan langsung juga dari interview dengan keeper harimau.
  • Pemeriksaan laboratorium di BPPV Regional II Bukittinggi dan salah satu laboratorium swasta di kota Bukittinggi.


General checkup on a wild Sumatran tiger pre-release

Dalam kegiatan ini general checkup pre release harimau sumatera tidak hanya dilakukan oleh petugas dari BKSDA Sumatera Barat dengan dibantu oleh tenaga dokter hewan dari BKSDA Bengkulu saja, namun kami juga mengundang dan melibatkan beberapa dokter hewan dan paramedis Taman Satwa dan Budaya Kinantan Bukittinggi serta dari Dinas Peternakan dan Puskeswan setempat. Pemeriksaan kesehatan harimau sumatera tersebut dilakukan mulai pukul 09.16 WIB sampai dengan pukul 12.03 WIB. Kegiatan ini juga sebagai training bagi dokter hewan setempat mengenai handling dan pemeriksaan kesehatan pada harimau sumatera.

Rabu, 06 Agustus 2014

Travelling to the Komodo National Park in 2014


" Sebagai pencinta binatang liar, sesungguhnya ini adalah salah satu mimpiku sejak lama, yakni ingin melihat komodo (Varanus komodoensis) di habitat alaminya di Taman Nasional Komodo. Namun baru saat ini mimpi itu bisa diwujudkan. Komodo adalah hewan purba dan merupakan kadal terbesar di dunia juga salah satu satwa liar kebanggaan bangsa Indonesia, salah satu kekayaan alam Indonesia yang tak ternilai harganya, merupakan satwa endemik Indonesia karena satu-satunya habitat alaminya hanya ada di Indonesia. Namun demikian satwa inipun statusnya rentan terhadap kepunahan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan termasuk satwa yang dilindungi Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Habitat komodo juga diakui sebagai salah satu dari 7 keajaiban alam / situs warisan dunia (natural world heritage) oleh UNESCO ".   


Komodo Dragon and Me

Saya sendiri sudah beberapa kali melihat komodo di lembaga konservasi eksitu baik di taman satwa, kebun binatang maupun taman safari, bahkan berinteraksi langsung dengan binatang berbahaya ini. Namun saya lebih mendambakan melihat komodo liar di habitat aslinya dan bukan di lembaga konservasi eksitu.

Rencana untuk mewujudkan impian mengunjungi Taman Nasional Komodo sudah sejak satu bulan sebelumnya, kebetulan ada seorang teman yang juga ingin berlibur kesana. Sejak itu kami langsung mencari informasi dari internet tentang penerbangan kesana, estimasi biaya transportasi, biaya penginapan dan bagaimana menuju ke lokasi komodo dari kota terdekat serta tempat-tempat lainnya yang menarik untuk dikunjungi selain melihat komodo. Kami mempunyai dua rencana perjalanan, Rencana pertama (Plan A) saya akan berangkat dari Jakarta menuju Kupang, NTT dengan transit di Denpasar, Bali. Kemudian melanjutkan perjalanan dari Kupang menuju Labuan Bajo dengan transit di Ende, Pulau Flores. Dan pulangnya mengambil rute dari Labuan Bajo kembali ke Jakarta melalui Denpasar, Bali. Untuk rencana kedua (Plan B) yakni menggunakan penerbangan dari Jakarta menuju Kupang, NTT dengan transit di Surabaya, Jawa Timur. Kemudian dari Kupang menuju Labuan Bajo melalui Ende, begitu pula dengan saat pulangnya mengambil rute penerbangan yang sama. Mempunyai beberapa alternatif perjalanan akan jauh lebih baik guna mencari biaya transportasi yang termurah dan tercepat disaat bertepatan dengan liburan nasional yakni perayaan Hari Raya Idul Fitri dan hanya memiliki waktu liburan yang sangat terbatas sehingga perlu memanfaatkan waktu liburan secara efisien disesuaikan dengan budget yang ada.

Selasa, tanggal 29 Agustus 2014 yakni hari kedua perayaan Idul Fitri 1435H saya travelling ke Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan pesawat pagi, yakni menggunakan maskapai penerbangan Lion Air JT 692 pukul 09.10 WIB dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta dan akan tiba di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur pukul 14.25 WITA dan transit beberapa menit di Bandara Internasional Juanda Surabaya tanpa turun dari pesawat karena akan menggunakan pesawat yang sama menuju Kupang, dengan menghabiskan biaya sebesar Rp. 1.356.900,- ditambah airport tax sebesar Rp. 40.000,- Berangkat dari rumah pukul 04.30 WIB karena pesawat yang akan saya naiki akan berangkat pukul 09.10 WIB. Hari pertama perayaan Idul Fitri beberapa ruas jalan di Jakarta mengalami kemacetan sehingga saya berusaha berangkat lebih pagi untuk menghindari macet, ternyata pagi itu jalan raya kearah bandara sangat sepi dan lancar. Sekitar pukul 05.00 WIB saya telah sampai di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng dengan menggunakan taxi, untuk keperluan ini saya musti membayar taxi sebesar Rp. 150.000,- dan biaya tol kurang lebih Rp. 20.000,- Melakukan perjalanan di hari libur nasional beresiko mendapatkan tiket pesawat dengan harga lebih mahal dari biasanya.

Setelah kehilangan smartphone di taxi malam harinya, pagi itu saya mengalami masalah kembali, saat membeli air mineral boarding pass saya terjatuh, dan baru menyadarinya saat akan membayar airport tax saya tidak menemukan lagi boarding pass baik di travel bag maupun di saku. Membuat saya menelusuri jalan yang telah saya lewati di bandara tersebut. Ada untungnya datang ke bandara terlalu pagi sehingga saya masih mempunyai banyak waktu untuk mencari boarding pass yang hilang. Dari jauh terlihat ada kertas putih di lantai yang telah terinjak orang yang lalu lalang di depan penjual makanan dan minuman, setelah kuperiksa ternyata tertulis namaku disana dan itu adalah boarding passku, sehingga tak perlu lagi aku harus mendadak mengulang membeli tiket perjalanan yang baru yang tentunya akan menambah pengeluaran tak terduga.

Makanan khas Kupang : Jagung bose & Daging se'i 
Tiba di bandara El Tari Kupang siang itu disambut oleh angin kencang serasa sedang badai saja. Tak banyak yang berubah, masih seperti beberapa tahun yang lalu waktu saya mengunjungi daerah ini, cuaca panas, dan pemandangan sekitar tampak kering dan tandus. Baru saja menginjakkan kaki di kota itu saya ingin sekali mencicipi kuliner khas Kupang yakni jagung bose, daging sei dan tumis bunga pepaya. Setelah mencari kesana kemari akhirnya menemukan juga restoran yang masih buka dan menjual makanan tersebut di hari raya Idul Fitri. Sambil menunggu makanan dihidangkan saya mengamati sekitar, desain interior restoran tersebut sangat unik, di dindingnya banyak dipajang photo-photo pemandangan kota Kupang, di salah satu photo tampak pemandangan pepohonan tak berdaun berjajar rapi di sepanjang jalan raya, membuatku tertarik untuk bisa menemukan tempat tersebut guna obyek photo, karena saya sendiri juga menyukai photography. Namun musik yang diperdengarkan untuk menemani makan siang kami adalah lagu-lagu daerah Surabaya dan Jawa, seolah-olah pemilik restoran yang sebelumnya menyapa kami tahu asal usulku....hehehe  :)  Dua porsi makanan khas Kupang tersebut seharga Rp. 140.000,- lumayan mahal ya ? Kepuasan itu memang tidak bisa dinilai dengan uang.


Kupang, tanggal 30 Juli 2014. Pagi itu kami berjalan kaki menuju pasar tradisional yang berada di Pantai Oeba lokasinya memang tak jauh dari tempatku menginap. Tujuan utamanya adalah ingin memotret kehidupan pagi yakni pemandangan pantai, para nelayan dan hasil tangkapannya. Tempat tersebut merupakan tempat berlabuhnya perahu nelayan dan sekaligus lokasi jual beli ikan laut serta bahan makanan mentah lainnya. Dulu saya pernah memotret di tempat itu dan banyak obyek photo yang menarik. Namun kini ikan tangkapan nelayan tak sebanyak dulu dan tak banyak variasinya, bahkan dulu sering menjumpai ikan hiu yang diperjualbelikan di pantai tersebut. Akhirnya kami berbelanja ikan segar untuk dimasak sendiri dan jajanan pasar yang saya sukai disana. Setelah mencicipi ikan kuah asam hasil memasak hari itu, rencana selanjutnya adalah berburu photo sunset di beberapa pantai di kota Kupang.

Sunset at Timor Beach, Kupang 
Sore hari waktunya menelusuri pantai di kota Kupang untuk mencari lokasi yang menarik untuk berburu photo sunset. Dari ketiga pantai yang dikunjungi, saya lebih tertarik memotret sunset di Pantai Timor karena pantainya tidak terlalu ramai dan kulihat ada dua orang lainnya yang juga ingin berburu photo sunset disana terlihat dengan bawaannya masing-masing yakni camera DLSR lengkap dengan telenya. Obyek yang kami incar sama, sunset dan pemandangan pantai. Untuk memasuki Pantai Timor tersebut harus membayar Rp. 2000,- namun karena teman saya kenal dengan penjaga tersebut akhirnya kami membayar lebih dari itu :) memang tidak ada loket khusus untuk pembayaran, yang ada hanya penjual snack dan minuman di dekat jalan masuk menurun ke pantai yang sekaligus merangkap tempat pembayaran. Kupang merupakan kota yang relatif aman kadangkala kendaraan bisa diparkir dipinggir jalan atau dimana saja tanpa merasa cemas akan ada barang yang hilang saat ditinggalkan. Tapi jangan pernah melakukan hal seperti ini di kota-kota lain yang tingkat kriminalitas curanmornya tinggi. Malam harinya dilanjutkan berburu kuliner makanan Jawa yang banyak dijumpai di kota Kupang, bahkan makanan khas Surabaya banyak dijual di kota ini. Sepertinya banyak orang Jawa yang hijrah ke Nusa Tenggara Timur.

Kupang, Nusa Tenggara Timur


Kupang, tanggal 31 Juli 2014. Hari itu akan berburu photo pemandangan pepohonan kering yang berada di kanan kiri jalan raya dan ingin menemukan lokasi dimana pemandangan seperti itu berada. Teringat saat keluar dari Bandara El Tari, terlihat pemandangan pepohonan serupa, akhirnya kami berputar-putar menelusuri daerah tersebut dan berharap pemandangan seperti yang saya bayangkan bisa ditemukan. Saat kami melewati jalan raya seperti yang ada dalam photo di restoran yang kami kunjungi sebelumnya, tak sengaja kami menemukan sebuah jalan tanah berbatu, disepanjang jalan tersebut tampak pepohonan kering yang berjajar rapi di samping kiri kanan jalan. Inilah tempat yang sempurna untuk diphoto, lokasi yang menggambarkan daerah Kupang yang sesungguhnya.

Sunset at Batu Nona Beach, Kupang
Sore harinya pergi ke Pantai Batu Nona untuk memotret sunset. Beberapa tahun yang lalu saya telah mengunjungi Pantai Lasiana dan Pantai Pasir Panjang dan kini tak ingin mengunjungi pantai yang sama. Pantai ini terletak berdampingan dengan kampung nelayan. Dalam perjalanan menuju kesana saya memperhatikan sekeliling, tampak ada beberapa makam yang diletakkan di depan rumah, tidak hanya sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi orang yang telah meninggal namun juga digunakan untuk tidur siang, terlihat ada bantal dan orang tidur santai diatasnya, anak-anak kecil pun gemar menggunakan makam sebagai tempat bermain. Dari kejauhan tampak ternak babi bebas berkeliaran di kampung itu. Spontan saya mengatakan, "Mirip di Pulau Rote ya?" Sebelumnya saya memang sudah pernah travelling ke Pulau Rote, yakni salah satu pulau terluar dan paling selatan di wilayah Indonesia. Menurut informasi dari teman saya bahwa memang banyak orang Rote yang tinggal di kampung tersebut.

Batu Nona Beach, Kupang

Memasuki pantai tersebut tampak pohon lontar berjajar rapi tegak berdiri diantara kampung nelayan dengan jalan beraspal dan pantai. Saya menyebutnya 'pohon tuak', karena minuman tuak dihasilkan dari pohon ini :) Gesekan daunnya yang tertiup angin mengeluarkan suara yang menyeramkan menurutku. Di pantai sore itu banyak anak-anak sedang bermain, ada yang bersenda gurau, bersepeda dan bermain sepak bola. Di sisi pantai lainnya banyak pasangan muda-mudi menikmati pantai di sore hari dan anak-anak kecil berlarian mengejar kepiting dan mandi di pantai, serta beberapa orang yang datang ke pantai itu punya tujuan yang sama denganku yakni berburu photo sunset.

Malam harinya berburu kuliner makanan khas Surabaya. Makanan Surabaya yang dijual di Kota Kupang rasanya cukup enak, setiap kali travelling ke kota ini tak lupa saya untuk mencicipinya. Namun karena masih dalam perayaan Idul Fitri banyak orang Jawa Timur yang mudik ke kampung halamannya jadi banyak juga penjual makanan khas Surabaya yang tutup. Meskipun begitu malam itu kami masih bisa merasakan makanan Surabaya sebelum melanjutkan travelling ke pulau lainnya di Nusa Tenggara Timur.


Rainbow at the El Tari Airport, Kupang. 
Labuan Bajo, Flores tanggal 1 Agustus 2014. Taxi yang telah dipesan akan menjemput pukul 03.30 WITA dengan membayar ongkos sebesar Rp. 70.000,- untuk mengantar penumpang dalam kota dan membayar biaya parkir mobil di areal bandara yang juga ditanggung oleh penumpang. Penerbangan saya dari Bandara El Tari Kupang ke Bandara Komodo Labuan Bajo dengan pesawat kecil Wings Air dengan transit di Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende, Flores. Pagi-pagi sekali sudah harus berangkat karena boarding time pukul 05.45 WITA. Biaya yang dibutuhkan untuk transportasi dari Kupang menuju Labuan Bajo pulang pergi kurang lebih sebesar Rp. 1.882.200,- ditambah dengan airport tax di Bandara El Tari Kupang sebesar Rp. 20.000,- dan di Bandara Komodo Labuan Bajo sebesar Rp. 10.000,-  Sedangkan biaya transportasi dari Labuan Bajo ke Jakarta melalui Denpasar Bali jauh lebih mahal pada saat itu sehingga dalam perjalanan ini lebih memilih melalui Ende dan Kupang. Waktu perjalanan yang dibutuhkan dari Kupang menuju ke Ende adalah 50 menit, berangkat dari bandara El Tari Kupang pukul 06.15 WITA dan kemudian dilanjutkan penerbangan dengan pesawat yang sama menuju Labuan Bajo dengan lama penerbangan selama 40 menit. Berangkat dari Bandara H. Aroehasman Ende menuju Labuan Bajo pukul 07.25 WITA. Tak banyak pilihan penerbangan menuju Ende dari Kupang, hanya ada dua penerbangan yakni Wings Air yang berangkat lebih awal dan Garuda Indonesia yang berangkat pukul 11.50 WITA. Sedangkan Wings Air satu-satunya penerbangan dari Ende menuju Labuan Bajo.

Pukul 08.05 WITA untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Bandara Komodo yang terletak di Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Bandara Komodo jauh lebih besar dan secara fisik tampak lebih megah dibandingkan bandara di Ende dan Kupang. Namun bandara di Ende lebih mengerikan saat pesawat landing dan take off dibandingkan di kedua bandara tersebut. Lokasinya berdekatan dengan laut dan perbukitan yang tampak di ujung landasan. Saat pesawat akan landing dan take off musti berbelok sebelum mencapai landasan pacu atau setelah lepas landas dari landasan pacu karena terhalang oleh perbukitan. Belum pernah saya melihat bandara yang seperti ini sebelumnya sambil membayangkan bila terlambat berbelok akan menabrak bukit-bukit itu :)

Sejak dari Ende sudah terlihat banyak turis asing yang juga akan berwisata ke Labuan Bajo menggunakan penerbangan yang sama. Mereka tidak hanya usai melakukan perjalanan dari Kupang dan Ende tetapi juga dari Maumere. Kabupaten Ende yang terletak di Pulau Flores juga merupakan daerah tujuan wisata yang cukup terkenal secara internasional dengan adanya Gunung Kelimutu yakni gunung berapi yang memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya yang disebut juga dengan danau tiga warna karena kawah-kawah tersebut memiiki warna yang berbeda yakni merah, biru dan putih.

Sebenarnya untuk mencapai Labuan Bajo tidak hanya ditempuh dengan penerbangan melalui Denpasar dan Ende tapi juga bisa melalui jalur laut dari Nusa Tenggara Barat dan dari Makasar, Sulawesi Selatan. Biasanya turis yang melakukan perjalanan wisata ke Labuan Bajo juga sekaligus berwisata ke Bali, Lombok, Sulawesi dan di beberapa tempat wisata di Pulau Flores karena adanya akses transportasi langsung dari  dan ke Labuan Bajo dengan daerah-daerah tersebut.

Pagi itu bandara Komodo sangat ramai, mungkin karena saat ini adalah musim liburan. Tidak hanya ramai oleh pengunjung yang ingin berwisata tetapi juga ramai dengan para penjemput, tampaknya mereka adalah para guide wisata atau mungkin dari hotel tempat menginap yang telah dibooking sebelumnya yang melayani jasa penjemputan. Tampak juga sebuah pesawat pribadi yang sedang parkir di bandara, ternyata pesawat tersebut disewa oleh seorang warga negara Indonesia yang ingin mengunjungi Labuan Bajo.

Ongkos taxi termurah dari bandara ke dalam kota sekitar Rp. 60.000,- s/d Rp. 70.000,- sedangkan ojek motor sekitar Rp. 20.000,- dari yang terdekat dan akan bertambah ongkosnya bila jaraknya semakin jauh. Saya duduk di ruang tunggu di depan bandara sambil istirahat sejenak dan berpikir tentang rencana selanjutnya setelah observasi sebentar untuk mencari informasi mengenai transportasi lokal disana. Di depan bandara juga tampak sebuah hotel yang bisa dicapai dengan berjalan kaki saja. Namun saya lebih memilih untuk mencari hotel di dekat pantai dan di sekitar jalan Soekarno Hatta Labuan Bajo karena disana akan lebih banyak pilihan penginapan, dekat dengan rumah makan, dekat dengan pelabuhan serta bisa berjalan kaki untuk mencari informasi mengenai paket-paket wisata di agen-agen wisata yang ada di sepanjang jalan Soekarno Hatta Labuan Bajo. Karena ini adalah perjalanan pertama saya ke Labuan Bajo maka lebih memilih transportasi dengan ojek motor agar leluasa mencari tempat penginapan yang diinginkan. Penginapan pertama yang dijumpai adalah Hotel Blessing yang terletak tak jauh dari jalan Soekarno Hatta serta tak jauh juga dari Kantor Balai Taman Nasional Komodo. Hotel ini cocok untuk para backpacker seperti saya. Harganya terjangkau dari Rp. 150.000,- per malam sampai dengan Rp. 350.000,- permalam. Tersedia WiFi yang bisa terjangkau sampai dalam kamar juga free breakfast. Disekitar hotel tersebut juga tampak beberapa hotel lainnya juga dipenuhi oleh turis asing. Hari itu saya memutuskan untuk tidak banyak mencari pilihan lainnya, karena perlu tempat untuk meletakkan ransel dan mencari informasi secepatnya bagaimana caranya menuju Taman Nasional Komodo dan biayanya serta mencari informasi tempat wisata lainnya yang bisa dikunjungi sebagai tujuan perjalanan sampingan. Hari itu juga bisa survey penginapan lainnya baik fasilitas dan harganya bila ingin pindah tempat menginap yang lebih strategis. Hotel tempatku menginap dipenuhi oleh turis asing bahkan di lantai dua tersebut hanya kami yang orang Indonesia.

Setelah berbincang-bincang dengan staff dan pemilik hotel saya mendapatkan informasi tentang tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi dan bagaimana caranya untuk kesana, sambil membaca peta wisata yang menempel di dinding hotel depan meja resepsionis. Saat itu juga mulai membuat rencana baru dan mengatur waktu perjalanan. Kebetulan saya berada di Labuan Bajo selama empat hari yakni dari tanggal 1-4 Agustus 2014, setiap hari musti ada kegiatan menarik yang dilakukan, kami tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada. Hari pertama akan digunakan untuk mencari informasi tentang akses menuju Taman Nasional Komodo dan kampung eksotik Wae Rebo, juga informasi tentang biaya yang dibutuhkan dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk perjalanan ke lokasi tersebut. Setelah itu akan menikmati pemandangan pantai sekitar Labuan Bajo, memotret sunset dan wisata kuliner makanan khas setempat. Taman Nasional Komodo merupakan tujuan utama dalam travelling kali ini karena adanya komodo sebagai penghuni taman nasional dan pemandangan bawah laut sekitar Taman Nasional Komodo yang menjadi daya tariknya. Kami berencana akan melakukan perjalanan ke Taman Nasional Komodo pada hari kedua. Sedangkan tujuan travelling kedua adalah  Wae Rebo yakni Desa Manggarai tua ini sangat menarik untuk dikunjungi karena memiliki bentuk rumah dengan arsitektur yang unik dan terletak diatas perbukitan yakni sekitar 1.100 meter diatas permukaan laut berada di daerah terpencil di Kabupaten Manggarai Barat. Rencana akan melakukan travelling kesana pada hari ketiga. Kedua tujuan wisata tersebut akan dilakukan one day trip. Hari keempat, sambil menunggu penerbangan di siang harinya akan dimanfaatkan untuk berbelanja souvenir di sekitar Labuan Bajo. Setelah berdiskusi dengan teman dan sepakat dengan rencana tersebut maka kami mendatangi agen wisata yang ada di sepanjang jalan Soekarno Hatta untuk mencari informasi lebih detail tentang tempat tujuan yang rencana akan dikunjungi tersebut.

Saya mendapat tawaran untuk mengikuti paket wisata bersama 10 orang turis asing yakni snorkeling di dua tempat yakni di Pulau Bidadari dan Pulau Kelor serta trekking dan melihat Komodo di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo. Untuk wisatawan domestik dikenai biaya Rp. 500.000,- per orang, itu sudah termasuk biaya sewa perahu mesin sebesar Rp. 2.000.000,- pergi pulang sedangkan untuk wisatawan asing lebih mahal dari itu, sudah termasuk juga mendapat makan siang dan minum, namun tidak termasuk biaya memasuki kawasan konservasi Taman Nasional Komodo yang akan dibayarkan sendiri oleh pengunjung kepada petugas taman nasional serta tidak termasuk tips untuk guide yang juga ditanggung oleh pengunjung sendiri. Untuk tarif masuk kawasan Taman Nasional dapat browsing dan melihat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 12 tahun 2014 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan. Kebetulan dari mulai biaya perjalanan paket wisata ke Taman Nasional Komodo sampai biaya masuk taman nasional kami mendapatkan harga persahabatan sehingga biaya yang dibayarkan lebih murah. Sedangkan biaya perjalanan yang dibutuhkan untuk ke lokasi Desa Wae Rebo sebesar Rp. 1.200.000 per orang sudah termasuk biaya rental mobil pergi pulang, biaya makan dan menginap semalam di desa tersebut. Membutukan waktu sekitar 1,5 - 2 jam perjalanan dari Labuan Bajo ke Ruteng, kemudian dilanjutkan dengan trekking di perbukitan dengan berjalan kaki kurang lebih 3 jam sesuai dengan kondisi fisik masing-masing pengunjung. Perjalanan tersebut tidak bisa ditempuh hanya dengan one day trip, perlu menginap semalam di perkampungan itu. Karena waktu yang terbatas keinginan ke Wae Rebo dibatalkan, karena kami tidak bisa menginap dan saya juga masih memikirkan teman yang tidak suka trekking dan hiking di alam bebas seperti itu. Mungkin keinginan ke Wae Rebo untuk sementara dipendam dulu semoga suatu saat punya kesempatan untuk kembali dan mengunjungi tempat tersebut. Setelah membayar biaya untuk keperluan ke Taman Nasional Komodo, kami menggunakan ojek menuju pantai di sekitar Labuan Bajo. Ojek motor jarak dekat di Labuan Bajo dipatok dengan harga rata-rata Rp. 10.000,- sekali jalan. Hari itu kami menghabiskan waktu di siang hari di Pantai Pede tak jauh dari Labuan Bajo.

Salah satu dermaga di Labuan Bajo - Kampung Nelayan
Sore itu saatnya wisata kuliner, yakni berburu seafood di warung-warung tenda pinggir pantai di kampung nelayan. Sebelum menyantap makanan disana, kami masih disibukkan dengan memotret pemandangan sekitar dan sunset. Tidak hanya saya, turis asing pun melakukan hal yang sama, memotret dulu baru makan malam. Saat memilih ikan segar dan cumi segar yang akan dimasak sesuai pesanan kami, teman saya pun masih sempat meminta ijin pada penjualnya karena saya ingin memotret ikan segar yang ditaruh berjajar seperti sebuah pemandangan yang menarik. Saya duduk semeja dengan turis dari Canada, UK dan satunya lagi sebuah keluarga yang saya tidak tahu darimana mereka berasal, mereka berbicara tidak menggunakan bahasa Inggris, bahasanya tidak bisa kumengerti. Saya lebih banyak berbincang-bincang dengan turis laki-laki dari Canada yang duduk berhadapan denganku dibanding lainnya. Sambil melihat orang lalu-lalang yang ternyata juga suka memotret ikan segar beraneka macam yang ditaruh berjajar dan menggugah selera makan. Harga makanan bervariasi tergantung dari besar kecilnya ikan segar yang kita pilih untuk dimasak, paling murah sekitar Rp. 30.000,- perekor ikan, menu yang dihidangkan dilengkapi dengan nasi, plecing kangkung dan lalapan. Tempat makan ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari penginapan dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, namun malam itu saya menggunakan jasa ojek untuk kembali ke hotel dengan membayar Rp. 10.000,-


Pelabuhan Labuan Bajo - Pulau Flores
Labuan Bajo, Flores tanggal 2 Agustus 2014.  Pagi itu saya sudah bersiap-siap untuk pergi ke tempat agen wisata yang berada di jalan Soekarno Hatta karena pukul 8 pagi kami akan berangkat menuju Taman Nasional Komodo. Tak lupa membawa baju renang karena kami akan snorkeling, sedangkan peralatan snorkeling dan life jacket sudah disediakan oleh agen wisata tersebut. Teman saya sebelumnya tidak ingin ikut dalam perjalanan ini dan saya akan pergi sendiri bersama dengan group wisatawan asing dari berbagai negara. Namun akhirnya berubah pikiran dan ingin bergabung dengan kami. Hari itu tanpa sepengetahuanku ternyata group seperjalanan berubah, hari itu saya digabungkan dengan wisatawan domestik dari Jakarta, kami semua berjumlah 7 orang. Saya baru tahu itu setelah berada di pelabuhan dan menaiki perahu yang disewa. Dalam perjalanan menuju pelabuhan pun saya sempat kecewa saat sopir mobil yang mengantar kami meminta kami untuk membayar kekurangan biaya padahal kami telah membayar lunas sebesar jumlah yang diminta dan kuitansi pun masih tersimpan. Sepertinya dia salah orang yang membuat saya mengomel di depannya. Karena saya tidak menyukai sesuatu yang tidak pasti dan tidak jelas, bagi saya bila sudah ada kesepakatan maka harus konsisten dan tidak boleh berubah-rubah lagi.

Saat berbincang-bincang dengan penumpang lainnya termasuk operator perahu baru saya ketahui bila paket wisata yang saya ikuti tersebut berbeda dengan yang ditawarkan oleh agen wisata kepada saya. Seharusnya saya ke Pulau Bidadari, Pulau Rinca dan Pulau Kelor. Namun berubah menjadi ke Pulau Rinca dan Pink Beach di Pulau Komodo, sedangkan ini adalah paket wisata yang diambil oleh wisatawan dari Jakarta tersebut. Salah satu dari anggota keluarga tersebut sudah beberapa kali berlibur di Labuan Bajo dan pulau-pulau disekitarnya dan sudah mengetahui lokasi yang bagus untuk dikunjungi di sana bersama keluarganya. Ikut bergabung dengan mereka dalam satu perjalanan bagiku sangat menguntungkan karena saya belum tahu lokasi-lokasi mana yang bagus untuk dikunjungi. Ternyata lebih baik melakukan perjalanan ke Pulau Rinca dan Pink Beach di Pulau Komodo daripada memilih melakukan perjalanan ke pulau lainnya untuk snorkeling. Saat itu Pulau Rinca menjadi pilihan untuk dikunjungi bila ingin trekking melihat komodo liar di habitatnya, dan Pink Beach adalah pilihan yang tepat untuk lokasi snorkeling karena pemandangan under waternya cukup menarik dibanding lainnya, pasir pantainya pun warnanya unik, butiran-butiran pasirnya ada yang berwarna merah muda.

Rinca Island - Habitat of Komodo Dragon
Pukul 9 pagi kami baru berangkat dari pelabuhan Labuan  Bajo dengan menggunakan perahu mesin. Saya memilih duduk di ujung bagian depan perahu agar bebas memotret pemandangan pantai dan perbukitan yang dilalui serta bebagai jenis perahu dan kapal yang terlihat lalu-lalang antar pulau. Indah sekali meski perbukitan yang terlihat tampak gundul dan gersang. Perahu besar yang kami naiki lajunya lumayan kencang dengan menggunakan mesin 300 PK sebanyak dua buah, perahu-perahu lainnya didahuluinya. Jarak tempuh yang seharusnya sekitar 2 jam menjadi hanya 1,5 jam. Saat perjalanan berangkat menuju Pulau Rinca saya tak begitu kenal dengan operator perahu karena saya selalu duduk di perahu bagian depan dan mereka duduk di bagian belakang. Di sebuah teluk di Pulau Rinca terlihat banyak perahu yang sama parkir di sebuah dermaga depan pintu masuk Taman Nasional Komodo di Pulau Rinca. Pengemudi perahu kami yang menjadi guide dengan membawa tongkat dengan ujung bercabang mengantarkan kami ke kantor Seksi Wilayah II Taman Nasional Komodo, dan disana kami melakukan pembayaran PNBP masuk kawasan taman nasional serta mendapat briefing dari guide tentang etika trekking di dalam kawasan habitat komodo yang harus dipatuhi demi keamanan setiap pengunjung, mengingat komodo termasuk salah satu golongan binatang buas. Saya sempat mengambil beberapa photo di sepanjang perjalanan.

Bersama Guide di Kantor Seksi Wilayah II 
Taman Nasional Komodo
Kantor Seksi Wilayah II Taman Nasional Komodo tampak ramai, bahkan dalam musim liburan seperti ini pengunjung bisa mencapai 1000 orang per hari baik dari wisatawan asing maupun domestik, kata petugas. Saat saya sedang berbincang-bincang dengan petugas tiba-tiba salah satu guide memanggil saya untuk diajak keluar karena ada anak komodo yang sedang lewat di halaman kantor. Tentu membuat saya ingin memotretnya. Saat anak komodo mendekat petugas menghentakkan tongkat kayu bercabang di depannya dan membuat komodo itupun menghindari kami. Hmmm.....ternyata komodo takut dengan tongkat kayu bercabang. Setelah menyelesaikan administrasi dengan petugas, saatnya menunggu diberi briefing oleh guide. Hooray.....lagi-lagi saya mendapatkan harga persahabatan tidak seperti pengunjung lainnya. Guide untuk group trekking saya adalah seorang pamswakarsa berasal dari desa sekitar Taman Nasional Komodo yang dikaryakan untuk mendampingi pengunjung. Mereka akan mendapatkan imbalan dari tips yang diberikan oleh pengunjung secara sukarela, tidak ada ketentuan khusus mengenai besarnya tips yang musti diberikan. Mereka cukup memahami tentang komodo dan habitatnya, sepertinya mereka sudah mendapat pelatihan khusus untuk itu. Salah satu guide yang menemani group saya bisa menjawab keingintahuan saya yang begitu besar mengenai komodo dan habitatnya. Sepanjang perjalanan banyak pertanyaan spontan yang saya ajukan seperti, "Berapa jumlah populasi komodo di Taman Nasional Komodo ?" ; "Berapa luasnya Taman Nasional Komodo ?" ; "Satwa apa saja yang dimangsa oleh komodo?" ; "Satwa mangsa apa yang paling disukai oleh komodo dan pernahkah dilakukan penghitungan jumlah populasi satwa mangsa ?" ; "Apa ancaman bagi kawasan TN Komodo dan ancaman bagi komodo itu sendiri ?" ; "Berapa jumlah telur komodo ?" ; "Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai menetas ?" ; "Apakah suhu lingkungan tempat penetasan juga berpengaruh terhadap jenis kelamin komodo ?" ; "Bagaimana cara membedakan jenis kelamin komodo ?" ; "Berapa maksimal usia komodo di alam ?" ; "Apakah tumbuhan dominan di habitat komodo ?" ; "Apakah sering terjadi kasus konflik antara manusia dengan komodo ?" ; "Apakah penyebab utamanya ?" ; "Bagaimana cara penanganannya ?" ; "Adakah kasus perburuan di Taman Nasional Komodo ?" ; "Berapa banyak wisatawan yang berkunjung ke TN Komodo per hari ?" ; "Berapa jauh kemampuan komodo untuk bisa mendeteksi adanya makanan di suatu tempat ?" Dan masih banyak pertanyaanku lainnya yang keluar begitu saja selama trekking di Pulau Rinca.

Sejauh mata memandang Pulau Rinca tampak gersang, tak jauh beda dengan wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya. Perbukitan dengan rumput rendah berwarna coklat, tampak juga beberapa pohon lontar. Dedaunan berwarna hijau hanya tampak pada hutan mangrove di sekitar dermaga Pulau Rinca, yang merupakan pintu masuk ke Pulau Rinca.

Rinca Island - Komodo National Park

Oya, paket wisata trekking di Pulau Rinca ada tiga macam, yakni short trekking, medium dan long trekking, masing-masing memiliki jarak tempuh yang berbeda serta rute yang berbeda pula. Kebetulan saya pernah melihat photo seorang teman di Pulau Rinca diambil dari atas bukit dengan pemandangan laut biru yang menawan tampak di bawahnya, indah sekali. Saya ingin motret disana, ternyata rute itu berada di jalur short trekking. Selama trekking tersebut kami juga menjumpai sepasang burung sedang mencari makan di atas tanah di dalam hutan, menurut keterangan guide bahwa burung tersebut adalah pasangan yang setia, karena seumur hidup burung jenis ini hanya punya satu pasangan. Ukurannya sebesar ayam namun bentuknya lebih mirip dengan merak betina. Mereka berlari menjauh mendengar kedatangan kami sebelum saya sempat memotretnya dari dekat. Saya juga melewati daerah lokasi satwa mangsa dari komodo, terlihat dari bekas feces berbagai mammalia besar penghuni Pulau Rinca. Dari jauh saya melihat sebuah camera trap terpasang di dekat lokasi sarang komodo, yakni lokasi yang digunakan komodo untuk meletakkan telurnya. "Apakah ada yang sedang penelitian komodo di tempat ini ?", saya bertanya kepada guide. Kemudian guide menunjuk seseorang yang tak jauh dari kami, "Itulah orangnya yang sedang penelitian disini, mahasiswa dari Institude Pertanian Bogor." "Lagi penelitian tentang apa ?", tanyaku kemudian. Penelitian satwa liar di habitatnya bagiku sangatlah menarik.

Komodo dragon (Varanus komodoensis) at the Rinca Island 
Komodo National Park

Kami berhenti sejenak di tempat penetasan telur komodo, terlihat banyak sarang di areal tersebut. Ternyata cara bertelur komodo mirip dengan penyu, mereka akan membuat sarang kamuflase disekitar sarang yang sesungguhnya untuk mengecoh predator. Jumlah telur dalam sarang rata-rata sebanyak 20 butir dan akan menetas setelah 7-8 bulan kemudian. Lama banget ya ? Anak komodo akan lebih banyak menghabiskan waktunya di atas pohon guna menghindari predator dan komodo dewasa yang kanibal. Dan komodo akan menjadi dewasa pada usia 3-5 tahun.

Trekking di siang hari yang panas di habitat komodo yang tandus sungguh memicu dehidrasi, apalagi jalan setapak yang kami lalui tidak datar tetapi naik turun mengikuti perbukitan di Pulau Rinca. Rasa panas dan capek setelah melewati jalan tanjakan yang panjang akhirnya terhapus oleh pemandangan menyejukan di depan mata setelah kami sampai diatas bukit, yakni laut biru jernih dan hijaunya mangrove di pintu masuk Pulau Rinca yang tampak dari atas. Indah sekali. Bahagia rasanya bisa menikmati pemandangan seindah ini secara langsung. Ooh....Tuhan Maha Besar atas segala ciptaannya yang menakjubkan. Setelah mengambil beberapa photo di puncak bukit itu, kami melanjutkan perjalanan menuruni bukit dan menuju Kantor Seksi Wilayah II Taman Nasional Komodo. Akhirnya petualangan di Pulau Rinca pun berakhir. Komodo bisa berkeliaran dimana-mana, saat duduk kami pun harus memeriksa bagian bawah dari bangunan dan sekitarnya apakah ada komodo atau tidak demi keamanan diri.

Komodo Island - Komodo National Park
Siang itu bersama rombongan kami kembali menuju ke perahu yang selanjutnya akan membawa kami menuju pulau lainnya yakni Pulau Komodo. Pulau Komodo juga merupakan habitat dari komodo, namun kami melakukan perjalanan kesana bukan untuk melihat komodo tapi akan snorkeling di Pink Beach yang terkenal dengan pasir pantainya berwarna merah muda. Sepanjang perjalanan saya sangat penasaran seperti apa pantai tersebut, sepertinya baru sekarang ini saya mendengar ada pasir pantai berwarna pink.  Dari kejauhan tampak banyak perahu mesin yang bersandar ke pantai tersebut, rata-rata pengunjung kesana untuk snorkeling karena pemandangan underwaternya lumayan bagus. Sayangnya saat mengunjungi pink beach camera saya tinggalkan di perahu yang berlabuh jauh dari pantai sehingga tidak bisa memotret pemandangan indah disana.

Butiran pasir pantainya tampak ada yang berwarna pink dan kemerahan sehingga bila mata memandang akan terlihat pasir pantai didominasi warna pink, untuk itu kenapa pantai ini disebut Pink Beach. Kami berenang menelusuri pantai untuk melihat beraneka macam terumbu karang dan jenis ikan warna-warni. Pemandangan bawah lautnya bagi saya masih lebih bagus di Pulau Dua, Enggano di Provinsi Bengkulu. Namun disini untuk pertama kalinya saya bisa melihat squid berenang di dasar laut. Setelah puas snorkeling siang itu dengan menggunakan perahu nelayan yang kami sewa untuk mengantarkan ke pantai, biasanya harga sewa perahu sebesar Rp.10.000,-  Usai snorkeling akhirnya kami diantarkan kembali ke perahu yang lebih besar untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.

Kelor Island - Flores
Sejak meninggalkan Pulau Komodo saya lebih memilih duduk di bagian ujung depan perahu bersama dua orang asisten dari pengemudi perahu tersebut. Penumpang lainnya lebih memilih duduk di dalam perahu. Kami berbincang-bincang mengenai pulau-pulau yang kami lewati, dan mereka memberi tahu saya nama-nama perkampungan yang ada di pinggir pantai dan nama suku penghuninya serta nama-nama pulau serta tentang apa yang ada disana. Bahkan mereka juga banyak bercerita tentang konflik antara manusia dan komodo penghuni pulau-pulau tersebut. Hmm....ternyata disini juga ada konflik satwa liar. Kemudian mereka bertanya kepada saya, setelah ini mau diantarakan kemana lagi ? Akhirnya sebelum kembali ke Labuan Bajo, kami diantarkan sejenak untuk melihat-lihat Pulau Kelor. Dari jauh tampak beberapa perahu besar sedang berlabuh disana. Pantai tampak bersih dan bening, membuat kami ingin bermain di pantai sejenak. Teman saya tergoda berenang di pantai, dan saya menyibukkan diri memotret dua ekor elang yang sedang terbang rendah dan menyambar ikan di pantai. Pemandangan sekitar Pulau Kelor juga sangat indah, tampak perbukitan tinggi di pinggir pantai seperti lukisan alam. Pulau Kelor tak jauh dari Labuan Bajo, sekitar 20 menit dapat dicapai dengan menggunakan perahu mesin dari pelabuhan Labuan Bajo.

Sunset at Labuan Bajo - Flores
Waktu sudah menjelang sore dan kami pun melanjutkan perjalanan kembali pulang ke Labuan Bajo. Memutuskan untuk berjalan kaki dari pelabuhan menuju hotel sambil menelusuri pantai, sambil menikmati pemandangan sunset yang indah, tak lupa pula untuk mengabadikannya dengan jepretan camera. Tak pernah merasa bosan memotret sunset untuk kesekian kalinya, karena keindahan sunset di pantai selalu menarik perhatian.

Malam harinya saya memilih untuk beristirahat karena terlalu kecapekan selesai snorkeling dan sambil memikirkan kegiatan apa yang ingin dilakukan untuk esok harinya, mengingat rencana perjalanan one day trip ke Wae Rebo gagal dilakukan.


Labuan Bajo, Flores tanggal 3 Agustus 2014. Pagi itu saya berjalan-jalan sendirian mencari informasi tempat-tempat menarik lainnya yang bisa dikunjungi di Labuan Bajo dan mencari kendaraan yang bisa mengantar saya menuju kesana.  Saya mencari informasi dari beberapa orang, yakni dari petugas hotel, agen wisata dan juga masyarakat lokal yang ditemui di jalan. Mereka menyarankan saya untuk pergi ke Goa Batu Cermin. Dulunya Goa tersebut tergenang air laut meski kenyataannya sekarang terletak diatas perbukitan dan jauh dari laut. Di dalam goa tersebut juga terdapat fosil penyu dan ikan yang masih bisa terlihat di dinding atap goa. Hmm....sepertinya menarik untuk dikunjungi, dan saya musti rental motor untuk pergi kesana karena sulit mencari kendaraan disana untuk kembali lagi ke hotel. Lebih baik saya tidak pergi sendirian karena saya belum tahu pasti lokasinya dimana. Bersama seorang teman akhirnya kami berniat untuk rental sepeda motor untuk pergi ke tempat itu. Rental motor di Labuan Bajo sedikit lebih mahal dibandingkan di Pulau Rote, yakni kami harus membayar Rp. 100.000,- untuk pemakaian selama 3-4 jam saja. Untuk menyewa motor disana juga tidak terlalu rumit, memanggil pengendara motor yang sedang lewat di jalan, negoisasi harga rental motor bila sudah sepakat motor bisa langsung dibawa tanpa harus meninggalkan identitas apapun untuk pemilik motor. Modalnya saling percaya saja.

Hutan bambu menuju Goa Batu Cermin - Labuan Bajo, Flores
Sepanjang jalan sebanyak tiga kali kami bertanya pada orang yang kami temui di jalan untuk mencapai lokasi Goa Batu Cermin, maklum saja kami benar-benar tidak tahu dimana lokasinya. Akhirnya pukul 2.30 WITA sampai juga di areal goa, yang terlihat dari kejauhan adalah bukit berbatu dan hutan bambu, goanya tidak nampak. Bahkan disebelah mana goanya kamipun tidak tahu, dan tidak ada petugas yang bisa kami jumpai disana. Akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti jalan yang terdapat di hutan bambu, dan itulah jalan menuju mulut Goa Batu Cermin. Selama satu jam kami berada di goa tersebut hanya untuk mengambil dokumentasi. Membuatku heran, sebuah goa horisontal terletak diatas perbukitan batu namun kenapa pada jaman dahulu air laut bisa sampai kedalam goa itu dengan bukti-bukti adanya fosil penyu dan ikan di dinding goa. Ini artinya penyusutan air laut sudah sangat jauh, dan kenyataannya Goa Cermin lokasinya kini juga sangat jauh dari pantai. Dibagian ujung bila menelusuri goa itu akan terdapat lorong sempit dengan celah diatas dinding goa yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalam goa, pada jam-jam tertentu sinar matahari yang masuk akan memantulkan bayangan pada dinding goa seolah-olah seperti cermin, makanya goa itu dinamai Goa Batu Cermin. Langit tampak mendung dan gelap sepertinya akan turun hujan, pukul 3.31 WITA kami segera meninggalkan goa. Sisa waktu sore itu kami pakai berkeliling Labuan Bajo untuk sekedar ingin mengetahui tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi.

Goa Batu Cermin - Labuan Bajo, Flores

Labuan Bajo, Flores tanggal 4 Agustus 2014. Hari itu saya harus kembali ke Kupang menggunakan maskapai penerbangan Wings Air pukul 13.50 WITA dengan transit di Ende, Flores. Paginya saya manfaatkan untuk berjalan-jalan dan berbelanja souvenir di sekitar Jalan Soekarno Hatta Labuan Bajo. Saya bertemu lagi dengan seorang turis dari Canada yang pernah makan malam bersama sebelumnya, dia menyapaku saat akan menuju rumah makan Padang yang saya rekomendasikan untuk dikunjungi karena dia sangat menyukai makanan khas Padang yakni rendang. Oya, beberapa hotel menyediakan jasa untuk mengantar ke airport dan gratis, sehingga tak perlu lagi mencari kendaraan untuk pergi ke Bandara Komodo, Labuan Bajo. Sore itu tiba di Kupang pukul 15.50 WITA. Sebelum kembali pulang saya sempatkan untuk membeli daging sei, jagung bose dan kacang merah, sepulang dari Nusa Tenggara Timur ingin mencoba memasak sendiri makanan khas Nusa Tenggara Timur itu.

Dengan travelling ke beberapa daerah di Indonesia membuatku semakin mengerti bahwa Indonesia itu kaya dengan keanekaragaman budaya, suku, bahasa, adat istiadat, agama, satwa liar juga makanan daerahnya serta banyak tempat dengan keindahan alamnya yang menarik untuk dikunjungi. Setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing. Semakin banyak mengenal keanekaragaman tersebut, semakin timbul rasa mencintai. Berbeda-beda itu indah dan selayaknya kita patut saling menghargai perbedaan itu. Itu semua kekayaan yang kita miliki, kekayaan bangsa ini.