Selasa, 07 Juni 2016

Bloat pada Gajah Ucok


Gajah Ucok yang mengalami bloat, di PLG Seblat
Tanggal 29 Mei 2016, ada pergantian mahout (perawat) gajah Ucok. Saat itu gajah sudah terlihat sering mengejan, kesulitan buang kotoran, tampak lesu dan nafsu makan turun, namun belum dilaporkan ke dokter hewan oleh mahout kedua meskipun gejala klinis itu telah berlangsung selama dua hari.  

Lendir yang keluar dari anus saat gajah mengejan
Tanggal 31 Mei 2016, hari sudah menjelang gelap, tanpa sengaja saya mendapat informasi saat sedang ngobrol dengan mahout gajah lainnya yang kebetulan melihat kondisi gajah Ucok sore itu. Dia menjelaskan bahwa Ucok sore hari sudah posisi tidur rebah lateral, makanan yang diberikan untuk malam hari berupa tebu dan pelepah sawit masih utuh tak termakan, malah sekelompok monyet ekor panjang sibuk mencurinya. Saya tentu terkejut mendengar itu, karena hari itu saya telah bertemu dengan mahoutnya namun tidak pernah cerita sedikitpun tentang kondisi gajah Ucok saat dia berpamitan pulang pada kami sore itu. Mungkin karena bila dia melaporkan gajahnya sakit, kami akan mencegahnya pulang.  Seekor gajah yang tidur rebah lateral di sore hari menurutku itu diluar kebiasaan, dan saya menduga gajah tersebut punya masalah serius dengan kesehatannya apalagi makanannya pun tak disentuh, seharusnya gajah seperti Ucok sedang aktif makan diwaktu sore hari hingga malam. Mahasiswa Kedokteran Hewan yang sedang belajar di PLG Seblat juga menyampaikan pada saya bahwa mereka pernah melihat gajah Ucok mengejan saat akan buang kotoran. Kebetulan sebelumnya mereka telah mendapatkan pelajaran tentang cara mengetahui tanda-tanda seekor gajah itu dalam kondisi sehat ataupun tidak sehat, dan salah satu gejala klinis yang menunjukkan gajah itu sakit adalah terlihat mengejan/ kesulitan saat akan defekasi atau juga urinasi. Tanpa menunggu lama saya mengajak mahout itu menuju tempat Ucok untuk memeriksanya. Biasanya gajah Ucok agresif didatangi orang apalagi di sore hari seperti itu, namun kali ini dia tampak lemas dan tidak mau berjalan. Meskipun begitu, kami tetap berhati-hati saat mendekat. Makanan terlihat masih utuh. Saya memeriksa sekeliling tidak ditemukan bekas feces (kotoran) dikeluarkan. Dan saya memeriksa tubuhnya, sepertinya mengalami kembung (bloat). Saya mendapat informasi tambahan bahwa gajah itu sudah beberapa hari tidak bisa buang kotoran, sering mengejan dan yang keluar hanya lendir dilapisi darah.


Table 7.4. Signs of an Unhealthy Elephant
  • Listless, decreased movement, unusual behavior, exercise intolerance
  • Dull or sunken eyes, increased tear flow, thick discharge
  • Mucous membranes pale, muddy, bright red, or dry
  • Discharge from the trunk, coughing, abnormal respiratory sounds
  • Dry skin, loss of elasticity, wounds
  • Weight loss, sunken abdomen, prominent ribs (see body condition index)
  • Deceased appetite, anorexia
  • Change in urine or feces (amount, color); straining
  • Lameness
  • Obvious pain
  • Any unusual swelling or protrusion
Reference : "Biology, Medicine and Surgery of Elephants" by Murray E. Fowler and Susan K. Mikota


Saya meminta mahout untuk memindahkan gajah itu mendekati klinik agar bisa dimonitoring setiap waktu, karena bloat termasuk berbahaya dan bisa menyebabkan kematian mendadak bila tidak ditangani. Dan saya meminta mahasiswa kedokteran hewan untuk memindahkan makanannya mendekati gajah. Setelah lebih dari setahun saya dipindahkan ke Kantor Seksi Konservasi Wilayah I dengan pekerjaan baru yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kegiatan medis dan satwa, serta baru satu minggu ini saya ditugaskan kembali sebagai dokter hewan untuk menangani gajah-gajah di PLG Seblat setelah begitu banyak masalah kesehatan gajah terjadi. Saya memasuki ruang obat dan berusaha menemukan sisa obat-obatan yang bisa digunakan untuk pengobatan, sekian lama tidak bekerja lagi di tempat itu membuatku tidak begitu mengenali lagi persediaan obat-obatan apa yang tersedia, namun akhirnya hanya mendapatkan Antibloat, Antibiotik Long Acting, Flunixin meglumine dan Biodin / Biosolamine.

Terapi Gajah Ucok di PLG Seblat
Malam itu kami melakukan pengobatan, yakni melakukan rectal untuk mengeluarkan dan membersihkan kotoran, kami mencari orang diantara kami yang tangannya paling panjang. Tidak adanya peralatan kami memanfaatkan slang air minum untuk harimau yang dipotong, kami juga memasukkan air hangat dengan pelicin untuk membantu pengeluaran feces apabila ada feces yang sulit keluar. Agar ujung slang tidak melukai saluran cerna maka pada saat rectal ujungnya ditutup dengan genggaman telapak tangan. Kemudian memasukkan Antibloat per rectal karena untuk per oral tidak memungkinkan karena gajah sama sekali tidak mau makan dan minum. Dilanjutkan dengan penyuntikan Antibiotik LA, analgesik dan anti kolik, serta biodin. Gajah mulai bisa kentut dan mulai mau makan rumput (king grass) yang disediakan. Meskipun masih terlihat kembung.

Esok harinya dilakukan penyuntikan ulang analgesik karena gajah mulai tidak mau makan dan minum lagi. Dalam kondisi seperti itu tidak ada mahout gajah Ucok yang stand by di camp gajah di hutan, sehingga salah satu mahout akhirnya harus kembali dan menginap di camp bersama kami, dan membantu monitoring gajah Ucok siang dan malam. Saya meminta mahout untuk membawa gajah berjalan-jalan melewati jalan menanjak untuk merangsang kentut. Karena gajah tidak mau minum maka saya juga meminta mahout saat menyeberangi sungai Seblat melewati sungai yang agak dalam agar mulut terendam dan diharapkan air sungai akan masuk kedalam mulut dan meminumnya. Saya amati beberapa kali gajah merejan dan kesulitan untuk buang kotoran, meski saat directal tidak ditemukan adanya feces yang mengeras. Saluran pencernaan gajah bagian bawah yang terlalu dalam kemungkinan tangan tidak dapat menjangkaunya saat rectal. Setiap kali merejan yang keluar dari anus adalah lendir dilapisi darah. Hasil pemeriksaan sampel feces tidak ditemukan telur cacing, kemungkinan disebabkan oleh infeksi bakteri atau penyebab lainnya, untuk itu penyuntikan antibiotik diperlukan. Setelah penyuntikan analgesik gajah Ucok mau makan kembali namun tidak banyak, meskipun pakan yang diberikan cukup banyak dan bervariasi. Bagi saya, melihat hal itu berarti kondisi gajah belum membaik. Pengobatan yang diulang hanya pemberian antibiotik dan analgesik saja.

Tanggal 5 Juni 2016, Gajah Ucok belum bisa buang kotoran, bagi saya kondisinya masih mengkhawatirkan. Kami ingin melakukan rectal sekali lagi. Hari itu secara mendadak saya mendapat tugas ke Kota Bengkulu disaat kondisi gajah Ucok belum membaik, hanya untuk membantu Polisi Kehutanan melakukan penyitaan beruang madu, siamang dan burung elang dari kepemilikan illegal di masyarakat. Saya menolak untuk meninggalkan gajah tersebut dan pergi untuk membantu mereka, tetapi mereka tidak mau tahu dan saya harus ada saat mereka melakukan evakuasi satwa-satwa tersebut. Meskipun saya sedikit menggerutu kenapa orang tidak pernah tahu mana yang prioritas harus dilakukan dan mana yang masih bisa ditunda, tapi akhirnya dengan berat hati saya pergi juga. Saya berpikir untuk membuat pilihan cara yang tepat agar gajah Ucok bisa buang kotoran dan mengurangi kembung sehubungan dengan keterbatasan peralatan dan obat-obatan, saya berusaha mencari sesuatu di dapur camp kami kira-kira apa yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan. Tidak ada arang kayu yang bisa digunakan. Bila harimau mengalami kesulitan defekasi biasanya saya mengalirkan air hangat dan sabun untuk dimasukkan ke anusnya dan kemudian menyedotnya kembali dengan slang plastik dan syringe, sehingga feces bisa dikeluarkan dengan mudah dengan jari. Tapi sepertinya akan sulit bila dilakukan untuk gajah, karena akan kesulitan menyedot kembali cairan yang telah dimasukan sehubungan dengan anatomi saluran pencernaan gajah yang besar dan dalam. Akhirnya saya meminta mahout untuk menggunakan minyak goreng yang masih baru untuk dimasukkan ke anus. Dan pada saat saya sudah dalam perjalanan menuju Kota Bengkulu, saya mendapat informasi bahwa gajah telah buang kotoran dengan ukuran jauh lebih besar dari normal dengan konsistensi padat/ keras, khabar itu membuat saya merasa agak lega saat meninggalkannya. Gajah pun sudah mulai mau makan dan minum.

Tanggal 6 Juni 2016, pagi itu saya pergi ke kantor BKSDA Bengkulu dengan membawa tiga daypack, yang satu khusus peralatan rescue satwa liar dan obat-obatan, satunya lagi berisi barang-barang penting seperti laptop, kamera dan lain-lain, dan satunya lagi berisi peralatan pribadi. Setelah selesai membantu tugas Polisi Kehutanan dalam evakuasi satwa liar saya berencana langsung berangkat kembali ke PLG Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara, yang berjarak sekitar 140an km dari Kota Bengkulu dengan waktu tempuh 5 - 6 jam.

Gajah Ucok selama pengobatan bloat di PLG Seblat

Pada saat kembali saya melihat gajah Ucok sudah normal kembali tidak hanya nafsu makan dan minumnya namun juga aktivitas dan perilakunya. Sudah bisa defekasi dan urinasi secara normal. Namun saya masih harus memberikan antibiotik sekali lagi untuk dosis yang terakhir.

Terkadang saya merasa heran saat para pejabat baik yang di daerah maupun di Jakarta diberi laporan mengenai gajah-gajah yang sakit, dan tanggapannya dengan memberikan instruksi bahwa sebaiknya gajah-gajah yang sakit tersebut dikirim saja ke Rumah Sakit Gajah yang ada diluar Provinsi Bengkulu, atau nanti didatangkan saja dokter hewan - dokter hewan dari sana untuk mengobati gajah-gajah tersebut. Itu yang tertulis dalam selembar kertas yang ditujukan kepada saya. Dalam hati saya hanya tersenyum saja, "Apakah mereka para pejabat itu pernah berpikir berapa biaya transportasi PP (pergi pulang) untuk mengangkut gajah-gajah tersebut hanya karena menginginkan untuk diobati ke Rumah Sakit Gajah ? Siapa yang akan menanggung biaya tersebut ? Mengapa tidak berpikir yang logis, efektif dan efisien dalam hal ini ?" Membawa gajah-gajah ke rumah sakit tentu sangat tidak efektif, dan membawa gajah tidak seperti membawa satwa liar yang ukuran tubuhnya lebih kecil dan tidak rumit dalam transportasi. Kasus bloat (kembung) disertai kolik bila baru diobati setelah di rumah sakit gajah yang ada di provinsi lain mungkin gajah itu bisa sekarat bahkan kehilangan nyawa saat dalam perjalanan. Daripada menghabiskan dana puluhan juta rupiah untuk membawa gajah-gajah itu ke Rumah Sakit Gajah, alangkah lebih bijaksana bila dana tersebut untuk mendukung pembelian obat-obatan yang memadai serta peralatan yang kami butuhkan agar gajah bisa diobati di lokasi. Mengobati gajah tidak perlu dilakukan di bangunan yang megah, hanya cukup membutuhkan tali dan pohon atau rung untuk physical restraint, dan yang tidak kalah penting didukung dengan peralatan medis dan obat-obatan yang memadai, toh dokter hewan dan para mahout sudah tersedia dan bisa melakukannya sendiri. Bila tidak ada dukungan tersebut maka bila ada gajah-gajah yang sakit tidak banyak yang bisa dilakukan. 

Rabu, 01 Juni 2016

Profesi Dokter Hewan Tak Kenal Waktu


Mahasiswa Kedokteran Hewan UGM di PLG Seblat, Bengkulu Utara
Saat ini saya sedang mendampingi mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada yang sedang Praktek Kerja Lapangan yang merupakan bagian dari rangkaian Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) di Taman Wisata Alam Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara tepatnya di Pusat Latihan Gajah Seblat. Mereka setelah lulus dari Sarjana Kedokteran Hewan maka sebagai calon dokter hewan perlu menjalani Pendidikan Profesi Dokter  Hewan terlebih dulu, sebagai tujuan pendidikan minat khusus di bidang medik konservasi, Pusat Latihan Gajah Seblat, Bengkulu salah satu tempat yang selama ini digunakan oleh calon-calon dokter hewan untuk belajar dan praktek penanganan kesehatan satwa liar.

Banyak hal yang bisa dipelajari di Bengkulu, tidak hanya gajah dan harimau namun kami juga mempunyai fasilitas pearwatan satwa liar yang berada di berbagai kabupaten dan kawasan konservasi, seperti konservasi penyu di Kabupaten Mukomuko, penangkaran rusa serta upaya rehabilitasi siamang di kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu, penampungan sementara satwa yakni beruang madu, siamang, burung elang hasil operasi penyitaan di Resort Kota dan kantor Balai KSDA Bengkulu yang menunggu dilakukan pemeriksaan kesehatan. Namun karena keterbatasan waktu dan fasilitas transportasi maka tidak semua tempat bisa dikunjungi untuk belajar karena lokasinya berjauhan, sehingga saat ini dikonsentrasikan untuk belajar perawatan kesehatan gajah dan harimau di kawasan konservasi TWA Seblat.

Gajah Ucok di PLG Seblat, Bengkulu
Sebagai calon dokter hewan tidak cukup mereka hanya mengetahui cara pemeriksaan gajah/ harimau, cara koleksi dan pemeriksaan sampel, mendiagnosa dan cara pengobatan, tentang pembiusan dan handling, tentang penggunaan peralatan medis dan lain-lain, namun yang tidak kalah penting mereka juga harus memahami mengenai Safety Procedures bekerja dengan satwa liar yang berbahaya seperti harimau dan gajah. Selain itu mereka juga harus menyadari bahwa sebagai praktisi dokter hewan yang bekerja untuk satwa liar itu kerjanya tidak mengenal waktu karena kasus yang ditangani juga terjadi sewaktu-waktu tanpa diduga, seperti yang terjadi saat ini. Sore itu kami sudah selesai bekerja karena jam kerja selesai pukul 4 sore, setelah semua orang melakukan finger print untuk absensi sore mereka berpamitan pulang, hanya tertinggal beberapa orang penghuni camp gajah termasuk saya dan para mahasiswa. Saya duduk di ruang makan bersama seorang mahout sambil berbincang-bincang, sambil membawa sebuah buku untuk dibaca dan itu merupakan kebiasaan saya untuk mengisi waktu luang selain menulis, membuat segelas minuman hangat dan bersantai menikmati hari menjelang malam. Sore itu sehabis maghrib seorang mahout bercerita bahwa dia melihat gajah Ucok tidur rebah dan makanan malamnya berupa pelepah sawit dan tebu masih utuh tidak dimakan. Gajah tampak sering merejan. "Apa dia kembung ?" tanyaku. Mahout tidak tahu kembung apa tidak, tapi dia menceritakan kondisinya seperti itu sudah terlihat sejak dua hari sebelumnya. "Kenapa mahout yang merawat gajah tersebut tak pernah bercerita gajahnya bermasalah padahal sering bertemu ?" saya bertanya dalam hati. Mahasiswa saya pun mengatakan bahwa mereka pernah melihat gajah Ucok merejan saat akan buang kotoran beberapa hari sebelumnya. Saya juga telah mengajari mahasiswa tersebut cara mengenali gajah itu sehat atau sakit, dan salah satu perilaku yang harus diamati adalah apakah dia tampak merejan atau kesulitan saat buang kotoran atau kencing, dan itu merupakan ciri-ciri gajah yang kurang sehat, ternyata mereka langsung dapat melihat sendiri contoh gajah yang kurang sehat.

Pengobatan Gajah Ucok
Saya dan mahout tersebut langsung menuju lokasi gajah Ucok untuk memeriksanya dan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Hari sudah mulai gelap, dalam kondisi normal Ucok akan terlihat agresif bila didatangi orang lain selain mahoutnya apalagi disaat malam hari. Tapi saat itu Ucok tampak lemah, dipanggil saja malas untuk bergerak, perutnya terlihat membesar, dan dugaan saya adalah kembung. Makanan belum disentuhnya sama sekali, nafsu makannya hilang. Saya meminta mahout tersebut untuk membawa Ucok mendekati camp agar bisa diobati dan dimonitoring, karena kembung sangat berbahaya dan bila tidak diatasi secepatnya sering menyebabkan kematian. Kami berdua menyadari bahwa Ucok adalah gajah jantan di PLG Seblat yang tergolong agresif, untuk itu saya memanggil mahout lainnya untuk bisa membantu membawa Ucok mendekati camp, karena bila hanya satu orang dan itupun bukan mahout yang sehari-hari merawatnya tentu berbahaya. Akhirnya kami berhasil membawanya dan memindahkannya ke tempat yang datar dan lebih mudah diamati. Dan saya meminta mahasiswa untuk memindahkan makanannya ke tempat yang baru.

Pengobatan Gajah Ucok
Sambil menunggu mahout Ucok datang kembali ke camp gajah, saya mengajak mahasiswa untuk menyiapkan obat-obatan yang diperlukan dan terlibat langsung dalam pengobatan mulai dari penghitungan dosis sampai dengan aplikasinya, karena belajar yang efektif adalah learning by doing. Malam itu kami melakukan pengobatan gajah Ucok hingga jam setengah 9 malam. Akhirnya gajah mau makan kembali dan tampak lebih aktif, tapi bagi saya kondisinya masih mengkhawatirkan. Mahout tetap berjaga dan rutin mengontrolnya hingga pagi. Saat terbangun di pagi hari saya langsung melihatnya, kondisinya masih lemah tidak seaktif biasanya, tidak ada bekas buang kotoran, tapi sudah bisa buang angin/ kentut dan sudah mau berjalan-jalan. 

Bagi saya pengobatan gajah seperti itu juga merupakan pelajaran bagi para calon dokter hewan yang ingin bekerja untuk konservasi satwa liar, bahwa profesi dokter hewan bekerja tidak terbatas waktu, meski jam kerja berakhir pukul 4 sore namun setelah itu terkadang kami masih harus bekerja kembali hingga malam bahkan sampai pagi lagi, disaat jam kerja belum dimulai. Praktisi dokter hewan untuk satwa liar juga tidak mengenal hari libur atau tanggal merah karena satwa sakit dan yang butuh pertolongan juga tidak menyesuaikan kalender kapan hari kerja dan kapan hari libur. Untuk itu belajar medik konservasi itu tidak cukup hanya memahami teori dan bisa mempraktekannya dengan baik ilmu kedokteran hewan, namun juga belajar ilmu pengetahuan lainnya yang berkaitan serta bisa menerima konsekuensi lainnya yang berhubungan dengan profesi dibidang medik konservasi. Semua itu akan bisa diterima bila kita mencintai profesi yang kita miliki dan bekerja dengan hati. Bagi saya pribadi sebagai dokter hewan yang bekerja untuk konservasi satwa liar, tidak hanya cukup sekedar berbagi pengalaman dan ketrampilan yang dimiliki pada calon-calon dokter hewan baru, tapi yang terberat adalah bisa menginspirasi mereka agar kelak sudi bekerja dibidang yang sama dimana pun berada sesuai dengan minat masing-masing karena Indonesia memiliki keanekaragaman spesies satwa liar yang tinggi tidak sebanding dengan jumlah dokter hewan yang langka untuk bidang medik konservasi, karena bagi saya generasi penerus itu penting untuk melanjutkan pekerjaan kita. 
Gajah Ucok setelah Pengobatan

Minggu, 22 Mei 2016

Narasumber COP School Batch #6


Peserta COP School Batch #6
Ketiga kalinya saya ikut terlibat mengisi acara COP School yang diadakan rutin oleh Centre for Orangutan Protection (COP). COP School merupakan sebuah wadah untuk para generasi muda dan relawan dengan latar belakang beragam, guna mendapatkan pembekalan dan pembelajaran serta informasi tentang upaya-upaya konservasi satwa liar  yang ada di Indonesia dan materi lainnya yang relevan.  COP School diadakan setiap tahun di Yogyakarta dengan peserta berasal dari berbagai daerah di Indonesia maupun dari negara lain. Alumni COP School banyak yang menjadi relawan untuk kegiatan-kegiatan konservasi bahkan ada yang telah bekerja untuk konservasi satwa liar di banyak lembaga.

Tahun 2015 lalu saya tidak bisa mengikuti acara COP School Batch #5 karena waktunya bersamaan dengan kegiatan saya membantu persiapan penelitian yang dilakukan oleh Copenhagen Zoo bersama Taman Nasional Baluran di Situbondo, Jawa Timur. Saya membantu memberikan pelatihan tentang pembiusan  kucing besar dan penanganannya untuk keperluan penelitian.

Animals Indonesia mengisi acara COP School Batch #6
Tahun ini saya mendapatkan kesempatan untuk terlibat kembali dalam memberikan materi di acara COP School Batch #6 di Yogyakarta yang diadakan bulan Mei 2016. Dalam acara tersebut juga melibatkan beberapa lembaga besar seperti Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Orangutan Land Trust, Animals Indonesia, Mongabay dan lain-lain yang diundang untuk berbagi informasi mengenai upaya-upaya konservasi satwa liar di Indonesia selain dari Centre for Orangutan Protection (COP) sendiri. Biasanya juga melibatkan Orangutan Information Centre (OIC) dan Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP). Kebetulan di bulan Mei saya disibukkan dengan banyaknya pekerjaan di BKSDA Bengkulu maka tidak seperti biasanya, saya tidak bisa mengikuti acara tersebut full time. Kebetulan saya mendapat bagian tugas untuk memberikan materi tentang Animal Welfare, yang dihubungkan dengan Medik Konservasi yang merupakan bidang kerja saya selama ini. Di acara COP School sebelumnya saya memberikan materi tentang Wildlife Rescue, Human-Wildlife Conflicts, kemudian tentang Lembaga Konservasi Eksitu dan regulasinya. Bahan presentasi yang akan saya sampaikan pun baru dapat saya kerjakan di airport sambil menunggu penerbangan, karena hanya itulah kesempatan yang saya punya saat itu. Sebelumnya waktu saya sudah banyak tersita untuk kegiatan di Pusat Latihan Gajah Seblat, juga di kantor balai maupun seksi, membuat lima proposal kegiatan, desain kandang dan rencana kegiatan untuk membantu teman -teman di kantor Seksi dan Kantor Resort, membantu Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) dan Bagian Kerjasama.

Jumat, tanggal 20 Mei 2016 pukul 16.10 WIB, saya berangkat menuju Yogyakarta dari Bengkulu dengan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia, transit terlebih dulu di Bandara Soekarno Hatta, karena delay akhirnya baru sampai di Bandara Adi Sucipto pukul 10 malam. Seorang alumni COP School dan sekarang sebagai pengurus kegiatan COP School Batch #6 telah menunggu untuk menjemput saya di bandara, yang saya ingat bahwa lokasi COP School itu berada di daerah terpencil di lereng Gunung Merapi, tentu akan sulit untuk mencari makan malam disekitar lokasi kegiatan. Saya putuskan untuk mencari makan malam dulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Ledok Sambi, Kaliurang yang merupakan lokasi kegiatan. Makanan yang saya cari tidak ditemukan meski kami berdua telah menelusuri jalan dan ternyata sudah banyak rumah makan yang tutup karena waktu sudah menjelang tengah malam. Sampai di lokasi sudah jam 22.30 WIB, teman-teman COP dan volunteer belum tidur, kami pun masih terlibat perbincangan dan saya menyelesaikan presentasi saya sebelum istirahat dan dilanjutkan pagi harinya.

Sabtu, tanggal 21 Mei 2016

Esok harinya adalah jadwal saya untuk berbagi informasi dan presentasi tentang Animal Welfare dalam mendukung Medik Konservasi kepada para peserta COP School Batch #6, dan diakhiri dengan simulasi tentang tugas kelompok dengan mencoba membuat desain kandang untuk satwa liar dengan memperhatikan 5 aspek kesejahteraan satwa yang harus dipenuhi. Hal ini untuk mendorong kreativitas seseorang dalam menciptakan lingkungan yang sesuai dengan spesies masing-masing satwa liar yang dikandangkan tanpa mengabaikan kesejahteraan satwa. Kenapa ini penting ? karena ini adalah hak dasar satwa yang harus dipenuhi selama dalam perawatan manusia. Banyak permasalahan kesehatan dan gangguan psikologis pada satwa terjadi pada saat kesejahteraan satwa kurang diperhatikan. Dalam presentasi tersebut saya memberikan contoh-contoh nyata satwa liar yang akhirnya mengalami gangguan kesehatan dan psikologis saat hak-hak mereka untuk hidup lebih sejahtera tidak terpenuhi, dan bagaimana cara mengobatinya dan menanganinya. Penanganan dan pengobatan gangguan kesehatan yang bersifat fisik jauh lebih mudah dilakukan dibandingkan gangguan kesehatan akibat gangguan psikologis yang membutuhkan waktu lama untuk menormalkan kembali. Untuk itu kita dituntut memahami behavior satwa, kondisi lingkungan alami, dan disesuaikan juga dengan tingkat usia. Saya sendiri hanya pernah belajar sedikit teori-teori tentang animal welfare, dan lebih banyak mendapatkan pengalaman langsung dari lapangan dan dituntut untuk kreatif mengatasinya dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang ada. Pengalaman-pengalaman seperti itu sangat berharga, dan saya ingin berbagi pengalaman tersebut kepada para peserta COP School Batch #6.

Bersama peserta COP School Batch #6 dari Universitas Riau Sumatera
dan Kalimantan Barat
Dalam acara COP School kali ini saya banyak bertemu dengan orang baru sehingga menambah pertemanan dan ada juga yang sudah saya kenal sebelumnya, selain itu saya juga dipertemukan dengan kolega dokter hewan yang sama-sama merupakan alumni Universitas Airlangga Surabaya. Diantara para peserta COP School Batch #6 diantaranya juga ada mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dari Universitas Brawijaya Malang, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Universitas Hasanudin Makasar.

Hari itu saya mendapat khabar bahwa mahasiswa saya dari Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada juga telah sampai di Bengkulu yang akan belajar di tempat saya yang merupakan bagian dari kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan / Ko-Asistensi. Mereka harus menunggu dua hari karena terlebih dulu mereka harus mengurus simaksi di Kantor BKSDA Bengkulu di hari Senin. Akhirnya saya meminta bantuan pada teman-teman di BKSDA Bengkulu dalam menyediakan tempat tinggal sementara bagi mereka selama berada di Kota Bengkulu, dan mengurus pemesanan mobil untuk transportasi pada hari Senin tanggal 22 Mei 2016 menuju ke lokasi praktek di kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara, karena praktek kali ini akan difokuskan pada perawatan medis untuk gajah dan harimau sumatera disana.

Berbagi pengalaman dengan peserta COP School Batch #6
Minggu, tanggal 22 Mei 2016 pukul 12.20 WIB adalah penerbangan saya kembali ke Bengkulu. Namun hari itu ternyata saya masih harus presentasi sekali lagi di acara COP School. Materi tersulit bagi saya untuk disampaikan, karena bukan tentang medik konservasi atau tentang satwa liar, namun kali ini saya diminta untuk berbagi cerita tentang perjalanan hidup saya bekerja untuk konservasi satwa liar baik di dalam maupun di luar negeri. Cerita ini untuk memberi inspirasi dan semangat bagi para peserta COP School yang ingin bekerja untuk konservasi satwa liar atau ingin menjadi relawan dibidang itu. Semua orang dengan latar belakang apapun dapat berkonstribusi bagi konservasi satwa liar di Indonesia. Dan yang perlu dipahami bahwa bekerja untuk konservasi satwa liar tidak selalu mudah, terkadang banyak tantangan dan permasalahan sehingga dituntut kepedulian dan pengorbanan yang tinggi serta kesabaran dan semangat pantang menyerah dalam menjalaninya. Dan jangan terlalu banyak berharap imbalan dengan apa yang telah kita lakukan, karena pekerjaan ini dilakukan dengan hati, dan dengan bahagia karena bisa menolong makhluk lainnya, memperbaiki nasibnya agar menjadi lebih baik, tanpa ditunggangi kepentingan apapun.

Saya tidak punya banyak waktu untuk diskusi dan tanya - jawab karena selesai memberikan presentasi, saya langsung menuju bandara untuk kembali ke Bengkulu. Sesampainya di Bengkulu malam hari, dan perjalanan saya selanjutnya adalah menuju ke hutan untuk penanganan gajah. Terpaksa mahasiswa FKH UGM pun saya tinggalkan dan meminta teman-teman di Kantor BKSDA Bengkulu untuk membantu pengurusan simaksi dan transportasi menuju TWA Seblat, disaat saya sendiri sudah berada di lapangan untuk gajah. Bekerja untuk satwa liar memang harus selalu siap sedia, karena permasalahan satwa liar bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa diduga.

"Hidup ini akan menjadi lebih berarti disaat kita mampu berbagi. Begitu juga dengan pengetahuan dan pengalaman, akan menjadi lebih bermakna bila kita bisa berbagi pada sesama" 

Senin, 11 April 2016

Menikmati setiap pekerjaan sebagai dokter hewan dan bukan menganggapnya sebagai beban



Axis axis (Rusa totol)

Tanggal 30  - 31 Maret 2016, Selama dua hari aku akan membantu pembiusan 3 ekor rusa untuk direlokasi dari satu penangkaran ke penangkaran lainnya antar kabupaten di Provinsi Bengkulu. Permintaan bantuan ini sebenarnya sudah beberapa bulan sebelumnya namun aku sendiri kesulitan menyediakan waktu untuk bisa membantu mengingat kegiatanku di banyak tempat belum bisa ditinggalkan. Selama ini orang mengenalku sebagai dokter hewan khusus satwa liar yang tidak hanya sering melakukan pembiusan pada harimau dan gajah saja tetapi juga sebagai pembius rusa, mungkin karena sering berhasil melakukan pembiusan dan relokasi rusa tanpa ada kendala maka akhirnya sering juga dimintai bantuan untuk itu tidak hanya di Provinsi Bengkulu saja namun juga men-supervisi dan memberikan konsultasi tentang pembiusan rusa di tempat lainnya seperti di Jambi, Sumatera Selatan, Aceh, Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur, bahkan pernah juga men-supervisi pembiusan rusa di negara lain yang merupakan habitat alami rusa tutul. Sejujurnya, pembiusan satwa liar yang paling tidak aku sukai adalah membius rusa, terutama rusa tutul, karena efek samping yang buruk dari pembiusan sering terjadi, apalagi bila menggunakan chemical restraint dengan kombinasi obat Xylazine dan Ketamine HCl. Namun saat itu aku lebih memilih menggunakan Zoletyl yang relative lebih aman untuk rusa. Selain itu melakukan immobilisasi pada rusa perlu melibatkan tim yang berpengalaman untuk menghindari hal-hal buruk terjadi selama proses pembiusan dan saat transportasi. Kebetulan kami sudah memiliki tim pembiusan satwa liar yang solid dan terlatih, tidak hanya untuk satwa rusa dan harimau saja tetapi juga satwa liar jenis lainnya. Mereka tidak belajar secara khusus dan tidak memiliki latar belakang pendidikan medik veteriner ataupun paramedik veteriner, tapi menjadi berpengalaman karena sering mengikuti proses pembiusan satwa liar yang aku lakukan selama bertahun-tahun. Alasan lain kenapa aku tidak menyukai melakukan pembiusan rusa karena tidak bisa dilakukan sendirian dan harus melibatkan tim atau orang lain untuk membantu physical restraint. Pembiusan rusa akan berhasil bila dilakukan dengan mengkombinasikan antara chemical restraint dan physical restraint, seperti halnya pembiusan jerapah dan gajah liar di habitatnya. 

Kebetulan mulai tahun 2016 kami difasilitasi oleh anggaran negara untuk melengkapi peralatan rescue satwa liar setelah selama 9 tahun lebih berkecimpung dalam pekerjaan itu dan berhadapan dengan harimau liar yang selalu menerkam setiap kali akan dilepaskan dari jerat pemburu, aku mulai mempertimbangkan tentang keselamatan dan keamanan diri dan tim saat rescue harimau yang sudah terlepas dari jerat pemburu, sehingga peralatan pembiusan yang aman diperlukan, maka pada saat kondisi berbahaya aku tidak akan menggunakan sumpit bius lagi atau pembiusan jarak dekat. Akhirnya aku pun memiliki senjata bius baru sesuai dengan yang kubutuhkan dilapangan.  Dan senjata bius ini juga bisa kami pakai untuk pembiusan rusa dari jarak jauh. Selain itu aku juga mulai sedikit demi sedikit melengkapi peralatan pembiusan lainnya dan peralatan bedah veteriner, berharap suatu saat kami diberi tempat khusus untuk perawatan satwa liar di BKSDA Bengkulu, dan tidak perlu lagi melakukan operasi amputasi atau bedah dan pengobatan pada harimau dan satwa liar lainnya di halaman belakang kantor atau di lorong-lorong kantor. Sedih rasanya, untuk penanganan satwa liar yang hampir punah dan satwa liar yang menjadi fokus pemerintah untuk dilestarikan hanya mendapatkan perlakukan seperti itu dibandingkan dengan kegiatan dibidang kehutanan lainnya yang lebih banyak menghabiskan anggaran, tetapi bila menyangkut nasib satwa liar korban konflik dan perburuan tak banyak yang bisa difasilitasi. Sebagai dokter hewan tentu aku merasa bahwa masih banyak yang harus diperjuangkan dan masih harus terus-menerus mencari dukungan dari banyak pihak untuk kepentingan satwa liar yang statusnya critically endangered species menurut IUCN dan termasuk species yang menjadi fokus negara untuk ditingkatkan populasinya karena kondisinya sudah kritis dan sebentar lagi punah bila tidak ada upaya serius untuk melestarikannya.

Pembiusan rusa totol
Kembali cerita soal rusa, pada hari Kamis tanggal 31 Maret 2016 kami merelokasi 3 ekor rusa ke Kabupaten Bengkulu Utara, tidak ada masalah selama pembiusan dan translokasi, semua berjalan dengan baik, namun masalah baru muncul setelah direlease di penangkaran yang baru. Pada malam hari seekor rusa menabrak dan berhasil menerobos pagar berduri pembatas perkebunan sawit, meski tidak ada luka fisik tetapi cukup menimbulkan stress sehingga rusa hanya terbaring tanpa mau bangun kembali. Aku tidak begitu saja percaya saat melihat kondisi rusa setelah dilepaskan baik-baik saja, mereka tampak berjalan-jalan mengelilingi kandang yang luas (perkebunan sawit yang dipagar sekeliling)  untuk orientasi lokasi baru sampai menghilang dari pandangan. Meskipun begitu aku dan kawan-kawan masih monitoring rusa setelah pelepasan. Ternyata benar, malam itu aku ingin sekali melihatnya lagi, mengajak salah satu pekerja disana untuk mencari rusa-rusa yang sudah dilepaskan, dari atas sebuah bangunan yang belum jadi dekat perkebunan sawit aku mencoba mengarahkan headlamp dan senter ke segala arah, tiba-tiba menemukan seekor rusa yang berjalan sempoyongan dan ambruk tidak bisa berdiri sendiri. Saat itu juga aku langsung berlari turun ditemani salah satu orang disana tanpa peduli tanah yang kupijak naik turun untuk mencari lokasi rusa tersebut terjatuh dengan mengandalkan headlamp karena sekitarku tampak gelap gulita tanpa ada penerangan. Posisi rusa sudah berada diluar pagar berduri pembatas perkebunan sawit. Saya mencoba menganalisa apa yang telah terjadi dengan memeriksa sekeliling sendirian karena karyawan yang bersamaku sebelumnya aku mintai tolong untuk mengambil obat-obatan di ransel yang kuletakkan di dalam mobil dan meminta bantuan kawan lainnya. Menurutku penyebab rusa tersebut ambruk karena stress, kemungkinan ada sesuatu yang menakutinya sehingga berlari dan menabrak pagar berduri malam-malam, sehingga menyebabkan jalan sempoyongan sebelum akhirnya ambruk. Aku mendekati rusa pelan-pelan agar tidak terkejut, akhirnya aku bisa memegangnya, selama obat-obatan dan peralatan medis belum datang, kucoba untuk memenangkannya dengan mengelus-elus bagian bawah leher, dan badannya serta memeriksa kondisi fisiknya. Rusa merasa tidak terganggu dan tampak lebih tenang. Dalam kondisi darurat seperti itu, terasa lama sekali bantuan datang dan aku mulai tak sabar menunggu yang lain datang membawa obat dan alat medis, padahal aku tahu bahwa lokasi mobil dan lokasi rusa jaraknya lumayan jauh. Saat orang-orang telah datang, rusa mulai terganggu sehingga aku hanya membolehkan satu orang saja yang mendekat membantuku untuk merawat rusa, lainnya menunggu dari jarak jauh. Saya periksa frekuensi detak jantungnya dan temperaturenya, serta mulai merawatnya agar kondisinya menjadi lebih baik. Sebelum melakukan terapi apapun, rusa sudah mampu berdiri dan berjalan normal kembali. Baru kali inilah aku mengobati satwa hanya cukup dengan cara dielus-elus saja untuk menenangkannya, meskipun satwa itu perilakunya masih liar dan bukan satwa liar yang sudah dijinakan......hehehe ! 

Dini hari tanggal 1 April 2016 kami baru saja selesai bekerja untuk penanganan rusa di Kabupaten Bengkulu Utara, saat itu dalam kondisi kelelahan dan mengantuk tiba-tiba hand phone-ku berdering berulang kali yang menginformasikan ada seekor kukang yang terkena sengatan listrik tegangan tinggi di areal PLN (Perusahaan Listrik Negara) di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu yang membutuhkan pertolongan. Ya....seperti biasa, panggilan darurat itu sering datang sewaktu-waktu tanpa diduga.



Reporter & Cameraman Kick Andy Talkshow
bersama Mahout PKG Seblat, Bengkulu
Meskipun baru kembali ke Kota Bengkulu dini hari, namun pagi harinya aku sudah pergi ke kantor BKSDA Bengkulu untuk koordinasi dengan humas dan pimpinan yang baru tentang berbagai hal yakni mengenai rencana kerjasama dengan Pertamina untuk upaya konservasi harimau, tentang kasus kukang yang ada di seksi wilayah I KSDA Bengkulu, serta tentang pembuatan simaksi dan mengambil SPT (Surat Perintah Tugas) melakukan liputan Kick Andy tentang aktivitas saya sebagai dokter hewan untuk keperluan acara talkshow dengan tema "Pengabdian Para Dokter", dan mengambil lokasi di salah satu kawasan konservasi di Bengkulu, serta rencanaku untuk melihat kembali kondisi gajah-gajah  yang sebelumnya bermasalah dan telah diambil sampel darahnya untuk pemeriksaan laboratorium serta yang telah mendapatkan pengobatan karena menderita otitis di PKG Seblat, sekaligus ingin melihat kondisi harimau serta waktunya pemeriksaan feces dan pencegahan penyakit parasiter, aku abaikan rasa capek setelah dua hari menangani rusa di luar kota tanpa bisa banyak istirahat, hari itu juga tanggal 1 April 2016 aku kembali melakukan perjalanan menuju TWA Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara. 

Selama dalam perjalanan mencoba untuk berkoordinasi untuk penanganan dan pengobatan kukang (Nycticebus coucang) di kabupaten lainnya. Ada 5 ekor kukang yang harus ditangani di Provinsi Bengkulu dan 2 ekor kukang di Provinsi Sumatera Selatan. Aku berusaha meyakinkan petugas di lokasi tersebut bahwa kukang perlu diperiksa terlebih dulu dan tidak bisa langsung dilepasliarkan kembali apalagi merupakan hasil penyitaan dari perdagangan illegal, perlu proses karantina dan pemeriksaan medis serta monitoring perilaku untuk menyatakan layak untuk segera dilepasliarkan atau ditunda terlebih dahulu. Selama ini yang menjadi masalah besar yang berhubungan dengan penanganan satwa liar selain harimau dan beruang madu, seringkali para petugas polisi kehutanan tidak melibatkan tenaga profesional dokter hewan dalam penanganan satwa sehingga sering melakukan pelepasliaran satwa liar hasil penyitaan dari perdagangan illegal tanpa melakukan pemeriksaan medis dan langsung begitu saja dilepaskan disertai dengan kegiatan ceremonial, tanpa peduli apakah satwa tersebut bermasalah dengan kondisi fisiknya atau kesehatannya atau perilakunya dan adapatasi terhadap makanan alaminya. Bagi mereka asalkan ada Berita Acara Pelepasliaran dan laporan sudah cukup, tanpa peduli apakah satwa yang dilepasliarkan bisa bertahan hidup atau tidak.

Bagi kami sebagai dokter hewan yang sudah lama berkecimpung menangani satwa hasil penyitaan dari perdagangan dan kepemilikan illegal di masyarakat serta hasil penyelamatan dari korban konflik dan perburuan di Pusat Penyelamatan Satwa, Pusat Rehabilitasi Satwa, Stasiun Karantina, Rumah Sakit Satwa Liar dan lain-lain, benar-benar memahami bagaimana proses yang harus dijalani oleh satwa sampai bisa dinyatakan layak untuk dilepasliarkan kembali, tentu merasa sangat sedih dan prihatin dengan kondisi seperti itu apalagi dilakukan oleh petugas terkait yang seharusnya bisa menangani satwa dengan baik sesuai prosedur. Bahkan kadang aku pun harus menerima khabar buruk kematian satwa karena salah penanganan atau perlakuan yang tidak layak, disisi lain aku harus menghadapi arogansi petugas terkait yang selalu merasa benar dengan keputusannya dan merasa mampu untuk menangani satwa tapi kenyataannya tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan saat berdebat soal itu dengan mereka aku seolah-olah ditertawakan dan menganggap bahwa yang mereka lakukan sudah benar adanya.


Pemeriksaan dan Pengobatan Kukang di PPS Sumatera Selatan
Minggu malam, tanggal 3 April 2016 aku kembali ke Kota Bengkulu dari pulang perjalanan ke Kabupaten Bengkulu Utara. Malam itu aku telah disibukkan kembali untuk mempersiapkan worksheets guna pemeriksaan 7 ekor kukang yang berada di PPS (Pusat Penyelamatan Satwa) Sumatera di Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, 5 ekor kukang merupakan titipan BKSDA Bengkulu dan 2 ekor kukang lainnya adalah titipan BKSDA Sumatera Selatan. Esok paginya aku masih menyempatkan diri ke kantor BKSDA Bengkulu untuk mengambil obat-obatan dan peralatan medis dan langsung berangkat lagi menuju Sumatera Selatan untuk pemeriksaan medis dan pengobatan kukang yang sedang menjalani proses karantina. Saat sedang dalam perjalanan, aku sambil menjawab dan menanggapi permintaan beberapa media nasional mumpung signal masih lancar. 

Waktuku sangat terbatas untuk melakukan pemeriksaan medis pada kukang sebelum akhirnya aku harus kembali lagi ke Kota Bengkulu. Sebenarnya aku hanya bisa menyediakan waktu selama 3 hari, meski pada kenyataannya harus molor menjadi empat hari, dan dua hari sudah habis terpakai untuk perjalanan pergi pulang, jadi efektif bekerja hanya dua hari saja, belum terkadang terganggu oleh cuaca buruk (hujan deras) yang menyebabkan kegiatan terhenti. Dalam dua hari akhirnya selesai juga memeriksa kukang-kukang tersebut, dan aku kembali ke Kota Bengkulu hari Kamis tanggal 6 April 2016. Aku hanya memiliki waktu satu hari di Kota Bengkulu yakni hari Jumat untuk efektif bekerja membuat laporan medis hasil pemeriksaan kukang dan membuat materi oral presentation untuk persiapan jadi narasumber seminar di Universitas Airlangga, Surabaya yang diadakan pada hari Minggu tanggal 10 April 2016.

Seminar "Conservation Through Responsible Tourism"
di Rektorat Universitas Airlangga, Surabaya
Setiap menit itu sangat berharga, memanfaatkannya untuk hal-hal yang bermanfaat bukanlah kuanggap sebagai beban bila kita bisa menikmatinya. Dan arti menikmati bukan berarti selalu mendapatkan imbalan uang, bagiku melakukan suatu pekerjaan tidak harus selalu berorientasi untuk mendapatkan uang, bahkan sebaliknya aku sering keluar uang sendiri untuk membiayai pekerjaanku, namun juga ada yang berorientasi untuk menolong makhluk hidup lain yang membutuhkan, berorientasi untuk mencari atau meningkatkan pengalaman, dan lain-lain. Bila kita menjalani setiap kegiatan dengan hati bahagia, tulus dan ikhlas tentu bekerja bukanlah suatu beban berat, namun akan dinikmati sebagai salah satu dari kesenangan dan pengorbanan. Bahkan aku sendiri kesulitan untuk membedakan antara bekerja dan berwisata, karena dua-duanya bagiku mengandung makna yang sama, disaat aku sedang bekerja bagiku aku juga merasa sedang berwisata serta sebaliknya, mungkin karena aku selalu menikmati setiap pekerjaanku dengan senang hati dan tak menganggapnya sebuah beban tugas. 

Jumat, 25 Maret 2016

Kembali ke hutan : mengunjungi kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu




Pekerjaanku dari dulu memang ada yang tidak bisa direncanakan waktunya, terkadang sedang duduk santai bersama teman atau keluarga tiba-tiba ada panggilan emergency dan harus segera berangkat ke lapangan, bahkan dalam kondisi sakit dan sedang istirahat total (bedrest) juga terpaksa harus bangun dan siap-siap pergi ke lapangan bila mendengar ada korban konflik atau perburuan satwa liar. Seperti pada hari Rabu tanggal 23 Maret 2016, pukul 11.32 WIB saat sedang beristirahat karena baru saja pulang dari hutan dan terasa capek, tiba-tiba ada panggilan untuk menangani rusa yang sakit di Taman Buru Semidang Bukit Kabu. Aku pun minta penjelasan gejala klinis yang terlihat sehingga bisa memprediksi obat-obatan dan peralatan medis apa yang perlu dibawa dan untuk mengetahui kondisinya kritis atau tidak, meskipun sebenarnya aku sendiri tidak memiliki stok obat-obatan yang memadai.  Setelah mendengar penjelasan salah satu petugas melalui telephone, saya berkesimpulan bahwa kondisinya kritis dan perlu pertolongan segera, dan saya juga menyampaikan bahwa siap berangkat saat itu juga. 

Namun apa dikata, untuk kesekian kalinya memang aku harus menerima kenyataan bahwa satwa liar itu belum menjadi prioritas meskipun berhubungan dengan nyawa, jadinya kegiatan untuk mengobati pun masih harus ditunda karena menunggu jadwal berangkat kegiatan lainnya yakni sosialisasi pengamanan hutan yang sifatnya tidak mendesak dan bisa dirubah waktunya. Akhirnya saya menyadari bahwa untuk bisa pergi ke lokasi membutuhkan orang lain guna mengantar kesana karena tidak bisa pergi sendiri, tidak ada akses kendaraan umum menuju lokasi, mau nggak mau memang harus menunggu dan menyesuaikan dengan jadwal mereka. Hari itu kucoba melupakan masalah rusa dan mengisi waktu untuk membalas surat dari direktur KKH (Konservasi Keanekaragaman Hayati)  - KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) tentang permintaan dokumentasi harimau sumatera sebagai bahan mereka menghadiri pertemuan "3th Asian Ministerial Conference on Tiger Conservation".

Esok paginya saya teringat lagi dengan rusa yang sakit. Kuhubungi lagi salah satu petugas yang bekerja di wilayah tersebut, dan saya akhirnya dapat khabar menyedihkan bahwa rusa itu telah mati. Ini sesuai dengan perkiraan saya sebelumnya, kemungkinan dia mati akan lebih besar. Namun yang disayangkan, paling tidak sebelum itu terjadi sudah harus ada usaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkannya daripada hanya menunggu kematian tanpa tindakan. Rusa itu juga sedang bunting tua, bila kami tidak bisa menyelamatkan induknya paling tidak bisa menyelamatkan janin yang ada dalam kandungannya. Tapi apa boleh buat, sebagai dokter hewan hal yang paling menyedihkan dalam menjalankan profesi adalah disaat kami seharusnya bisa melakukan sesuatu namun ada faktor lain yang tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan darurat sehingga satwa pun tidak bisa ditolong. Padahal dalam pengobatan satwa liar untuk tujuan konservasi kami para dokter hewan tidak pernah memikirkan berapa jasa yang harus dibayarkan bahkan sama sekali tak peduli ada uang jasa pelayanan medis atau tidak, karena kami biasa bekerja sukarela, profesi kami memang unik dibandingkan tenaga medis lainnya, karena kami memberikan kualitas pengobatan dan perawatan tidak berdasarkan kemampuan finansial yang bisa dibayarkan. Kami tidak pernah mendiskriminasikan pasien, semua mendapat pelayanan dengan kualitas yang sama, tidak mengenal tingkat kelas perawatan. Meskipun begitu, tetap saja kegiatan yang berhubungan dengan satwa liar belum menjadi prioritas untuk didulukan.

Pukul 9 pagi rencana saya akan berangkat bersamaan dengan tim polisi kehutanan dan staff KPHK dari kantor BKSDA Bengkulu, namun saya minta ijin terlambat 30 menit karena masih harus menyelesaikan balasan email untuk KKH, listrik sering mati di Kota Bengkulu membuat banyak pekerjaan menjadi terganggu. Pukul 09.30 WIB saya sudah tiba di kantor BKSDA Bengkulu lengkap dengan barang bawaan saya yang seabrek, backpack, camera, box obat-obatan dan peralatan medis. Ternyata belum ada tanda-tanda untuk berangkat, mereka masih mendapat masalah dengan kendaraan patroli yang tidak diijinkan untuk dipakai, padahal kendaraan dinas terpajang berjajar memenuhi garasi kantor.....hehehe ! Saya termasuk orang yang suka berpikir sederhana dan logis, karena saya pun terlibat dengan kegiatan ini maka akhirnya ikut bicara dan menanyakan,"Ini kendaraan dinas milik negara bukan ?, Kegiatan yang akan kita lakukan termasuk tugas negara bukan ?, Yang tidak mengijinkan mobil patroli ini dipakai bekerja untuk negara bukan ? Jadi masalahnya dimana dan kenapa........???"  Bila berhubungan dengan pemakaian kendaraan dinas kami memang sering emosi dibuatnya, apalagi kendaraan itu kendaraan lapangan yang seharusnya digunakan untuk kegiatan lapangan, dan bukan untuk transportasi dari rumah ke kantor saja seperti milik pribadi. Jadi teringat setahun yang lalu saat ada harimau terjerat dan kami buru-buru akan berangkat rescue harimau, tiba-tiba mendapat masalah tidak bisa memakai kendaraan dinas yang sudah kami persiapkan. Dan saya pun langsung berbicara keras, "baiklah, kalau tidak boleh pakai kendaraan negara untuk kepentingan dinas, kita jalan kaki aja ke lokasi untuk rescue harimau." Orang-orang jadi tahu kalau saya sedang marah, akhirnya kendaraan itu diberikan juga.


Akhirnya kamipun berangkat juga, kebetulan kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu yang merupakan tujuan kami tidak jauh dari Kota Bengkulu, hanya sekitar 1,5 jam perjalanan dengan mobil. Staff BKSDA Bengkulu lainnya bertanya, "kenapa tidak bawa dua mobil saja, kan personil yang ikut banyak ?" Spontan teman saya menjawab, "pinjam satu aja susah apalagi mo bawa dua?" Kami 13 orang tentu berdesak-desakan dalam satu mobil karena tidak hanya orang yang ada didalamnya tetapi juga barang-barang bawaan kami, tak apalah yang penting bisa sampai tujuan. Untuk kesekian kalinya saya mengunjungi kawasan ini, dulu hanya mendengar namanya saja tanpa pernah mengunjunginya, bahkan cerita harimau liar yang suka muncul dan tidur di belakang pos jaga membuatku penasaran ingin kesana. Saya dan polisi kehutanan berangkat bersamaan, namun kami memiliki kegiatan yang berbeda. Tujuan saya kesana untuk otopsi/ nekropsi rusa, pemeriksaan rusa lainnya dan pemeriksaan siamang, serta mencari lokasi yang strategis untuk pasang camera trap buat mendokumentasikan harimau sumatera serta mengindentifikasi individu yang ada disana. Saya seperti konsultan medis keliling, karena tidak hanya bekerja di wilayah kerja saya tapi juga diluar wilayah. Pada kesempatan ini saya bersama perawat satwa yang berjumlah 4 orang membersihkan kandang siamang, memberikan contoh bagaimana membuat enrichment untuk siamang, dan bagaimana cara monitoring perilaku. Siamang tersebut berasal dari penyitaan dan penyerahan dari masyarakat di Provinsi Bengkulu yang dulu memeliharanya secara illegal.  Setelah menjalani pemeriksaan medis di kantor BKSDA Bengkulu akhirnya direlokasi ke kawasan konservasi ini untuk belajar menjadi liar sebelum siap dilepasliarkan kembali ke hutan. Terhadap pengelola kawasan juga disarankan untuk pembinaan habitat, yakni dengan menanam tumbuhan yang merupakan makanan alami satwa liar/ primata bila kedepan mereka ingin mewujudkan mimpinya sebagai lokasi untuk rehabilitasi satwa primata. Dengan ketersediaan pakan alami yang melimpah di hutan seluas 15.300 hektar tentu tidak menutup kemungkinan hal itu bisa diwujudkan, dan akan mempermudah pembelajaran satwa di hutan untuk beradaptasi dan bertahan hidup di lingkungan barunya.

Siamang yang ikut sekolah hutan dalam proses rehabilitasi di TB Semidang Bukit Kabu

Hari itu saya juga melakukan pemeriksaan rusa dan memberikan saran terhadap pengelolaan rusa dalam penangkaran, termasuk sanitasi kandang, enrichment, nutrisi, monitoring perilaku, cara perawatan, membuat daftar obat-obatan yang harus tersedia di lokasi dan lain-lain. Setelah itu melakukan pemeriksaan nekropsi terhadap rusa yang mati dibantu oleh perawat satwa.

Kebun kopi peladang liar di Kawasan TB Semidang Bukit Kabu
Selain berkegiatan yang berhubungan dengan satwa liar, saya juga membantu kegiatan polisi kehutanan untuk mendokumentasikan kegiatan sosialisasi dan operasi mandiri terhadap pelaku perladangan liar, ada sekitar 10 pondok peladang liar (perambah hutan) di dalam kawasan dengan lokasi yang berbeda-beda. Kami berjalan kaki naik turun menuju satu per satu lokasi pondok milik peladang liar. Pondok pertama dan kedua yang ditemui sedang ditinggalkan oleh penghuninya, hanya tampak kebun kopi yang telah berbuah dan siap panen. Kebun ini sepertinya sangat terawat, dan pasti penghuninya sering juga tinggal di pondok ladangnya.

Akhirnya kami menuju ke lokasi lainnya, jalan yang dilalui menurun sangat curam, dari atas perbukitan saya bisa melihat beberapa pondok di tengah ladang kopi, dua pondok lainnya agak berjauhan. Terdapat perbedaan yang jelas antara lokasi pondok yang bersih tanpa tumbuhan, kemudian kebun kopi yang berbatasan dengan hutan yang masih lebat. Saat perjalanan menuju lokasi juga menjumpai areal seperti HTI (Hutan Tanaman Industri) karena didominasi tanaman monokultur yakni akasia. Saya tidak tahu kenapa ada akasia dalam jumlah banyak di dalam kawasan hutan ini padahal itu bukan tanaman asli hutan Sumatera. Di kejauhan tampak areal yang baru di land clearing yang berbatasan langsung dengan hutan lebat, kemungkinan ada orang yang ingin membuka kebun juga disana.

Pondok peladang liar di dalam kawasan konservasi TB Semidang Bukit Kabu

Salah satu hal yang paling sulit dalam hidup saya bila berhadapan langsung dengan pelaku perambahan, tidak hanya di lokasi itu saja, tapi juga di kawasan konservasi lainnya. Saya selalu tidak tega melihat orang dengan wajah sedih saat tahu harus meninggalkan pondok dan kebunnya yang berada dalam kawasan konservasi, ini artinya mereka harus meninggalkan harta bendanya dan sumber hidupnya, tidak saja menghadapi ibu-ibu dengan anak-anaknya, tetapi kadang juga berhadapan dengan orang yang sudah tua renta tanpa keluarga. Dan saya lebih memilih untuk sebisa mungkin tidak banyak terlibat pembicaraan dengan mereka, karena bila mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya akan membuat saya tambah bersedih. Tetapi tidak semua peladang liar seperti mereka, bahkan ada dari kalangan orang bermodal dan datang dari luar kabupaten, yang ingin memperkaya diri dengan cara merampas tanah negara. Di hutan ini pun peladang liar ada yang dari Kota Bengkulu dan kabupaten lainnya.

Setelah adanya peringatan untuk meninggalkan lokasi dan masih diberi kesempatan beberapa hari untuk bersiap-siap dan membongkar sendiri pondoknya sebelum kembali ke daerah masing-masing. Meski diberi waktu cukup lama, namun mereka esok harinya sudah mulai meninggalkan hutan. Tampak 8 buah mobil menjemput mereka yang akan keluar dari kawasan konservasi ini. Solusi dalam menghadapi peladang liar ini memang bertujuan untuk menyelesaikan masalah tanpa masalah, jadi tidak ingin dengan cara keras, cukup pemberitahuan saja, ada kesepakatan untuk membongkar pondok sendiri atau bersama-sama dan meninggalkan lokasi tanpa perselisihan. Dan mereka perlu menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan dengan melakukan aktivitas menetap di dalam kawasan konservasi tanpa ijin adalah melanggar undang-undang. "Hidup memang susah dan penuh dengan perjuangan, namun jangan sampai melakukan hal-hal yang melanggar hukum untuk bertahan hidup".

Pemburu burung berkicau
Saat perjalanan kembali ke pos resort di TB Semidang Bukit Kabu, di hari yang panas itu jalan yang kami lalui terus menanjak dan curam, saya tetap melanjutkan berjalan kaki sendirian meski teman-teman lainnya memilih berhenti untuk beristirahat. Kebiasaan saya memang lebih memilih untuk terus berjalan daripada beristirahat yang membuat badan menjadi dingin kembali, sehingga untuk melangkah lagi akan terasa berat. Disaat capek saya memilih berjalan pelan, bila jalan sudah rata dan tidak menanjak baru berjalan cepat lagi. Ditengah perjalanan saya melihat dua orang sedang memasang perangkap untuk burung, yang satu sedang memasang kayu yang sudah diberi perekat dan satunya menggantung sangkar burung berkicau sebagai umpan guna menarik perhatian burung lainnya untuk datang. Mereka tidak tahu saya mengintip dari sela-sela pohon dan berusaha tetap diam tak begerak sambil mengambil dokumentasi. Untuk kondisi seperti ini saya tidak akan mau sendirian menangkap mereka, karena saya perempuan dan sendirian di tengah hutan, saya memilih menunggu teman lainnya datang menyusul. Salah satu teman saya muncul dari arah belakang, dan saya memberi isyarat agar tidak berisik dan memberitahu dia ada pemburu burung di depan kami. Sepertinya pelaku mendengar kami berbicara meskipun sambil berbisik-bisik, membuat mereka bersembunyi di semak-semak. Teman saya mengajak saya langsung mendatangi mereka dan aku pun setuju. Kami meminta mereka untuk mengambil umpan burung dan jebakan yang dibuat, pada saat itu polisi kehutanan lainnya sudah muncul, akhirnya kami serahkan ke mereka untuk diinterogasi dan diberi penjelasan tentang larangan berburu di dalam kawasan konservasi. Ternyata pelaku perburuan burung berkicau di hutan itu juga berasal dari kabupaten lain.

Setiap perjalanan yang saya lakukan termasuk salah satu proses belajar, untuk mempelajari banyak hal yang belum pernah saya jumpai dan lakukan, karena setiap perjalanan selalu ada keunikan tersendiri dan ada hal-hal baru yang dijumpai, dengan orang-orang baru, di wilayah baru serta adanya permasalahan yang beragam dan berbeda. Perjalanan seperti itu bagi saya juga bukan sebagai beban kerja tapi saya selalu menikmati setiap hal dalam perjalanan yang saya lakukan dan menganggapnya sebagai sebuah kegiatan berwisata di alam bebas. Ya, bekerja itu menyenangkan, bisa dinikmati tanpa beban apalagi yang berhubungan dengan petualangan di alam bebas, hutan dan satwa liar.

Senin, 21 Maret 2016

Harimau Sumatera 'Giring' Korban Konflik dengan Manusia di Bengkulu


Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) korban konflik dengan manusia di Bengkulu. Tanggal 22 Maret 2016

GIRING, biasa kami memanggilnya, yakni seekor harimau sumatera berjenis kelamin jantan berusia 14 tahun yang kini sedang kami rawat di dalam salah satu kawasan hutan konservasi di Provinsi Bengkulu. Pada bulan Pebruari 2015, kami dari BKSDA Bengkulu telah mengevakuasinya dari perkebunan karet milik warga desa di Kabupaten Seluma karena terlibat konflik dengan manusia yang menyebabkan korban jiwa, salah satu warga meninggal dalam konflik tersebut. Perkebunan karet itu hanya berjarak beberapa meter dari areal HGU Perusahaan Sawit yang sudah land clearing, dan juga berbatasan langsung dengan Kawasan Konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu yang juga merupakan jalur jelajah dari harimau.

Human-Tiger Conflict di Bengkulu
Mencoba mengingat kembali cerita dari kepala desa disana tentang kronologis kejadian sehingga terjadi korban jiwa. Malam itu sepasang suami istri sedang menginap di sebuah pondok miliknya di kebun  karet saat terdengar suara raungan harimau di sekitar pondok mereka. Malam yang mencekam itu membuat mereka keluar dari pondok dan pindah mengungsi ke pondok milik warga lainnya. Istri korban sudah meminta untuk pulang kembali desa sementara waktu demi keamanan, namun suaminya meminta untuk tetap bertahan di lokasi tersebut. Esok paginya mereka kembali ke pondok miliknya karena merasa kondisi sudah aman dan harimau telah pergi menjauh. Seperti biasa mereka tetap bekerja untuk menyadap (mengambil getah) karet, dengan sang istri bekerja di depan pondok sedang suaminya bekerja di belakang pondok. Itu kegiatan rutin yang dilakukan sehari-hari bila sedang tinggal dan menginap di kebun. Pukul 10 pagi biasanya mereka akan bertemu kembali dan berkumpul di pondok usai kerja pagi itu, namun didapati sang suami tak kunjung pulang. Pagi itu istri korban mendengar suara binatang ternak (seperti suara kambing), dan mencoba keluar pondok dan mencari arah suara namun yang dilihat adalah seekor harimau sumatera yang sedang menghadang di depannya, dengan rasa takut dia kembali ke pondoknya. Suaminya yang ditunggu pun tak kunjung pulang, membuatnya nekat untuk mencari bantuan ke pondok-pondok lain di sekitar kebunnya. Ada sekitar 9 orang yang membantunya untuk mencari suaminya di kebun karet. Namun yang ditemui hanyalah helm yang sudah terlepas dan jaket suami yang sudah berlumuran darah serta peralatan penyadap getah karet, suaminya pun belum ditemukan. Mereka semua akhirnya kembali ke desa yang lumayan jauh lokasinya dari kebun karet tersebut, melaporkan kejadian itu kepada kepala desa dan pukul 3 sore beramai-ramai mencari korban, pada akhirnya bisa ditemukan namun sudah dalam kondisi mengenaskan dan meninggal. 

Rescue Harimau Korban Konflik dengan Manusia
Hanya perlu waktu kurang dari 10 menit saja untuk menangkap harimau itu di sekitar lokasi kejadian, yang tak jauh dari perbatasan HGU perkebunan sawit milik perusahaan yang berupa tanah terbuka dalam skala besar. Jejak-jejak harimau banyak terlihat berada tak jauh dari lokasi kejadian. Bahkan binatang buas itu belum menjauh dari lokasi saat tim rescue harimau dari BKSDA Bengkulu tiba disana, tidak seperti 5 ekor harimau lainnya yang setelah menerkam korban langsung menghilang dan masuk ke dalam hutan dan tak akan muncul kembali. Mungkin inilah jawabannya, dua minggu kemudian muncul 2 ekor harimau jantan lainnya yang sedang memperebutkan wilayah jelajah di sekitar lokasi tersebut. Kebun karet itu yang kondisinya penuh dengan semak belukar sepertinya merupakan jalur jelajah harimau sumatera, namun kondisinya sudah dirubah menjadi kebun karet dan lainnya sudah di-land clearing oleh perusahaan untuk disiapkan menjadi perkebunan sawit skala besar, sehingga tak dapat dihindarkan adanya tumpang tindih aktifitas di daerah yang sama antara harimau dengan manusia. Hasil pemeriksaan gigi harimau yang tertangkap menunjukkan bahwa usia harimau tersebut sudah tua. Saat tertangkap harimau diperkirakan berusia 13 tahun, jadi kini usianya sudah menginjak 14 tahun, padahal usia harimau liar diperkirakan hanya sampai 15 tahun. Kemungkinan dia tersingkir karena sudah tua dan digantikan oleh pejantan baru yang dominan yang saat itu sedang memperebutkan wilayah jalur jelajahnya. Harimau tua akan mencari mangsa yang lebih mudah untuk didapatkan. Sedangkan dari hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa harimau jantan ini mengidap penyakit parasit darah. Ini adalah harimau liar kedua yang  saya periksa dan terindikasi positif parasit darah. Tidak ada clinical signs yang spesifik untuk penyakit tersebut pada harimau liar, pada harimau betina yang menjadi korban konflik di wilayah Sumatera Barat dan terindikasi positif penyakit parasit darah hanya menunjukkan perilaku yang tidak aktif, perilaku lainnya tampak normal. Sedangkan harimau jantan yang menjadi korban konflik di wilayah Bengkulu tidak memperlihatkan gejala klinis, tampak sangat agresif dan perilaku lainnya terlihat normal. Hasil pemeriksaan darah secara mikroskopis saja yang bisa menunjukkan bahwa harimau-harimau tersebut menderita penyakit parasit darah. 

Perawatan Medis 
Harimau sumatera : sebelum pengobatan. Tanggal 20 Mei 2015.
Tidak hanya parasit darah yang ditemukan dalam pemeriksaan medis selama perawatan di kantor BKSDA Bengkulu, tetapi kami pun masih harus melakukan pemeriksaan dan operasi bedah mulut serta pengobatan kelainan yang ditemukan pada ronga mulut yakni pada gigi, gusi dan lidah. Setelah semua permasalahan itu bisa diatasi dengan baik dan bisa kembali sehat, akhirnya kami juga menemui masalah baru yakni penyakit kulit yang diduga disebabkan oleh jamur, menyebabkan rambut hampir di seluruh tubuh mengalami kerontokan. Saya berdiskusi dengan kolega dokter hewan di Eropa, dan saya selalu merasa puas bila berdiskusi dengannya tentang harimau dan permasalahannya. Kami memang tidak melakukan pengambilan sampel dan pemeriksaan mikologi di laboratorium karena pengambilan sampel berarti harus mengulang melakukan pembiusan, pemeriksaan laboratorium berarti juga membutuhkan dana untuk transport specimen dan biaya pemeriksaan. Sedangkan perawatan harimau itu kami lakukan dengan dana dan fasilitas seadanya tanpa bantuan pihak lain. Dan saat itu kami juga dibebani untuk merawat dua ekor harimau sekaligus dengan segala keterbatasan fasilitas. Setelah menjalani pengobatan selama 4 (empat) bulan dan perbaikan ventilasi serta sanitasi akhirnya harimau bisa kembali sehat dan rambut tumbuh kembali. Sebagai dokter hewan kebahagiaan itu akan dirasakan saat berhasil mengobati satwa hingga sembuh kembali dan kondisinya menjadi lebih baik.

Meskipun dalam perjalanan tugas kerja kami terkadang juga mendapat banyak tekanan, intimidasi bahkan diskriminasi kepentingan, satwa korban konflik dan perburuan liar belum menjadi target fokus dari banyak pihak, jadi apapun yang terjadi padanya belum menjadi perhatian bersama. Sudah sembilan tahun saya merasakan hal ini, namun tak apa meski kenyataannya tidak seindah saat dalam rapat, workshop atau seminar atau diatas kertas bahwa ini adalah salah satu satwa prioritas yang harus diperhatikan. Saya memang bekerja secara mandiri, tidak punya lembaga besar yang bisa mempengaruhi kebijakan, dan institusi terkait pun masih sibuk menggunakan sebagian besar anggarannya untuk hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan satwa korban konflik dan perburuan. Ya, satwa memang belum menjadi prioritas, meski korban selalu ada setiap tahunnya.

Relokasi Harimau Sumatera
Relokasi harimau sumatera ke TWA Seblat. 
Tanggal 28 Oktober 2015.
Tanggal 28 Oktober 2015, saat pemuda pemudi Indonesia merayakan hari Sumpah Pemuda, kami disibukkan dengan merelokasi harimau korban konflik agar ditempatkan ke tempat perawatan yang lebih baik, dengan sekitarnya hutan agar mereka merasakan seperti berada di tempat alaminya, bukan berada di sekitar manusia. Meskipun sudah merawatnya begitu lama, namun sifat liarnya masih bisa dipertahankan dan belum berubah, ya karena selama ini kami bekerja untuk harimau liar dan bukan harimau captive, perawatan dengan cara mengisolasi dan sebisa mungkin membatasi kontak dengan manusia, serta membiarkannya lebih banyak kontak dan mendengar suara satwa liar yang ada disekitarnya seperti babi hutan, siamang, owa, monyet ekor panjang, simpai, burung dan suara-suara dari penghuni hutan lainnya. Relokasi itu bagi kami tidak ada sangkut-pautnya dengan desakan banyak pihak agar harimau sumatera tersebut dirawat dalam kondisi yang layak. Mungkin mereka perlu tahu bahwa kami pun sejak sembilan tahun yang lalu juga menginginkan hal yang demikian, dan terus-menerus berusaha agar hal itu bisa terwujud, meskipun setelah sembilan tahun berlalu impian itu belum ada tanda-tanda untuk terwujud, karena kami tahu diri dan menyadari bahwa Provinsi Bengkulu tidak masuk prioritas untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Namun apakah dengan mendesak, mengintimidasi tanpa berbuat nyata hal itu bisa dilakukan, tentu tidak. Merawat harimau sumatera bukan seperti main sulap, yang bisa dirubah dalam waktu sekejab. Dan yang menjadi pertanyaan adalah kemana saja mereka yang ambisius dan lantang mengintimidasi, mengkritik, menekan kami dengan berbagai cara dengan mengatasnamakan peduli dengan harimau sumatera saat kami membutuhkan lokasi perawatan yang lebih layak, saat kami membutuhkan pakan harimau, saat kami membutuhkan obat-obatan, saya tidak pernah mendengar suaranya dengan lantang ingin membantu. Kemanakah mereka ???? Saya sendiri pun masih suka bersedih bila mengingat masa-masa sulit itu bahkan tidak ingin mengingatnya lagi, menyinggungnya saja bisa membuat air mata ini mengalir.  

Monitoring Perilaku selama Perawatan
Harimau jantan bernama Giring masih tampak liar, dan terlihat selalu tampak waspada. Setiap ada orang yang berjalan mendekati kandangnya membuatnya memberi suara peringatan meskipun orang tersebut belum terlihat. Bahkan saat diintip dari balik pintu melalui lubang kecil meski tanpa suara, dia akan selalu tahu dan matanya langsung tertuju ke arah pintu. Saat pintu dibuka reaksi pertama pasti menggertak dengan posisi menerkam dengan suara raungan yang keras dan menciutkan nyali, sorot matanya yang tajam tak akan pernah lepas mengawasi setiap gerakan orang di sekitarnya. Semakin banyak orang yang ada disekitar kandangnya semakin membuatnya merasa terancam dan ingin menerkam, namun bila hanya satu orang saja yang masuk di dalam lokasi kandangnya, harimau akan tampak lebih tenang, dan tidak merasa terganggu saat dibersihkan kandangnya, bahkan terlihat relax, dan matanya tidak akan memperhatikan gerak-gerik orang sepanjang waktu.

Itu mengapa dalam setiap kegiatan rescue/ upaya penyelamatan harimau terjerat atau harimau yang berkonflik dengan manusia, kami selalu mengisolasi lokasi agar tidak banyak orang yang mendekati harimau. Untuk pembiusan dan melepas jerat harimau biasanya hanya dokter hewan dan petugas yang bersenjata yang mengamankan dokter hewan saja yang mendekati harimau, sedangkan anggota tim lainnya berada jauh dari lokasi yang tidak terlihat oleh harimau, karena untuk meminimalkan stress dan membuat harimau agar tidak merasa terancam. Bila harimau terancam dan panik akibatnya jauh lebih fatal, yakni bisa menyerang karena ingin mempertahankan diri. Dan harimau yang sudah terlanjur stress akan sulit dibius, karena efek obat bius menjadi tidak maksimal. Begitu juga dalam penanganan konflik antara manusia dan harimau, harus diusahakan sebisa mungkin agar masyarakat banyak tidak mendekati/ mengepung bahkan mengintimidasi harimau, karena harimau bisa menyerang karena merasa terancam. Biarkan orang yang bertugas untuk menangani harimau bekerja dengan baik, dan petugas lainnya menangani masyarakat agar tidak mendekat. Harimau akan memilih untuk menghindar bila tidak didesak/ dikepung banyak orang.

Setelah selesai pembersihkan kandang, kemudian pemberian pakan berupa pakan alami/ satwa mangsa alami. Ketersediaan pakan alami yang melimpah membuat kami tak pernah kekurangan pakan untuk harimau. Dalam perawatan harimau dengan positif penyakit darah memang harus dihindari kondisi stress dan perlu nutrisi yang cukup. Untuk itu, kami mengisolasinya dengan lingkungan sekitarnya berhutan adalah untuk mengurangi stress, agar harimau merasa nyaman karena berada di tempat alami seperti tempat hidupnya yang dulu, ditambah dengan pemberian pakan/ nutrisi yang cukup sesuai kebutuhan. Kondisi stress dan asupan nutrisi merupakan faktor predisposisi bagi penyakit parasit darah ini, sehingga kedua hal tersebut harus dipenuhi, yakni menghindari stress dan memberikan nutrisi yang cukup. 

Kondisi harimau masih liar sehingga tidak mau makan saat masih ada orang disekitarnya. Begitu pintu pagar areal kandang ditutup, dan kami satu-persatu pergi menjauh, saya mengamati apa yang dia lakukan. Posisinya berubah duduk seperti anjing, sambil kepala mendongak mengawasi kearah luar dan sekeliling untuk memastikan bahwa semua orang sudah pergi. Baru bergerak dari belahan kayu tempatnya berada untuk turun mengambil makanan dan mulai memakannya. Di siang hari dia lebih banyak rebah tengkurap dan bersantai sambil meletakkan kepalanya di atas kayu menghadap tempat air. Malam hari berjalan-jalan mengelilingi kandang, dan membuat bekas cakaran di kayu yang telah disediakan di dalam kandang untuk enrichment. Semua itu dilakukan bila tidak ada orang berada disekitar areal kandangnya. Bila dia melihat orang ada disekitarnya maka membuatnya selalu waspada dan menjauh, mencari tempat disudut yang ada penutup untuk mengamankan diri.