Bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Wanala Unair
Selama masih menjadi mahasiswa di Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Surabaya, saya sudah aktif dalam organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam Wanala Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Di dalam organisasi tersebut selain kegiatan petualangan di alam bebas juga ada divisi khusus yang kegiatannya berhubungan dengan konservasi satwa liar. Untuk pertama kalinya saya mengenal dunia konservasi satwa liar, di Wanala ini. Kegiatan awal yang saya ikuti adalah Kelompok Studi Penyu (KSP), yang berkegiatan di habitat penyu di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur kegiatan ini diadakan dua kali dalam setahun. Dari sana kami belajar tentang penyu, disaat musim bertelur. Kami belajar tentang bagaimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk konservasi penyu. Karena semua jenis penyu dilindungi Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Semacam kerja volunteer disana. Waktu Wanala Unair tidak hanya membuka kesempatan bagi anggotanya tetapi juga memberi kesempatan bagi orang lain diluar anggota organisasi dan yang berminat kegiatan konservasi untuk ikut bergabung. Sehingga dalam kegiatan KSP ini tidak saya saja yang mengikutinya tetapi juga saudara-saudara saya, yakni kakak dan adik saya meski mereka bukan anggota Wanala dan bukan berasal dari Universitas Airlangga.
Tahu nggak apa yang kami lakukan selama berada di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo tersebut ?
Masih ingat betul, kegiatan kami waktu itu adalah melakukan morfometri setiap penyu yang mendarat untuk bertelur, selain mengukur penyu juga mengukur telur penyu dengan jangka sorong, kemudian memindahkan telur penyu ke lokasi penetasan yang aman yang tidak jauh dari pantai, juga melakukan pengukuran suhu dan kelembaban tempat penetasan setiap pagi dan sore hari. Malam harinya sekitar jam 9 malam sampai menjelang shubuh, kami bersama petugas melakukan lalar, yakni patroli sepanjang pantai untuk mengetahui adakah penyu yang mendarat untuk bertelur ? Disaat patroli itu tak jarang kami menjumpai macan kumbang dan macan tutul secara langsung ataupun berupa jejaknya yang baru lewat di sekitar pantai. Penyu favorit kami adalah penyu belimbing, karena selain langka juga ukurannya paling besar diantara jenis penyu lainnya. Selama mengikuti KSP mungkin saya yang lebih beruntung karena selalu bertemu dengan penyu belimbing, selain bertemu penyu hijau yang paling banyak mendarat untuk bertelur. Pekerjaan kami lainnya dalam membantu petugas adalah membersihkan kolam untuk menampung sementara tukik-tukik yang baru ditetaskan, menganti air kolam dengan air laut yang baru. Puncak dari pekerjaan kami membantu konservasi penyu adalah melepasliarkan kembali tukik tersebut ke laut. Ini adalah hal yang paling membahagiakan di setiap kegiatan KSP, senang melihat mereka kembali ke laut.
Saya pernah punya pengalaman yang kurang menyenangkan, saat itu di Taman Nasional Meru Betiri. Kebetulan jarak camp tempat menginap dengan pantai berjauhan yakni sekitar 700 meteran melewati terowongan hutan pantai, saya menyebutnya terowongan karena di kiri dan kanan jalan tanah menuju pantai tersebut berupa hutan pantai yang lebat sehingga mirip dengan terowongan. Teman-teman saya sudah siap di pantai untuk release tukik-tukik ke laut, dengan bahagianya mereka pergi menuju pantai. Disaat yang bersamaan saya harus bekerja di camp karena hari itu saya mendapat jadwal untuk memasak buat kami semua sehingga tidak punya kesempatan untuk ikut release tukik. Sedih rasanya. Tapi bagaimanapun juga saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya untuk ikut mereka, karena tugas setiap orang sudah ditentukan jadwalnya. Teman saya satu diklat di Wanala, Nova berusaha untuk membuatku tidak kecewa, jadwalnya ikut melepas tukik namun dia ingin menemani dan membantu saya memasak agar cepat selesai sehingga saya bisa ikut bergabung dengan teman-teman lainnya merelease tukik di pantai. Dari dahulu dia memang seorang teman yang penuh pengertian.
Pengalaman mengerikan lainnya saat lalar di pantai, kami sibuk mencari teman yang tak kelihatan sejak mulai lalar, takut terjadi apa-apa dengannya. Saya juga heran kenapa waktu itu berani sekali berjalan sendirian di tengah malam sambil memanggil nama teman yang dicari, berjalan sepanjang pantai. Bertemu jejak macan yang baru melintas dari pantai menuju hutan pantai, mencium bau wangi pepohonan dari hutan pantai, dan saya baru berhenti setelah sadar bahwa saya sudah berjalan kaki terlalu jauh sampai batas muara. Terdengar gemuruh suara air laut di muara, pikiran saya terlintas tentang buaya muara, juga macan yang melintas dan tak terlihat teman yang saya cari, membuatku segera berjalan berbalik arah dengan terburu-buru. Ada perasaan ngeri berjalan sendirian di tempat seperti itu. Ternyata saya telah melewati teman yang saya cari yang duduk di sebuah matras sambil menunggu penyu mendarat, namun kenapa saya tidak melihatnya sama sekali saat melewatinya dan kenapa dia tidak mendengar saat saya panggil-panggil namanya. Membuat saya heran dan membuat bulu kuduk berdiri.
Sedangkan pengalaman yang mengesakan saat kami bertiga mendapat tugas untuk mengukur suhu tempat penetasan telur penyu. Saat itu sore hari di bulan puasa Ramadhan. Setelah pekerjaan selesai dilakukan, kami menghabiskan sisa waktu duduk santai di pasir pantai sambil memandang laut, batu karang dan matahari terbenam, sambil masing-masing dibuai hayalan. "Indah sekali kalau aku punya rumah diatas batu karang itu, disekitarnya pantai yang indah dan bisa menikmati keindahan matahari terbenam setiap sore hari seperti ini," kataku. Teman-temanku pun tidak mau kalah, mereka juga punya hayalan masing-masing. Disana tidak bisa mendengar suara adzan karena memang tidak ada masjid, salah satu cara untuk mengetahui waktu berbuka adalah melihat jam atau melihat matahari terbenam di pantai. Saat matahari sudah tenggelam kami segera kembali ke camp untuk berbuka puasa bersama teman-teman lainnya.
Kegiatan kami selama KSP tidak hanya bekerja relawan untuk konservasi penyu tetapi juga belajar hal-hal lain, seperti analisa vegetasi, identifikasi dan iventarisasi satwa liar di sekitarnya, tidak hanya burung, tetapi juga primata, banteng dan lainnya. Mengikuti dan aktif di organisasi sesuai bidang yang kita sukai selama kuliah itu memang sangat bermanfaat, tidak hanya belajar berorganisasi, belajar management perjalanan, tetapi juga memperluas networking agar pergaulan kita tidak hanya sebatas teman sekampus, seangkatan tetapi juga bisa punya jaringan dengan teman-teman dari fakultas lain bahkan dari luar universitas, sehingga kita bisa belajar hal-hal yang tidak kita dapatkan selama perkuliahan, yakni belajar tentang dunia nyata yang suatu saat kita akan terjun didalamnya. Karena dunia konservasi satwa liar sudah menjadi kegemaranku sejak itu maka akupun harus memperluas networking dengan orang-orang yang berkegiatan di dunia konservasi ini.
Jawa Timur terkenal sebagai daerah lahirnya para aktivis konservasi satwa liar di Indonesia. Banyak teman-teman para pendiri organisasi/ Lembaga Swadaya Masyarakat terdepan dalam penyelamtaan satwa liar di Indonesia berawal dan besar di Jawa Timur. Untuk memperluas jaringan dan menabung pengalaman, saya tidak hanya aktif di organisasi mahasiswa tetapi juga mengikuti organisasi di luar kampus dalam bidang yang sama, yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) nasional yang berkegiatan untuk konservasi satwa liar terancam punah di Indonesia. Saya bergabung dengan LSM Konservasi Satwa Liar Bagi Kehidupan (KSBK) yang akhirnya berubah nama menjadi ProFauna Indonesia, yang berkantor pusat di Kota Malang, Jawa Timur, yakni 2 jam dari Kota Surabaya. Meskipun berbeda kota tapi itu bukan masalah, karena masih bisa beraktifitas dengan menyesuaikan jadwal kuliah dan jadwal kegiatan di Pecinta Alam Wanala Unair. Bahkan saya tidak sendirian, bahkan sodara-sodara saya ikut aktif dalam organisasi ini, termasuk kakak dan adik saya. Selain menjadi teman di rumah, mereka juga teman berkegiatan di organisasi karena kami memiliki ketertarikan yang sama untuk terlibat dalam kegiatan konservasi satwa liar di Indonesia. Kami aktif melakukan education dan awareness di sekolah-sekolah dan kampus untuk sosialisasi tentang permasalahan dan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu penyelamatan satwa liar, melakukan kampanye damai di berbagai kota untuk memperjuangkan nasib satwa, ikut membantu proses penyitaan satwa liar dari kepemilikan illegal bersama petugas, melakukan investigasi dan inventarisasi satwa liar dilindungi yang diperjualbelikan di black market dan dimiliki masyarakat secara illegal, kegiatannya seperti seorang detektif/ intelejen yang tentu beresiko, namanya juga menginvetarisasi kegiatan illegal yang ada hubungannya dengan kejahatan terhadap satwa liar. Tapi kami bersemangat melakukan itu semua. Selain itu mengikuti kegiatan wild trip untuk bird watching, juga pengamatan satwa liar lainnya untuk menambah pengetahuan tentang identifikasi satwa liar. Saya pada dasarnya sangat suka berorganisasi, dan suka mengikuti organisasi yang punya kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan selain kegiatan petualangan di alam bebas. Semua itu tidak akan saya dapatkan dari kuliah di Kedokteran Hewan, karena mereka lebih tertarik membahas tentang hewan ternak dan hewan kesayangan, sedangkan minat saya di satwa liar. Untuk itu perlu mencari pengetahuan dan pengalaman sendiri diluar kampus untuk bekal nanti setelah lulus kuliah.
Banyak kenangan pahit dan kenangan yang menyenagkan selama aktif bergabung dalam organisasi ini. Namun tinggal kita sendiri pintar memilah-milah, yang baik kita jadikan referensi dan yang kurang baik dijadikan pengalaman saja, agar kedepannya hidup kita jauh lebih baik.
Selain itu saya juga memanfaatkan hari libur untuk menjadi volunteer (kerja relawan) guna mencari pengalaman di lembaga konservasi eksitu seperti Pusat Penyelamatan Satwa (Wild Animal Rescue Centre). Karena untuk praktek di satwa liar sagat minim, yang ada di kampus adalah praktek untuk hewan kesayangan di rumah sakit hewan milik fakultas.
Pengalaman kerja pertama kali di Pusat Penyelamatan Satwa Petungsewu, Malang
Setelah lulus kuliah dan menjadi dokter hewan, saya langsung mendapat tawaran untuk menjadi dokter hewan di Pusat Penyelamatan Satwa Petungsewu, Malang, Jawa Timur yang saat itu dikhususkan untuk merawat primata hasil penyitaan dan penyelamatan, namun karena tidak hanya primata yang didapat dari hasil penyitaan kepemilikan dan perdagangan illegal namun hampir semua jenis satwa liar dilindungi di Indonesia maka yang kami rawat pun beraneka macam. Itulah manfaatnya kita mempnyai networking yang luas, tidak perlu susah payah mencari pekerjaan dan membuat surat lamaran pekerjaan. Selama ini saya tidak pernah membuat surat lamaran pekerjaan ke instansi apapun, baik LSM maupun goverment. Semua berdasarkan tawaran, mereka melihat latar belakang kita. Tidak hanya networking, tapi menabung pengetahuan dan pengalaman diluar kampus sesuai dengan bidang yang kita inginkan juga sangat penting, dengan kemudian dilengkapi idealisme dan kesungguhan, setelah itu kita serahkan pada orang lain biar yang menilai layak tidaknya kita bekerja dengan mereka.
Kalau bisa dibilang, saya sangat beruntung setelah lulus kuliah langsung mendapat kesempatan bekerja di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) tanpa ada supervisi dari siapapun. Saya dipaksa untuk belajar sendiri untuk menangani kasus-kasus yang ada dan harus mandiri. Benar-benar sebuah tantangan, dan tentu tidak mudah bagi seorang dokter hewan baru. Saya seperti kuliah lagi waktu itu dengan buku dan referensi sebagai dosennya. Saya selalu mempelajari kasus-kasus penyakit yang saya temui saat itu, bahkan rajin membeli buku yang berkaitan dengan itu. Saya harus belajar sendiri penyakit burung nuri, kakatua, cendrawasih, jalak, rangkong, elang juga kasuari dan masih banyak jenis burung langka lainnya. Tidak hanya itu, saya juga musti bisa menangani kasus-kasus penyakit pada buaya, kucing-kucingan, mammalia besar (rusa, beruang madu dan banteng), ular dan lain-lain. Belum lagi primata, mulai dari orangutan sumatera dan kalimantan, semua jenis owa sumatera, kalimatan dan jawa, juga siamang, simpai dan lutung. Menurutku Pusat Penyelamatan Satwa sangat ideal untuk mencari pengalaman bagi dokter hewan baru yang tertarik bekerja untuk konservasi satwa liar, karena satwanya beraneka macam sehingga akan mendapat pengalaman jauh lebih banyak dan variasi. Keuntungan lainnya, bekerja di Pusat Penyelamatan Satwa tak jauh beda dengan bekerja di Pusat Rehabilitasi Satwa karena lebih menantang, merawat satwa yang sudah berinteraksi dengan manusia atau dirawat orang kemudian penanganannya disesuaikan dengan kebutuhan untuk keperluan diliarkan kembali, dan ini sangat berbeda dengan perawatan satwa koleksi di lembaga konservasi eksitu seperti kebun binatang tentunya, dimana interaksi antara manusia dengan satwa tidak dibatasi karena tidak untuk dilepasliarkan kembali.
Di PPS saya juga mendapatkan ilmu baru tentang identifikasi species satwa liar yang dilindungi, karena pada kenyataannya tidak setiap petugas BKSDA mengetahui apakah satwa tersebut masuk golongan dilindungi atau tidak, juga tidak tahu nama latin speciesnya. Selama bekerja di PPS membuatku menghafal nama latin setiap species yang dirawat yang jumlahnya ratusan, karena sebagai koordinator medis dalam setiap pembuatan laporan medis perbulan saya juga harus menyertakan nama latin masing-masing satwa. Dan uniknya lagi, hampir setiap satwa yang baru datang dan belum ada namanya, sayalah yang memberi nama, karena jumlahnya sangat banyak sehingga saya menggunakan nama teman-teman saya untuk nama satwa tersebut agar mudah diingat. Saya sendiri juga seperti kamus berjalan, kadang sebagai tempat bertanya tentang nama satwa dan nomor kandangnya, karena setiap pagi dan sore saya selalu berkeliling kandang untuk memeriksa pasien satu persatu sebelum memulai kerja dan mengakhiri kerja di klinik membuat saya lama-kelaman hafal diluar kepala tentang jenis satwa berikut namanya masing-masing serta berada di kandang nomor berapa. Bahkan hafal anggota keluarganya dan pasangannya juga kebiasaan perilaku masing-masing satwa.......hehehe !
Banyak suka duka yang dialami selama bekerja disini. Sukanya tentu semua yang berhubungan dengan satwa liar, banyak pengalaman unik dengan orangutan disana, seperti orangutan Simon, masih anakan dan sukanya mengajakku bermain guling-guling, dia suka memaksaku untuk megikutinya berguling-guling di lantai kandang dengan cara menarik kepala dan rambutku untuk mengikutinya....hehehe! Dia juga pernah lepas dari kandang masuk kandang buaya, yang membuatku berteriak histeris memanggilnya untuk kembali naik pagar kandang. Dia mengikutiku namun menolak untuk dimasukkan kandang kembali, akhirnya kubawa ke ruang klinik untuk sementara sambil menunggu animal keeper. Saat kutinggalkan sebentar ke ruang obat, dia sudah mempermainkan keyboard komputer di ruanganku sambil duduk dikursiku dengan perilaku menirukan orang mengetik. Dia juga pernah membuka pintu kandang sendiri dengan cara mencopet kunci kandang dari saku belakang cattlepack animal keeper, kemudian memanjat pucuk pohon tinggi, setelah dirayu seharian dengan makanan baru mau turun dan berjalan mengikuti animal keeper, namun membuat ulah lagi dengan menghadang tukang masak dan merampas sayuran hasil belanjanya dan menghambur-hamburkan semen untuk membangun kandang baru. Selain Simon, masih ada lagi Unyil dan Bagong yang tidak kalah usilnya. Namun dari semua orangutan tersebut, si Tole yang cukup banyak menyita perhatian, menguras emosi, tenaga dan pikiran. Termasuk orangutan yang pendiam dan tidak banyak tingkah. Orangutan ini yang membuat namaku terkenal juga sekaligus tercemar di media massa. Banyak kisah memilukan tentangnya. Selain itu kami masih punya satwa yang unik seperti Ucang, owa jawa yang menggemaskan, dan trio siamang Rino, Kimo, Kenji yang sangat lucu. Uut, si owa sumatera yang paling membenciku karena pernah membius dan menjahit telinganya. Dan kami punya juga owa yang paling galak, akhirnya diberi nama Zombie. Dan yang berkesan lagi dalam hidupku adalah keluarga lutung, si kecil Dony yang kurawat sejak bayi, mulai dari masih menyusu di botol sampai makan solid food dan punya keluarga baru, tiap hari mengajarinya memanjat pohon dan selalu menangis bila aku tinggalkan. Keluarga besarnya yakni Rojali, Vilaiwan, Aura, Pretty, Hughes juga tidak mungkin kulupakan.
Selama setahun lebih bekerja untuk penyelamatan satwa liar di PPS Petungsewu, Malang, Jawa Timur telah banyak pelajaran yang saya dapatkan, tidak hanya tentang penyakit tetapi juga tentang team work building. Bekerja di PPS tidak hanya punya tim dengan teman sesama bekerja di PPS atau BKSDA saja tapi juga memperluas jaringan kita dengan orang-orang penegak hukum karena seringkali kita akan bekerja satu tim dengan kepolisian. Networking tentu semkin luas. Di tempat ini juga untuk pertama kalinya saya jatuh cinta pada orangutan dan sampai sekarang satwa yang satu ini menjadi satwa yang paling saya sukai. Dan sejak itu saya punya impian untuk bisa bekerja menjadi dokter hewan di Pusat Rehabilitasi Orangutan di Indonesia.
Hijrah ke Sumatera
Saat berlibur ke Sumatera untuk melihat gajah dan siamang di habitat alaminya, saya mendapat tawaran untuk bekerja di BKSDA Bengkulu sebagai dokter hewan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, Bengkulu. Mereka sangat membutuhkan tenaga dokter hewan dan selama ini sulit mendapatkan orang yang bersedia bekerja di hutan dengan medan yang sulit, harus mendayung perahu menyeberagi sungai besar untuk mencapai camp gajah. Memutuskan bekerja di lembaga pemerintah membuat saya banyak dibully orang, banyak omingan yang negatuf ditujukan pada saya sejak menjadi pegawai pemerintah, Namun bagi saya, bekerja untuk konservasi satwa liar itu bisa dengan banyak cara, dan bisa dimana saja, sesuai dengan latar belakang kita masing-masing, yang penting masih punya idealisme untuk konservasi satwa liar dan konsisten. Jadi omongan negatif dari orang lain pun tidak saya pedulikan.
Ilmu dan pengalaman yang didapatkan diluar bangku kuliah akhirnya sangat bermanfaat setelah terjun ke dunia kerja. Bersyukur sekali saya bergabung dengan organisasi mahasiswa Pecinta Alam Wanala Unair dan LSM yang bergerak dibidang konservasi satwa liar, karena pada akhirnya pengalaman itu yang berguna untuk mendukung pekerjaan.
Sebenarnya saya lebih tertarik untuk bekerja di konservasi orangutan dibandingkan untuk satwa liar lainnya. Tapi tidak ada salahnya untuk dicoba, tentu yang ini lebih menantang. Tidak hanya itu saja, sebenarnya lebih banyak ada dorongan dari hati kecil untuk membantu memperbaiki kondisi gajah dan manajemen perawatannya. Saat itu yang kulihat adalah kondisi obat-obatan yang terbatas juga tidak ada pelayanan kesehatan rutin, padahal dana pengadaan obat dan peralatan medis selalu ada setiap tahunnya. Kondisi gajah-gajah yang buruk menurutku karena cara memperlakukannya jauh dari standar animal welfare. Bisa dibayangkan, saya sebelumnya bekerja di Pusat Penyelamatan Satwa dimana cara perlakuan dan kebutuhan satwa sangat diperhatikan dan diutamakan. Semuanya sempurna, fasilitas juga sangat mendukung, dana medis tidak terbatas, jadi tidak ada kendala apapun dalam pengobatan satwa. Sangat berbeda kondisinya dengan yang di PLG Seblat, semua yang dibutuhkan untuk fasilitas penanganan medis serba tidak ada. Pada awalnya saya masuk kesana dan mulai bekerja orang lebih mempercayai cara pengobatan yang masih primitif dibanding pengobatan medis modern. Menghadapi manusianya dan merubah pola pikirnya merupakan tantangan tersendiri. Belum lagi mengahadapi administrasi dan birokrasi yang ruwet, dana medis yang menurut saya sudah mencukupi harus dipotong ini itu sampai akhirnya menjadi sedikit dan tidak mencukupi dan akupun dipaksa untuk bisa menerima kondisi dan budaya seperti ini setiap tahun, lama-lama menjadi terbiasa dengan keadaan. Tantangan di lokasi berupa medan yang berat tidak menjadi masalah bagiku karena sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu bahkan yang lebih berat dari itu saat masih aktif mengikuti kegiatan di organisasi Pecinta Alama Wanala Unair. Jadi kalau musti bekerja di daerah yang seperti itu tidak ada kendala, saya pun menyukai petualangan di alam bebas. Tantangan paling berat adalah menghadapi administrasi birokrasi serta kebijakan yang kadang tidak bisa diterima oleh logika terutama bila merugikan upaya konservasi satwa liar dan habitatnya.
Membuatku sempat berpikir, dahulu waktu bekerja di PPS ada lutung yang mati pasca penyitaan kami sudah kena marah oleh pihak otoritas dalam hal ini Kementerian Kehutanan. Padahal penyitaan dari pasar burung dan kondisi lutung masih bayi tentu sangat rentan mengingat di pasar burung/ pasar gelap lutung tidak pernah dirawat, apalagi kondisinya masih bayi. Tapi mereka tidak pernah mau mengerti, yang mereka tahu bahwa semua satwa harus selamat tanpa peduli kondisinya sebelum disita dan seberapa parah kondisinya saat masuk ke PPS. Dan saat saya mulai bekerja dengan gajah di Sumatera, membuat saya menjadi prihatin, dulu pihak otoritas memarahi saya seperti itu saat ada satwa PPS yang mati pasca penyitaan, namun kenyataannya mereka sendiri dalam merawat satwa tidak mengindahkan animal welfare. Mereka hanya bisa marah dengan mitra namun tidak mau instropeksi diri, itulah yang ada dipikiranku saat melampiaskan kekecewaanku melihat kondisi gajah waktu itu. Bekerja di dua lembaga seperti yang pernah saya alami membuat saya mengetahui siapa yang sebenarnya serius dan fokus bekerja untuk penyelamatan satwa liar.
Bekerja di lembaga pemerintah merupakan tantangan terberat bagi saya, karena melelahkan dan banyak menyita waktu untuk menghadapi permasalahan dengan manusianya dibandingkan dengan satwa liarnya. Bagaimanapun setiap masalah yang menghadang musti berani untuk menghadapinya, dan tidak malah lari menghindari masalah. Kalau saya memilih jalan itu pasti sejak awal saya sudah pindah pekerjaan dan tidak akan bisa bertahan.
Sebelumnya saya tidak punya bekal sedikitpun tentang perawatan gajah karena memang saya tidak punya pengalaman itu. Almarhum teman saya seorang wartawan Tempo senior mencarikan saya banyak literatur tentang gajah, agar saya pelajari sebelum berangkat ke Bengkulu. Tidak hanya itu, beliau juga berjasa dalam mengajari saya menulis, dengan cara mengedit tulisan-tulisan saya dan memperbaikinya, hingga akhirnya sekarang menulis adalah hal yang menyenangkan buat saya, selain sebagai pelampiasan disaat penat juga untuk mengisi waktu luang.
Untuk belajar tentang pengobatan gajah, saya juga melakukan travelling keliling Sumatera ke hampir seluruh Pusat Latihan Gajah dan Unit Patroli Gajah serta Kebun Binatang yang ada gajahnya di Sumatera. Belajar dari kolega yang bekerja di LSM untuk selanjutnya sebagai bekal awal bekerja di PLG Seblat.
Keinginan saya untuk bisa bekerja di Pusat Rehabilitasi Orangutan masih terus ada, pada akhirnya saya pun merangkap bekerja sebagai konsultan medis bagi Frankfurt Zoological Society - Sumatran Orangutan Conservation Programme di Jambi. Meskipun berbeda provinsi, namun saya sangat senang dan bersemangat saat bisa bekerja untuk konservasi orangutan. Selain itu saya juga beberapa kali membantu Centre for Orangutan (COP) dalam penangan medis orangutan di lembaga konservasi eksitu, selain sebagai anggota dewan penasehat COP. Jadi selain gajah, saya juga bekerja untuk membantu konservasi orangutan.
Rescue Harimau Sumatera Bernama Dara dari Jerat Pemburu Liar di HP Aur Rami, Mukomuko, Bengkulu |
Suatu hari saya pernah punya keinginan kuat untuk bekerja bagi konservasi harimau sumatera, namun saya tidak tahu bagaimana jalan menuju kesana. Saya menyukai kegiatan yang punya banyak tantangan, dan bekerja untuk harimau liar tentu sangat besar tantangannya. Saya menyukai ini karena belum banyak orang yang mau bekerja di bidang ini, tapi kalau bekerja untuk orangutan dan gajah sudah cukup banyak, tidak hanya dokter hewan Indonesia tetapi juga dokter hewan asing. Kesan harimau yang menyeramkan membuatku malah tertarik, dan kini saya jatuh cinta dengan satwa liar yang satu ini. Tak lama kemudian saya mendapat kesempatan untk pertama kalinya merescue harimau dari jerat pemburu liar bersama Tiger Protection and Conservation Unit dan BKSDA Bengkulu, dan itu adalah untuk pertama kalinya harimau yang diselamatkan dalam kondisi hidup. Sejak itu saya menjadi sangat bahagia bekerja untuk penyelamatan harimau baik dari konflik dengan manusia maupun perburuan liar.
"Bila ingin bekerja untuk konservasi satwa liar maka kita harus merintisnya sejak dini, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang mendukung cita-cita kita. Bekerja untuk satwa liar butuh konsistensi dan idealisme, selain itu musti mau dan mampu bekerja setengah sukarela, karena yang dibutuhkan bukanlah orang yang hanya money oriented dan project oriented, tapi orang yang bekerja dengan hati"
Terima kasih karena sudah berbagi pengalaman yg sangat inspiratif Mbak Dokter... :-D
BalasHapusSaya lagi cari cari artikel seperti ini karena saya juga punya hasrat untuk ikut dalam konservasi satwa...
tapi keadaan saya sangat terbatas sekali... hehe... :-)
Kak cara mengajukan lamarannya bagaimana ?
BalasHapus