Tampilkan postingan dengan label Sumatran Elephant. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sumatran Elephant. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Juni 2016

Edema Ventralis pada Gajah Sumatera


Setiap mahout memiliki cara yang berbeda dalam merawat gajahnya. Ada yang menggembalakannya jauh ke dalam hutan secara berkelompok sesuai dengan perilaku alaminya sebagai mahkluk sosial, biasanya ini dilakukan pada gajah-gajah betina di PLG Seblat. Hutan seluas tujuh ribuan hektar tentu masih bisa menyediakan pakan alami, dan ada sungai-sungai di dalam hutan dengan air bening mengalir didalamnya yang menyediakan air minum untuk mereka. Dan mereka bisa memilih sendiri kemana mereka ingin makan dan minum karena mereka bebas berjalan-jalan di hutan itu. Tujuannya adalah agar gajah-gajah tersebut mendapat cukup makanan alami baik variasi maupun kuantitasnya serta dapat mengeskpresikan perilaku alaminya dengan hidup bersosial. Namun ada juga yang lebih menyukai merawat gajahnya dengan cara soliter (sendiri-sendiri), baik gajah jantan maupun betina dengan cara dilepasliarkan ataupun diikat dengan rantai panjang agar bisa menjangkau tempat pakan yang luas. Cara ini sebenarnya lebih cocok untuk gajah jantan karena perilaku alaminya gajah jantan dewasa pada akhirnya akan memisahkan diri dari kelompok dan hidup soliter, dan untuk gajah jantan remaja membentuk kelompok kecil tersendiri dengan sesama pejantan remaja lainnya. Selain untuk alasan keamanan karena gajah jantan banyak diincar oleh pemburu liar guna diambil gadingnya dengan cara membunuh gajah-gajah itu.

Terkadang perawatan satwa tanpa memperhatikan behavior (perilaku alami) dan kondisi fisiologinya kerap kali menimbulkan gangguan kesehatan bila hal itu berlangsung secara terus-menerus. Sebenarnya hal ini menegaskan bahwa ada keterkaitan erat antara perawatan satwa dengan memperhatikan aspek-aspek animal welfare (kesejahteraan hewan). 

Seekor gajah bernama Dino sering diikat di pinggir sungai yang panas atau di pinggir hutan yang tidak banyak terdapat pohon rindang untuk berteduh, lokasinya terbuka dan hanya mengandalkan pakan tambahan berupa pelepah kelapa sawit dan king grass tanpa tersedia variasi makanan alami di sekitarnya, serta minum yang terbatas. Negara tropis yang dekat garis khatulistiwa tentu suhu lingkungan sangat panas di siang hari. Sedangkan gajah adalah binatang liar yang memiliki beberapa kelenjar keringat namun tidak dapat difungsikan untuk mengatur suhu tubuh mereka. Kulit gajah yang keriput membantu menjaga kelembaban sehingga gajah agar tetap sejuk dalam jangka waktu lama walaupun terkena terik matahari dan mengeluarkan panas melalui kulitnya yang keriput.

Edema di ventral abdominal pada Gajah Dino yang mulai mengecil 
setelah terapi selama 2 minggu
Perawatan gajah Dino dengan cara seperti itu berlangsung dalam waktu lama sehingga muncul gejala klinis edema ventralis.  Perawat gajah (mahout) menyebutnya gondok atau gondokan, mungkin karena seringkali muncul dibawah leher dan di submandibular (diantara tulang rahang bawah), meskipun penyebabnya bukan kekurangan Yodium sehingga menyebabkan pembengkakan kelenjar tiroid. Gondokan disini yang dimaksud adalah edema ventralis, pada gajah sering terjadi di bawah leher dan di submandibular serta di ventral abdominal (di bawah perut).

Edema di genitalia externa (alat kelamin luar) 
Penyebab edema diantaranya malnutrisi (kekurangan gizi), malabsorbsi usus terhadap protein, penyakit tiroid, penyakit paru kronis, penyakit ginjal, penyakit hati, gagal jantung dan luka bakar. Penyebab lainnya yang sering terjadi karena gajah tidak bisa bergerak dalam jangka waktu lama, biasanya terjadi pada gajah-gajah dalam transportasi hingga belasan jam berdiri dalam truk atau berhari-hari tanpa memberi kesempatan untuk berubah posisi, edema terjadi pada kaki bagian bawah. Bila terjadi pada semua kaki dan bila tidak disertai tanda-tanda peradangan maka merupakan akibat dari proses sistemik. Paling sering disebabkan oleh cairan yang berlebihan di dalam tubuh sehingga cairan keluar dari pembuluh darah dan berkumpul di kaki yang merupakan bagian terendah dari tubuh. Cairan tersebut dapat berkumpul di kaki karena faktor gravitasi, selain itu berkumpulnya cairan pada kaki juga sebagai akibat pelebaran pembuluh darah, keluarnya cairan dari pembuluh darah dan adanya penyumbatan sehingga cairan tidak dapat naik.


Edema. Edema may be seen in the submandibular or ventral abdominal areas. Poor food quality may be a cause and hypoproteinemia may be associated. Ventral edema is also seen in cows that have recently given birth. Increasing the protein in the diet may help 
Ventral Edema
Ventral edema (“dropsy” or “rot”) may involve the ventral abdominal wall, the submandibular area, or the tissues surrounding the external genitalia. A single, specific, underlying etiology has not been identified. Ventral edema has been associated with parasites, kidney failure, tuberculosis, chronic diarrhea, salmonellosis, retained placenta, and a wasting syndrome of unknown etiology. Chronic and severe infection by Fasciola jacksoni invariably. Hypoproteinemia may be present, especially with severe parasitic infections. It is not always associated, however, and is probably not the sole underlying mechanism. Ventral edema occurs commonly among captive elephants in North America as the only clinical sign and has been variously treated with diet change, antibiotics, and diuretics. The majority of cases are non–life threatening, and resolve without treatment, with signs rarely persisting more then 3 months. Ventral edema may be a nonspecific response to a variety of physiological stressors. Further research is needed.

Reference : "Biology, Medicine, and Surgery of Elephants" 
by Murray E. Fowler and Susan K. Mikota

Selain itu cuaca panas juga dapat sebagai penyebab edema. Hal ini diduga karena terjadi Hypovolemik shock yang terjadi akibat shock karena dehidrasi karena kurang cukup minum dalam jangka waktu lama sehingga memicu terjadinya edema. Namun hal ini masih perlu dibuktikan/ diteliti dan masih dalam perdebatan. Karena gajah - gajah seringkali mengalami edema ventralis bila sering kepanasan terus-menerus tanpa bisa berteduh ataupun mendinginkan tubuh dengan semprotan air ataupun lumpur serta tidak dapat menjangkau air minum sepanjang waktu. Dalam kasus ini kondisi nutrisi baik serta hasil pemeriksaan feces tidak ada indikasi infestasi endoparasit serta tidak menunjukkan adanya hypoalbuminemia dari hasil pemeriksaan darah, serta tidak ada indikasi penyakit lainnya, namun setiap kali berada di tempat panas berhari-hari muncul gejala klinis edema ventralis. Perlakuan yang diberikan sederhana yakni merubah lokasi penggembalaan, ditempatkan dalam hutan yang teduh dan biasanya dalam waktu 3 hari s/d 3 minggu akan kembali normal dan tidak terjadi edema ventralis kembali. Lamanya pemulihan tergantung ringan beratnya edema yang terjadi, atau tergantung banyaknya edema yang terjadi, yakni di satu lokasi atau di banyak lokasi. 

Gajah Bona mengalami edema di ventral abdominal dan di kepala bagian bawah
karena malnutrisi, Photo tanggal 20 Januari 2012
Mekanisme terjadinya edema ventralis pada gajah seringkali karena penurunan tekanan osmotik intravaskuler. Hal ini bisa dilihat dari hasil pemeriksaan serology menunjukkan adanya hypoproteinemia terutama albumin. Kondisi ini dapat mengurangi tekanan osmotik koloid intravaskuler yang mengakibatkan terjadinya peningkatan filtrasi cairan dan penurunan absorbsi yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya edema. Hypoalbuminemia sebagai akibat dari malnutrisi (kekurangan gizi) atau malabsorbsi terhadap protein, bisa karena pakan kurang dalam jangka waktu lama.  Kehilangan albumin dalam plasma dapat terjadi juga karena penyakit gastrointestinal dengan kehilangan darah yang parah seperti infeksi yang disebabkan parasit (penyakit parasiter) terutama cacing. Edema ventralis pada gajah sering terjadi pada tubuh gajah bagian ventral yakni bawah leher, di submandibular dan ventral abdominal (di bawah perut).

Edema ventralis di Submandibular
Setelah mengumpulkan informasi dari berbagai orang (mahout) untuk mengetahui riwayat perawatan gajah Dino dan hasil pemeriksaan sampel feces, serta gejala klinis yang terlihat maka tindakan yang dilakukan adalah memindahkan gajah Dino untuk digembalakan di hutan dengan kondisi lingkungan sekitar yang teduh (tidak panas), perlu cukup minum dan variasi nutrisi, serta pemberian obat cacing sesuai dengan jenis telur cacing yang telah teridentifikasi dalam pemeriksaan mikroskopis meskipun infestasi cacing hanya sedikit (+). Tidak tersedia obat cacing yang efektif untuk pemberantasan Trematoda, yang ada di klinik hanya Albendazole tablet. Akhirnya saya mendapatkan sumbangan obat cacing Oxyclozanide pasta dari kolega dokter hewan yang sangat efektif untuk pengobatan pharamphistomiasis  yakni tropical disease pada gajah, dan efektif untuk pengeluaran cacing dewasa melalui feces, yang diberikan selama tiga hari berturut-turut secara per oral. Namun diduga penyebab edema ventralis bukan karena peyakit parasiter tetapi lebih cenderung karena terpapar cuaca panas dan nutrisi yang buruk, karena sebelum pemberian obat cacing, edema ventralis sudah mengecil hanya dengan memindahkan gajah ke tempat teduh dan memberikan makanan yang lebih bervariasi. 

Dalam waktu tiga minggu dengan perlakuan khusus dalam perawatan harian maka gajah bisa sembuh kembali. Edema ventralis pada tubuh gajah bagian bawah (ventral) sudah tidak terlihat lagi. Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah melakukan pencegahan agar hal itu tidak terjadi lagi. Dan ini perlu kerjasama yang baik dengan perawat gajah.

Minggu, 19 Juni 2016

Traumatic Ulcer pada Rongga Mulut Gajah


Seekor gajah bernama Gara tampak lemah, kehilangan nafsu makan dan minum selama beberapa hari, saat berjalan tampak kedua kaki depan beradu/ bersentuhan seperti enggan mengangkat kakinya pertanda bahwa gajah tersebut kehilangan tenaga, juga tampak tremor (gemetar) serta sempoyongan. Gejala klinis yang paling mencolok adalah hypersalivasi yakni sekresi air liur berlebihan dan terus- menerus. Banyak faktor penyebab yang membuat produksi air liur berlebihan, diantaranya pankreatitis, penyakit hati, gastroesophageal reflux, keracunan bahan kimia tertentu, fraktur atau dislokasi pada rahang dan juga ulcer dan infeksi pada rongga mulut dan lain - lain.  

Sebelumnya sudah pernah menangani dua ekor satwa liar yakni gajah sumatera bernama Ninda dan harimau sumatera bernama Giring yang memiliki gejala klinis yang sama yakni hypersalivasi. Keduanya memiliki penyebab yang sama yakni ulcer pada rongga mulut, baik pada lidah maupun gusi. Penyebab ulcerasi di rongga mulut bermacam-macam, bisa karena traumatik, agen penyakit seperti bakteri, virus dan jamur serta penyakit sistemik.

Ulcer pada Lidah Gajah di PLG Seblat, Bengkulu. Photo : Erni Suyanti
Pemeriksaan awal pada gajah yang dilakukan adalah mengintsruksi gajah untuk membuka mulutnya dan memeriksa rongga mulut. Ditemukan ada beberapa luka pada lidah dari mulai bagian depan sampai tengah lidah, kondisi gusi dan gigi baik tidak ada masalah. Kemungkinan hypersalivasi disebabkan oleh luka tersebut, sehingga menurunkan nafsu makan dan minum selama beberapa hari dan akhirnya kehilangan tenaga dan lemas. 

Dalam pengobatan gajah satu hal yang tidak kalah penting adalah pelatihan gajah untuk penanganan medis agar gajah terbiasa dan tidak terkejut saat diperiksa dan diobati pada bagian-bagian tertentu di seluruh tubuhnya. Ada 33 jenis pelatihan gajah untuk keperluan penanganan medis yang dilakukan dengan tujuan berbeda dihubungkan dengan kasus-kasus sakit/ penyakit yang sering dialami oleh gajah-gajah disini. Sebagai contohnya terbiasa membuka mulut untuk diperiksa, mengangkat kaki untuk diperiksa kuku dan telapak kakinya, terbiasa disentuh matanya untuk mempermudah pemberian obat salep atau tetes mata, terbiasa dipegang bagian telinga untuk koleksi sampel darah, terbiasa di rectal untuk berbagai keperluan dan lain-lain tanpa mereka merasa takut dan melukai petugas, Hal ini untuk mendukung agar gajah-gajah yang sakit bisa diperiksa kondisinya dan diobati dengan aman tanpa membahayakan petugas baik mahout maupun dokter hewan. Di Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, kami tidak mendukung adanya pelatihan gajah untuk animal show, namun yang wajib dilakukan adalah pelatihan gajah untuk keperluan penanganan medis, yakni dengan cara membiasakan menyentuh seluruh bagian-bagian tubuh dari satwa gajah setiap hari dengan memperkenalkan/ memperdengarkan instruksi kata-kata yang konsisten. Gajah adalah binatang yang sangat pintar dan punya daya ingat sangat kuat, bila sesuatu kata dan perlakuan dilakukan berulang-ulang secara konsisten pada akhirnya mereka akan memahaminya dan mengingatnya dengan baik, sebaik mereka mengingat dimana lokasi pakan alami dan mineral di hutan ini.

Ulcer pada Lidah Gajah di PLG Seblat, Bengkulu. Photo : Erni Suyanti
Untuk pengobatan gajah Gara saya tidak memerlukan physical restraint dengan diikat di rung atau pohon agar gajah tidak lari atau menolak pengobatan, menurut saya dimanapun bisa dilakukan untuk kasus ini. Bersama mahout dan mahasiswa Kedokteran Hewan yang sedang magang di PLG Seblat kami mengobati gajah Gara, dalam ruang obat saya hanya menemukan obat kumur antiseptik Povidone iodine yang bisa digunakan, kemudian kami membersihkan ulcer dengan antiseptik tersebut menggunakan kapas yang terbungkus kassa yang ditetesi cairan antiseptik untuk pembersihan semua luka sampai bersih. PLG Seblat terletak di daerah terpencil sehingga kecamatan terdekat pun tidak tersedia apotek yang menjual jenis obat-obatan selengkap di Kota Bengkulu. Sehingga pilihan saya adalah Albothyl obat tetes yang sangat umum dan saya yakin pasti tersedia di apotek terdekat. Akhirnya saya mendapatkan sumbangan Albothyl dari Polisi Kehutanan. Saya minta mahout yang memberikan pengobatan Albothyl karena lokasi gajah cukup jauh di dalam hutan dan setelah pengobatan pertama kami ke hutan untuk memeriksa kondisinya kembali dan kesulitan mencari gajah Gara yang telah berjalan-jalan jauh bahkan sampai perbatasan kawasan hutan TWA Seblat dan HPK untuk mencari makanan alami. Saya masih memonitor kondisinya selama tiga minggu, untuk mengetahui apakah ulcer pada rongga mulut benar-benar telah sembuh, jika tidak maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus seperti koleksi sampel untuk pemeriksaan mikrobiologi, serology dan bahkan biopsi jika dibutuhkan. Beberapa hari kemudian saya mendapat informasi dari mahout gajah Gara bahwa kondisi gajah sudah membaik, luka sudah mengering dan sembuh kembali dan nafsu makan dan minum normal kembali, bahkan gajah tersebut sudah aktif berjalan-jalan di dalam hutan dengan normal, serta tidak mengalami hypersalivasi kembali. 

Pada saat gajah tersebut sakit saya melaporkannya ke pimpinan yang di Kota Bengkulu dan diteruskan ke pejabat otoritas di Jakarta. Saat itu instruksinya baik secara tertulis dan melalui pesan phone cell bahwa dinstruksikan semua gajah yang sakit untuk dibawa ke Rumah Sakit Gajah agar dapat diobati. Pada saat itu saya memang sedang menangani 4 (empat) ekor gajah sumatera yang sedang sakit dengan berbagai sebab. Saya lebih suka berfikir dan bekerja secara logis, praktis dan efisien dalam penanganan permasalahan kesehatan satwa, meski pada akhirnya saya tidak melaksanakan instruksi tersebut toh saya yakin gajah bisa disembuhkan dengan perawatan sendiri meskipun tanpa memiliki banyak fasilitas obat-obatan yang dibutuhkan. Pada kenyataannya membuktikan bahwa gajah - gajah itu akhirnya bisa disembuhkan. Karena kami tidak ingin menghambur-hamburkan anggaran negara dan banyak dana hanya untuk transportasi gajah guna tujuan pengobatan ke provinsi lain dan masih harus mengembalikan lagi ke Bengkulu, tentu itu membutuhkan dana yang tidak sedikit, seandainya boleh memilih lebih baik dana sebanyak itu bisa kami pakai untuk pembelian obat-obatan, peralatan medis agar memadai serta untuk biaya pemeriksaan laboratorium bila kami membutuhkannya.

Selasa, 21 Januari 2014

Levamisole Toxicity on Sumatran Elephants


Levamisole (C11H12N2S) merupakan turunan sintetis dari Imidazothiazole, yang dipasarkan sebagai garam hidrokhlorida. 


Sumatran Elephant 'Ucok' at the Seblat Elephant Conservation Center - Bengkulu. 
Photo : Erni Suyanti Musabine

Kegunaan Levamisole 

Levamisole pada awalnya digunakan sebagai antihelminthic untuk mengobati infestasi cacing pada manusia dan hewan. Selain itu juga digunakan sebagai immunomodulator, yakni untuk pengobatan rheumatoid arthritis. Pada tahun 1999 dan 2003 obat ini telah ditarik dari pasaran di Amerika Serikat dan Kanada karena resiko efek samping yang serius dan merugikan kesehatan. Namun masih disetujui sebagai antihelminthic (obat cacing) dalam kedokteran hewan.

Penggunaan levamisole pada ternak ruminansia untuk membasmi cacing Nematoda. Dan sangat efektif untuk membasmi Ascariasis. Juga digunakan sebagai obat yang efektif untuk membasmi infestasi cacing gelang pada ikan air tawar tropis. Dan tidak efektif untuk pengobatan infestasi parasit cacing Trematoda. Obat cacing ini tidak umum digunakan pada kuda.  Gajah memiliki anatomi fisiologi yang lebih mirip dengan kuda, sama-sama termasuk hewan monogastric atau berlambung tunggal.  Sehingga kuda bisa dijadikan acuan dalam pengobatan gajah.

Clinical Signs :

Pemberian obat cacing Levamisole pada gajah melebihi dosis optimal akan menyebabkan satwa keracunan karena over dosis. Adapun gejala klinis yang ditunjukkan oleh beberapa ekor gajah sumatera yang mengalami keracunan levamisole sebagai berikut :

Gajah jinak menjadi sulit diperintah oleh mahout dan sulit dikendalikan; perilaku gajah menjadi agresif; berlari-lari mondar-mandir; excitement; kemudian tampak diam saja seperti terimmobilisasi; kehilangan nafsu makan dan minum; belalai lemah dan jatuh serta tidak mampu untuk mengambil makanan; kaki tremor (gemetar); belalai dan bibir juga tremor (gemetar); demam (suhu tubuh meningkat); diare; bloat (kembung); lemah; kesadaran menurun (lethargy); ambruk dan akhirnya kehilangan kesadaran.    


Setiap individu menunjukkan gejala klinis yang berbeda-beda, ada yang memperlihatkan seluruh gejala klinis tersebut, namun ada yang hanya menunjukkan beberapa gejala klinis diatas, tergantung seberapa banyak levamisole yang masuk kedalam tubuh gajah dan tergantung kondisi gajah masing-maing individu. Gejala klinis keracunan levamisole tersebut akan tampak sekitar 1-3 jam setelah termakan, dan gejala ini akan masih terlihat 1-3 hari setelah pengobatan keracunan. Levamisole dapat diukur dalam darah, plasma atau urin sebagai diagnostik dalam kondisi keracunan klinis untuk membantu penyelidikan karena keracunan levamisole.

Psychologichal Effects

Namun untuk trauma psikologis pada gajah terhadap obat-obatan per oral akan bisa berlangsung berbulan-bulan bahkan sampai 2 tahun setelah keracunan, gajah akan terus menolak diberikan obat-obatan apapun per oral. Mungkin ini disebabkan karena gajah memiliki daya ingat yang sangat kuat, sehingga pengaruh obat yang merugikan pada tubuhnya pun akan selalu diingat dan membuatnya menolak pemberian obat-obatan per oral. Dan terapi psikologis akan jauh lebih sulit karena diperlukan pendekatan khusus secara terus-menerus.

Sabtu, 18 Januari 2014

Keracunan Zinc Phosphide



Zinc Phosphide merupakan senyawa anorganik yang digunakan dalam produk pestisida sebagai rodenticide. Zinc Phosphide memiliki berbagai macam kegunaan komersial, tidak hanya sebagai rodenticide atau lebih dikenal sebagai racun tikus, tetapi juga sebagai pelindung tanaman pangan dan rumput serta digunakan sebagai insektisida. Berupa bubuk (powder) berwarna abu-abu hitam dengan bau mirip dengan bawang putih. Dijual secara komersial dalam bentuk pelet umpan, butiran, debu dan serbuk. 


Mengapa Zinc Phosphide dapat meracuni satwa liar?
Toksisitas Zinc Phosphide karena memproduksi gas fosfin setelah bereaksi dengan air dan asam lambung di saluran cerna. Kemudian dapat memasuki aliran darah dan mempengaruhi kerja paru-paru, hati, ginjal, jantung dan sistem saraf pusat.

Efek samping pada satwa predator, Zinc Phosphide juga sangat beracun bagi mammalia non-target ketika ditelan langsung. Keracunan satwa liar pemakan hewan lainnya bukan disebabkan satwa predator tersebut memakan daging hewan yang mati keracunan, karena senyawa tersebut tidak menumpuk di otot hewan yang mati karena racun tersebut (spesies sasaran) tetapi keracunan sebagai akibat memakan saluran cerna hewan yang mati karena keracunan Zinc Phosphide.

Clinical Signs (Tanda-Tanda Klinis) Keracunan  Zinc Phosphide pada Satwa Liar
Satwa yang menelan Zinc Phosphide kemungkinan akan menunjukkan gejala klinis dalam waktu 1-4 jam. Gejala awal yang terlihat adalah kehilangan nafsu makan, aktivitas menurun dan tampak depresi, diikuti muntah dan terlihat gejala-gejala mau muntah. Muntahan bisa bercampur darah. Gejala akut tampak satwa merasa kesakitan, nyeri perut, gelisah/ cemas, menggigil. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi (Ataxia), lemah, sesak nafas/ sesak di dada, meronta-ronta, tremor otot dan kejang-kejang, bahkan tidak sadarkan diri. Bila mengenai mata bisa menyebabkan fotopobia.  Bila keracunan melalui inhalasi (dengan cara menghirup racun) akan tampak gejala-gejala muntah, diare, sianosis (mukosa membiru), denyut nadi cepat, demam dan shock.

Munculnya gejala klinis menjadi lebih lambat baru tampak setelah 12 jam bila satwa dalam kondisi perut kosong. Pelepasan fosfin menjadi lebih cepat pada satwa yang baru makan dan melepaskan asam lambung pada saluran cernanya dan dipengaruhi juga oleh kelembaban. 

Pemeriksaan Toxicology pada Satwa Liar yang Keracunan Zinc Phosphide
Residu fosfin terdeteksi di otak, ginjal, jantung, hati.  Sedangkan Phosphorus dan residu aluminium terdeteksi di dalam darah.  Sehingga dalam pemeriksaan post mortem pada satwa yang mati diduga karena keracunan Zinc Phosphide, specimen tersebut musti diambil disamping pengambilan specimen saluran pencernaan dan isi lambung guna pemeriksaan toxicology. 

Field Cases
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)

Harimau Sumatera yang Ditemukan Mati 
karena Keracunan Zinc Phosphate
Pada tahun 2013 saya bersama Tiger Protection and Conservation Unit - Kerinci Seblat National Park telah melakukan nekropsi seekor anak harimau liar pada tanggal 11 April 2013. Anak harimau tersebut berjenis kelamin jantan dan diperkirakan berumur sekitar 4 bulan, ditemukan di Desa Tiangko Panjang, Kecamatan Sungai Manao, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Lokasinya di sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang ditemukan mati karena keracunan Zinc Phosphide.  

Gejala klinis yang tampak menurut keterangan warga adalah harimau sumatera tersebut berjalan sempoyongan di ladang mereka, tidak berperilaku agresif dan bisa didekati, sebelum akhirnya ditemukan mati.


Perubahan Makroskopis Paru (Lung) Harimau Sumatera
karena Keracunan Zinc Phosphate
Perubahan makroskopis yang terlihat dari pemeriksaan Post Mortem (Necropsy) adalah tubuh harimau tampak kurus, ditemukan eksudat dan keluar darah dari rongga hidung, terdapat eksudat berwarna hijau gelap di rongga mulut seperti muntahan, rongga telinga kiri ada bekas perdarahan, terdapat akumulasi cairan bercampur darah pada rongga dada dan rongga perut, permukaan limpa terdapat nodul-nodul putih berisi gas. Organ -organ penting seperti hati, paru, ginjal, jantung warna dan konsistensinya tidak normal, berubah warna menjadi hijau dan coklat kehitaman serta merah kehitaman, konsistensinya lunak/ lembek dan krepitasi bila dipalpasi permukaannya, begitu juga yang terlihat pada lymphoglandula mesenterica, pada selaput jantung terdapat akumulasi cairan. Otak menjadi lunak dan hampir hancur, berwarna kemerahan dan ada pendarahan. Seluruh saluran pencernaan terlihat abnormal mulai dari oesophagus sampai dengan anus, mucosanya dilapisi eksudat warna kuning kecoklatan dan coklat kehitaman disertai dengan pendarahan, juga ditemukan eksudat warna putih susu pada usus halus.  Saluran cerna dipenuhi feces (kotoran) warna hitam dengan konsistensi lembek. Pankreas berwarna coklat dengan konsistensi sangat lunak.  Musculus (otot) tampak berwarna merah gelap sampai kehitaman.

Dari hasil pemeriksaan toxicology di Balai Besar Penelitian Penyakit Veteriner diketahui bahwa harimau sumatera tersebut mati karena keracunan Zinc Phosphate (Zn3P2).


Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)

Pemeriksaan Post Mortem Gajah Sumatera 
(Elephas maximus sumatranus)
Photo : Pusat Konservasi Gajah Seblat
Pada tanggal 8 November 2013 saya bersama Polisi Kehutanan Resort KSDA Seblat dan mahout Pusat Konservasi Gajah Seblat telah melakukan bedah bangkai (necropsy) pada seekor gajah sumatera bernama Yanti, berjenis kelamin betina dan berumur sekitar 29 tahun, yang ditemukan mati di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Seblat, Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara. 

Gejala klinis yang tampak adalah adanya pendarahan di lubang-lubang alami, yakni di rongga mulut, mata, telinga, vulva dan anus, juga terlihat perut membesar karena kembung dan mengejan. Rongga mulut dipenuhi oleh muntahan dan gumpalan darah. 

Dalam kondisi perut gajah penuh dengan makanan karena pakan tambahan yang diberikan pun habis termakan, menyebabkan efek racun menjadi lebih cepat karena pelepasan fosfin. Pelepasan fosfin karena senyawa Zinc Phosphite bereaksi dengan asam lambung.  Produksi asam lambung tinggi saat satwa makan/ lambung terisi makanan karena asam lambung berfungsi untuk membantu mencerna makanan. 

Setelah dilakukan bedah bangkai terlihat adanya timbunan gas dan cairan yang berlebihan dan bercampur darah di rongga dada dan rongga perut.  Warna permukaan limpa abu-abu kehitaman, pada hati berwarna hitam dan bidang sayatan kedua organ tersebut berwarna hitam. Ginjal dan otak, warna dan konsistensinya terlihat normal. Seluruh saluran pencernaan terlihat abnormal, mucosa saluran cerna secara keseluruhan tampak melepuh, terdapat timbunan gas yang berlebihan dan pendarahan. Permukaan isi lambung berwarna abu-abu gelap yang melapisi kotoran, dan mucosa lambung berwarna hitam. Lymphoglandula mesenterica berwarna merah kehitaman.

Hasil pemeriksaan toxicology di Balai Besar Penelitian Penyakit Veteriner diketahui bahwa kematian gajah sumatera bernama Yanti tersebut disebabkan oleh keracunan Zinc Phosphide.