Sabtu, 09 November 2013

Rest in Peace YANTI

Pusat Konservasi Gajah Seblat

Pusat Konservasi Gajah Seblat
Mulanya Pusat Konservasi Gajah Seblat merawat 18 ekor gajah jinak di dalam kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat yang terdiri dari 4 ekor gajah jantan berusia dewasa dan 16 ekor gajah betina berusia dewasa, yang berlokasi di Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten  Bengkulu Utara.  Kemudian mendapat tambahan 1 ekor bayi gajah yatim piatu yang direscue dari perkebunan sawit perusahaan di sekitar kawasan, dan mendapat lagi sepasang gajah berusia dewasa yang direlokasi dari sebuah hotel di Kota Bengkulu setelah gajah jantan tersebut membunuh seorang mahasiswa di kota Bengkulu.  Sehingga kini jumlah total gajah jinak di Pusat Konservasi Gajah Seblat sebanyak 21 ekor.  Pada akhirnya berkurang satu ekor lagi karena ditemukan mati.


Yanti and Yanti 

Gajah Yanti
Seekor gajah betina bernama Yanti telah menghuni PKG Seblat selama 19 tahun 9 bulan.  Gajah tersebut ditangkap dari daerah Ipuh, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu pada bulan Februari 1994, saat itu gajah tersebut berusia 10 tahun.  Dahulu Departemen Kehutanan melegalkan penangkapan gajah sebagai solusi untuk meredakan Human-Elephant Conflict, pada akhirnya kebijakan tersebut malah mendukung berkurangnya populasi gajah liar di alam, dan bahkan banyak gajah liar hasil tangkapan dari seluruh wilayah di Sumatera hidupnya berujung kematian pasca penangkapan. Sekitar tahun 80an sampai dengan 90an merupakan masa-masa yang kelam bagi gajah sumatera.  Habitatnya yang semakin menyempit memaksanya berkonflik dengan manusia yang pada akhirnya ditangkap.  Sungguh tidak adil dan menyayat hati, gajah sebagai korban keserakahan manusia sehingga kehilangan tempat hidup pada akhirnya harus ditangkap sebagai pihak yang bersalah.  Itu terjadi dari Provinsi Aceh sampai Provinsi Lampung.  Sungguh mengerikan, dan saya tidak mau membicarakan sejarah kelam itu lagi disini.  Kini gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) sudah masuk kategori critically endangered species menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature), ini artinya saat ini gajah sumatera hampir punah dan mempunyai resiko sangat tinggi mengalami kepunahan di alam liar.

Kini gajah Yanti telah berusia sekitar 29 tahun, tumbuh sebagai gajah yang sehat dan gemuk serta memiliki nafsu makan yang baik bahkan beberapa saat menjelang kematiannya, makanan tambahan yang diberikan pun habis termakan, serta tidak menunjukkan gejala klinis menderita suatu penyakit. Yanti memiliki tanda khusus di belakang telinga kiri, yakni microchip dengan kode 00064D768F, bila kita melakukan scan di bagian tersebut akan muncul namanya 'Yanti' di monitor scanner. Itu salah satu cara untuk mengenali satu persatu gajah di Pusat Konservasi Gajah Seblat bila secara fisik susah dibedakan.  

Gajah Patroli
Yanti merupakan salah satu gajah andalan untuk patroli kawasan TWA Seblat dan sekitarnya.  Diawal bulan November 2013 gajah Yanti baru saja pulang dari patroli hutan bersama tim Conservation Response Unit, yang terdiri dari Polisi Kehutanan, mahout dan perwakilan masyarakat yang terpilih.  Gajah Yanti juga telah berjasa dalam penanganan kasus illegal logging di dalam maupun sekitar kawasan TWA Seblat dan baru saja terlibat dalam pengamanan dan penyitaan barang bukti illegal logging.

Ditemukan mati dalam kawasan TWA Seblat
Pada tanggal 7 November 2013 sekitar pukul 13.30 WIB, phone cell saya berdering, mahout yang sedang berada di lokasi tempat penggembalaan gajah Yanti menelepon saya dan mengabarkan bahwa ada seekor gajah ditemukan mati dan menjelaskan bahwa banyak keluar darah dari lubang-lubang alami.  Saya pun tidak mengira bahwa gajah yang mati adalah gajah PKG Seblat yang bernama Yanti, pertama kali mendengar saya mengira gajah liar.  Saya meminta mahout untuk langsung menghubungi Balai KSDA Bengkulu dan melaporkannya serta meminta mahout untuk memeriksa tubuh gajah apakah ada luka bekas tembakan, dan memeriksa lokasi sekitar apakah ada bekas muntahan untuk diamankan sebelum terkena hujan, dan apakah ada tanda-tanda bungkus makanan yang dibuang atau jejak kaki orang menuju ke lokasi tersebut. Yang ditemukan hanya bekas muntahan di mulut, disekitarnya tidak ditemukan tanda-tanda apapun, hanya tampak bekas jejak kaki gajah Yanti saja yang jalan-jalan di sekitar lokasi penggembalaan. 

Saat itu gajah Yanti berada di sebuah pulau kecil yang dikelilingi Sungai Seblat.  Lokasi tersebut memang rawan orang lalu lalang, baik orang yang mencari batu sungai untuk diperjualbelikan, maupun orang-orang yang ingin masuk kawasan HPK secara illegal untuk logging, berburu dan berbagai aktivitas illegal lainnya, yakni kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan TWA Seblat.  Dulunya kawasan tersebut adalah kawasan hutan Pusat Konservasi Gajah Seblat karena memang merupakan hutan sebagai tempat hidup tidak hanya gajah sumatera tetapi juga harimau sumatera dan beberapa satwa liar terancam punah lainnya seperti beruang, tapir, rusa sambar, siamang, owa sumatera dan lain-lain hingga kini, tetapi pada tahun 2011 telah terjadi perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan menjadi hutan yang bisa dikonversi sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor SK : 643/Menhut-II/2011, guna mengakomodasi perubahan tata ruang Provinsi Bengkulu yang diusulkan oleh pemerintah daerah. Hutan seluas 700an hektar tersebut menjadi incaran beberapa perusahaan tambang batubara.

Pemeriksaan Post Mortem Gajah Yanti
Kondisi saya sendiri sedang kurang sehat, sedang sakit kepala dan diare sejak malam itu dan berbagai kendala lainnya yang menyebabkan saya baru bisa sampai lokasi kematian gajah pada tanggal 8 November 2013.  Namun sejak tanggal 7 November 2013 sudah mulai bekerja mempersiapkan administrasi untuk perlengkapan pengiriman specimen ke laboratorium yang berada di Bogor, Jawa Barat, karena prosedur pengiriman specimen dari bagian-bagian tubuh satwa liar dilindungi itu tidak sederhana, banyak prosedur yang musti dilengkapi.  Dengan bantuan staff BKSDA Bengkulu yang berada di kantor balai semua persyaratan itu bisa diurus dengan cepat.  Di waktu yang bersamaan mahout yang berada di camp gajah mempersiapkan peralatan necropsy dan media yang akan digunakan untuk koleksi specimen.  Mereka adalah tim yang saya andalkan, yang sudah berpengalaman beberapa kali mengikuti saya melakukan necropsy satwa liar sehingga bisa mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan untuk necropsy dengan baik sebelum saya datang ke lokasi.  Saya tidak memiliki vet nurse atau vet tech tapi saya memiliki mereka yang bisa bekerja sekaligus sebagai vet nurse untuk membantu dokter hewan tidak hanya dalam pemeriksaan post mortem tetapi juga dalam setiap rescue satwa liar dan pengobatan serta physical restraint.

Sungai Seblat, batas alam antara kawasan hutan Pusat
Konservasi Gajah Seblat (TWA Seblat) dengan
perkebunan sawit masyarakat 

di seberang sungai tampak pulau dimana Gajah Yanti berada
Sebuah mobil dinas yang disediakan untuk mengantar saya ke lokasi pun sudah berangkat lebih dulu ke Seblat, dan saya pun akhirnya naik kendaraan umum (travel) setelah kondisi saya sehat kembali pagi itu. Akhirnya kami bertemu di Air Muring, yakni sebuah desa yang terletak di kecamatan terdekat sebelum memasuki kawasan PKG Seblat, sekitar 17 km dari camp Pusat Konservasi Gajah Seblat, yang biasa ditempuh selama 1 jam dengan kendaraan dengan kondisi jalan yang buruk.   Kami berempat menuju lokasi kejadian, di tengah perjalanan dari kejauhan terlihat langit di bagian hulu sungai tampak gelap dan Sungai Seblat telah banjir, ini pertanda buruk menurutku karena kami akan menyeberangi sungai tersebut. Disana sudah menunggu para mahout yang akan membantu necropsy.  Dengan dua buah mobil kami melewati perkebunan sawit masyarakat sekitar kawasan TWA Seblat dan parkir di pinggir Sungai Seblat.  Hujan rintik-rintik mulai turun, dan kami harus menyeberangi Sungai Seblat dengan berjalan kaki melewati arus sungai yang deras.  Siang itu sampai sore hari kami melakukan bedah bangkai diiringi hujan gerimis.  Pekerjaan ini harus cepat selesai untuk itu kami melakukan pembagian tugas guna menemukan organ-organ dalam yang kami perlukan untuk diperiksa, karena takut sungai akan banjir lebih besar lagi dan kami akan terjebak disana.  Akhirnya mendatangkan gajah jinak lainnya, salah satunya gajah Nelson yang merupakan gajah andalan untuk membantu menyeberangi sungai disaat banjir besar.

Necropsy Gajah Yanti
Dengan menggunakan masker, sarung tangan dan baju necropsy kami mulai melakukan tugas masing-masing untuk koleksi specimen.  Sebelumnya dilakukan pemeriksaan fisik terlebih dahulu dan pengambilan dokumentasi. Tidak ada bagian tubuh dari gajah Yanti yang hilang sebagai salah satu tanda adanya indikasi perburuan, seperti caling (Gajah Asia betina tidak memiliki gading tetapi hanya memiliki caling dengan ukuran lebih kecil), gigi dan kuku, semuanya masih utuh. Kemudian dilanjutkan ada yang membuka tengkorak untuk koleksi sampel otak, rongga dada untuk koleksi sampel di bagian rongga dada seperti darah dari jantung dan lain-lain serta membuka rongga perut untuk koleksi specimen seluruh saluran pencernaan beserta isinya, hati, limpa, ginjal, limphoglandula dan lain-lain.  Specimen tersebut akan dikirim ke laboratorium guna pemeriksaan histopatologi dan toxicologi, juga ada pemeriksaan tambahan lainnya yang diperlukan sesuai kebutuhan.  Ada yang bertugas membuka tengkorak, rongga dada dan rongga perut, sedangkan saya sendiri bertugas memeriksa bagian-bagian dari organ gajah tersebut dan mengambil specimen, dan ada juga yang bertugas untuk dokumentasi serta mengemas specimen.  Sore hari pekerjaan kami telah selesai. Dan tanggal 9 November 2013 dini hari kami baru sampai kembali ke kota Bengkulu untuk pengiriman specimen.

Makroskopis
Tampak adanya kerusakan serius di seluruh saluran pencernaan, pada lambung, usus sampai dengan anus.  Kerusakan serius juga tampak pada hati dan limpa.  Adanya pendarahan hampir diseluruh tubuh terutama saluran pencernaan yang berwarna merah gelap.  Dan terdapat warna abu-abu sampai dengan kehitaman pada isi saluran cerna dan mucosa saluran cerna.  Mucosa saluran cerna juga tampak melepuh seperti luka bakar. Akumulasi gas yang berlebihan pada rongga dada, rongga perut dan di seluruh saluran cerna yang membuat mucosa menegang.  Gejala klinis seperti itu sebelumnya kami jumpai pada beberapa gajah liar yang ditemukan mati karena keracunan.  

Sehingga diduga kematian gajah Yanti disebabkan keracunan yang kemungkinan diberikan melalui makanan. Namun perlu adanya penegakan diagnosa secara laboratoris untuk memastikan apakah dugaan penyebab kematian tersebut benar-benar keracunan atau tidak, juga bisa untuk mengidentifikasi jenis racun yang termakan dan konsentrasinya sehingga bisa menyebabkan kematian atau kemungkinan ada penyebab kematian lainnya. Dalam penyidikan kasus wildlife crime perlu ada bukti-bukti akurat yang menunjukkan bahwa satwa tersebut benar-benar mati karena racun dan bukan penyebab lainnya.  Maka pemeriksaan laboratorium diperlukan.  Dokter hewan hanya bisa mencari tahu penyebab kematian satwa liar dengan pemeriksaan post mortem yang dilakukan tetapi tidak bisa mengetahui siapa pelakunya karena itu tugas penyidik baik dari kepolisian ataupun PPNS.

Kenangan bersama Gajah Yanti
Yanti and Roby
Bagi saya, dia adalah gajah yang istimewa, karena diberi nama seperti nama saya 'Yanti'.  Disaat sedang mendekati gajah liar bernama Simon, saya pernah berusaha menaikinya dan dia berulangkali menjatuhkan saya dari punggungnya sebanyak tiga kali.  Ternyata memiliki nama yang sama tidak menjamin dia akan bersikap baik dengan saya....hehe!  Dan saat saya menginformasikan melalui message dari phone cell saya bahwa Yanti ditemukan mati, yang membuat orang di kantor kaget dan malah mengira saya sendiri yang meninggal :)  

Setiap ekor gajah sumatera yang berada di Pusat Konservasi Gajah Seblat sangat berarti buat kami, bahkan untuk dipindahkan dari sana ke lembaga konservasi eksitu seperti kebun binatang yang bersifat komersiil saja kami menolaknya.  Siapapun itu pelakunya yang pasti sungguh biadab.  Kasus ini membuat kami sangat terpukul dan tak bisa berkata apa-apa, hanya satu hal yang kami inginkan, "usut, tangkap, penjarakan !!!", untuk memberi efek jera pada siapa saja yang menyakiti satwa liar agar hal serupa tidak terulang lagi. Meski itupun tidak mudah karena kami menyadari bahwa bekerja untuk konservasi itu banyak musuhnya.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar