Senin, 09 Februari 2015

Liburan akhir pekan mengunjungi Desa Karangpanggung di Provinsi Sumatera Selatan



Liburanku akhir pekan pada tanggal 7 - 8 Pebruari 2015 dimanfaatkan untuk mengunjungi sebuah desa di Provinsi Sumatera Selatan, yang tidak jauh dari perbatasan Bengkulu, yakni Desa Karangpanggung, Kecamatan Selangit, Kabupaten Musirawas. Sudah beberapa kali saya mengunjungi desa tersebut, yakni sejak Animals Indonesia berencana mempunyai proyek konservasi disana dengan akan membangun Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa Liar Sumatera di daerah itu bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Desa itu juga merupakan salah satu lokasi yang menjadi fokus project dari GIZ-Biodiversity & Climate Change.

Namun kali ini saya kesana untuk sekedar berlibur bersama dua orang teman dari Bengkulu yakni Marini Sipayung seorang jurnalis Kantor Berita Antara dan Deska Ayu Safitri seorang mahasiswa salah satu universitas di Bengkulu. Salah satu tokoh masyarakat disana yang juga salah satu tokoh dibidang lingkungan hidup dan sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan kalpataru dari Presdien RI serta salah satu anggota keluarganya juga pernah menjadi anggota tim Tiger Protection and Conservation Unit (TPCU) Kerinci Seblat, tentu membuatku semakin tidak asing dengan mereka karena saya juga sering bekerja bersama tim tersebut dalam upaya penyelamatan harimau sumatera dari jerat pemburu liar. Mereka sudah seperti keluarga sendiri sehingga membuat saya sering bersilahturahmi kesana dan membuat saya tidak bingung lagi mencari tempat untuk menginap di desa itu :)

Berangkat dari Kota Bengkulu pagi hari pukul 09.00 WIB, sesampainya di Kota Lubuk Linggau, Sumatera Selatan sekitar pukul 13.00 WIB. Kami dijemput di Lubuk Linggau, dan siang itupun kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Karangpanggung, sebelumnya menyempatkan diri terlebih dulu untuk berbelanja ke pasar di kota itu.   

Saya melihat sekeliling, ada yang berubah dengan desain rumah itu, halaman belakang rumah dulunya tempat untuk menyimpan bibit tanaman buah, kini disulap menjadi tempat nongkrong yang sangat nyaman, dilengkapi dengan tempat duduk dan colokan listrik serta tampak bersih, sejuk dan yang menyenangkan lagi signal internet di tempat itu lebih kuat dibandingkan di dalam rumah ataupun di teras depan. Sekarang berubah, semua aktivitas orang di dalam rumah itu terpusat di halaman belakang rumah. 


Belajar Memasak

Kami semua langsung menuju ke halaman belakang. Siang itu ada yang menyiapkan perapian untuk barbeque, sebelumnya kami telah membeli ikan nila dan ikan mas untuk hidangan makan kami hari itu. Memasak ikan bakar dengan cara tradisional, hanya dengan batu bata yang ditumpuk rapi dan kayu bakar dan kami pun mendapatkan tips bagaimana cara bakar ikan yang praktis dan rasanya enak. Kebetulan sedang banyak tamu yang juga menginap di rumah itu, tidak hanya kami saja. Kami pun berbicara dengan banyak bahasa, ada yang bicara dengan bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Lembak, bahasa Bengkulu, bahasa Indonesia dan bahasa Rejang, kami tinggal memilih berbicara tergantung bahasa mana yang dikuasainya, tak perlu khawatir karena kami juga bisa sedikit mengerti pembicaraan orang lain dengan bahasa yang berbeda-beda. Ini yang aku sukai bila travelling ke tempat yang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda, akhirnya kita bisa mengenal dan menghargai perbedaan itu. Itu juga yang membuatku sangat mencintai keanekaragaman budaya, bahasa, agama, suku, ras, adat istiadat yang ada di berbagai wilayah di Indonesia. Menurutku itu keunikan bangsa ini yang patut dilestarikan.

Proses Pengolahan Kopi Luwak secara Tradisional
Siang itu saya juga mengutarakan ingin membuat kopi luwak tetapi dengan cara mengolahnya sendiri. Keinginan saya langsung disetujui. Disaat orang membakar ikan, kami juga menyiapkan tungku untuk mengolah kopi luwak. Ini akan menjadi pengalaman yang menarik buat kami, karena belum pernah melakukan hal itu sebelumnya. Saya dan teman-teman mendapat tugas untuk memilih biji kopi yang bagus, dan yang kondisinya jelek dibuang. Kami bertiga akhirnya sibuk membersihkan biji kopi yang akan dimasak. Biji kopi tersebut didapatkan dari feces (kotoran) Musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) yang ada di kebun kopi masyarakat. Kotoran luwak itu dikumpulkan oleh anak-anak kecil desa itu dari kebun kopi dan dijual. Kemudian dibersihkan sampai tinggal biji kopinya saja dan dikeringkan. Dan kami menyeleksi biji-biji kopi yang sudah kering untuk mendapatkan biji kopi terbaik. Kemudian saya mencucinya lagi sampai bersih, sambil menunggu tungku siap digunakan. Penggorengan dari tanah liat sudah disiapkan diatas tungku, dan kami pun bergantian mengaduk biji kopi tersebut sampai masak. Hmm.......ternyata waktu yang dibutuhkan cukup lama, dimulai sekitar pukul 04.00 WIB sampai dengan pukul 05.15 WIB hanya untuk mengsangrai/ memasak biji kopi hingga masak. Benar-benar seperti olahraga dibuatnya, belum lagi rasa panas terasa di kulit karena berdekatan dengan api. Masih ada proses berikutnya, yakni penggilingan dan penyaringan agar bubuk kopi lembut. Teman-temanku pun tak sabar untuk mencicipi kopi buatan sendiri. Dan saya juga membawa beberapa bungkus untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Bangga dan bahagia rasanya bisa mengolah sendiri biji kopi menjadi minuman.

Pohon Sagurisi
Sore harinya masih berhubungan dengan kegiatan masak-memasak, kami mendapat pengalaman baru tentang bahan makanan alternatif yang terbuat dari batang pohon sagurisi sejenis palm yang biasanya tumbuh liar di sekitar sungai yang dapat diolah menjadi bahan makanan dan aneka macam kue. Tentu ini menarik bukan ? Belum banyak penduduk sekitar yang memanfaatkan ini, tapi ibu dari keluarga ini telah memperkenalkan makanan dari bahan sagurisi di berbagai ajang pameran pertanian di banyak tempat, tidak sebatas di Provinsi Sumatera Selatan saja, tapi juga diluar Sumatera. Bahkan beliau punya cita-cita untuk pengembangan home industri di desa itu dengan memanfaatkan bahan olahan dari tanaman liar seperti itu yang tidak dimanfaatkan untuk menjadi sumber bahan makanan alternatif, sekaligus juga memperkenalkan tentang produksi kopi luwak di desa itu yang tentu ramah lingkungan dan tanpa menyiksa binatang, juga memanfaatkan hasil pertanian yang melimpah seperti pisang dan lain-lain untuk bahan makanan yang memiliki nilai jual. Saya sangat senang bila bertemu dengan orang-orang inovatif dan kreatif karena bisa memberi energi positif bagi diri sendiri serta mendorong dan menginspirasi kita agar bisa juga berbuat positif bagi lingkungan sekitarnya.

Kopi luwak dan Kue sagurisi 

Waktu di sore hari kami manfaatkan untuk ngobrol di halaman belakang sambil menikmati kopi luwak dan kue sagurisi. Nikmatnya hidup di pedesaan, penuh kekeluargaan dan hidup lebih alami. Dan satu lagi tak ada rasa individualistis disini seperti saat saya tinggal di kota-kota besar, orang sibuk dengan diri sendiri dan apapun dinilai dengan uang, disini semua dilakukan dengan rasa kebersamaan. Adakalanya saya sangat merindukan lingkungan yang seperti ini. Mungkin itu juga sebabnya saya menyukai menjelajahi daerah-daerah pedesaan dan pedalaman, dan berinteraksi dengan mereka yang tinggal disana.

Makanan tradisional : Dodol durian dan Nogosari
Malam harinya kegiatan belum usai, ibu di keluarga ini hobbynya memasak, jadi tak heran bila setiap berada disana kita dimanjakan dengan makanan. Malam itu orang-orang mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat kue nogosari, makanan yang tak asing lagi bagiku, karena dari kecil aku sudah sering memakannya. Kue yang terbuat dari tepung beras dan santan yang diisi dengan pisang. Melimpahnya panen pisang di kebunnya membuat orang berpikir kreatif untuk memanfaatkannya menjadi berbagai macam makanan olahan. Oya, kami juga disuguhi dodol durian yang juga dibuat sendiri pada saat daerah itu musim durian. Rasanya cukup enak, tidak seperti rasa dodol durian yang pernah saya makan sebelumnya, yang ini benar-benar berbeda. Dan makan malam kami hari itu adalah ikan bakar yang dimasak ramai-ramai siang harinya.

Kami bertiga tidur di lantai dua, akhir-akhir ini saya suka membaca buku sebelum tidur sampai terasa mengantuk, dan itu kulakukan hampir tiap hari, seperti ritual yang musti dilakukan sebelum tidur....hehe ! Dan aku pun punya hobby baru akhirnya, rajin mengunjungi tempat penjualan buku untuk melihat apakah ada diskon buku baru untuk dibeli. Orang sepertiku pasti akan mencari harga murah dan terjangkau :P 

Kebun Pembibitan Tanaman Endemik Sumatera
Hujan seharian sampai pagi membuat kami merasa nyaman dan malas beranjak dari tempat tidur, padahal hari minggu itu kami berencana untuk pergi ke kebun dekat lokasi Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa Sumatera yang akan didirikan oleh Animals Indonesia disana, kami juga akan melihat-lihat kebun pembibitan tanaman endemik sumatera serta berencana untuk mandi di Sungai Lakitan. Sesampainya di kebun pembibitan, kami ngobrol-ngobrol sebentar di gubuk dekat kolam ikan, Dan setelah hujan agak reda akhirnya kami bertiga diajak jalan-jalan untuk melihat pembibitan dan tanaman hutan yang telah ditanam. Konsep perkebunan yang dilakukan disini adalah agroforestry, yakni menanami lahan perkebunan tidak dengan tanaman monokultur seperti karet atau sawit saja, tapi dengan tumbuhan hutan endemik sumatera dan akan diselingi dengan tanaman pertanian atau perkebunan. Mereka melarang menanam sawit di daerah itu bahkan melarang perusahaan perkebunan masuk ke daerah itu bila menanam sawit, karena bagi mereka yang paling penting adalah menyelamatkan sumber air dan menyelamatkan daerah aliran sungai karena ini penting bagi irigasi pertanian mereka, dan mereka lebih tertarik dengan berkebun yang ramah lingkungan.


Belajar Identifikasi Tumbuhan Endemik Sumatera


Ada sekitar 18 tumbuhan endemik yang sedang ditanam di kebun tersebut. Kami diajari cara identifikasi tumbuhan hutan itu, agar bisa membedakan jenis yang satu dengan yang lainnya. Namun tak ada yang bisa kami ingat dengan baik, hanya beberapa saja. Padahal itu baru nama tumbuhan dengan bahasa lokal belum bahasa latinnya. Mungkin ini bisa dimaklumi karena latar belakang kami bertiga tidak ada yang berhubungan dengan ilmu kehutanan dan ilmu botani. Tapi tak ada salahnya juga kami belajar hal-hal baru yang tidak kami ketahui. Meski susah menghafal nama-nama tumbuhan dan identifikasinya secara fisik, tapi yang jelas saya tak asing dengan tumbuhan-tumbuhan itu karena sering menjumpainya bila sedang masuk kawasan hutan konservasi di Bengkulu. 

Saya juga berencana untuk menanam 700 pohon tumbuhan hutan endemik Sumatera untuk langkah awal. Mungkin ini awal yang bagus untuk investasi dibidang agroforestry, karena saya suka konsepnya yang ramah lingkungan dan bisa untuk investasi jangka panjang.

Siang itu kami gagal untuk rencana mandi di Sungai Lakitan. Hujan deras sejak tadi malam hingga siang itu membuat debit air sungai naik dan warnanya tidak jernih lagi. Kami kembali berjalan-jalan mengelilingi kebun pembibitan untuk belajar identifikasi jenis pohon disana, serta sesekali mengambil foto di tempat-tempat yang menarik.

Selain itu tempat tersebut tidak hanya untuk pembibitan dan penanaman tanaman hutan endemik Sumatera yang dikombinasi dengan tanaman pertanian dan perkebunan seperti palawija, karet serta buah-buahan, tetapi juga ada ternak kambing dari berbagai jenis yang sedang mulai dikembangkan, bisa dimanfaatkan susu dan dagingnya. Urine dan feces kambing dimanfaatkan untuk pupuk kandang bagi tanaman pertanian dan perkebunan, karena mereka menghindari pemakaian pupuk anorganik. Jumlah kambing semakin banyak kulihat dari waktu ke waktu dibandingkan saat kunjungan saya sebelumnya. 

Hari sudah siang, kami kembali ke pondok, banyak pekerja kebun yang sedang beristirahat disana. Siang itu kami harus cepat kembali ke rumah karena sore harinya harus sudah berada di Kota Lubuk Linggau dan kembali ke Kota Bengkulu. Saat menunggu mobil berangkat ke Bengkulu kami pun menyempatkan diri jalan-jalan di Kota Lubuk Linggau, dan ternyata pandangan kami tak luput dari trend saat ini dimana banyak orang sangat menggilai batu akik dan berhenti sejenak untuk melihat-lihat. Tidak hanya di Kota Palembang saja, tetapi saat berada di Kota Lubuk Linggau, kawan-kawanku mengajak untuk melihat-ligat benda yang satu ini, disaat aku sendiri belum menemukan dimana daya tariknya. Dan akhirnya kawanku membelinya untuk koleksi..... hmmm !!!  

Liburan kali ini tidak hanya menyenangkan tetapi juga sangat bermanfaat karena mendapat pengalaman baru, bertemu orang-orang kreatif di sebuah desa terpencil yang tak jauh dari Taman Nasional Kerinci Seblat. Sebagai anak muda tentu kita akan merasa termotivasi bila melihat orang-orang tua seperti mereka masih produktif dan selalu berpikir untuk kepentingan penyelamatan lingkungan sekitarnya di sisa usianya, tentu seharusnya lebih banyak yang bisa kita perbuat mengingat energi yang kita miliki jauh lebih banyak, pendidikan yang kita miliki lebih tinggi dan kesempatan kita jauh lebih luas dan panjang. Sudah saatnya kita berpikir untuk tidak selalu menuntut tetapi seharusnya berpikir tentang apa yang bisa kita perbuat untuk lingkungan di sekitar kita.

Jumat, 06 Februari 2015

Wild Animal Watching

"Mengisi waktu luang untuk memotret dan mengamati perilaku satwa liar"


Selasa, 3 Pebruari 2015

Sore itu, begitu sampai di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Seblat, tempat dimana Pusat Konservasi Gajah (PKG) Seblat berada, saya disambut oleh sekelompok burung bondol haji (Lonchura maja) yang terbang rendah di rerumputan depan camp kami. Sudah lama sekali saya ingin bisa memotret burung ini dari jarak dekat karena kamera saya memang tidak mempunyai fasilitas untuk dapat memotret jarak lebih dari 30 meter dengan bagus, namun hingga kini belum terwujud. Saya hanya bisa mengamatinya makan bunga-bunga rumput dan terbang kesana kemari bila didekati tanpa bisa memotretnya. Saya yakin suatu saat saya akan bisa mendapatkan photonya, hanya perlu kesabaran dan kesempatan saja.

Tak ada mammalia besar yang tampak di sekitar camp sore itu, bahkan gajah dan babi hutan yang biasanya banyak berkeliaran pun tidak muncul. Hari itu mungkin waktu yang kurang tepat untuk menyalurkan hobbyku memotret. Saya hanya mendengar suara-suara binatang liar saja yang ada disekitarku tanpa melihat wujudnya, burung gagak bersaut-sautan, suara burung rangkong yang entah mereka sedang bertengger dimana, dan tengah malam terbangun mendengar suara terompet gajah liar yang ternyata memang berada tidak jauh dari tempatku tinggal. Sepertinya mereka sedang berpesta pora malam itu menikmati tanaman sawit di sekitar kawasan PKG Seblat.


Rabu, 4 Pebruari 2015

Pagi itu terdengar sangat keras teriakan siamang (Symphalangus syndactylus) dan owa (Hylobates spp) saling bersaut-sautan di dalam hutan di belakang kamarku, tapi pasti sulit untuk bisa melihatnya dengan jelas. Diiringi suara burung rangkong yang tak mau kalah kerasnya. 


Saat saya sedang berada di dapur sore itu, tiba-tiba saya mendengar suara burung rangkong mendekat, ternyata burung itu bertengger di pohon kenanga yang tak jauh dari tempatku berdiri. Tanpa pikir panjang saya langsung berlari menuju kamar untuk mengambil kamera, meski hanya beberapa detik saja namun saat saya kembali dia sudah terbang berpindah tempat ke pohon petai. Saya harus memotretnya karena kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Beberapa tahun yang lalu masih sangat mudah menjumpai burung rangkong yang berterbangan di depan ataupun di belakang camp kami dan jumlahnya lebih dari satu dari berbagai jenis. Namun sekarang sudah jarang bisa melihatnya dari dekat karena maraknya perburuan rangkong. Bahkan lokasi rangkong untuk mencari makan di hutan ini pun kawasannya sudah dialihfungsikan dan saat ini sudah mulai digunduli oleh para perambah hutan. 



Untuk mengisi waktu di sore hari saya berjalan-jalan di sekitar camp dan lebih tertarik untuk memotret gajah 'Nelson', seekor gajah jinak PKG Seblat. Tak pernah bosan untuk memotretnya. Dia seekor gajah yang photogenic :)  

Tak lama kemudian seorang mahout memanggil saya karena mendengar suara kijang (Muntiacus muntjak), saya pun langsung lari keluar camp sambil membawa kamera, karena suaranya sangat dekat. "Iya benar, saya juga mendengar suaranya, kataku". Tapi karena hujan turun akhirnya saya urungkan niat untuk mencari kijang itu daripada kamera saya rusak terkena hujan. 


Kamis, 5 Pebruari 2015


Pagi itu dikagetkan oleh kedatangan gajah Aswita ke camp saya, ternyata mahoutnya ingin menyerahkan sampel feces gajah untuk saya periksa di Klinik. Hari itu memang jadwalku untuk melakukan pemeriksaan parasitologi dari sampel feces gajah untuk diagnosis penyakit parasiter. Saya melihat sekitar untuk mencari gajah kecil kami 'Bona', karena bila ada Aswita pasti ada Bona di dekatnya, karena Aswita adalah induk angkat Bona setelah dia kehilangan keluarganya. Saya pun berhasil memotret gajah Bona yang saat itu sedang pergi ke hutan untuk mencari makanan alaminya.



Saya mendengar suara primata di hutan belakang tempat tinggalku, saya hafal betul dengan suara itu, meski tanpa melihat dulu binatangnya namun hanya dengan mendengar suaranya sudah bisa diidentifikasi, yakni Presbytis melalophos. Wajahnya yang cantik dan warna rambutnya coklat keemasan selalu menarik untuk difoto. Namun sayang, saya sangat malas beranjak dari tempat duduk untuk berpindah mencari posisi yang strategis, akhirnya tidak bisa mendapatkan foto yang bagus.



Sore harinya saya berjalan-jalan ke arah sungai untuk mencari jejak kijang dan berharap bisa menemukan kotorannya juga, karena saya akan memeriksanya sebagai pembanding dan untuk mengetahui apakah endparasit pada gajah jinak juga sama dengan endoparasit di mammalia liar jenis lainnya. Dalam perjalanan bertemu dengan seekor babi hutan, akhirnya saya mengambil beberapa photo sampai binatang tersebut masuk ke dalam hutan.



Seekor burung terbang melintas di depanku. Karena warnanya menarik, biru adalah warna favoritku membuatku segera memotretnya sebelum dia terbang kembali ke pohon lainnya. Sayang sekali gagal fokus. Sebenarnya masih banyak obyek photo lainya yang menarik disekitarku, seperti berbagai jenis burung berkicau, serangga, monyet ekor panjang, namun kali ini saya tidak tertarik memotretnya.


Jumat, 6 Pebruari 2015


Sungai Seblat terlihat sedang banjir karena hujan deras semalaman, membuat rencanaku gagal pulang ke Kota Bengkulu siang ini. Pagi harinya saya masih mempunyai kegiatan pemeriksaan sampel feces gajah jinak, disela-sela waktu menunggu solar cell siap digunakan maka memanfaatkan waktu di pagi hari untuk memancing ikan di rawa-rawa belakang camp mengingat logistik yang saya bawa habis hari ini. Ternyata saya lebih tertarik untuk memotret karena disekitar rawa-rawa banyak burung berterbangan beraneka warna. Seekor burung berwarna merah terbang melintas, membuatku penasaran untuk mendekat dan memotretnya. Gagang pancing kutinggalkan begitu saja tak peduli ikan akan menyambar umpannya atau tidak, demi mendapat photo burung tersebut. Mencari posisi duduk yang strategis dan berdiam diri lebih dari 15 menit hanya untuk memotret satu ekor burung saja. Dan saya pun tak peduli tanah yang saya duduki basah dan bertebaran kotoran gajah. Akhirnya dapat juga, meski hasilnya tidak maksimal. Duh, seandainya saya punya kamera bagus, pastilah tidak mengeluh dengan hasilnya. Kamera saya jangkauan terjauhnya hanya 15 meter namun saya paksakan untuk memotret jarak 30 meter.



Diwaktu yang bersamaan di pohon sebelah kiriku terlihat anak siamang sedang bergelantungan di atas sana, diikuti induk dibelakangnya. Mereka tidak bersuara, hanya pindah dari satu ranting pohon ke pohon lainnya. Spontan kameraku kuarahkan ke mereka, sedih rasanya tidak bisa mengikuti pergerakannya yang cepat kemudian menghilang dibalik dedaunan yang rimbun. Ada sekitar 10 menit saya menunggu daun-daun yang bergerak itu berharap siamang akan muncul kembali. Sia-sia, siamang tidak mau menampakkan diri dan hujan pun turun. Saya terpaksa harus kembali ke camp. Dan sebelum kembali saya sempat memotret burung ini yang bertengger di puncak pohon.



Setelah selesai melakukan pemeriksaan parasitologi dari sampel feces gajah binaan Pusat Konservasi Gajah (PKG) Seblat sebagai upaya kontrol penyakit parasiter, saya mendengar suara burung elang yang sedang terbang berputar-putar diatas hutan depan klinik. Kemudian saat burung predator tersebut hinggap di salah satu pohon yang berjarak sekitar 100 meter atau mungkin lebih, saya memotretnya. Hasilnya memamg tidak terlalu bagus karena keterbatasan jangkauan dari fasilitas kamera saya yang tidak mendukung.



Di depan klinik juga tampak burung berkicau suku Pynonotidae yang sedang hinggap di pohon makanan kijang. Saya pun tak melewatkan kesempatan ini untuk memotretnya sebelum kembali melanjutkan pekerjaan lainnya memberikan obat cacing pada gajah.

Selasa, 03 Februari 2015

Catatan Perjalanan : Kisah hari ini menuju Pusat Konservasi Gajah Seblat


Pagi-pagi sekali saya sudah berkemas, membawa barang seperlunya untuk dibawa ke hutan. Satu ransel besar di punggung dan daypack kecil di depan yang berisi barang - barang penting seperti HP, tablet, laptop, kamera, dompet, kacamata hitam dan air minum yang tidak boleh lepas dari badan saya kemanapun saya melangkah selama perjalanan, sedangkan barang lainnya ditaruh di ransel yang nantinya akan saya letakkan di bagasi mobil. Saya terbiasa membawa beban double dalam setiap perjalanan, dan memisahkan barang sesuai dengan fungsinya di perjalanan dalam tas yang berbeda. Itu salah satu manajemen perjalanan yang biasa saya lakukan. Pukul 08.00 WIB saya sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Kabupaten Bengkulu Utara dengan menggunakan angkutan umum. Saya biasa menggunakan travel untuk menuju Kecamatan Putri Hijau, Kab. Bengkulu Utara dimana lokasi Pusat Konservasi Gajah (PKG) Seblat berada. Travel baru berangkat pukul 10.00 WIB meskipun saya telah menunggu sejak pukul 8 pagi. Ya begitulah, angkutan umum di Bengkulu waktu keberangkatan tidak pasti dan itupun jumlahnya terbatas, kita tidak bisa naik kendaraan umum sewaktu-sewaktu dan tidak selalu tersedia sepanjang waktu seperti di Jawa.

West Coast of Sumatra

Perjalanan yang memakan waktu sekitar 2,5 jam dengan melewati pantai barat Sumatera dari kota Bengkulu ke Air Muring, yakni sebuah desa yang berada di Kecamatan Putri Hijau, atau sekitar 17 km dari hutan PKG Seblat, merupakan pemberhentian terakhir sebelum memasuki lokasi PKG Seblat. Berbeda sekali dengan di Jawa yang membuat malas berpergian karena jalanan macet, namun di Sumatera jalan raya seperti milik sendiri karena sepi. Selama 2,5 jam tersebut kami terlibat pembicaraan tentang konflik satwa liar, setelah mereka yang berada didalam mobil tersebut mengetahui bahwa saya bekerja untuk satwa liar. Dimanapun berada selalu saja orang-orang tertarik dengan profesi saya, sehingga mendorong muncul banyak keingintahuan mereka dan banyak pertanyaan yang diajukan, sebelum akhirnya terlibat pembicaraan yang serius tentang satwa liar.

Kondisi seperti ini selalu memaksa saya secara informal untuk memberikan sosialisasi (penyuluhan) kepada orang-orang yang saya jumpai di tempat-tempat umum. Saya bukan seorang penyuluh kehutanan atau pun sebagai tenaga fungsional PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) atau sebagai Polisi Kehutanan, saya hanyalah seorang dokter hewan yang kebetulan sering bekerja untuk menangani konflik satwa liar. Saya tidak pernah belajar tentang hal ini di bangku kuliah atau mendapatkan bimbingan teknis (bimtek) atau pelatihan khusus dari institusi tentang itu, saya mendapatkan pengetahuan dan pengalaman itu saat bekerja di lapangan. Dan saya melakukan sosialisasi itu juga tidak untuk mendapatkan angka kredit atau pun karena saya mendapatkan proyek kegiatan tersebut, semua dilakukan secara spontan karena rasa keprihatinan terhadap persepsi masyarakat pada satwa liar yang punya peran dalam konflik. Dan terus terang, hal ini malah yang paling sering saya lakukan sehari-hari untuk merubah persepsi masyarakat terhadap satwa liar yang seringkali negatif.

Dalam setiap awal pembicaraan selalu orang-orang berfikir bahwa satwa liar seperti gajah adalah hama bagi tanaman sawit, harimau adalah pembunuh dan selalu mengancam jiwa orang-orang yang beraktivitas dekat habitatnya. Begitu banyak kerugian yang dialami manusia, kenapa mereka harus dilindungi, untuk apa ? Itu pertanyaan yang seringkali saya dengar dan harus saya jawab dengan sebaik mungkin, karena ini berhubungan dengan pandangan negatif orang terhadap satwa liar. Dan mereka tak pernah menyebutkan bahwa manusialah akar dari permasalahan konflik itu.

Bagi saya adalah kepuasan tersendiri bila dalam setiap berbincang-bincang dengan banyak orang di perjalanan atau dimana pun berada, saya bisa meyakinkan mereka tentang akar permasalahan konflik antara manusia dengan satwa liar, dan saya bisa membuat mereka memahami bahwa satwa liar seperti gajah dan harimau itu perlu dilindungi. Saat mereka setuju dengan pendapat saya dan memahami apa yang sebenarnya terjadi dan akhirnya positif thinking terhadap satwa liar, itu sudah seperti saya mendapatkan kebahagiaan melebihi dari hanya sekedar mendapatkan angka kredit kegiatan atau honor proyek kegiatan penyuluhan, karena memang saya tidak mungkin mendapatkan itu semua dari kegiatan-kegiatan seperti itu karena saya bukan penyuluh kehutanan :)

Tak terasa setelah terlibat pembicaraan yang seru dengan orang-orang baru yang saya jumpai selama perjalanan, akhirnya saya sampai juga di Air Muring, dan saya pun turun untuk makan siang. Ojek yang sudah saya pesan sehari sebelumnya menjemput saya untuk mengantarkan ke PKG Seblat. Ojek saya kali ini bukanlah orang sembarangan, dia tidak hanya mengantarkan saya atau logistik patroli hutan dari Air Muring ke PKG Seblat saja yang berjarak 17 km, namun juga melayani ojek antar provinsi, seperti dari Bengkulu ke Medan, dari Bengkulu ke Lampung dan pernah juga mendapat tawaran untuk mengantarkan penumpang dari Bengkulu ke Dumai-Riau hanya dalam waktu tempuh dua hari satu malam tanpa istirahat. Gila yaaa....???  Entah yang gila ojeknya atau penumpangnya.....hehehe :D

Seblat Elephant Conservation Center
Sesampainya di seberang Sungai Seblat yang merupakan batas alam antara lahan masyarakat dengan kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat dimana PKG Seblat berada, suasana tampak sepi. Tak terlihat ada motor mahout (elephant keeper) yang diparkir disana, ini artinya tidak ada orang yang akan membawa perahu dari seberang sana ke tempat saya menunggu, dan tak tampak gajah - gajah yang lalu lalang, padahal itu alternatif terakhir untuk menyeberangi sungai besar itu bila tidak ada perahu. Hujan mulai turun, saya sendirian menunggu di pinggir sungai, dan tidak bisa menyeberangi sungai. Di bagian hulu sungai, awan tampak gelap pertanda sungai sebentar lagi banjir. Saya harus bisa menyeberangi sungai itu sebelum kedahuluan banjir, tapi bagaimana caranya ????

Conservation Forest - Seblat Ecotourism Park - Elephant Conservation Center

Sudah dua jam saya menunggu namun tak tampak ada tanda-tanda gajah lewat atau perahu ada yang membawa ke seberang sini. Jauh disana tampak anak-anak kecil dari desa terdekat mandi di sungai. Selesai mandi mereka menghampiriku, ternyata mereka mengenaliku, dan akhirnya duduk bersamaku dan mengajakku ngobrol. Kemudian saya bertanya, "kamu nggak nyari batu?" Maksudnya mencari batu sungai dan dikumpulkan serta dijual ke truk-truk penampung untuk bahan bangunan, anak-anak desa itu sering melakukannya untuk mendapatkan uang dan kadang untuk membantu orangtuanya. Kata mereka, "Idak, yuk." Lalu mereka bertanya lagi padaku, "Ayuk, nak ke sebrang?" ('Ayuk' itu bahasa Bengkulu untuk panggilan 'mbak'). Saya menawarkan ke mereka, "Iya. Ada nggak yang bisa ngambilin perahu disana itu?" Saya bicara pada anak yang agak besar, namanya Doni dan Samlan. Dan saya bicara dengan Samlan dengan bahasa isyarat karena dia tuna wicara. Akhirnya mereka setuju, dan saya bersama dua anak kecil lainnya duduk dipinggir sungai menunggu perahu sambil memotret aksi mereka yang heroik menyeberangi sungai besar itu untuk mengambil perahu. Saya tahu mereka adalah anak-anak desa yang pemberani dan perenang yang hebat, sehari-hari mainan mereka berenang di sungai itu dan bahkan menyelam dari ujung ke ujung. Mereka sangat senang saya memotretnya, bahkan setelah lelah berenang di seberang sungai sana mereka masih sempat bergaya saat kamera saya membidiknya. 

Tampak Gajah Dino di seberang Sungai Seblat

Perahu tampak goyang saat mereka menaikinya seperti mau terbalik, membuat mereka membawa perahu dengan cara mendorong sambil berenang daripada mendayungnya. Mereka hanyut sekitar 500 meter dari tempatku duduk. Akhirnya perahu berhasil dibawanya keseberang. Saya mengucapkan terimakasih pada mereka, dan mereka bahagia sekali saat kuberi uang. Dasar anak-anak.....:) Sebenarnya saya ingin mengajak foto selfie anak-anak itu karena mereka suka sekali difoto sebagai bonus telah mengambilkan perahu, tetapi karena hari hujan saya urungkan niat untuk memotret dan lebih memilih menyelamatkan barang-barang saya dari ancaman hujan.

Anak-anak desa itu senang difoto
Doni bertanya kepadaku dengan cemas, "Ayuk, bisa bawa perahu?" Saya jawab, "bisalah. Kamu nggak usah nganterin aku ke sebrang, biar aku bawa perahu sendiri, kamu sudah kecapekan berenang tadi, ya kan?" Saya menyuruh mereka pulang karena hujan sudah turun. Saya mendorong perahu ke arah hulu agar tidak hanyut terlalu jauh bila melalui arus utama sungai. Kuperhatikan empat anak tadi cemas memperhatikanku dari kejauhan, mungkin mereka ingin memastikan apakah saya bisa membawa perahu dan selamat sampai seberang sungai. Dalam hati aku berkata, "Jangan cemas ya, meski cewek gini dulu pernah juara satu lomba dayung dan jadi atlit dayung lho".  Sungai belum banjir jadi tidak ada masalah membawa perahu sendirian, karena tidak perlu mengeluarkan banyak energi untuk melawan arus sungai, bila kondisi sungai sedang tidak banjir mendayung perahu dengan santai pun bisa sampai ke seberang. Namun, juga tidak bisa diremehkan karena Sungai Seblat sering menelan korban saat sungai sedang tidak banjir.

Seblat River
Setelah menambatkan perahu dan mengikatnya ke batang pohon untuk mencegah perahu hanyut saat banjir besar, saya mencari jalan setapak untuk naik tebing ternyata sudah tidak ada lagi, struktur tanah disini cepat sekali berubah, akhirnya harus merangkak untuk sampai keatas sambil menggendong dua ransel dan membawa logistik di tangan. Kedatanganku di camp gajah disambut oleh burung gagak. Saat masih kecil ibuku sering bilang bahwa bila ada suara burung gagak mitosnya ada kematian, maksudnya ada orang yang meninggal. Tapi sepertinya mitos itu tidak berlaku di hutan karena suara burung gagak bisa didengar setiap hari, bahkan sering terbang berombongan di depan camp kami. Sore itu akhirnya saya sampai juga ke PKG Seblat, akhirnya bisa menikmati suasana menyenangkan di hutan, mendengar suara simpai, suara burung rangkong, melihat gajah-gajah dan babi hutan yang berkeliaran di sekitar camp, dan tak henti-hentinya mendengarkan suara kicauan burung dan jeritan serangga. Bagiku, kenyamanan itu adalah berada di tempat yang alami dan dikelilingi oleh satwa liar di sekitar kita.

Sabtu, 17 Januari 2015

the Sub-Regional Southern Biodiversity Workshop

Hari Senin, tanggal 12 Januari 2014 saya melakukan perjalanan menuju kota Palembang, Sumatera Selatan, dengan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia di sore hari. Tujuan kali ini adalah akan menghadiri Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan yang diadakan oleh GIZ-Bioclime Biodiversity and Climate Change Project bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan. Sebelumnya saya ragu untuk mengikuti acara ini karena sepertinya tidak ada hubungannya dengan bidang kerja saya dan akan memilih untuk kembali ke Bengkulu. Namun setelah berkomunikasi dengan teman-teman saya yang sama-sama kerja untuk konservasi harimau di Sumatera dan hasil perbincangan kami saat bertemu di acara Indonesian Tiger Conference di Bogor di bulan Desember 2014 akhirnya perjalanan ke Bengkulu ditunda beberapa hari dan berganti arah ke Palembang, Sumatera Selatan, dan saya juga akan presentasi di workshop tersebut bersama kawan-kawan Forum HarimauKita. Menurut saya hadir di acara itu juga akan bermanfaat mengingat Animals Indonesia memiliki project pembangunan Animal Rescue and Rehabilitation Centre di wilayah Sumatera Selatan guna mendukung BKSDA Sumatera Selatan dalam upaya penyelamatan satwa liar korban konflik, perburuan dan perdagangan illegal dan merupakan salah satu upaya konservasi biodiversitas di provinsi tersebut.

Sore itu saya tiba di Kota Palembang, dan langsung memesan taxi bandara untuk mengantarkan saya menuju Hotel Novotel karena acara seminar tersebut diselenggarakan disana. Ada hal aneh yang terjadi sesampainya saya di lobby hotel, petugas hotel tidak menemukan nama saya sebagai peserta seminar, cukup lama saya menunggu untuk mengecek ulang daftar peserta, sambil saya mencoba menghubungi penyelenggara seminar, tetap nama saya tidak ditemukan. Saat saya menyebutkan nama panggilan saya, baru mereka menemukan nama saya di daftar peserta. Ternyata panitia tidak mencantumkan nama lengkap sana disana dan hanya mencantumkan nama panggilan saya saja.....hehe :)

Malam itu saya menghabiskan waktu bersama teman-teman peserta seminar di restoran hotel, banyak teman lama dan ada juga yang baru saya kenal, dan saya kembali bertemu dengan teman-teman anggota Forum HarimauKita disana yang bekerja di beberapa NGO (Non-Goverment Organization) setelah sebulan sebelumnya kami telah bertemu di Bogor. Acara ini seperti ajang reuni saja bagi kami terutama praktisi lapangan dan peneliti harimau sumatera yang sama-sama menjadi anggota Forum HarimauKita dan juga ada teman sesama anggota Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI). Pertanyaan pertama yang diajukan ke saya saat bertemu, "bagaimana khabar gajahnya ?" Saya tahu, pertanyaan itu menyindir tentang apa yang telah terjadi di Bengkulu, karena beberapa gajah di Pusat Konservasi Gajah di Bengkulu telah dipindahkan ke kebun binatang untuk alasan breeding guna peningkatan populasi gajah......hmmmm !! Setahu saya sesuai dengan strakornas (Strategi Konservasi Nasional) tentang peningkatan populasi satwa liar adalah diutamakan yang di-insitu. Dan menurut informasi yang kudapat anggota forum ada yang mendukung translokasi gajah tersebut dan mendesak mahout di PKG Seblat Bengkulu untuk menyetujuinya. 


Esok harinya, Selasa tanggal 13 Januari 2015 seminar dimulai, sesungguhnya bukan ini seminar yang saya ikuti karena hari itu tentang biomass survey, stock carbon dan biodiversity (flora/ tumbuhan) khusus untuk wilayah Sumatera Selatan, dan saya seharusnya mengikuti seminar di hari berikutnya tentang konservasi biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan. Tapi ternyata tidak ada ruginya juga saya mengikuti seminar itu meskipun topiknya tidak berhubungan dengan satwa liar. Di kesempatan ini saya banyak mengenal orang-orang baru di bidang konservasi, ada beberapa yang sudah pernah saya lihat di konferensi di Bogor namun saya belum mengenalnya. Saya memilih duduk berdampingan dengan teman-teman lama di Forum HarimauKita dari Jambi dan Sumatera Selatan serta teman baru saya dari PT. ASI Pudjiastuti Geo Survey, presentasinya sangat mengesankan bagi saya karena tentang teknologi Lidar (Light Detection and Ranging) untuk kepentingan konservasi di bidang kehutanan. Ini adalah sesuatu yang baru bagi saya, yakni penginderaan jarak jauh dengan Airbone laser untuk keperluan digital photogrametric mapping spatial planning. Dalam areal yang diphoto dengan menggunakan pesawat dapat diketahui jenis pohon dari tingkat rendah sampai tinggi, juga dapat mengukur ketinggian pohon, selain itu juga bisa mengetahui lapisan tanah. Hal ini tentu menarik, bila jenis pohon bisa diketahui per jenis, berarti obyek yang ada diatas permukaan tanah juga bisa diketahui, itu pertanyaan yang saja ajukan saat diskusi setelah presentasi. Logika saya mengatakan bila pohon rendah yang ada dipermukaan tanah bisa diidentifikasi, tentu mammalia besar juga bisa diidentifikasi, selanjutnya bisa dikombinasikan dengan ground check untuk membantu upaya penyelamatan kawasan habitat satwa liar dari alih fungsi dan eksploitasi yang tidak pro-konservasi biodiversity. Namun sayangnya mereka belum ada pengalaman untuk mengidentifikasi biodiversity terutama spesies satwa liar yang ada di dalam kawasan hutan yang dipotretnya dengan sinar laser dari sebuah pesawat, masih terbatas tumbuhan saja, itu jawaban yang diberikan oleh narasumber baik yang dari Indonesia maupun Jerman. Namun diluar acara diskusi saya diyakinkan bahwa suatu saat itu pasti bisa dilakukan karena teknologi terus berkembang. "Ya, jawaban yang masuk akal, pikirku". Seminar hari itu banyak membahas tentang project Biodiversity dan Climate Change (Bioclime) di Indonesia, namun perhatian saya tertuju pada teknologi Lidar yang dipresentasikan juga daerah-daerah yang menjadi fokus Bioclime project.

Malam harinya saya nongkrong dengan teman-teman anggota Forum HarimauKita, kebetulan banyak yang menghadiri seminar ini, yakni sekitar 9 orang atau mungkin lebih. Selain makan malam bersama kami juga berdiskusi tentang konservasi tentunya. Entah sampai jam berapa kami ngobrol malam itu, akhirnya saya dengan teman sekamar yang merupakan sahabat saya kembali ke kamar untuk mempersiapkan bahan presentasi kami karena kami berdua diundang untuk datang di seminar itu juga untuk presentasi.

Rabu, tanggal 14 Januari 2015, Seminar kedua diadakan di Ballroom Novotel Palembang, yakni Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera bagian Selatan. Dihadiri oleh perwakilan masyarakat lokal dan mitra/ LSM yang terlibat dalam aktivitas keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam, perwakilan pemerintah pusat dan daerah, pengambil keputusan program dan kebijakan, peneliti dan akademisi, pihak swasta dan lembaga donor dan lain-lain. Inilah seminar yang seharusnya saya ikuti karena sesuai dengan bidang profesi saya saat ini. Saya bertemu banyak kolega dan pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di acara ini selain bertemu dengan teman-teman lama saya di LSM yang bergerak dibidang konservasi satwa liar.  Hari pertama seminar kami banyak mendengarkan presentasi dari keynote speaker, yakni dari akademisi, LIPI, private sector, juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan Kementerian Kehutanan dan Konservasi Tanah Nepal.

Kesimpulan dari presentasi masing-masing narasumber hasilnya dipampang di dinding ruang seminar berupa karikatur (kartun), cukup unik menurutku, dan menarik orang untuk membacanya juga mendokumentasikannya. Baru kali ini saya menjumpai kesimpulan presentasi seminar dituangkan dalam bentuk cerita kartun, ternyata hal ini sudah dilakukan juga di negara lain.

Di ruang seminar saya lebih memilih duduk semeja dengan teman-teman NGO, meski banyak juga yang saya kenal di dalam ruangan tersebut, tidak hanya dari NGO. Seminar ini dihadiri kurang lebih 150 undangan.

Malam itu diadakan acara Gala Dinner diiringi dengan life music. Namun sepertinya saya dan teman-teman kurang tertarik, kami lebih tertarik nongkrong dengan teman-teman satu komunitas dan memilih duduk diluar ruangan bersama teman-teman Forum HarimauKita untuk berdiskusi sambil makan malam. Malam itu seperti meeting HarimauKita yang kedua di Palembang setelah pertemuan anggota di Bogor sebulan yang lalu. Topik pembicaraan kami tak jauh-kauh dari konservasi, harimau sumatera dan habitatnya. Kesempatan langka untuk bisa berkumpul seperti ini, karena kami memiliki wilayah kerja yang berbeda-beda. Malam harinya sebelum tidur saya masih memperbaiki presentasi untuk persiapan esok harinya.

Kamis, tanggal 15 Januari 2015, merupakan hari terakhir seminar. Kebetulan saya mendapat jadwal untuk memberikan presentasi hari itu bersamaan dengan narasumber dari Forum HarimauKita dan Zoological Society of London (ZSL), karena materi presentasi kami saling berkaitan, yakni tentang konservasi biodiversitas terutama status konservasi, upaya dan ancamannya yang masih berkaitan dengan harimau sumatera.

Sore itu seminar berakhir, tapi kami pun belum beranjak pergi dari sekitar ruangan seminar, masih menyempatkan diri ngobrol dengan teman-teman forum. Malam itu kami berencana akan makan malam bersama diluar. Saya masih punya kesempatan dua jam untuk pergi dengan berjalan kaki ke mall terdekat dari Hotel Novotel karena ada yang ingin kami beli disana.

Kami masih menginap satu malam di hotel tersebut sebelum pulang. Saya berencana pulang hari Sabtu karena tiket pesawat saya dari Palembang ke Jakarta pada hari Sabtu tanggal 17 Januari 2015, sehingga saya mempunyai waktu luang sehari di kota Palembang untuk berjalan-jalan.

Esok harinya, Jumat tanggal 16 Januari 2015 kami pergi ke kantor ZSL bersama teman-teman ZSL, teman-teman dari Jambi akan pulang malam itu dari kantor ZSL di Palembang. Hari itu kami sempat ikut mereka ke kantor Taman Nasional Sembilang. Setelah itu saya memilih memanfaatkan waktu luang di hari itu untuk menerima undangan makan malam bersama teman sebelum kembali pulang.

Kamis, 01 Januari 2015

Wisata Sejarah ke Sendangsono


Tahukah anda apakah Sendangsono itu ?

Kapel Para Rasul
Saya juga baru mendengar nama tempat ini diawal tahun 2015 dari teman yang beragama Katolik. Lokasinya di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Tempat ini mempunyai nilai sejarah tinggi terutama dalam hal penyebaran agama Katolik di Pulau Jawa. Pada tahun 1894 belum ada orang Jawa Tengah satu pun yang beragama Katolik. Sejarah ini juga mengungkap peran dari Pastur Fr. Van Lith, rohaniwan Belanda yang datang pada tahun 1896 dan ditunjuk sebagai pembantu Pastur W. Helings SJ. untuk misi penyebaran agama Katolik di Jawa. Disana terdapat Goa Maria Sendangsono yang dikelola oleh Paroki St. Maria Lourdes di Promasan. Selain sebagai lokasi kegiatan rohani bagi pemeluk agama Katolik juga merupakan tempat berziarah serta pengambilan air dari sendang (mata air) yang muncul diantara dua pohon Sono. Air tersebut juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Tidak hanya untuk para penganut Katolik, tempat itu juga dibuka untuk umum sebagai lokasi wisata sejarah bagi orang yang beragama lain, karena yang berkunjung ke tempat ini tidak hanya orang Katolik saja, tapi juga penganut agama lainnya seperti Muslim dan Budha. Para rohaniawan Budha juga memanfaatkan tempat tersebut untuk bertapa dalam rangka mensucikan diri dan menyepikan diri, karena lokasinya yang sejuk dan nyaman.

Pohon Sono

Saya tertarik tempat tersebut karena saya menyukai sejarah, terutama sejarah tentang bangsa Indonesia. Belajar sejarah dengan mengunjungi langsung lokasi-lokasi yang bersejarah tentu sangat menarik daripada hanya membaca cerita dari buku dan akan membuat kita mengetahui apa yang terjadi di masa lampau. Dua orang teman saya beragama Katolik, mereka kesana untuk beribadah, sedangkan saya hanya ingin berwisata, memotret tempat yang indah dan melihat-lihat peninggalan bersejarah.  


Sejarah penyebaran agama Katolik di Indonesia

Relief tentang penduduk desa berpakaian Jawa sedang dibaptis
Tahun 1519 dianggap sebagai permulaan missi penyebaran Katolik di Indonesia. Tempat pertama yang dikunjungi adalah Pulau Sumatera, yakni kota-kota sepanjang pantai Sumatera Utara, namun setelah daerah itu di bawah pemerintahan Aceh usaha penyebaran agama Katolik tersebut lenyap. Pada tahun 1530, Pastur Portugis bernama Simon Vaz mendatangi Ternate di Kepulauan Maluku bersama para pedagang. Orang-orang pertama yang menganut agama Katolik di Indonesia adalah Raja (Kapala) beserta anak negerinya di Ternate. Adanya pemberontakan hebat melawan orang-orang Portugis maka misi penyebaran agama Katolik di Ternate pun terhenti, karena mereka diusir dari daerah tersebut. Pada tahun 1546-1547 penyebaran agama Katolik di Maluku dimulai kembali dengan datangnya Sato Fransiskus Xaverius, tidak hanya mengunjungi Ternate tetapi juga Ambon dan Saparua. Sampai tahun 1570 agama Katolik berkembang dengan subur disana dengan pengikut mencapai 25.000 orang.

Di Jawa Timur agama Katolik mulai berkembang tahun 1580-1600, dengan adanya bukti sejarah berupa beberapa patung abdi yang berasal dari jaman Majapahit. Di Pulau Sumatera misi penyebaran agama Katolik dimulai lagi pada tahun 1638, pemerintah Portugis mengirimkan utusan dagang ke Aceh diikuti oleh Pastur Karmelit Di Jonisius dan Bruder Redemptus. Pada awalnya diterima dengan baik tapi karena beragama lain akhirnya mereka disergap dan ditawan oleh Sultan Aceh. Tahun 1544 misi penyebaran agama Katolik di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, sedangkan Manado, Sulawesi Utara baru didatangi para Misionaris lesuit pada tahun 1563. Penyebaran agama Katolik di Pulau Kalimantan dimulai di hulu Sungai Barito, sejak misionaris tersebut meninggal pada tahun 1693 missi tersebut tidak ada yang melanjutkan.

Sedangkan di Pulau Timor dan Flores, missi penyebaran agama Katolik sukses dilakukan oleh Pastur-Pastur dari Ordo Dominikan walaupun ditentang oleh penduduk yang beragama lain. Gereja Katolik pun berdiri di Larantuka dan Maumere/ Shika. Missi penyebaran agama Katolik di Papua dimulai tahun 1850. Selama 200 tahun VOC tidak mengijinkan misionaris masuk ke Indonesia, hal ini menjadikan terhentinya missi Katolik di Indonesia, selain karena jumlah misionaris yang terbatas juga rintangan dari penduduk. Baru pada masa pemerintahan Daendels tahun 1808-1811, mereka diperbolehkan masuk kembali ke Indonesia.

Pada tahun 1914 penyebaran agama Katolik mulai berkembang di Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Sedangkan tahun 1897 misionaris mulai pergi ke Muntilan dan Mendut, sejak itu dimulailah penyebaran agama Katolik di desa - desa sekitar Muntilan, Jawa Tengah. Sedangkan tempat ibadah dan ziarah umat Katolik di Sendangsono tersebut dibangun bertahap pada tahun 1974, arsitekturnya karya budayawan dan rohaniawan YB Mangunwijaya, bangunannya bernuansa Jawa dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan hasil alam. Pada tahun 1991 komplek bangunan di Sendangsono telah mendapatkan penghargaan arsitektur terbaik dari Ikatan Arsitek Indonesia untuk kategori kelompok bangunan khusus.


Yogyakarta, 1 Januari 2015



Kebetulan saya sangat menyukai bangunan dengan arsitektur yang unik, bagiku arsitektur itu adalah sebuah karya seni, dan kebetulan dulunya cita-cita saya memang ingin menjadi Arsitek untuk bisa menciptakan karya seni yang indah dalam bentuk bangunan, sebelum akhirnya saya menjadi seorang dokter hewan untuk konservasi satwa liar di habitat. Pergi berwisata ke Sendangsono tentu menarik buatku, selain untuk mengenal salah satu tempat bersejarah di Indonesia, juga bisa menikmati keindahan karya seni arsitektur yang tentunya menarik perhatianku.



Rabu, 17 Desember 2014

Mengunjungi Raptor Sanctuary di Taman Nasional Gunung Halimun Salak



Raptor Sanctuary, Gunung Halimun Salak National Park

Selesai mengikuti Indonesian Tiger Conference (ITC) di Bogor Jawa Barat, pada tanggal 16 Desember 2014 saya ditawari oleh teman-teman Suaka Elang untuk ikut kegiatan mereka mengunjungi lokasi Raptor Sanctuary di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Raptor Sanctuary tersebut dibangun sebagai upaya untuk penyelamatan dan pelepasliaran raptor (burung pemangsa) terancam punah seperti Elang Jawa dan burung pemangsa jenis lainnya dari hasil penyitaan dan penyerahan masyarakat sesuai standar IUCN dan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, serta melakukan upaya penyadartahuan masyarakat melalui kegiatan pendidikan lingkungan dan ekowisata terbatas berbasis burung pemangsa.


bersama teman-teman Suaka Elang
Lokasinya tak jauh dari Kota Bogor. Kami pergi ke lokasi tersebut berlima, selain dengan teman-teman Suaka Elang juga dengan teman lama saya, drh. Dian Tresno Wikanti, yakni seorang dokter hewan spesialis raptor (burung pemangsa). Dokter hewan yang satu ini mempunyai pengalaman panjang dalam menangani berbagai jenis burung elang terancam punah di berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan ini mempertemukan saya kembali dengannya. 

Kebetulan saya tidak mempunyai banyak pengalaman menangani burung elang, meskipun sebelumnya saya juga pernah bekerja untuk menangani raptor seperti Elang Laut perut putih, Elang Ular bido, Elang Brontok dan lain-lain di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Petungsewu di Malang Jawa Timur, mungkin ini juga karena saya lebih tertarik dengan satwa predator golongan mammalia besar dibanding aves, sehingga tak pernah berminat belajar tentang spesies ini. 

Kesempatan kali ini saya manfaatkan untuk melihat-lihat dan belajar penanganan medis elang selama masa karantina dan rehabilitasi sebelum dilepasliarkan kembali ke habitatnya meski waktunya terbatas hanya sehari. Menurutku ilmu apapun itu sangat berharga dan akan sangat bermanfaat, meski saat ini saya belum membutuhkannya, tapi mungkin suatu saat nanti saya akan membutuhkannya, atau mungkin orang lain yang ada disekitar saya yang membutuhkannya. Jadi menurutku saat itulah waktu yang tepat untuk belajar elang pada orang yang tepat dan di tempat yang tepat.

Raptor Sanctuary, Gunung Halimun Salak National Park

Siang itu, tanggal 16 Desember 2014 pukul 11.08 WIB, kami tiba di lokasi Raptor Sanctuary di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dari jauh tampak pemandangan perbukitan hijau yang indah. Setelah sekian tahun lamanya akhirnya saya bisa melihat kembali hutan di Pulau Jawa. Tak lupa juga dengan kebiasaan saya untuk berkeliling melihat-lihat dan memotret pemandangan yang ada di sekitar.

Kegiatan pemeriksaan medis untuk elang dimulai dari kandang karantina terlebih dahulu, baru dilanjutkan pada elang-elang yang ada di kandang rehabilitasi. Spesies elang yang diperiksa adalah Elang Ular bido (Spilornis cheela), Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). 

Penanganan medis untuk raptor yang dilakukan sebagai berikut :

1
Penimbangan berat badan
 

2
Morfometri (pengukuran panjang tubuh, lebar tubuh bagian dada, panjang kepala, panjang sayap, lebar kaki, panjang cengkraman kaki, panjang paruh, lebar paruh, tinggi paruh)
 

3
Pemeriksaan rongga mulut
 

4
Pemeriksaan bulu primer, bulu sekunder dan bulu ekor
 

5
Pemeriksaan mata
 

6
Pemeriksaan telapak kaki (apakah ada bumblefoot)
 

7
Koleksi sampel darah
Sampel darah untuk pemeriksaan DNA dan serologi terutama untuk mendeteksi adanya penyakit Avian Influensa (flu burung) dan Newcastle Diseases (ND).

Swab rongga mulut dan swab cloaca.
 

8
Penyuntikan anti parasit
 

9
Pemeriksaan kondisi tubuh :
body condition index
kondisi fisiologi
 



10
Sexing
 



Selain pemeriksaan medis, saya juga belajar tentang cara handling elang yang benar. Oya, elang yang akan dilepasliarkan telah diberi tagging / ring untuk penandaan individu sehingga nantinya individu elang yang dilepasliarkan akan dapat diidentifikasi dengan mudah.

Elang jawa (Spizaetus bartelsi)
Populasi elang di alam liar terancam dengan masih adanya perburuan liar dan perdagangan illegal. Di Indonesia maraknya perburuan elang seiring dengan munculnya para penghobby pemelihara elang untuk kesenangan manusia. Ironisnya lagi para penghobby tersebut seringkali membuat komunitas dengan mengatasnamakan penyayang binatang dengan kedok konservasi elang. Mungkin anda pernah melihat komunitas-komunitas seperti itu di sekitar anda ? Elang adalah salah satu satwa liar yang sudah dilindungi oleh UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena statusnya terancam punah sebagai akibat adanya aktifitas perburuan liar dan perdagangan illegal. 

Mengambil (berburu) satwa liar dari hutan jauh lebih mudah daripada pelepasliaran kembali satwa liar ke habitatnya, begitu juga dengan elang. Orang sangat mudah untuk mengambilnya di hutan, namun pada saat ingin dikembalikan lagi ke hutan perlu proses yang panjang dan lama, bahkan waktu yang diperlukan bisa mencapai dua tahun tiap individu, dan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit pada setiap prosesnya, sungguh tak sebanding dengan harga jualnya di pasar gelap. Ini artinya 'merusak' alam jauh lebih mudah dilakukan daripada 'memperbaiki'. Seandainya itu disadari oleh banyak orang terutama para penghobby yang memelihara elang hanya sekedar untuk hiburan bahwa tindakan mereka telah mendorong adanya perburuan liar dan perdagangan illegal, dan tanpa mereka sadari efek samping terburuk adalah tindakan mereka itu telah merusak ekosistem.


Raptor Sanctuary - Bogor Jawa Barat
Prosedur pelepasliaran satwa sesuai dengan panduan yang diterbitkan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) beberapa proses yang musti dijalani oleh satwa yang akan dilepasliarkan adalah 1. Dinyatakan kondisinya sehat dari hasil pemeriksaan kesehatan oleh dokter hewan, hal ini diperlukan untuk mencegah penularan penyakit berbahaya kepada individu elang lainnya ataupun satwa liar lainnya; 2. Rehabilitasi guna menumbuhkan perilaku alaminya seperti berburu mangsa dan belajar terbang; 3. Lolos dari proses habituasi di lokasi pelepasliaran. Bila elang sudah lolos dari pemeriksaan medis dan perilaku maka akan layak untuk dilepasliarkan. Sedangkan kriteria lokasi yang ideal sebagai tempat pelepasliaran elang adalah habitatnya sesuai untuk tempat hidup elang, tingkat kepadatan populasi jenis elang tersebut tidak terlalu tinggi, dan lokasinya aman dari perburuan liar.

Beberapa lokasi untuk rehabilitasi elang di Indonesia diantaranya adalah Raptor Sanctuary yang terletak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat; Pusat Rehabilitasi Elang di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut, Jawa Barat; Pusat Penyelamatan Satwa Kotok, Kepulauan Seribu; Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi Jawa Barat; Pusat Penyelamatan Satwa Gadog/ Animal Sanctuary Trust Indonesia, Bogor, Jawa Barat, dan lainnya.