Senin, 01 Juni 2015

Macan Dahan : Rescue, health care and release back to the wild


Clouded leopard in the Province of Bengkulu - Sumatra
MACAN DAHAN (Neofelis diardi

Mengenal Macan dahan 
merupakan salah satu satwa predator di Indonesia yang hidup di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Aktif berburu di malam hari dengan satwa mangsa (prey) berupa monyet, ular, mammalia kecil, burung, rusa dan lain-lain. Satwa ini hidup soliter dan lebih banyak menghabiskan waktunya di atas pohon dan punya kemampuan yang baik dalam memanjat dan melompat diatas pepohonan. Deforestasi habitat macan dahan yang makin meningkat dan adanya perburuan liar maka satwa carnivora ini masuk kategori rentan kepunahan di dalam IUCN Red list.

Macan dahan dewasa memiliki berat tubuh sekitar 12 - 25 kg dan panjang dari kepala sampai ujung ekor berkisar antara 123 - 200 cm. Musim kawin terjadi sekitar bulan Desember sampai dengan Maret. Masa kehamilan membutuhkan waktu selama 85 - 109 hari. Biasanya melahirkan anak sebanyak 2 ekor, meski dapat melahirkan anak mencapai 5 ekor. Masa laktasi 10 - 12 bulan setelah disapih, anak macan dahan mulai hidup terpisah.

Gigi
Gigi Macan Dahan Sumatera
Seperti hal satwa carnivora lainnya macan dahan memiliki gigi seri kecil yang terdapat di bagian depan diantara gigi taring berfungsi untuk mencabik dan memotong makanan, sedangkan empat gigi taring berfungsi untuk merobek dan memegang mangsa atau makanan. Gigi geraham yang tajam berfungsi untuk memotong dan mengunyah makanan.

RESCUE

Pada bulan April 2007 polisi kehutanan Balai KSDA Bengkulu mendapat informasi bahwa telah terjadi perburuan macan dahan di wilayah Bengkulu bagian selatan. Seekor macan dahan tersebut sedang diangkut kendaraan menuju Kota Bengkulu. Dilakukan pengintaian di jalan lintas Lampung - Bengkulu yang menuju Kota Bengkulu, kendaraan yang diincar ditemukan namun pengemudi yang diketahui adalah seorang aparat tidak mau menghentikan kendaraannya, dan terjadilah kejar-kejaran antara mobil target dan mobil patroli BKSDA Bengkulu. Menurut informasi yang didapat bahwa seekor macan dahan tersebut akan dijadikan hadiah untuk kepala daerah. Proses penyelamatan macan dahan tidak mudah karena satwa tidak diperbolehkan diambil oleh petugas. Bahkan macan dahan dalam kondisi terluka serius yang melingkar di bagian perut karena jerat pemburu liar masih dibawa dari komplek mereka ke gedung daerah pulang pergi tanpa mempedulikan kondisi satwa perlu pertolongan segera mungkin dan tidak diserahkan kepada petugas BKSDA untuk mendapatkan perawatan medis. Setelah negoisasi yang cukup lama akhirnya polhut bisa mengevakuasi macan dahan dan untuk sementara mendapatkan pertolongan pertama di klinik Dinas Peternakan Provinsi Bengkulu sebelum akhirnya dirawat di BKSDA Bengkulu dan TNKS Resort Seblat.

Macan dahan dengan luka di perut karena jerat pemburu
Jerat yang melukai bagian perut macan dahan cukup panjang sehingga memerlukan 37 jahitan untuk menutup luka. Beberapa kasus jerat pemburu yang mengenai bagian perut pada harimau sumatera bisa menyebabkan kematian bila terlambat dilepaskan, begitu juga pada macan dahan karena semakin hewan memberontak untuk melepaskan diri maka sling akan mengikat bagian perut semakin erat. 


HEALTH CARE

Setelah dilakukan operasi penjahitan luka dilakukan perawatan pasca operasi, satwa dipindahkan dari kandang di kantor BKSDA Bengkulu menuju Resort TNKS di Seblat, hal ini dilakukan hanya untuk mempermudah perawatan medis, karena disaat yang bersamaan saya bersama tim Perlindungan Harimau Sumatera-Kerinci Seblat (PHS-KS) juga sedang merawat seekor harimau sumatera yang terkena jerat pemburu liar di perkebunan karet dan coklat PT. Mercu Buana di Bengkulu. Harimau tersebut juga sedang menjalani perawatan pasca operasi amputasi kaki depan yang telah membusuk (gangrene) karena jerat. Selain itu kami juga menemukan empat bayi leopard cat (Prionailurus bengalensis) di dalam karung plastik yang digantung diatas pohon sawit tanpa ada induknya. Sungguh biadab yang telah melakukannya.  Kami akhirnya merawat sekaligus bayi-bayi kucing hutan tersebut sebelum nantinya mereka siap dilepaskan kembali ke habitat yang aman.

Perawatan pasca operasi yang dilakukan adalah pemberian nutrisi yang cukup karena sangat membantu untuk penyembuhan luka. Selain itu juga diberikan antobiotik, analgesik dan anti inflamasi per oral, juga dilakukan kontrol parasit, yakni pencegahan dan pengobatan penyakit parasiter. Untuk pemeriksaan awal biasa dilakukan penyuntikan Ivermectin juga dilakukan pemeriksaan feces. Dan dilakukan koleksi sampel darah untuk pemeriksaan hematologi dan serologi. Pemeriksaan blood smear juga diperlukan karena beberapa temuan terdapat parasit darah pada kucing liar. Kami juga memberikan supplement dan salep antibiotik yang tahan air di bagian luka bekas jahitan agar cepat mengering dan mencegah terjadinya infeksi sekunder.

NEO, a clouded leopard that has been rescued from poaching 
in Bengkulu - Sumatra in 2007

Hal yang penting dan perlu diperhatikan saat melakukan perawatan satwa adalah membuat satwa senyaman mungkin berada di kandangnya tanpa gangguan dari lingkungan sekitarnya, jadi kandang harus diisolasi agar orang tidak bisa bebas untuk melihatnya. Satwa liar selalu merasa terganggu, terancam dan stress bila menjadi obyek tontonan, dan efek sampingnya biasanya adalah tidak mau makan atau melukai dirinya sendiri dengan membentur jeruji kandang atau menggigiti besi jeruji kandang bahkan sampai gigi taring patah, gusi terluka dan berdarah. Hal seperti ini yang paling sering ditemui.

Kandang perawatan juga musti diletakkan di tempat teduh, dengan air minum ad libitum (tersedia sepanjang hari) dan diberi daun-daunan di bagian luar agar macan dahan bisa bersembunyi saat merasa terganggu dan perlu diberi enrichment sesuai dengan species dan behaviour masing-masing satwa yang ada di dalam kandang. 

Bersama Tiger Protection and Conservation Unit persiapan release macan dahan 


Dan jauhkan macan dahan dari satwa predator lainnya yang lebih dominan. Ini adalah pengalaman saya pertama kali merawat macan dahan bersamaan dengan harimau sumatera, dan mereka perilakunya masih liar. Ini juga berlaku untuk satwa liar lainnya, jadi lebih baik kita paham tentang rantai makanan di alam. Kondisi macan dahan sebelumnya cukup baik, namun pada waktu itu tidak mau makan sama sekali dan terlihat sangat ketakutan, tentu membuat saya cemas khawatir ada masalah kesehatan padahal sudah siap dilepasliarkan kembali ke hutan. Kemudian saya mengevaluasi kembali catatan perkembangan kondisinya dan pengobatannya dari hari ke hari, seharusnya tidak ada masalah karena memang tidak ada masalah dengan hal itu. "Mungkin sebab lain", pikirku. Tidak ada orang yang bebas melihatnya dan mengganggunya. Namun saya menjadi curiga saat mencium bau harimau yang terbawa angin di areal kandang macan dahan meski tempat mereka berbeda. Mungkin ini penyebabnya karena di alam liar harimau sumatera sebagai top predator yang menduduki rantai makanan tertinggi di hutan sumatera, tentu saja satwa liar yang ada dibawahnya takut dengannya. Akhirnya sebagai solusinya, kandang macan dahan dipindahkan dan lebih jauh dari harimau, dan ini membuat macan dahan menjadi mau makan kembali dan tidak merasa terancam sepanjang waktu.


RELEASE


Setelah perawatan medis selama 29 hari akhirnya macan dahan bernama Neo siap dilepasliarkan kembali. Dilakukan pemeriksaan kesehatan seperti saat pertama kali direscue, sekaligus melepas jahitan yang telah menutup dan sembuh kembali. Pembiusan dengan menggunakan 10mg/kg Ketamine IM untuk mempermudah handling selama pemeriksaan. 

Sebelumnya Tim PHS-KS telah melakukan survey lokasi pelepasliaran yang aman. Setelah lokasi pelepasan siap dan macan dahan juga telah selesai mengikuti proses pemeriksaan medis maka siap untuk dilepasliarkan. Tim yang terlibat dalam kegiatan ini tidak hanya PHS-KS tetapi beberapa anggota tim patroli CRU PKG Seblat dan BKSDA Bengkulu juga ikut serta. 

Tanggal 19 Mei 2007
Pagi itu selesai waktu shubuh kami berangkat dari kantor Resort TNKS Seblat dengan menggunakan beberapa mobil. Macan dahan telah berada dalam kandang pelepasan dan telah diletakkan diatas mobil. Dalam setiap transportasi satwa, kondisinya musti dalam keadaan sadar tanpa terbius, kenapa ? karena kita tidak bisa melakukan monitoring vitals signs, tentu itu sangat berbahaya bila terjadi komplikasi selama terbius dan kita tidak mengetahuinya karena tidak bisa mengawasi dan memeriksanya selama perjalanan. Paling aman dalam melakukan transportasi satwa adalah satwa dalam kondisi sadar.

Jalan menuju lokasi sangat buruk, tanah merah yang licin dan tidak rata tentunya karena bekas aliran air diwaktu musim hujan membentuk cekungan memanjang di jalan, ciri khas jalan di daerah pedalaman sumatra. Sekitar jam 8 pagi kami sudah sampai di lokasi pelepasan. Saya sempat memberi minum macan dahan sebelum diturunkan dari mobil, dia tampak beringas dan mendesis sambil memamerkan taringnya yang panjang dan runcing. Mungkin itulah caranya untuk mengucapkan terimakasih dan selamat tinggal kepada kami yang telah merawatnya selama 29 hari :)

Persiapan release macan dahan di hutan penyangga TNKS
Tidak ada upacara seremonial untuk melepasliarkan macan dahan, karena itu juga bukan ciri khas kami dalam memperlakukan satwa liar, dan tentu kami juga memilih lokasi yang sulit dijangkau untuk tempat baru satwa yang kami lepaskan agar aman, sehingga para pejabat pun akan malas untuk ikut serta. Tidak banyak orang yang menonton pelepasan satwa predator ini akan jauh lebih baik sehingga suasana sekitarnya juga akan tenang tanpa mengganggu macan dahan yang akan dilepaskan.
Selama proses itu saya beralih menjadi petugas dokumentasi untuk mengambil photo dan video. Kawan-kawan yang lain sibuk mengangkat kandang dari mobil menuju lokasi yang sudah ditentukan, lainnya sibuk menutup samping kanan dan kiri kandang dengan semak dan potongan ranting agar macan dahan tidak berbalik ke belakang kandang dimana kami semua berdiri disana, dan ada yang membuat jalur terbuka di depan kandang sambil diberi umpan. Saya meletakan handycamp dalam kondisi sudah siap digunakan dan diletakkan di pohon, dokumentasi diambil dari tiga sisi, samping, belakang dan depan kandang.

Pintu kandang kami buka dengan menggunakan tali yang ditarik dari jarak jauh sehingga pintu membuka keatas dan kami semua bersembunyi di belakang kandang yang telah ditutup dengan semak dan ranting pohon. Saat pintu dibuka, macan dahan belum mau keluar, setelah terdengar bunyi tembakan keatas sekali, macan dahan langsung melompat keluar dan lari menghilang di depan kandang.

Hal yang paling membahagiakan buatku bila diberi kesempatan untuk menolong satwa liar yang terluka, sakit dan menderita kemudian berhasil mengembalikan lagi ke rumahnya yang alami di hutan dalam kondisi sehat dan aman sehingga diharapkan dapat menjalankan fungsinya kembali dalam ekosistem hutan.

Kamis, 28 Mei 2015

Pembiusan dan Pemeriksaan Siamang (Symphalangus syndactylus)


Siamang gibbon / Symphalangus syndactylus
SIAMANG adalah kera berwarna hitam tak berekor yang hidup arboreal atau sebagain besar hidupnya dihabiskan diatas pohon. Aktif pada siang hari dan hidup dalam kelompok kecil. Tidur dengan posisi duduk di percabangan pohon dengan bantalan di sekitar pantatnya yang disebut ischial callosities.  Dan salah satu ciri khas siamang adalah memiliki kantung gular di bagian leher depan, sehingga saat kantung tersebut mengembang menyebabkan pita suara/  mengeluarkan suara lebih keras. Makanan alami siamang sebagian besar adalah buah-buahan yang bisa mencapai 75% dari keseluruhan pakan hariannya, sisanya berupa daun-daunan, bunga, biji-bijian, kulit kayu, serangga, telur burung bahkan burung kecil.  Mampu berkembang biak pada umur 5-7 tahun, dan dapat bertahan hidup hingga umur sekitar 35-40 tahun. Anak siamang akan disapih induknya pada umur 1 tahun, namun masih hidup bersama induk mereka sampai umur 5-7 tahun.

Tentu saya sudah tidak asing lagi dengan kera hitam yang satu ini karena sebelumnya pernah bekerja sebagai dokter hewan di Wild Animal Rescue Centre yang ada di Jawa Timur, dan satwa liar yang menjadi fokus kami untuk dirawat dan direhabilitasi adalah primata, termasuk didalamnya golongan gibbon. Bahkan di depan klinik tempat saya bekerja adalah kandang siamang yang dalam sehari selalu saya kunjungi setiap pagi dan sore hari. Belum termasuk siamang lainnya yang berada di kandang yang berbeda. Dan saat telah pindah ke Pulau Sumatra yang merupakan habitat siamang di Indonesia, saya juga sering menjumpai siamang liar di dalam hutan baik melihat langsung maupun mendengar suara long call-nya. Binatang ini memang sangat menarik, suaranya nyaring dan keras dengan membentuk irama yang unik, rambutnya yang tebal dengan model yang menarik dan rapi.

Selain itu siamang juga memiliki wajah yang imut dan tingkah laku yang lucu, sehingga banyak siamang yang diburu untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan. Apalagi siamang yang masih anakan bisa sangat dekat dengan manusia. Karena hal itu juga membuat status siamang adalah satwa liar dilindungi UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena terancam punah.

Provinsi Bengkulu juga merupakan habitat siamang, penyebarannya merata hampir di setiap wilayah yang masih berhutan. Perburuan liar siamang juga merupakan ancaman bagi upaya pelestarian satwa liar di provinsi ini. Masih banyak dijumpai masyarakat memelihara siamang secara illegal sebagai hewan peliharaan, di Provinsi Bengkulu sendiri kini ada sekitar 10 ekor siamang yang dipeliharan oleh masyarakat. Kontak langsung dengan satwa liar seperti primata sangat beresiko terhadap penularan penyakit zoonosis yang berbahaya. Masih banyak orang yang tidak menyadari akan hal ini.

Pada bulan Mei 2015 ada dua ekor siamang yang diserahkan masyarakat kepada BKSDA Bengkulu. Ini merupakan efek samping dari instruksi menteri kehutanan yang membuka posko untuk penyerahan kakatua jambul kuning ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai tindak lanjut adanya temuan kasus penyelundupan kakatua jambul kuning di Surabaya, Jawa Timur. Di Provinsi Bengkulu pun akhirnya pihak terkait mengeluarkan surat edaran tentang instruksi kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait untuk penyerahan burung kakatua jambul kuning dan satwa liar dilindungi lainnya dalam jangka waktu 1 bulan, bila tidak diserahkan akan dikenai sanksi pidana.

Medical Examination on Siamang gibbon after confiscation from illegal owner
Karena tidak adanya solusi bagi dua ekor siamang yang telah diserahkan itu maka kami, anggota wildlife rescue unit mengambil langkah-langkah inisiatif sendiri untuk melakukan pemeriksaan kesehatan siamang, memperbaiki kandang untuk penampungan sementara agar sedikit lebih layak, seperti mengganti atap kandang dari terpal plastik ke peneduh khusus yang bisa mereduksi panas matahari hingga 70%, melengkapi kandang dengan enrichment, menyediakan air minum sepanjang hari (ad libitum), dan memebrsihkan kandang secara rutin. Membuat rekomendasi tentang bagaimana perawatan dan nutrisi yang harus diberikan sesuai dengan kebutuhan alaminya, dengan membuat menu pakan harian, melarang orang lain memberi pakan kecuali petugas, juga merekomendasi untuk menunjuk secara resmi petugas khusus guna perawatan satwa dalam bentuk Surat Keputusan, semua ini dilakukan agar satwa tidak terlantar dan mendapat perawatan lebih baik. Dan yang pasti semua kegiatan yang berhubungan dengan satwa ini dilakukan secara sukarela. Bekerja volunteering tanpa berorientasi honor perlu ditanamkan juga pada masing-masing orang.


Pembiusan siamang
Sebelum dibius sehari sebelumnya siamang dipuasakan minimal 8 jam. Pembiusan dengan menggunakan dua dosis yang berbeda bagi dua ekor siamang, untuk pertama kalinya saya menggunakan dosis ini pada siamang untuk mengetahui sejauh mana efeknya dengan dosis yang lebih rendah. Immobilisasi untuk siamang betina menggunakan 4,4 mg/kg Ketamine yang memberikan efek selama 1 jam 28 menit. Immobilisasi untuk siamang jantan menggunakan kombinasi dari 1 mg/kg Xylazine + 5 mg/kg Ketamine yang memberikan efek selama 1 jam 8 menit. Masing-masing ditambah setengah dosis setelah 15 menit dan 20 menit kemudian karena belum tidur sempurna. Efek samping dari stress dan cemas sebelum pembiusan pada siamang jantan sepertinya berpengaruh terhadap durasi terimmobilisasi, dengan melihat dosis yang digunakan seharusnya dia tidur lebih lama. Namun juga perlu diingat bahwa efek obat pada setiap individu berbeda selain faktor lainnya. 

Pemeriksaan medis
Collecting blood sample
Pemeriksaan medis yang dilakukan berupa pemeriksaan fisik dengan melihat kondisi extremitas dan persendiannya, pemeriksaan mata dan mucosa mata, pemeriksaan rongga mulut dan gigi, dan lain-lain. Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan dan morfometri. Selama terimmobilisasi juga dilakukan pemberian obat mata, penyuntikan anti parasit dan antibiotik long acting untuk mencegah infeksi sekunder bekas injeksi blow dart. 

Monitoring vital signs
Selama pembiusan juga dilakukan monitoring pulsus/ detak jantung, respirasi (pernafasan) dan temperatur tubuh per 5-10 menit sekali untuk mengetahui kondisi satwa selama terbius. Semua perlakukan dan hasil pemeriksaan dicatat oleh recorder. Tidak ada komplikasi selama pembiusan. Pembiusan primata jarang sekali menimbulkan komplikasi. Berbeda dengan pembiusan harimau sumatra, terkadang terjadi hypertermia, seizure, vomit dan depresi nafas. Sedangkan paling banyak komplikasi selama pembiusan adalah pada rusa, yakni seringkali terjadi bloat, hypertermia, shock, seizure, torticolis dan stress tinggi. Untuk itu dalam pembiusan satwa liar baik yang berpotensi menimbulkan komplikasi maupun tidak maka harus juga sudah menyediakan obat-obatan emergency. Suksesnya pembiusan bila bisa memprediksi apa yang akan terjadi selama pembiusan dan sudah siap dan tahu apa yang akan dilakukan untuk mengatasi itu bila terjadi. Kata-kata itu selalu saya ingat sejak saya belajar pembiusan satwa liar di waktu dulu hingga kini.

Pemeriksaan medis adalah prosedur yang harus dilakukan pada setiap satwa liar yang baru datang untuk mengetahui status kesehatannya. Kemudian kami juga membuat rekomendasi untuk dilakukan proses rehabilitasi agar selanjutnya dapat dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Beberapa tahun yang lalu BKSDA Bengkulu telah punya pengalaman dalam melepasliarkan siamang dari penyitaan kepemilikan illegal masyarakat dan berhasil survive di alam hingga kini di kawasan Taman Wisata Alam Seblat.  Menurut saya memberi kesempatan hidup dan masa depan yang lebih baik bagi satwa liar dengan memfasilitasinya agar bisa kembali ke habitat alaminya adalah sesuatu yang mulia. Sebagai manusia kita tidak bisa dengan sepihak dan sewenang-wenang mengakhiri masa depan siamang di dalam jeruji kandang seumur hidupnya. Siamang yang telah menderita karena diburu dan dikeluarkan dari habitatnya jangan diakhiri lagi hidupnya dengan dipindahkan ke balik jeruji kebun binatang atau taman satwa, karena mereka masih punya kesempatan untuk bisa hidup bebas di alam guna menjalankan fungsinya bagi ekosistem. Dan satu hal lagi, satwa liar seperti siamang adalah korban kejahatan perburuan dan perdanganan illegal, dan bila ditranslokasi ke lembaga konservasi eksitu sebagai barang komoditas yang bernilai ekonomi, lalu praktek-praktek seperti itu apa bedanya dengan pelaku perdagangan satwa liar dilindungi ?

Selasa, 21 April 2015

Berkunjung ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh Riau


Bukit Tigapuluh National Park - Riau Sumatra

16 April 2015, Saya bersama dua orang teman pergi ke Rengat, Provinsi Riau dimana kantor Balai Taman Nasioanl Bukit Tigapuluh berada. Saya berangkat dan bertemu teman perjalanan saya di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Dengan menaiki bus pada pukul 3 sore sampai di tempat tujuan dini hari tanggal 17 April 2015. Kami dijemput dua orang staff dari Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang membawa kami ke kota Rengat, Riau, menjelang shubuh kami baru sampai di komplek perkantoran Balai TNBT. 

Siang harinya kami berjalan-jalan keliling Kota Rengat mengunjungi Danau Rajo, yakni sebuah danau yang konon khabarnya di dalamnya ada bangunan kerajaan. Replikasi bangunan kerajaan tersebut terdapat disamping danau, namun sayangnya tidak terurus dengan baik, tampak kotor dan ada beberapa bagian telah rusak.


Perjalanan menuju Taman Nasional Bukit Tigapuluh

Sabtu, tanggal 18 April 2015 kami telah merencanakan untuk melakukan perjalanan ke kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh melalui Camp Granit. Kami berangkat berlima dari Rengat menggunakan mobil Kepala Balai TNBT, kemudian berganti mobil patroli Ford Ranger di kantor seksi setempat. Perjalanan sangat menyenangkan karena off road. Sesampainya di Camp Granit masih pagi sekitar pukul 10.00 WIB, rencana kami akan melihat lokasi pembinaan habitat untuk harimau sumatera dengan diantar salah satu staff TNBT yang ada di Camp Granit, karena yang bersangkutan sedang keluar camp dan dia yang tahu lokasinya maka kami harus menunggu sampai pukul 3 sore untuk bisa masuk ke hutan. Sambil menunggu kedatangannya kami berjalan-jalan ke air terjun yang ada di dalam kawasan tersebut dan beristirahat sambil menikmati pemandangan sekitar yang indah. 

Sore itu langit tampak gelap, saya khawatir akan turun hujan. Kami berempat memasuki hutan bersama tiga orang kawan laki-laki, sedangkan dua orang kawan perempuan lainnya lebih memilih menunggu di Camp Granit. Jalan setapak yang naik turun tentu tidak menarik bagi mereka. Sepanjang perjalanan masih kutemui pohon besar yang berdiameter lebih dari 50 cm. Karena memasuki daerah baru yang belum aku kenal maka aku sedikit waspada dengan sekitarnya, mengingat waktu telah menjelang sore dan lokasi yang kami datangi merupakan daerah jelajah harimau sumatra. Tidak hanya jalan setapak yang kami lalui tetapi juga menyusuri sungai kecil yang ada di dalam kawasan.

Lokasi pembinaan habitat harimau sumatera

Tampak dari kejauhan camera trap terpasang di pohon, dan guide kami yakni petugas TNBT menjelaskan padaku lokasi-lokasi harimau biasanya melintas. Areal yang akan difungsikan untuk project pembinaan habitat harimau seluas 10 hektar, project ini atas kerjasama antara Balai TNBT dan Pertamina. Terlalu banyak pertanyaan di benakku sehubungan dengan lokasi itu, termasuk spesies prey (satwa mangsa) apa saja yang ada di lokasi, dan strategi apa yang akan dilakukan untuk memperbanyak satwa mangsa harimau disana, serta jumlah individu harimau termasuk estimasi sexing di kawasan tersebut. Sayangnya pertanyaanku tidak bisa terjawab di lokasi dan aku harus bertanya lagi pada orang yang tepat. Hari sudah mulai gelap, kami harus segera keluar dari hutan tersebut. 


Kami dalam masalah

Setelah membersihkan diri kami langsung kembali menuju Kota Rengat sore itu. Di tengah perjalanan hujan turun, yang semula hanya gerimis berubah menjadi hujan lebat dengan bunyi petir bergemuruh. Jalan yang berupa tanah merah menjadi sangat licin, dan tampak banyak lubang seperti parit bekas aliran air di pinggir dan tengah jalan yang dalamnya setinggi roda mobil. Pengemudi mobil sibuk menghindari lubang-lubang bekas aliran air itu agar tidak terperosok, di hari gelap pandangan menjadi kabur karena hujan deras yang sekali-kali mendapatkan penerangan cahaya dari kilatan petir. Tidak ada rumah, kiri kanan semak belukar. Canda tawa kami terhenti saat roda mobil tergelincir saat melewati jalan menurun dan roda sebelah kanan masuk ke lubang memanjang di pinggir jalan, mencoba keluar dari lubang selalu gagal bahkan roda belakang dan gardan tersangkut. Makanan dan minuman yang kami bawa pun hampir habis. Satu-satunya yang melegakan adalah ada signal meski tidak maksimal di lokasi tersebut sehingga kami bisa mengabarkan ke kantor TNBT di Rengat tentang apa yang terjadi. Dan akan dikirimkan mobil untuk menjemput kami dari kantor seksi terdekat. Di dalam guyuran hujan deras ada motor trail yang sedang melewati kami akhirnya dia yang membantu kami untuk memberikan informasi ke atas ke Camp Granit dan ke bawah ke petugas yang akan merescue kami malam itu dengan mobil Pajero Sport yang kami bawa sebelumnya. 

Hujan deras membuat mobil Pajero Sport yang akan menjemput kami juga terperosok karena jalan tanah sangat licin, bagian belakang mobil tersangkut di tebing batu sedangkan bagian depan nyaris masuk ke lubang jalan yang dalam. Mobil tidak bisa dimundurkan dan dimajukan lagi sehingga melintang di tengah jalan. Alternatif kedua adalah dengan meminta bantuan mobil dari mitra yakni FZS yang saat itu sedang berkegiatan di Camp Granit. Saat mobil keluar dari Camp Granit untuk menuju ke lokasi kami berada tiba-tiba ada pohon besar tumbang karena hujan deras yang menghalangi jalan sehingga mobil tidak bisa lewat. 

Dalam kondisi seperti itu, kami sama sekali tidak panik malah mengisi waktu untuk menghibur diri dengan bercerita lucu dan mengundang tawa, bernyanyi dan main game, dan masih bisa menikmati suasana meski dalam masalah besar karena tidak bisa kembali ke Kota Rengat dengan lancar, jangankan kembali ke Kota, untuk kembali ke desa terdekat juga mengalami kendala, karena kondisi hujan deras dan dingin, sedangkan salah satu dari kami penderita asma. Kami akhirnya berdiskusi tentang jalan keluar berikutnya yang memutuskan bahwa kami harus berjalan kaki didalam gelap, dibawah guyuran hujan dan berharap ini tidak membuat asma salah satu dari kami kambuh, itu akan menjadi masalah baru tentunya. Baju kami basah kuyup diguyur hujan deras, perjalanan kami diterangi oleh kilatan halilintar, setelah berjalan jauh akhirnya kami bertemu dengan mobil yang akan menjemput kami meskipun akhirnya juga ikut terperosok.

Ternyata di lokasi tersebut tidak hanya ada petugas dari kantor seksi yang menjemput kami, tetapi juga ada Kepala Balai TNBT yang menjemput kami dari Kota Rengat. Kami dijemput dengan sepeda motor, disaat mereka masih disibukkan mengeluarkan mobil dari lokasi terperosok, saya bersama dua orang teman perempuan pergi dan berteduh di rumah warga setempat.

Sepertinya setiap kali melakukan perjalanan ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh aku selalu mendapat masalah, tidak hanya saat melalui Provinsi Riau namun juga saat menuju kesana melalui Provinsi Jambi. Semua masalah berhubungan dengan mobil dan jalan yang sangat buruk dan tidak layak untuk dilalui. Ini bukan masalah yang pertama kali menimpaku dalam perjalanan ke TNBT, bahkan beberapa tahun sebelumnya saat saya masih membantu orangutan di Stasiun Re-Introduksi Orangutan di Jambi, mobil yang menjemputku terperosok masuk kedalam sungai besar sehingga aku harus keluar dengan berjalan kaki dari jam 12 siang sampai jam 10 malam. Tidak hanya itu saja, kadang mobil rusak dan kami pun harus bermalam di pinggir jalan dimana kiri kanan adalah semak belukar atau hutan yang baru dibuka untuk perkebunan.

Menjelang pagi salah satu mobil bisa keluar dan menjemput kami ke rumah warga, dan selanjutnya kami kembali ke Kota Rengat. Seharian tidak tidur karena trouble di perjalanan tidak juga membuatku mengantuk. Saya hanya istirahat sebentar di rumah Kepala Balai dan sore harinya melanjutkan perjalanan ke Sumatera Barat melalui Pekanbaru. Akhirnya hari itu pun melewati malam tanpa tidur sampai ke Kota Solok, Sumatera Barat. Rencana pulang kembali ke Kota Bengkulu terpaksa musti kutunda sehari untuk beristirahat sejenak setelah dua hari tanpa istirahat.

Sabtu, 18 April 2015

Dragonflies at the Bukit Tigapuluh National Park

These are dragonflies that I've taken of their picture in the areas close to Water Falls in the Bukit Tigapuluh National Park, Province of Riau, Sumatra.

Odonata - on April 18th. 2015

 
Orthetrum pruinosum schneideri (Foerster 1903)
 
Orthetrum chrysis
 
Orthetrum chrysis
 
Zygonyx ida
 
Zygonix ida
 
Trithemis aurora
 
Trithemis aurora
 
Trithemis festiva
 
Acisoma panorpoides (Female)

Kamis, 16 April 2015

Aku dan Tempat Baruku


Saat merawat bayi gajah yang mengalami traumatis, malnutrisi
karena hilang nafsu makan akibat stress kehilangan induk 

dan kelompoknya di Pusat Konservasi Gajah Seblat 
Tahun 2011 - 2012
14 April 2015, Pertama kalinya saya menempati kantor baru di Kabupaten Rejang Lebong setelah dimutasi dari Pusat Konservsai Gajah Seblat. Dari jabatan dokter hewan praktisi berganti menjadi petugas Pengolah Bahan Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar di salah satu kantor seksi, saya sendiri kurang paham apa arti dan tugas dari jabatan ini. Karena fokus dan pengalaman profesional saya selama sepuluh tahun lebih dalam hal yang perhubungan dengan medik konservasi, karena latar belakang pendidikan dan pekerjaan saya selama ini adalah field practitioners di bidang medik konservasi. Di kantor baru saya yang sepi dan terkesan mati tanpa ada aktivitas yang berarti membuatku menjadi merasa tidak berguna karena memang tidak ada hal penting yang bisa dikerjakan disana kecuali mengobrol dan mengisi absensi atau menyibukkan diri sendiri di depan komputerku. Bekerja bagi saya tidak hanya cukup dengan hadir sepanjang hari tanpa aktivitas dan mengisi absensi lengkap dari awal bulan sampai akhir bulan, namun harus ada yang dihasilkan bagi konservasi satwa liar dan biodiversity lainnya sesuai dengan nama tempat saya bekerja dan juga merupakan amanah dalam pekerjaan yakni 'Konservasi Sumber Daya Alam', bagi saya itulah dasar pekerjaan yang harus dicapai. Dengan gaji yang diterima setiap bulan dengan absensi penuh belum tentu membuatku puas bila target pekerjaan tidak tercapai. Kedengarannya sok idealis, tapi faktanya bagi orang-orang praktisi lapangan hasil kerja sesuai bidangnya masing-masing yang menjadi indikator dan bukan selembar kertas yang penuh dengan tanda-tangan kita yang disebut absensi. Sedangkan di tempat saya bekerja, absensi adalah tolak ukur bahwa seseorang itu telah bekerja dengan baik atau tidak tanpa peduli kita bekerja atau tidak, juga tanpa peduli pekerjaan yang dilakukan itu ada hasilnya atau tidak. 

Operasi amputasi harimau sumatera 
yang terkena jerat pemburu liar
Ada untungnya menjadi orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru meski bertolak belakang sekalipun. Jadi positive thinking saja, mungkin mereka tahu saya hobby travelling sehingga untuk absensi saja saya harus menempuh perjalanan 3 jam ke kabupaten lainnya, dan meski orang telah menjauhkan saya dari profesi saya yang sebenarnya tentu panggilan hati untuk menolong satwa liar yang membutuhkan akan terus dilakukan, membuat saya harus hilir-mudik antara absensi dan merawat pasien di lokasi yang berbeda kabupaten dan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk perjalanan itu. Lagi-lagi harus positive thinking, bukankah selama ini saya suka menjadi relawan untuk satwa liar dan hidup mandiri baik untuk kehidupan sehari-hari maupun mandiri dalam bekerja, artinya tanpa fasilitas apapun yang diberikan untuk menunjang pekerjaan, sungguh bertolak belakang dengan yang lainnya dengan mudahnya mendapatkan fasilitas ini itu, tapi saya tidak boleh iri. Ya, 'keterbatasan jangan sampai melemahkan semangat untuk bisa membantu satwa liar', itu prinsip yang musti selalu saya ingat.

Pusat Konservasi Gajah Seblat - Bengkulu
Kadangkala saya sering berkhayal, apakah saya telah salah dalam memilih pekerjaan ? Gaji yang tergolong sedikit namun pikiran dan waktu saya terkuras habis, profesi saya dipandang sebelah mata, tidak adanya penghargaan dan dukungan, sulitnya untuk mengembangkan diri dan mendapat kesempatan belajar secara berkelanjutan bahkan untuk belajar kadang harus sembunyi-sembunyi, konyol sekali memang, harus bekerja keras dan lebih keras lagi untuk dapat membuat satwa liar yang memerlukan pertolongan agar lebih sejahtera, sudah lama saya mengesampingkan hidup saya sendiri untuk totalitas bagi pekerjaan ini, membantu mereka mengurus satwa liarnya. Lagi-lagi saya berpikir, apakah saya telah melakukan kesalahan dalam menentukan hidup saya dengan memilih pekerjaan di tempat ini ? Sebagai manusia biasa kadang saya merasa sedih, lelah dengan semua itu dan hilang semangat apalagi bila tak ada dukungan untuk satwa liar dari pihak otoritas. Kadang ingin menyerah saja, dan meninggalkan tempat ini untuk membantu satwa liar lainnya di tempat lain yang membutuhkan tenaga saya seperti bergabung dengan Non-Government Organization yang bergerak di bidang konservasi satwa liar seperti dulu sebelum saya pindah ketempat ini. Tentu bekerja bersama orang-orang yang tak perlu diragukan lagi perhatiannya terhadap satwa liar dan habitatnya akan membuat lebih nyaman, dan saya pun tak perlu lagi dipusingkan untuk mencari dukungan  bagi kelangsungan hidup satwa serta kesejahteraannya selama perawatan. Karena semua itu sudah ada yang memikirkan, dan tinggal bekerja dengan nyaman dan tenang untuk urusan medis saja tanpa dibebani permasalahan lainnya. Tentu di tempat seperti itu saya juga tidak akan mengalami kecurangan - kecurangan lagi yang tidak bisa ditoleransi berhubungan dengan medik konservasi dan otoritas medis oleh pihak-pihak tertentu.     

Harimau sumatera bernama Dara setelah diselamatkan 
dari jerat pemburu liar di Provinsi Bengkulu
Namun, banyak pihak yang membuat saya bertahan, dan terus bertahan hingga kini. Para kolega senior di Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, teman-teman praktisi lapangan dan peneliti untuk konservasi harimau mengatakan, "Kamu jangan pergi dari sana", dan yang pasti pasien-pasien saya yang selama ini kami rawat, melihat kondisi mereka, raungannya dan tatapan matanya tentu sangat berat hati untuk meninggalkannya hanya demi keegoisan pribadi lari dari ketidaknyamanan. Mungkin ini sudah jalan Tuhan, satwa liar itu tak berdosa, mereka menderita karena ulah manusia, dan memang saya harus bisa bertahan di tempat ini untuk mereka, dan menikmati setiap hal yang terjadi tanpa pustus asa. Jabatan itu hanyalah tulisan diatas kertas, yang terpenting adalah tetap mengabdikan diri agar setiap waktu yang kita miliki bermanfaat bagi lingkungan sekitar sesuai dengan kemampuan serta latar belakang pengetahuan dan ketrampilan masing-masing.

Sabtu, 14 Maret 2015

Trekking di Daerah Jelajah Harimau Sumatera


Jumat, 13 Maret 2015

Tim Rescue Harimau sudah kembali ke Kota Bengkulu namun aku memutuskan untuk tetap tinggal di desa itu selama beberapa hari. Setiap kali bekerja seperti ini aku seperti melakukan wisata alam yang menyenangkan, selalu membuatku bersemangat apalagi bekerja untuk kucing besar yang satu ini.

Pagi itu aku merencanakan untuk trekking ke lokasi-lokasi dimana harimau berada dan mengikuti jalur jelajahnya, berharap akan menemukan tanda-tanda keberadaan satwa predator ini. Semalam aku memutuskan menginap di rumah Kepala Desa, dan paginya dijemput oleh Sekretaris Desa, yakni orang lokal yang akan menemaniku jalan-jalan ke hutan mencari tanda-tanda keberadaan harimau di sekitar desa itu.


Sehari sebelumnya aku bersama tim rescue telah melakukan pemeriksaan TKP (Tempat Kejadian Perkara) harimau yang terjerat perangkap pemburu liar, namun harimau telah hilang. Kepala Desa dan beberapa warga berkeyakinan bahwa harimau tersebut lepas dengan sendirinya, sedangkan kami 'Tim Rescue' berpendapat lain, hasil dari cek TKP menunjukkan bahwa kemungkinan besar harimau sudah dibunuh dan dibawa oleh pemburu. Kami menemukan 9 jerat harimau yang sudah tidak aktif dan bekas kayu pancang yang dipotong dengan senjata tajam dan semua tali sling sudah tidak ada, serta bau busuk dari lokasi-lokasi bekas satwa umpan. Setelah aku bertanya kepada warga desa apakah ada diantara mereka yang merusak jerat-jerat itu ? Mereka bilang, "Tidak ada". Ini artinya orang lain yang melakukannya. Tetapi untuk meyakinkan mereka maka aku harus melakukan pengecekan di daerah sekitarnya untuk menemukan tanda-tanda keberadaan harimau bila itu memang ada, karena menurut pengakuan beberapa warga desa selama tiga malam berturut-turut sejak ditemukan harimau terjerat oleh pencari ikan di Sungai Simpur terdengar suara raungan harimau di sekitar rumah warga dan kebun karet mereka, bahkan ada yang bertemu langsung di sekitar kandang sapi. 

Setelah mengumpulkan banyak informasi dimana warga melihat harimau melintas dan mendengar raungannya maka aku berniat untuk mendatangi tempat-tempat itu serta ingin memeriksa lokasi-lokasi yang selama ini menjadi jalur jelajah mereka. Pukul 09.00 WIB setelah sarapan pagi bersama Ibu Kades (Kepala Desa) dan Ibu Sekdes (Sekretaris Desa), aku bersiap-siap pergi bersama Pak Sekdes. Hari itu aku akan pindah tempat menginap, yakni di rumah seorang nenek yang hidup sendirian dan kebun sekitarnya merupakan tempat perlintasan harimau sumatera. Seorang wanita di desa itu mengatakan bahwa aku memilih tempat menginap yang strategis untuk bisa mendengar suara raungan harimau atau melihatnya melintas di malam hari bila dia sedang lewat di sekitar pemukiman itu seperti malam-malam sebelumnya.  Selain itu aku juga ada janji untuk bertemu teman-teman dari salah satu LSM international yang bekerja untuk konservasi harimau disana esok harinya. Sesampainya di rumah itu, aku letakkan rangselku di kamar bagian depan, kemudian berangkat untuk memeriksa jalur jelajah harimau dengan berjalan kaki. Orang lokal (Sekdes) yang mengantarku berjalan lebih dulu dan aku mengikuti dibelakangnya karena dia yang lebih tahu lokasi disana. Tempat yang pertama kali kami datangi adalah kebun karet warga, disitulah malam sebelumnya terdengar suara raungan harimau, namun kami tidak menemukan tanda-tanda apapun. Untuk memeriksa kebun karet tersebut kami berjalan seperti naik turun bukit, nafasku berat sehingga aku mulai berusaha untuk mengatur nafas agar tidak cepat capek, menarik nafas panjang, menahannya dan mengeluarkannya pelan-pelan, begitu seterusnya yang kulakukan, seperti olahraga Yoga saja. Namun itu juga yang selalu aku lakukan bila mendaki gunung mencegah aku bernafas tidak teratur (ngos-ngosan) karena bisa membuat cepat capek saat berjalan menanjak. Setelah lama mengatur nafas akhirnya aku bisa bernafas teratur dengan sendirinya. Bagiku itu penting untuk menjaga stamina agar tidak mudah kecapekan dengan mengatur pernafasan. 

Beberapa kebun karet yang kami periksa tidak ada tanda-tanda ada harimau yang baru melintas disana, yang banyak terlihat malah jejak babi hutan (celeng), dan kami juga bertemu dengan orang lokal yang sedang bekerja di kebun dan memberi informasi di jalan setapak mana saja harimau sering terlihat melewatinya, akhirnya kami mengikutinya. Entah berapa kali kami harus berjalan menanjak dan menurun, aku tak sanggup menghitungnya, aku hanya fokus dengan apa yang sedang kucari dan juga menjaga nafasku tetap teratur agar tidak mudah lelah. Saat berhenti sambil memeriksa jalan setapak dan sekitarnya, kuteguk air mineral dalam botol sedikit demi sedikit dan menahannya di dalam mulut untuk merasakan kesegarannya disaat hari sangat panas, kemudian baru menelannya. Keringatku sudah banyak mengucur sehingga aku perlu mengimbanginya dengan minum air putih.

Dari kebun karet kami menuju kebun sawit milik warga, saat ditengah perjalanan hidungku mencium bau yang tak asing lagi bagiku. Meski hidungku sedang pilek tetapi aku masih bisa mencium baunya. Kata-kataku membuat orang lokal yang menemaniku berhenti , "Aku mencium baunya di dekat sini, seperti bau kotorannya".  Kami kemudian menuju ke tempat yang kutunjuk dan memeriksa sekitarnya namun tidak menemukan apa-apa. Tentu sulit untuk menemukannya karena banyak semak belukar dan tumpukan daun sawit kering.

Kami berjalan melintasi jalan setapak yang sempit dengan kanan kiri semak belukar yang tingginya diatas kepalaku, aku seperti tenggelam berjalan ditengah-tengahnya. Teringat lagi saat di kabupaten lain, harimau berada di dalam semak belukar seperti itu dan tidak terlihat olehku dari jalan setapak padahal jaraknya kurang dari 2 meter dibelakangku, dan hanya seekor anjing yang mengetahui ada harimau di dalam semak sedang duduk santai dan berteduh sambil mengawasi kami yang berdiri membelakanginya. Orang lokal tersebut menghentikan lamunanku saat berkata, "Nggak apa-apa ya mbak kalau kita lewat kuburan ?" Ternyata jalan setapak yang kami lewati itu menuju areal pemakaman warga. Ternyata harimau suka lewat sini juga pikirku. "Lewat kuburan sih gak masalah pak, yang aku khawatirkan bukan itu tapi bau yang tadi aku cium, semoga dia tidak ada di dekat kita", jawabku.


Sumatran Tiger's Footprint
Keluar dari areal pemakaman, kami bertemu jalan setapak lagi yang masih basah dan becek, disekitarnya semak belukar, tak terlihat adanya kebun meskipun itu areal kebun masyarakat.  Di tengah perjalanan kami menemukan jejak harimau kemungkinan pra-dewasa dan kemungkinan dia baru lewat kemarin, arahnya berlawanan dengan arah kami berjalan, namun ada juga jejak lainnya yang searah dengan arah berjalan kami. Kami mengikuti jejaknya, di tengah perjalanan aku berhenti dan mengatakan, "pak, aku mencium baunya lagi". Orang lokal tersebut kembali bertanya, "Baunya seperti apa ?" "Ya, kayak gini nih", jawabku. Dia berusaha mengendus-ngendus seperti yang aku lakukan. Hidung kami jadi se-sensitive hidung anjing. Kami langsung memeriksa sekitar terutama kearah semak belukar dikanan dan kiri jalan setapak yang kami lalui. Rasa cemas bercampur rasa bahagia saat kami menemukan jejak kaki harimau lagi dengan ukuran berbeda, sepertinya masih kecil, masih anak-anak, berarti ada induknya juga pikirku, tapi kami belum menemukan jejak harimau yang dewasa. Jejak itu terlihat baru, sepertinya baru saja lewat jalan setapak yang kami lewati. Ada beberapa jejak kaki harimau dengan ukuran lebih besar dan terlihat baru, masih basah. Mungkin sekitar tiga kali kami mencium bau harimau lagi di tempat-tempat yang berbeda di sepanjang jalan setapak tersebut. Jalan itu menuju sungai bagian hulu, dan terlihat ada bekas pemasangan camera trap disana. Kami turun ke sungai, pemandangan sekitar sangat indah, kami beristirahat sejenak sambil menikmati hutan disekitar kami yang hijau dan sejuk, aku duduk diatas batu besar. Akhirnya kami ngobrol sejenak, "Dibelakang mbak Yanti itu harimau biasa berenang", katanya membuka percakapan. Aku langsung melihat kearah belakangku, sungai yang airnya jernih dan bersih, wajar bila harimau menyukai juga tempat ini, pikirku. Kemudian dia berkata lagi, "Hutan ini sudah ada ijin konsesi bagi perusahaan, sebentar lagi akan ditebang habis". Mendengar ceritanya membuatku berpikir bagaimana dengan nasib harimau-harimau penghuni hutan itu nantinya. Dan bagaimana nasib warga desa terdekat bila konflik dengan harimau semakin meningkat. Tentu perubahan itu akan membawa dampak yang merugikan bagi mereka. Lagi-lagi aku harus kecewa mendengar khabar buruk ini.

Kami masih harus menyeberangi sungai besar itu dengan arus deras sebelum masuk kembali kedalam hutan di seberang sungai. Aku membawa batang kayu sebagai tongkat untuk memeriksa kedalaman sungai sebelum aku melewatinya. Aku tidak membawa drybag sehingga harus berjalan hati-hati saat menyebrang agar tidak jatuh terpeleset, karena sedang membawa camera, tablet, handphone, headlamp dan lainnya yang tidak boleh terendam air. Ada 4 kali kami harus menyeberangi sungai besar di bagian hulu, dan lainnya menyeberangi sungai kecil (orang lokal menyebutnya anak sungai). Sesampainya di seberang sungai kami memasuki hutan kembali dengan melewati jalan setapak yang dibuat oleh orang logging. Kami menemukan banyak bekas orang menebang pohon disana. Bahkan di dekat sungai kami sempat bertemu dengan mereka yang juga warga desa setempat yang berjalan dari arah berlawanan sambil membawa kayu-kayu papan hasil logging di pundak mereka. Orang lokal itu mengatakan bahwa mereka mendapatkan ijin dari perusahaan pemegang konsesi untuk menebang kayu disana. "Cara teraman untuk menghabisi hutan memang dengan memanfaatkan masyarakat sekitar untuk logging, bila perusahaan yang melakukannya pasti akan banyak kritikan dari penggiat konservasi karena hutan ini merupakan tempat tinggal harimau yang masih tersisa dan satwa liar itu sudah masuk kategori Critically Endangered Species menurut IUCN, ini artinya sebentar lagi punah. Dan itu juga cara yang manjur untuk mengambil hati masyarakat sekitar karena mereka sedang ada bisnis sawit skala besar disana. Ternyata perusak hutan Indonesia yang terbesar adalah bukan orang penghuni daerah itu sendiri tetapi orang-orang dari luar daerah, orang-orang dari Jakarta yang menumpang hidup disana", pikirku. Dari mereka kami mendapat informasi bahwa ada harimau besar berjalan sambil menunjuk kearah hutan yang akan kami datangi. Mungkin itu induk harimau dari harimau anakan yang jejak kaki kecilnya kami lihat tadi, sepertinya mereka baru saja lewat. 

Eight leeches bite my foot
Hutannya sangat lembab dan basah, bisa diduga banyaknya pacet yang menggigit kaki kami. Di kaki kananku dekat tumit ada 8 pacet yang tampak kenyang menghisap darahku di tempat yang berdekatan, terlihat sangat menjijikan. Belum yang berada di dalam sepatuku, di betis, di lutut dan di paha. Namun aku tidak pedulikan, kecuali bila pacet daun yang menggigit akan terasa sakit dan gatal maka aku ingin cepat-cepat membuangnya dari kulitku. Ternyata tidak hanya pacet yang menempel di tubuhku, tetapi juga ulat bulu. Aku paling tidak menyukai hewan kecil yang satu ini karena sangat menjijikkan. Dan tidak hanya kepada pacet-pacet aku menyumbangkan darahku untuk dihisap, tetapi juga kepada nyamuk-nyamuk hutan yang begitu banyak, apalagi aku hanya memakai T-Shirt warna hitam berlengan pendek dan celana pendek.

Di dalam hutan itu lagi-lagi aku mencium bau harimau. Saat kami melintasi jalan setapak yang licin basah dan berlumut, sekitarnya semak belukar yang rimbun tiba-tiba hidungku mencium bau harimau sangat kuat, dan orang lokal yang bersamaku juga mencium bau yang sama. Dia berjalan di depanku tampak cemas, aku juga, dan menjadi semakin waspada, sepertinya baunya dekat sekali, membuatku tidak hanya memeriksa ke semak-semak di sebelah kiri dan kananku tetapi aku juga lebih sering melihat kearah belakang. Seringkali merawat harimau liar membuat hidungku menjadi terbiasa dengan bau harimau. Jalanku sudah pincang karena sebelumnya sudah terpeleset dan lutut kananku mengenai batu sehingga bengkak dan memar, tampak warna gelap lebar di lutut kananku. Disaat jalanku sedang tidak normal, aku malah mencium baunya lagi. "Pak, ada rokok ?", tanyaku. Sebelum dia menjawab aku sudah bicara lagi, "Bapak merokok saja, biar dia tahu kalau ada orang disini agar dia menghindari kita". Meski aku sangat tidak menyukai bau asap rokok atau orang merokok di dekatku tapi kali ini aku malah menyuruhnya merokok. Aku berharap bau asap rokok bisa membuat satwa predator ini menjauhi kami. Orang lokal itu menghisap rokoknya dalam-dalam dan cepat, mungkin untuk membuatnya tenang sesaat karena rasa cemas atau mungkin agar harimau itu bisa mencium baunya dan segera menghindari kami. Aku sempat memperhatikannya saat menghisap rokok, ekspresinya jelas menunjukkan rasa cemas. Dalam kondisi seperti itu untuk menyenangkan diri sendiri aku berkeyakinan bahwa harimau tidak akan melukai orang yang tidak pernah menyakitinya. Dan bagiku aku pernah membedah kepala dan mengamputasi kaki kawan-kawannya karena luka jerat yang membusuk bukan termasuk dari kategori menyakitinya tapi menolongnya, semoga mereka mengerti itu. Pikiranku ini juga mengekspresikan bahwa aku juga cemas dan sempat merinding.  Aku bertanya lagi,"Sebelah kanan kita ini jurang atau sungai dalam ?" Karena tertutup semak belukar yang rapat aku hanya bisa mengira-ngira, dan aku hanya ingin memastikan bahwa bila ada harimau tidak mungkin dari arah kanan kami, tapi mungkin kami hanya perlu mewaspadai sebelah kiri, belakang atau depan. Lama-lama kami sudah tidak mencium baunya lagi. Kami terus melanjutkan perjalanan dan masih saja baunya tercium lagi di lokasi berbeda. Dalam hati aku berkata, "Ini kami yang mengikuti harimau atau harimau yang mengikuti kami". Kami menduga bahwa harimau itu melewati jalan setapak yang kearah kanan menuju perkebunan sawit milik sebuah perusahaan yang baru ditanam, dan akhirnya kami memilih jalur jalan setapak lainnya yakni ke arah kiri menuju desa.


Entah berapa banyak bukit dan turunan yang curam yang telah kami lewati, aku tidak mempedulikannya. Badanku yang banyak keluar keringat karena perjalanan jauh dan naik turun itu sudah mulai protes kehausan sedangkan air mineral di botol minumku tinggal sedikit lagi. Dalam perjalanan orang lokal itu bertanya kepadaku,"Biasanya harimau melakukan apa bila siang-siang begini ?" Sepertinya dia masih cemas dengan bau tadi dan ingin memastikan bahwa jalan yang kami lalui aman karena kami sudah memutuskan untuk tidak mengikuti jejak harimau lagi dan kembali pulang. "Biasanya sih yang pernah kami lihat dia lebih suka berteduh dan bersantai di dalam semak belukar di hari yang panas bila tidak ada banyak pohon yang teduh disana seperti yang kami lihat di Ketahun, atau bersantai di bawah pohon atau di pinggir sungai apalagi setelah makan seperti yang pernah terlihat di Seblat, kalau harimau liar yang kami rawat dikandang perilakunya nggak jauh berbeda selesai makan, membersihkan kaki depan, mulut dan muka lalu dia tidur-tiduran mendekatkan kepalanya ke air mengalir, sepertinya dia mencari tempat yang sejuk di hari yang panas," jawabku. Saat berbicara begitu kami pun berjalan menurun menuju sungai, dalam hati berharap kata-kataku jangan sampai terbukti hari itu melihatnya bersantai di pinggir sungai yang teduh saat kami ingin pulang kembali ke desa, jangan sampai itu terjadi, melihat jejaknya yang masih baru saja sudah cukup membuat kami puas.

Akhirnya kami sampai juga di sungai besar, airnya tampak bersih dan jernih. Aku mencari tempat duduk yang nyaman di atas batu, membersihkan kaki dari pacet dan lumpur, mencuci muka dan yang pasti minum air sungai yang segar. Minum air sungai terasa tidak pernah merasa puas, meski sudah minum begitu banyak tapi aku masih ingin minum lagi dan lagi. Kami duduk lama disana sambil ngobrol, dan aku bertanya, "Adakah orang yang suka mencari ikan sungai disini ?" "Biasanya banyak mbak, mereka biasanya menginap di pinggir sungai dengan membuat pondok, tapi beberapa hari ini nggak ada yang cari ikan karena takut sejak mendengar ada harimau terjerat kemarin", jawabnya. Yang dimaksud pondok adalah tenda darurat yang terbuat dari terpal atau plastik. Aku jadi ingat lagi bahwa orang yang pertama kali menemukan harimau terjerat adalah orang pencari ikan di sungai, dan aku juga melihat bekas pondok mereka yang tinggal kayu pancang saja di seberang sungai dekat lokasi harimau terjerat. Warga desa yang mencari ikan di sungai biasanya penduduk asli dan bukan pendatang atau orang trans, sebutan untuk orang transmigrasi, karena mereka yang punya keahlian untuk itu. Saat kami melanjutkan perjalanan perutku mulai lapar dan kami tidak membawa makanan. Dari kejauhan aku melihat pemandangan menarik, warna merah menyala diantara dedaunan, setelah dekat baru aku tahu kalau itu buah jambu air. Kami berhenti sejenak dan memetiknya untuk dimakan sebelum mendapatkan makan siang yang sesungguhnya.

Seorang warga desa setempat malamnya menemuiku, dia bercerita bahwa hari itu dia juga masuk ke hutan untuk berburu burung. Namun selama di hutan kami tidak bertemu. Saat aku memutuskan pulang kembali ke desa dengan mengambil jalan kearah kiri menuju sungai, sedangkan orang desa tersebut memilih melewati jalan setapak yang ke arah kanan dimana harimau melewatinya, akhirnya disana tanpa sengaja dia menginjak perangkap/ jerat harimau yang dipasang oleh pemburu liar dan membuat kakinya tergantung di atas. Aku membayangkan bila kami tidak memutuskan kembali ke desa dan masih terus mengikuti jejak harimau itu mungkin salah satu dari kami yang akan terkena jerat pemburu. Tentu dengan kaki tergantung diatas bukanlah lelucon yang menarik. Lalu aku menanyakan, "Apakah jerat harimau itu sudah dirusak ?" Katanya, "Sudah". Jawabannya membuatku lega. Lalu aku bertanya lagi, "Apakah tali slingnya diambil ?", katanya, "Tidak". Duuh......seharusnya tali slingnya diambil juga agar tidak digunakan pemburu lagi. Sejak itu kami bersosialisasi dengan warga desa setempat saat kami berkumpul dan membahas harimau dan perburuan, berpesan untuk membersihkan jerat-jerat harimau bila menemukannya tidak hanya di hutan, di jalan setapak atau di kebun mereka untuk merusaknya dan mengambil slingnya. Tidak hanya jerat harimau tetapi juga jerat untuk satwa liar jenis lainnya. Lega sekali saat mendengar mereka akan membantu untuk itu, selama ini mereka juga telah membersihkan jerat-jerat yang dipasang oleh pemburu bila mereka menemukannya. Duh....jerat harimau ada dimana-mana dan ternyata menyebar di banyak tempat. Desa ini sudah menjadi target para pemburu liar.

Sepertinya juga ada kesalahpahaman dalam mengartikan solusi untuk harimau terjerat, hal ini sungguh membuatku sangat kecewa. Mereka tidak memahami bahwa harimau yang terjerat itu harus cepat diselamatkan dan tidak bisa menunggu waktu, karena upaya untuk menyelamatkannya beradu kecepatan dengan upaya pemburu untuk membunuh dan mengambilnya. Lebih-lebih lokasinya sangat dekat dengan sebuah desa dimana pemburu tinggal, dekat dengan jalan lintas antar desa dan ada akses jalan logging yang lebar menuju lokasi, tentu itu akan mempermudah pemburu untuk mendapatkannya. Terlambatnya laporan akan berpengaruh terhadap lambatnya petugas melepaskan harimau dari jerat pemburu. Hal yang sempat membuatku sangat marah saat ada yang mengatakan bahwa nanti kalau petugas datang harimau akan diambil. Dan dia lebih memilih akhirnya harimau diambil juga oleh pemburu, dibunuh dengan sadis dan dijual di pasar gelap daripada kami selamatkan dalam kondisi hidup dan diobati. Logikaku tentu tidak bisa menerima dan memahaminya. Kami punya prosedur dalam penanganan satwa liar korban konflik dan perburuan liar, bila harimau terkena jerat harus secepat mungkin dilepaskan untuk menghindari kematian juga menghindari kaki membusuk karena aliran darah tersumbat oleh jerat. Bila kondisi luka tidak parah tentu harimau bisa langsung dilepasliarkan kembali tanpa harus dievakuasi, namun bila luka sudah membusuk dan jaringan sudah nekrosis maka harus mendapatkan perawatan sementara untuk diamputasi jika tidak infeksinya juga akan menyebar dan meracuni tubuh sehingga menyebakan kematian pada harimau. Kejadian ini benar-benar membuatku sangat marah. Aku terdiam mendengar perkataan itu, rasa kesal dan sedih bercampur aduk, kami pun harus kehilangan dua ekor harimau yang dijerat dan dibunuh pemburu liar karena terlambat mengetahuinya.

Desa itu tampak sudah terbiasa hidup berdampingan dengan harimau karena kondisi lingkungan sekitarnya yang memaksa, semenjak hutan habitat harimau lambat-laun ditebang habis untuk memfasilitasi pengusaha pemegang ijin konsesi bagi perkebunan sawit skala besar. Dalam benakku selalu muncul pertanyaan, "Siapakah yang sebenarnya diuntungkan ? Masyarakat desa yang hidup di sekitar hutan itu? Pengusaha? Pejabat pemberi ijin konsesi? ataukah Harimau? Tidak adakah cara yang lebih bijaksana agar pembangunan ekonomi yang melibatkan pengusaha besar dari luar daerah tanpa merugikan lingkungan dan masyarakat lokal ? Apakah karena uang membutakan semuanya ? Dan mengorbankan hal lain yang seharusnya dijaga ?"

Kamis, 12 Maret 2015

Ditemukan lagi harimau sumatera terjerat, Seluma kini jadi target pemburu harimau


Malam itu pukul 20.29 WIB, hari Rabu tanggal 13 Maret 2015 saya mendapat informasi dari Mayor Usman Kasdim Seluma melalui chatting di WhatsApp bahwa masyarakat melaporkan ada harimau terjerat di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Esok harinya, saya ditelepon oleh BKSDA Bengkulu untuk bersiap-siap berangkat rescue harimau yang terjerat di Seluma. Saya pun langsung mempersiapkan peralatan rescue dan obat bius serta obat-obatan emergency. Lokasi harimau terjerat yang disampaikan kepada saya adalah di Ulu Talo. Ini bukan pertama kalinya harimau terjerat di Ulu Talo, beberapa tahun silam saya bersama tim dari BKSDA Bengkulu dan PHS-KS juga pernah ke HPT Ulu Talo untuk merescue harimau terjerat. Medan yang buruk harus menyeberangi sungai besar lebih dari sepuluh kali dibagian hulu dengan arus deras yang membuat wartawan yang ikut kegiatan tersebut dari salah satu stasiun televisi nasional hanyut terbawa arus namun selamat, dan naik turun bukit dengan trekking selama 6 jam untuk mencapai lokasi harimau terjerat, namun sesampainya disana harimau sudah hilang, hanya tinggal tonggak kayu pengikat jerat dan tali sling yang telah terpotong, serta tak jauh dari lokasi ada saluran pencernaan hewan yang telah berbau busuk.

Dengan pernah punya pengalaman melakukan perjalanan ke Ulu Talo maka saya memilih anggota Tim Rescue yang akan berangkat bersamaku, yang jelas orang-orang yang telah terbiasa melakukan perjalanan di medan yang sulit dan curam. Informasi awal yang kudapatkan bahwa jerat tersebut adalah jerat babi yang tidak sengaja kena harimau, dan harimau terjerat di bagian leher bukan kaki. Sepanjang perjalanan saya berdiskusi dengan teman-teman satu tim yang sama-sama punya pengalaman dalam penyelamatan harimau dari jerat pemburu liar. Saya  mencoba menganalisa dan mengatakan pada mereka, "Bila jeratnya berbentuk spiral seperti jerat yang dipasang pada ladang-ladang masyarakat untuk menjerat babi, bila harimau anakan kemungkinan kecil untuk bisa lolos dan bertahan hidup bila terjeratnya sudah lama, karena bisa tergulung. Tapi bila jeratnya berupa tali nylon atau sling untuk babi maka bila harimau anakan mungkin tidak bisa lepas sendiri tapi kalau harimau dewasa pasti sudah lepas, karena sudah banyak contohnya. Dan bila terjerat di leher diharapkan masih bertahan hidup, meskipun memberontak dia kan merasa kesakitan dan tidak bisa bernafas bila lehernya tercekik jadi akan berusaha untuk tidak tercekik, berbeda bila terjerat di bagian kaki." Namun kami tidak begitu saja bisa percaya dengan informasi dari orang lain bila belum melakukan pengecekan TKP (Tempat Kejadian Perkara) secara langsung. Kadang informasi yang mereka sampaikan tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat namun berdasarkan perkiraan mereka saja.

di Koramil Ulu Talo, Seluma
Sore itu pukul 3.37 WIB kami tiba di kantor Koramil Ulu Talo, untuk mencari informasi mengenai lokasi harimau terjerat, mengingat Koramil lah yang memberikan informasi adanya harimau terjerat ke BKSDA Bengkulu dan bukan dari warga atau aparat desa setempat yang melaporkan. Mereka menyarankan kami untuk tidak ke lokasi lagipula harimaunya sudah hilang dari lokasi. Justru karena mendapat informasi seperti itu, saya bilang ke tim bahwa kami harus tetap ke lokasi kejadian untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, meskipun hari sudah sore tentu itu akan sangat beresiko berada di jalur jelajah harimau, tapi karena kami jumlahnya banyak saya pikir tidak akan ada masalah asalkan kami berjalan beriringan dan tidak terpisah atau berpencar.

Ada dua desa yang harus kami kunjungi berhubungan dengan kasus ini, kami memilih desa terdekat dengan lokasi kejadian untuk mencari informasi dimana harimau terjerat, karena tidak mudah mencari harimau yang terjerat di dalam hutan. Sore itu kami menemui Kepala Desa setempat dan diantar ke lokasi kejadian bersama beberapa warganya.

Pukul 5.52 WIB sore itu kami sudah sampai di TKP. Kami memeriksa lokasi tersebut sampai pukul 6.42 WIB. Dari sekian banyak orang hanya saya saja yang membawa headlamp padahal kami memeriksa lokasi kejadian hingga menjelang gelap. Headlamp yang mereka bawa dari Bengkulu mereka tinggalkan di dalam mobil :D

Lokasi harimau terjerat dekat dengan sungai dan jalan desa penghubung antara desa yang satu dengan lainnya, dan akhirnya saya pun mengetahui bahwa di salah satu desa tersebut ada yang mencari nafkah dengan berburu harimau. Juga terdapat jalan logging, mobil pun bisa melewatinya karena jalannya lebar, yang menghubungkan antara jalan desa dengan lokasi harimau terjerat. Dan berdasarkan informasi masyarakat bahwa orang yang mencari ikan di sungai melihat harimau terjerat di bagian kaki dalam kondisi masih hidup sejak hari Senin malam tanggal 9 Maret 2015, dan kami baru mendapatkan informasi hari Rabu malam tanggal 11 Maret 2015. Bila melihat semua kondisi TKP yang seperti itu wajar bila harimau yang terjerat sudah hilang dari lokasi. Perkiraan saya sudah diambil pemburu yang memasang jerat. Meskipun aparat desa dan warga punya pendapat lain bahwa harimau tersebut lepas sendirinya dan bukan diambil orang, karena mereka mendengar suara raungan harimau di sekitar pemukiman mereka yang jauh dari lokasi kejadian pada malam hari berturut-turut dari tanggal 9-11 Maret 2015. 

Bekas cakaran harimau
Biasanya kalau harimau lepas sendiri dari jerat biasanya tak pernah jauh berjalan dari lokasinya terjerat karena dia terluka, dan kadang masih membawa sling yang mengikat kakinya dan kadang masih menyeret kayu pancang pengikat sling yang seringkali membuat harimau tersangkut dan tidak bisa berjalan lagi. Dan bila harimau melepaskan diri dari jerat pasti tali sling di jerat-jerat lainnya masih ada, namun kami tidak menemui satu pun sling di 9 perangkap yang telah dibuat pemburu di loaksi itu, hanya tinggal kayu pancang dan lubang-lubang perangkap serta bekas umpan yang telah membusuk dan berbau menyengat bahkan tinggal tengkorak saja. Jadi saya semakin yakin bahwa harimau hilang diambil pemburu setelah pemeriksaan TKP. Ada beberapa bekas cakaran kuku pada pohon dan gigitan pada batang pohon di lokasi jerat yang berbeda dan berjauhan, kemungkinan lebih dari satu yang terkena jerat. Selain mengambil dokumentasi, saya juga mengambil sampel rambut harimau yang tertinggal di lubang perangkap.

Malam itu tim rescue BKSDA kembali pulang ke Kota Bengkulu dan melaporkan temuan tersebut kepada Polsek setempat, namun saya memilih untuk tetap tinggal di desa itu selama beberapa hari, karena saya merasa penasaran terhadap siapa-siapa saja yang terlibat dalam jaringan perburuan harimau di daerah itu, serta ingin tahu tentang harimau yang meraung di malam hari selama tiga hari berturut-turut di desa itu, serta ingin mengetahui jalur jelajah harimau disana dan kondisi habitatnya. Dan saya tertarik untuk mengetahui itu semua, dan saya harus sudah mendapatkan jawabannya sebelum kembali pulang ke Bengkulu. Bagi saya bekerja untuk satwa liar tidak harus dengan sokongan dana kegiatan dari pemerintah, namun kita masih bisa bekerja secara mandiri yang penting adalah hasilnya dapat membantu untuk mendukung penegakan hukum terhadap kejahatan pada satwa liar.