Sabtu, 17 Januari 2015

the Sub-Regional Southern Biodiversity Workshop

Hari Senin, tanggal 12 Januari 2014 saya melakukan perjalanan menuju kota Palembang, Sumatera Selatan, dengan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia di sore hari. Tujuan kali ini adalah akan menghadiri Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan yang diadakan oleh GIZ-Bioclime Biodiversity and Climate Change Project bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan. Sebelumnya saya ragu untuk mengikuti acara ini karena sepertinya tidak ada hubungannya dengan bidang kerja saya dan akan memilih untuk kembali ke Bengkulu. Namun setelah berkomunikasi dengan teman-teman saya yang sama-sama kerja untuk konservasi harimau di Sumatera dan hasil perbincangan kami saat bertemu di acara Indonesian Tiger Conference di Bogor di bulan Desember 2014 akhirnya perjalanan ke Bengkulu ditunda beberapa hari dan berganti arah ke Palembang, Sumatera Selatan, dan saya juga akan presentasi di workshop tersebut bersama kawan-kawan Forum HarimauKita. Menurut saya hadir di acara itu juga akan bermanfaat mengingat Animals Indonesia memiliki project pembangunan Animal Rescue and Rehabilitation Centre di wilayah Sumatera Selatan guna mendukung BKSDA Sumatera Selatan dalam upaya penyelamatan satwa liar korban konflik, perburuan dan perdagangan illegal dan merupakan salah satu upaya konservasi biodiversitas di provinsi tersebut.

Sore itu saya tiba di Kota Palembang, dan langsung memesan taxi bandara untuk mengantarkan saya menuju Hotel Novotel karena acara seminar tersebut diselenggarakan disana. Ada hal aneh yang terjadi sesampainya saya di lobby hotel, petugas hotel tidak menemukan nama saya sebagai peserta seminar, cukup lama saya menunggu untuk mengecek ulang daftar peserta, sambil saya mencoba menghubungi penyelenggara seminar, tetap nama saya tidak ditemukan. Saat saya menyebutkan nama panggilan saya, baru mereka menemukan nama saya di daftar peserta. Ternyata panitia tidak mencantumkan nama lengkap sana disana dan hanya mencantumkan nama panggilan saya saja.....hehe :)

Malam itu saya menghabiskan waktu bersama teman-teman peserta seminar di restoran hotel, banyak teman lama dan ada juga yang baru saya kenal, dan saya kembali bertemu dengan teman-teman anggota Forum HarimauKita disana yang bekerja di beberapa NGO (Non-Goverment Organization) setelah sebulan sebelumnya kami telah bertemu di Bogor. Acara ini seperti ajang reuni saja bagi kami terutama praktisi lapangan dan peneliti harimau sumatera yang sama-sama menjadi anggota Forum HarimauKita dan juga ada teman sesama anggota Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI). Pertanyaan pertama yang diajukan ke saya saat bertemu, "bagaimana khabar gajahnya ?" Saya tahu, pertanyaan itu menyindir tentang apa yang telah terjadi di Bengkulu, karena beberapa gajah di Pusat Konservasi Gajah di Bengkulu telah dipindahkan ke kebun binatang untuk alasan breeding guna peningkatan populasi gajah......hmmmm !! Setahu saya sesuai dengan strakornas (Strategi Konservasi Nasional) tentang peningkatan populasi satwa liar adalah diutamakan yang di-insitu. Dan menurut informasi yang kudapat anggota forum ada yang mendukung translokasi gajah tersebut dan mendesak mahout di PKG Seblat Bengkulu untuk menyetujuinya. 


Esok harinya, Selasa tanggal 13 Januari 2015 seminar dimulai, sesungguhnya bukan ini seminar yang saya ikuti karena hari itu tentang biomass survey, stock carbon dan biodiversity (flora/ tumbuhan) khusus untuk wilayah Sumatera Selatan, dan saya seharusnya mengikuti seminar di hari berikutnya tentang konservasi biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan. Tapi ternyata tidak ada ruginya juga saya mengikuti seminar itu meskipun topiknya tidak berhubungan dengan satwa liar. Di kesempatan ini saya banyak mengenal orang-orang baru di bidang konservasi, ada beberapa yang sudah pernah saya lihat di konferensi di Bogor namun saya belum mengenalnya. Saya memilih duduk berdampingan dengan teman-teman lama di Forum HarimauKita dari Jambi dan Sumatera Selatan serta teman baru saya dari PT. ASI Pudjiastuti Geo Survey, presentasinya sangat mengesankan bagi saya karena tentang teknologi Lidar (Light Detection and Ranging) untuk kepentingan konservasi di bidang kehutanan. Ini adalah sesuatu yang baru bagi saya, yakni penginderaan jarak jauh dengan Airbone laser untuk keperluan digital photogrametric mapping spatial planning. Dalam areal yang diphoto dengan menggunakan pesawat dapat diketahui jenis pohon dari tingkat rendah sampai tinggi, juga dapat mengukur ketinggian pohon, selain itu juga bisa mengetahui lapisan tanah. Hal ini tentu menarik, bila jenis pohon bisa diketahui per jenis, berarti obyek yang ada diatas permukaan tanah juga bisa diketahui, itu pertanyaan yang saja ajukan saat diskusi setelah presentasi. Logika saya mengatakan bila pohon rendah yang ada dipermukaan tanah bisa diidentifikasi, tentu mammalia besar juga bisa diidentifikasi, selanjutnya bisa dikombinasikan dengan ground check untuk membantu upaya penyelamatan kawasan habitat satwa liar dari alih fungsi dan eksploitasi yang tidak pro-konservasi biodiversity. Namun sayangnya mereka belum ada pengalaman untuk mengidentifikasi biodiversity terutama spesies satwa liar yang ada di dalam kawasan hutan yang dipotretnya dengan sinar laser dari sebuah pesawat, masih terbatas tumbuhan saja, itu jawaban yang diberikan oleh narasumber baik yang dari Indonesia maupun Jerman. Namun diluar acara diskusi saya diyakinkan bahwa suatu saat itu pasti bisa dilakukan karena teknologi terus berkembang. "Ya, jawaban yang masuk akal, pikirku". Seminar hari itu banyak membahas tentang project Biodiversity dan Climate Change (Bioclime) di Indonesia, namun perhatian saya tertuju pada teknologi Lidar yang dipresentasikan juga daerah-daerah yang menjadi fokus Bioclime project.

Malam harinya saya nongkrong dengan teman-teman anggota Forum HarimauKita, kebetulan banyak yang menghadiri seminar ini, yakni sekitar 9 orang atau mungkin lebih. Selain makan malam bersama kami juga berdiskusi tentang konservasi tentunya. Entah sampai jam berapa kami ngobrol malam itu, akhirnya saya dengan teman sekamar yang merupakan sahabat saya kembali ke kamar untuk mempersiapkan bahan presentasi kami karena kami berdua diundang untuk datang di seminar itu juga untuk presentasi.

Rabu, tanggal 14 Januari 2015, Seminar kedua diadakan di Ballroom Novotel Palembang, yakni Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera bagian Selatan. Dihadiri oleh perwakilan masyarakat lokal dan mitra/ LSM yang terlibat dalam aktivitas keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam, perwakilan pemerintah pusat dan daerah, pengambil keputusan program dan kebijakan, peneliti dan akademisi, pihak swasta dan lembaga donor dan lain-lain. Inilah seminar yang seharusnya saya ikuti karena sesuai dengan bidang profesi saya saat ini. Saya bertemu banyak kolega dan pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di acara ini selain bertemu dengan teman-teman lama saya di LSM yang bergerak dibidang konservasi satwa liar.  Hari pertama seminar kami banyak mendengarkan presentasi dari keynote speaker, yakni dari akademisi, LIPI, private sector, juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan Kementerian Kehutanan dan Konservasi Tanah Nepal.

Kesimpulan dari presentasi masing-masing narasumber hasilnya dipampang di dinding ruang seminar berupa karikatur (kartun), cukup unik menurutku, dan menarik orang untuk membacanya juga mendokumentasikannya. Baru kali ini saya menjumpai kesimpulan presentasi seminar dituangkan dalam bentuk cerita kartun, ternyata hal ini sudah dilakukan juga di negara lain.

Di ruang seminar saya lebih memilih duduk semeja dengan teman-teman NGO, meski banyak juga yang saya kenal di dalam ruangan tersebut, tidak hanya dari NGO. Seminar ini dihadiri kurang lebih 150 undangan.

Malam itu diadakan acara Gala Dinner diiringi dengan life music. Namun sepertinya saya dan teman-teman kurang tertarik, kami lebih tertarik nongkrong dengan teman-teman satu komunitas dan memilih duduk diluar ruangan bersama teman-teman Forum HarimauKita untuk berdiskusi sambil makan malam. Malam itu seperti meeting HarimauKita yang kedua di Palembang setelah pertemuan anggota di Bogor sebulan yang lalu. Topik pembicaraan kami tak jauh-kauh dari konservasi, harimau sumatera dan habitatnya. Kesempatan langka untuk bisa berkumpul seperti ini, karena kami memiliki wilayah kerja yang berbeda-beda. Malam harinya sebelum tidur saya masih memperbaiki presentasi untuk persiapan esok harinya.

Kamis, tanggal 15 Januari 2015, merupakan hari terakhir seminar. Kebetulan saya mendapat jadwal untuk memberikan presentasi hari itu bersamaan dengan narasumber dari Forum HarimauKita dan Zoological Society of London (ZSL), karena materi presentasi kami saling berkaitan, yakni tentang konservasi biodiversitas terutama status konservasi, upaya dan ancamannya yang masih berkaitan dengan harimau sumatera.

Sore itu seminar berakhir, tapi kami pun belum beranjak pergi dari sekitar ruangan seminar, masih menyempatkan diri ngobrol dengan teman-teman forum. Malam itu kami berencana akan makan malam bersama diluar. Saya masih punya kesempatan dua jam untuk pergi dengan berjalan kaki ke mall terdekat dari Hotel Novotel karena ada yang ingin kami beli disana.

Kami masih menginap satu malam di hotel tersebut sebelum pulang. Saya berencana pulang hari Sabtu karena tiket pesawat saya dari Palembang ke Jakarta pada hari Sabtu tanggal 17 Januari 2015, sehingga saya mempunyai waktu luang sehari di kota Palembang untuk berjalan-jalan.

Esok harinya, Jumat tanggal 16 Januari 2015 kami pergi ke kantor ZSL bersama teman-teman ZSL, teman-teman dari Jambi akan pulang malam itu dari kantor ZSL di Palembang. Hari itu kami sempat ikut mereka ke kantor Taman Nasional Sembilang. Setelah itu saya memilih memanfaatkan waktu luang di hari itu untuk menerima undangan makan malam bersama teman sebelum kembali pulang.

Kamis, 01 Januari 2015

Wisata Sejarah ke Sendangsono


Tahukah anda apakah Sendangsono itu ?

Kapel Para Rasul
Saya juga baru mendengar nama tempat ini diawal tahun 2015 dari teman yang beragama Katolik. Lokasinya di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Tempat ini mempunyai nilai sejarah tinggi terutama dalam hal penyebaran agama Katolik di Pulau Jawa. Pada tahun 1894 belum ada orang Jawa Tengah satu pun yang beragama Katolik. Sejarah ini juga mengungkap peran dari Pastur Fr. Van Lith, rohaniwan Belanda yang datang pada tahun 1896 dan ditunjuk sebagai pembantu Pastur W. Helings SJ. untuk misi penyebaran agama Katolik di Jawa. Disana terdapat Goa Maria Sendangsono yang dikelola oleh Paroki St. Maria Lourdes di Promasan. Selain sebagai lokasi kegiatan rohani bagi pemeluk agama Katolik juga merupakan tempat berziarah serta pengambilan air dari sendang (mata air) yang muncul diantara dua pohon Sono. Air tersebut juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Tidak hanya untuk para penganut Katolik, tempat itu juga dibuka untuk umum sebagai lokasi wisata sejarah bagi orang yang beragama lain, karena yang berkunjung ke tempat ini tidak hanya orang Katolik saja, tapi juga penganut agama lainnya seperti Muslim dan Budha. Para rohaniawan Budha juga memanfaatkan tempat tersebut untuk bertapa dalam rangka mensucikan diri dan menyepikan diri, karena lokasinya yang sejuk dan nyaman.

Pohon Sono

Saya tertarik tempat tersebut karena saya menyukai sejarah, terutama sejarah tentang bangsa Indonesia. Belajar sejarah dengan mengunjungi langsung lokasi-lokasi yang bersejarah tentu sangat menarik daripada hanya membaca cerita dari buku dan akan membuat kita mengetahui apa yang terjadi di masa lampau. Dua orang teman saya beragama Katolik, mereka kesana untuk beribadah, sedangkan saya hanya ingin berwisata, memotret tempat yang indah dan melihat-lihat peninggalan bersejarah.  


Sejarah penyebaran agama Katolik di Indonesia

Relief tentang penduduk desa berpakaian Jawa sedang dibaptis
Tahun 1519 dianggap sebagai permulaan missi penyebaran Katolik di Indonesia. Tempat pertama yang dikunjungi adalah Pulau Sumatera, yakni kota-kota sepanjang pantai Sumatera Utara, namun setelah daerah itu di bawah pemerintahan Aceh usaha penyebaran agama Katolik tersebut lenyap. Pada tahun 1530, Pastur Portugis bernama Simon Vaz mendatangi Ternate di Kepulauan Maluku bersama para pedagang. Orang-orang pertama yang menganut agama Katolik di Indonesia adalah Raja (Kapala) beserta anak negerinya di Ternate. Adanya pemberontakan hebat melawan orang-orang Portugis maka misi penyebaran agama Katolik di Ternate pun terhenti, karena mereka diusir dari daerah tersebut. Pada tahun 1546-1547 penyebaran agama Katolik di Maluku dimulai kembali dengan datangnya Sato Fransiskus Xaverius, tidak hanya mengunjungi Ternate tetapi juga Ambon dan Saparua. Sampai tahun 1570 agama Katolik berkembang dengan subur disana dengan pengikut mencapai 25.000 orang.

Di Jawa Timur agama Katolik mulai berkembang tahun 1580-1600, dengan adanya bukti sejarah berupa beberapa patung abdi yang berasal dari jaman Majapahit. Di Pulau Sumatera misi penyebaran agama Katolik dimulai lagi pada tahun 1638, pemerintah Portugis mengirimkan utusan dagang ke Aceh diikuti oleh Pastur Karmelit Di Jonisius dan Bruder Redemptus. Pada awalnya diterima dengan baik tapi karena beragama lain akhirnya mereka disergap dan ditawan oleh Sultan Aceh. Tahun 1544 misi penyebaran agama Katolik di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, sedangkan Manado, Sulawesi Utara baru didatangi para Misionaris lesuit pada tahun 1563. Penyebaran agama Katolik di Pulau Kalimantan dimulai di hulu Sungai Barito, sejak misionaris tersebut meninggal pada tahun 1693 missi tersebut tidak ada yang melanjutkan.

Sedangkan di Pulau Timor dan Flores, missi penyebaran agama Katolik sukses dilakukan oleh Pastur-Pastur dari Ordo Dominikan walaupun ditentang oleh penduduk yang beragama lain. Gereja Katolik pun berdiri di Larantuka dan Maumere/ Shika. Missi penyebaran agama Katolik di Papua dimulai tahun 1850. Selama 200 tahun VOC tidak mengijinkan misionaris masuk ke Indonesia, hal ini menjadikan terhentinya missi Katolik di Indonesia, selain karena jumlah misionaris yang terbatas juga rintangan dari penduduk. Baru pada masa pemerintahan Daendels tahun 1808-1811, mereka diperbolehkan masuk kembali ke Indonesia.

Pada tahun 1914 penyebaran agama Katolik mulai berkembang di Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Sedangkan tahun 1897 misionaris mulai pergi ke Muntilan dan Mendut, sejak itu dimulailah penyebaran agama Katolik di desa - desa sekitar Muntilan, Jawa Tengah. Sedangkan tempat ibadah dan ziarah umat Katolik di Sendangsono tersebut dibangun bertahap pada tahun 1974, arsitekturnya karya budayawan dan rohaniawan YB Mangunwijaya, bangunannya bernuansa Jawa dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan hasil alam. Pada tahun 1991 komplek bangunan di Sendangsono telah mendapatkan penghargaan arsitektur terbaik dari Ikatan Arsitek Indonesia untuk kategori kelompok bangunan khusus.


Yogyakarta, 1 Januari 2015



Kebetulan saya sangat menyukai bangunan dengan arsitektur yang unik, bagiku arsitektur itu adalah sebuah karya seni, dan kebetulan dulunya cita-cita saya memang ingin menjadi Arsitek untuk bisa menciptakan karya seni yang indah dalam bentuk bangunan, sebelum akhirnya saya menjadi seorang dokter hewan untuk konservasi satwa liar di habitat. Pergi berwisata ke Sendangsono tentu menarik buatku, selain untuk mengenal salah satu tempat bersejarah di Indonesia, juga bisa menikmati keindahan karya seni arsitektur yang tentunya menarik perhatianku.