Jumat, 25 Maret 2016

Kembali ke hutan : mengunjungi kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu




Pekerjaanku dari dulu memang ada yang tidak bisa direncanakan waktunya, terkadang sedang duduk santai bersama teman atau keluarga tiba-tiba ada panggilan emergency dan harus segera berangkat ke lapangan, bahkan dalam kondisi sakit dan sedang istirahat total (bedrest) juga terpaksa harus bangun dan siap-siap pergi ke lapangan bila mendengar ada korban konflik atau perburuan satwa liar. Seperti pada hari Rabu tanggal 23 Maret 2016, pukul 11.32 WIB saat sedang beristirahat karena baru saja pulang dari hutan dan terasa capek, tiba-tiba ada panggilan untuk menangani rusa yang sakit di Taman Buru Semidang Bukit Kabu. Aku pun minta penjelasan gejala klinis yang terlihat sehingga bisa memprediksi obat-obatan dan peralatan medis apa yang perlu dibawa dan untuk mengetahui kondisinya kritis atau tidak, meskipun sebenarnya aku sendiri tidak memiliki stok obat-obatan yang memadai.  Setelah mendengar penjelasan salah satu petugas melalui telephone, saya berkesimpulan bahwa kondisinya kritis dan perlu pertolongan segera, dan saya juga menyampaikan bahwa siap berangkat saat itu juga. 

Namun apa dikata, untuk kesekian kalinya memang aku harus menerima kenyataan bahwa satwa liar itu belum menjadi prioritas meskipun berhubungan dengan nyawa, jadinya kegiatan untuk mengobati pun masih harus ditunda karena menunggu jadwal berangkat kegiatan lainnya yakni sosialisasi pengamanan hutan yang sifatnya tidak mendesak dan bisa dirubah waktunya. Akhirnya saya menyadari bahwa untuk bisa pergi ke lokasi membutuhkan orang lain guna mengantar kesana karena tidak bisa pergi sendiri, tidak ada akses kendaraan umum menuju lokasi, mau nggak mau memang harus menunggu dan menyesuaikan dengan jadwal mereka. Hari itu kucoba melupakan masalah rusa dan mengisi waktu untuk membalas surat dari direktur KKH (Konservasi Keanekaragaman Hayati)  - KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) tentang permintaan dokumentasi harimau sumatera sebagai bahan mereka menghadiri pertemuan "3th Asian Ministerial Conference on Tiger Conservation".

Esok paginya saya teringat lagi dengan rusa yang sakit. Kuhubungi lagi salah satu petugas yang bekerja di wilayah tersebut, dan saya akhirnya dapat khabar menyedihkan bahwa rusa itu telah mati. Ini sesuai dengan perkiraan saya sebelumnya, kemungkinan dia mati akan lebih besar. Namun yang disayangkan, paling tidak sebelum itu terjadi sudah harus ada usaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkannya daripada hanya menunggu kematian tanpa tindakan. Rusa itu juga sedang bunting tua, bila kami tidak bisa menyelamatkan induknya paling tidak bisa menyelamatkan janin yang ada dalam kandungannya. Tapi apa boleh buat, sebagai dokter hewan hal yang paling menyedihkan dalam menjalankan profesi adalah disaat kami seharusnya bisa melakukan sesuatu namun ada faktor lain yang tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan darurat sehingga satwa pun tidak bisa ditolong. Padahal dalam pengobatan satwa liar untuk tujuan konservasi kami para dokter hewan tidak pernah memikirkan berapa jasa yang harus dibayarkan bahkan sama sekali tak peduli ada uang jasa pelayanan medis atau tidak, karena kami biasa bekerja sukarela, profesi kami memang unik dibandingkan tenaga medis lainnya, karena kami memberikan kualitas pengobatan dan perawatan tidak berdasarkan kemampuan finansial yang bisa dibayarkan. Kami tidak pernah mendiskriminasikan pasien, semua mendapat pelayanan dengan kualitas yang sama, tidak mengenal tingkat kelas perawatan. Meskipun begitu, tetap saja kegiatan yang berhubungan dengan satwa liar belum menjadi prioritas untuk didulukan.

Pukul 9 pagi rencana saya akan berangkat bersamaan dengan tim polisi kehutanan dan staff KPHK dari kantor BKSDA Bengkulu, namun saya minta ijin terlambat 30 menit karena masih harus menyelesaikan balasan email untuk KKH, listrik sering mati di Kota Bengkulu membuat banyak pekerjaan menjadi terganggu. Pukul 09.30 WIB saya sudah tiba di kantor BKSDA Bengkulu lengkap dengan barang bawaan saya yang seabrek, backpack, camera, box obat-obatan dan peralatan medis. Ternyata belum ada tanda-tanda untuk berangkat, mereka masih mendapat masalah dengan kendaraan patroli yang tidak diijinkan untuk dipakai, padahal kendaraan dinas terpajang berjajar memenuhi garasi kantor.....hehehe ! Saya termasuk orang yang suka berpikir sederhana dan logis, karena saya pun terlibat dengan kegiatan ini maka akhirnya ikut bicara dan menanyakan,"Ini kendaraan dinas milik negara bukan ?, Kegiatan yang akan kita lakukan termasuk tugas negara bukan ?, Yang tidak mengijinkan mobil patroli ini dipakai bekerja untuk negara bukan ? Jadi masalahnya dimana dan kenapa........???"  Bila berhubungan dengan pemakaian kendaraan dinas kami memang sering emosi dibuatnya, apalagi kendaraan itu kendaraan lapangan yang seharusnya digunakan untuk kegiatan lapangan, dan bukan untuk transportasi dari rumah ke kantor saja seperti milik pribadi. Jadi teringat setahun yang lalu saat ada harimau terjerat dan kami buru-buru akan berangkat rescue harimau, tiba-tiba mendapat masalah tidak bisa memakai kendaraan dinas yang sudah kami persiapkan. Dan saya pun langsung berbicara keras, "baiklah, kalau tidak boleh pakai kendaraan negara untuk kepentingan dinas, kita jalan kaki aja ke lokasi untuk rescue harimau." Orang-orang jadi tahu kalau saya sedang marah, akhirnya kendaraan itu diberikan juga.


Akhirnya kamipun berangkat juga, kebetulan kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu yang merupakan tujuan kami tidak jauh dari Kota Bengkulu, hanya sekitar 1,5 jam perjalanan dengan mobil. Staff BKSDA Bengkulu lainnya bertanya, "kenapa tidak bawa dua mobil saja, kan personil yang ikut banyak ?" Spontan teman saya menjawab, "pinjam satu aja susah apalagi mo bawa dua?" Kami 13 orang tentu berdesak-desakan dalam satu mobil karena tidak hanya orang yang ada didalamnya tetapi juga barang-barang bawaan kami, tak apalah yang penting bisa sampai tujuan. Untuk kesekian kalinya saya mengunjungi kawasan ini, dulu hanya mendengar namanya saja tanpa pernah mengunjunginya, bahkan cerita harimau liar yang suka muncul dan tidur di belakang pos jaga membuatku penasaran ingin kesana. Saya dan polisi kehutanan berangkat bersamaan, namun kami memiliki kegiatan yang berbeda. Tujuan saya kesana untuk otopsi/ nekropsi rusa, pemeriksaan rusa lainnya dan pemeriksaan siamang, serta mencari lokasi yang strategis untuk pasang camera trap buat mendokumentasikan harimau sumatera serta mengindentifikasi individu yang ada disana. Saya seperti konsultan medis keliling, karena tidak hanya bekerja di wilayah kerja saya tapi juga diluar wilayah. Pada kesempatan ini saya bersama perawat satwa yang berjumlah 4 orang membersihkan kandang siamang, memberikan contoh bagaimana membuat enrichment untuk siamang, dan bagaimana cara monitoring perilaku. Siamang tersebut berasal dari penyitaan dan penyerahan dari masyarakat di Provinsi Bengkulu yang dulu memeliharanya secara illegal.  Setelah menjalani pemeriksaan medis di kantor BKSDA Bengkulu akhirnya direlokasi ke kawasan konservasi ini untuk belajar menjadi liar sebelum siap dilepasliarkan kembali ke hutan. Terhadap pengelola kawasan juga disarankan untuk pembinaan habitat, yakni dengan menanam tumbuhan yang merupakan makanan alami satwa liar/ primata bila kedepan mereka ingin mewujudkan mimpinya sebagai lokasi untuk rehabilitasi satwa primata. Dengan ketersediaan pakan alami yang melimpah di hutan seluas 15.300 hektar tentu tidak menutup kemungkinan hal itu bisa diwujudkan, dan akan mempermudah pembelajaran satwa di hutan untuk beradaptasi dan bertahan hidup di lingkungan barunya.

Siamang yang ikut sekolah hutan dalam proses rehabilitasi di TB Semidang Bukit Kabu

Hari itu saya juga melakukan pemeriksaan rusa dan memberikan saran terhadap pengelolaan rusa dalam penangkaran, termasuk sanitasi kandang, enrichment, nutrisi, monitoring perilaku, cara perawatan, membuat daftar obat-obatan yang harus tersedia di lokasi dan lain-lain. Setelah itu melakukan pemeriksaan nekropsi terhadap rusa yang mati dibantu oleh perawat satwa.

Kebun kopi peladang liar di Kawasan TB Semidang Bukit Kabu
Selain berkegiatan yang berhubungan dengan satwa liar, saya juga membantu kegiatan polisi kehutanan untuk mendokumentasikan kegiatan sosialisasi dan operasi mandiri terhadap pelaku perladangan liar, ada sekitar 10 pondok peladang liar (perambah hutan) di dalam kawasan dengan lokasi yang berbeda-beda. Kami berjalan kaki naik turun menuju satu per satu lokasi pondok milik peladang liar. Pondok pertama dan kedua yang ditemui sedang ditinggalkan oleh penghuninya, hanya tampak kebun kopi yang telah berbuah dan siap panen. Kebun ini sepertinya sangat terawat, dan pasti penghuninya sering juga tinggal di pondok ladangnya.

Akhirnya kami menuju ke lokasi lainnya, jalan yang dilalui menurun sangat curam, dari atas perbukitan saya bisa melihat beberapa pondok di tengah ladang kopi, dua pondok lainnya agak berjauhan. Terdapat perbedaan yang jelas antara lokasi pondok yang bersih tanpa tumbuhan, kemudian kebun kopi yang berbatasan dengan hutan yang masih lebat. Saat perjalanan menuju lokasi juga menjumpai areal seperti HTI (Hutan Tanaman Industri) karena didominasi tanaman monokultur yakni akasia. Saya tidak tahu kenapa ada akasia dalam jumlah banyak di dalam kawasan hutan ini padahal itu bukan tanaman asli hutan Sumatera. Di kejauhan tampak areal yang baru di land clearing yang berbatasan langsung dengan hutan lebat, kemungkinan ada orang yang ingin membuka kebun juga disana.

Pondok peladang liar di dalam kawasan konservasi TB Semidang Bukit Kabu

Salah satu hal yang paling sulit dalam hidup saya bila berhadapan langsung dengan pelaku perambahan, tidak hanya di lokasi itu saja, tapi juga di kawasan konservasi lainnya. Saya selalu tidak tega melihat orang dengan wajah sedih saat tahu harus meninggalkan pondok dan kebunnya yang berada dalam kawasan konservasi, ini artinya mereka harus meninggalkan harta bendanya dan sumber hidupnya, tidak saja menghadapi ibu-ibu dengan anak-anaknya, tetapi kadang juga berhadapan dengan orang yang sudah tua renta tanpa keluarga. Dan saya lebih memilih untuk sebisa mungkin tidak banyak terlibat pembicaraan dengan mereka, karena bila mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya akan membuat saya tambah bersedih. Tetapi tidak semua peladang liar seperti mereka, bahkan ada dari kalangan orang bermodal dan datang dari luar kabupaten, yang ingin memperkaya diri dengan cara merampas tanah negara. Di hutan ini pun peladang liar ada yang dari Kota Bengkulu dan kabupaten lainnya.

Setelah adanya peringatan untuk meninggalkan lokasi dan masih diberi kesempatan beberapa hari untuk bersiap-siap dan membongkar sendiri pondoknya sebelum kembali ke daerah masing-masing. Meski diberi waktu cukup lama, namun mereka esok harinya sudah mulai meninggalkan hutan. Tampak 8 buah mobil menjemput mereka yang akan keluar dari kawasan konservasi ini. Solusi dalam menghadapi peladang liar ini memang bertujuan untuk menyelesaikan masalah tanpa masalah, jadi tidak ingin dengan cara keras, cukup pemberitahuan saja, ada kesepakatan untuk membongkar pondok sendiri atau bersama-sama dan meninggalkan lokasi tanpa perselisihan. Dan mereka perlu menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan dengan melakukan aktivitas menetap di dalam kawasan konservasi tanpa ijin adalah melanggar undang-undang. "Hidup memang susah dan penuh dengan perjuangan, namun jangan sampai melakukan hal-hal yang melanggar hukum untuk bertahan hidup".

Pemburu burung berkicau
Saat perjalanan kembali ke pos resort di TB Semidang Bukit Kabu, di hari yang panas itu jalan yang kami lalui terus menanjak dan curam, saya tetap melanjutkan berjalan kaki sendirian meski teman-teman lainnya memilih berhenti untuk beristirahat. Kebiasaan saya memang lebih memilih untuk terus berjalan daripada beristirahat yang membuat badan menjadi dingin kembali, sehingga untuk melangkah lagi akan terasa berat. Disaat capek saya memilih berjalan pelan, bila jalan sudah rata dan tidak menanjak baru berjalan cepat lagi. Ditengah perjalanan saya melihat dua orang sedang memasang perangkap untuk burung, yang satu sedang memasang kayu yang sudah diberi perekat dan satunya menggantung sangkar burung berkicau sebagai umpan guna menarik perhatian burung lainnya untuk datang. Mereka tidak tahu saya mengintip dari sela-sela pohon dan berusaha tetap diam tak begerak sambil mengambil dokumentasi. Untuk kondisi seperti ini saya tidak akan mau sendirian menangkap mereka, karena saya perempuan dan sendirian di tengah hutan, saya memilih menunggu teman lainnya datang menyusul. Salah satu teman saya muncul dari arah belakang, dan saya memberi isyarat agar tidak berisik dan memberitahu dia ada pemburu burung di depan kami. Sepertinya pelaku mendengar kami berbicara meskipun sambil berbisik-bisik, membuat mereka bersembunyi di semak-semak. Teman saya mengajak saya langsung mendatangi mereka dan aku pun setuju. Kami meminta mereka untuk mengambil umpan burung dan jebakan yang dibuat, pada saat itu polisi kehutanan lainnya sudah muncul, akhirnya kami serahkan ke mereka untuk diinterogasi dan diberi penjelasan tentang larangan berburu di dalam kawasan konservasi. Ternyata pelaku perburuan burung berkicau di hutan itu juga berasal dari kabupaten lain.

Setiap perjalanan yang saya lakukan termasuk salah satu proses belajar, untuk mempelajari banyak hal yang belum pernah saya jumpai dan lakukan, karena setiap perjalanan selalu ada keunikan tersendiri dan ada hal-hal baru yang dijumpai, dengan orang-orang baru, di wilayah baru serta adanya permasalahan yang beragam dan berbeda. Perjalanan seperti itu bagi saya juga bukan sebagai beban kerja tapi saya selalu menikmati setiap hal dalam perjalanan yang saya lakukan dan menganggapnya sebagai sebuah kegiatan berwisata di alam bebas. Ya, bekerja itu menyenangkan, bisa dinikmati tanpa beban apalagi yang berhubungan dengan petualangan di alam bebas, hutan dan satwa liar.

3 komentar:

  1. Dear Mba Erni, saya Ayu Prima Sandi dari Majalah Tempo. Kami ingin menghubungi Mba, apakah ada nomer atau email yang bisa kami kontak. Terima kasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bisa menghubungi saya ke alamat email ini : yanti.musabine@gmail.com

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus