Minggu, 30 November 2014

Dragonfly at the Seblat Elephant Conservation Center


Dragonfly




Some snapshots that have taken from my trip to the Sumatran rainforest in conservation areas of Elephant Conservation Center (ECC) in Seblat North Bengkulu. In November 2014 I joined with a patrol team for one week to protect sumatran elephant's habitat in the conservation forest of Seblat ECC. And spent my free time took picture of dragonflies at around of our tent at several locations to identify species of dragonfly there, and this is the result :

 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014

 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Senaba, on November 29th. 2014
Location : Air Sabai, on November 27th. 2014

Location : Air Cawang, on November 25th. 2014

Minggu, 23 November 2014

Temukan berbagai jenis dan perilaku serangga hutan dengan bidikan camera !


Berjalan-jalan ke hutan adalah salah satu hal yang sangat aku sukai hingga kini. Apalagi sambil berburu photo binatang liar. Hutan merupakan tempat hidup berbagai jenis satwa liar dari yang berukuran kecil sampai besar. Bahkan dalam satu batang pohon saja terdapat puluhan makhluk hidup sebagai penghuninya, dari mulai serangga, reptil, burung bahkan primata. Bisa dibayangkan bila kita menebang satu pohon saja, sudah berapa banyak makhluk hidup yang kehilangan tempat tinggal ? Dan bila hutan ditebang habis ataupun dibakar ratusan hektar, berapa juta makhluk hidup yang akan hilang dan mati ? 

Bagi orang yang jeli mengamati sekitarnya pasti akan sering menemukan obyek-obyek menarik disekitarnya untuk dipotret. Dan seringkali menemukan binatang-binatang yang bentuknya aneh dengan berbagai macam warna, bahkan mungkin tidak pernah menjumpai itu sebelumnya. 

Wildlife Photography tidak hanya menunjukkan tentang seni memotret saja, namum lebih banyak berperan untuk edukasi, karena bisa mengungkap berbagai jenis binatang yang mungkin belum pernah dijumpai sebelumnya, terutama binatang kecil seperti serangga (insekta) yang jenisnya begitu banyak. Seseorang yang punya hobby memotret hidupan liar terus-menerus akan belajar dari obyek barunya. Tidak hanya untuk inventarisasi dan identifikasi, tapi juga dapat mengungkap perilaku alami binatang liar, perilaku makan, reproduksi dan lain-lain, yang terkadang kita sendiri tak pernah tahu tentang itu sebelumnya. 

Kegiatan seperti ini juga menarik bagi orang yang punya hobby petualangan di alam bebas. Berhasil memotret binatang yang belum pernah dijumpai adalah suatu kebanggaan, apalagi bila menemukan hal yang baru. Selain itu semakin sulit mendekati obyek, justru menjadi tantangan tersendiri. dan itu sangat menarik dan semakin membuat penasaran.

Beberapa hari ini aku menelusuri jalan setapak di hutan belakang camp kami. Dalam beberapa menit saja telah menemukan banyak jenis serangga. Setiap kali perjalanan selalu menemukan jenis binatang baru. Aku tidak tahu nama binatang ini karena baru pertama kali juga melihatnya. Apakah anda pernah melihatnya dan tahu nama jenisnya ?



























Minggu, 16 November 2014

Bekerja untuk konservasi satwa liar itu musti konsisten, punya passion dan idealisme


Bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam Wanala Unair
Selama masih menjadi mahasiswa di Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Surabaya, saya sudah aktif dalam organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam Wanala Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Di dalam organisasi tersebut selain kegiatan petualangan di alam bebas juga ada divisi khusus yang kegiatannya berhubungan dengan konservasi satwa liar. Untuk pertama kalinya saya mengenal dunia konservasi satwa liar, di Wanala ini. Kegiatan awal yang saya ikuti adalah Kelompok Studi Penyu (KSP), yang berkegiatan di habitat penyu di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur kegiatan ini diadakan dua kali dalam setahun. Dari sana kami belajar tentang penyu, disaat musim bertelur. Kami belajar tentang bagaimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk konservasi penyu. Karena semua jenis penyu dilindungi Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Semacam kerja volunteer disana. Waktu Wanala Unair tidak hanya membuka kesempatan bagi anggotanya tetapi juga memberi kesempatan bagi orang lain diluar anggota organisasi dan yang berminat kegiatan konservasi untuk ikut bergabung. Sehingga dalam kegiatan KSP ini tidak saya saja yang mengikutinya tetapi juga saudara-saudara saya, yakni kakak dan adik saya meski mereka bukan anggota Wanala dan bukan berasal dari Universitas Airlangga.


Tahu nggak apa yang kami lakukan selama berada di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo tersebut ?
Masih ingat betul, kegiatan kami waktu itu adalah melakukan morfometri setiap penyu yang mendarat untuk bertelur, selain mengukur penyu juga mengukur telur penyu dengan jangka sorong, kemudian memindahkan telur penyu ke lokasi penetasan yang aman yang tidak jauh dari pantai, juga melakukan pengukuran suhu dan kelembaban tempat penetasan setiap pagi dan sore hari. Malam harinya sekitar jam 9 malam sampai menjelang shubuh, kami bersama petugas melakukan lalar, yakni patroli sepanjang pantai untuk mengetahui adakah penyu yang mendarat untuk bertelur ? Disaat patroli itu tak jarang kami menjumpai macan kumbang dan macan tutul secara langsung ataupun berupa jejaknya yang baru lewat di sekitar pantai. Penyu favorit kami adalah penyu belimbing, karena selain langka juga ukurannya paling besar diantara jenis penyu lainnya. Selama mengikuti KSP mungkin saya yang lebih beruntung karena selalu bertemu dengan penyu belimbing, selain bertemu penyu hijau yang paling banyak mendarat untuk bertelur. Pekerjaan kami lainnya dalam membantu petugas adalah membersihkan kolam untuk menampung sementara tukik-tukik yang baru ditetaskan, menganti air kolam dengan air laut yang baru. Puncak dari pekerjaan kami membantu konservasi penyu adalah melepasliarkan kembali tukik tersebut ke laut. Ini adalah hal yang paling membahagiakan di setiap kegiatan KSP, senang melihat mereka kembali ke laut.

Saya pernah punya pengalaman yang kurang menyenangkan, saat itu di Taman Nasional Meru Betiri. Kebetulan jarak camp tempat menginap dengan pantai berjauhan yakni sekitar 700 meteran melewati terowongan hutan pantai, saya menyebutnya terowongan karena di kiri dan kanan jalan tanah menuju pantai tersebut berupa hutan pantai yang lebat sehingga mirip dengan terowongan. Teman-teman saya sudah siap di pantai untuk release tukik-tukik ke laut, dengan bahagianya mereka pergi menuju pantai. Disaat yang bersamaan saya harus bekerja di camp karena hari itu saya mendapat jadwal untuk memasak buat kami semua sehingga tidak punya kesempatan untuk ikut release tukik. Sedih rasanya. Tapi bagaimanapun juga saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya untuk ikut mereka, karena tugas setiap orang sudah ditentukan jadwalnya. Teman saya satu diklat di Wanala, Nova berusaha untuk membuatku tidak kecewa, jadwalnya ikut melepas tukik namun dia ingin menemani dan membantu saya memasak agar cepat selesai sehingga saya bisa ikut bergabung dengan teman-teman lainnya merelease tukik di pantai. Dari dahulu dia memang seorang teman yang penuh pengertian.

Pengalaman mengerikan lainnya saat lalar di pantai, kami sibuk mencari teman yang tak kelihatan sejak mulai lalar, takut terjadi apa-apa dengannya. Saya juga heran kenapa waktu itu berani sekali berjalan sendirian di tengah malam sambil memanggil nama teman yang dicari, berjalan sepanjang pantai. Bertemu jejak macan yang baru melintas dari pantai menuju hutan pantai, mencium bau wangi pepohonan dari hutan pantai, dan saya baru berhenti setelah sadar bahwa saya sudah berjalan kaki terlalu jauh sampai batas muara. Terdengar gemuruh suara air laut di muara, pikiran saya terlintas tentang buaya muara, juga macan yang melintas dan tak terlihat teman yang saya cari, membuatku segera berjalan berbalik arah dengan terburu-buru. Ada perasaan ngeri berjalan sendirian di tempat seperti itu. Ternyata saya telah melewati teman yang saya cari yang duduk di sebuah matras sambil menunggu penyu mendarat, namun kenapa saya tidak melihatnya sama sekali saat melewatinya dan kenapa dia tidak mendengar saat saya panggil-panggil namanya. Membuat saya heran dan membuat bulu kuduk berdiri.

Sedangkan pengalaman yang mengesakan saat kami bertiga mendapat tugas untuk mengukur suhu tempat penetasan telur penyu. Saat itu sore hari di bulan puasa Ramadhan. Setelah pekerjaan selesai dilakukan, kami menghabiskan sisa waktu duduk santai di pasir pantai sambil memandang laut, batu karang dan matahari terbenam, sambil masing-masing dibuai hayalan. "Indah sekali kalau aku punya rumah diatas batu karang itu, disekitarnya pantai yang indah dan bisa menikmati keindahan matahari terbenam setiap sore hari seperti ini," kataku.  Teman-temanku pun tidak mau kalah, mereka juga punya hayalan masing-masing. Disana tidak bisa mendengar suara adzan karena memang tidak ada masjid, salah satu cara untuk mengetahui waktu berbuka adalah melihat jam atau melihat matahari terbenam di pantai. Saat matahari sudah tenggelam kami segera kembali ke camp untuk berbuka puasa bersama teman-teman lainnya. 

Kegiatan kami selama KSP tidak hanya bekerja relawan untuk konservasi penyu tetapi juga belajar hal-hal lain, seperti analisa vegetasi, identifikasi dan iventarisasi satwa liar di sekitarnya, tidak hanya burung, tetapi juga primata, banteng dan lainnya. Mengikuti dan aktif di organisasi sesuai bidang yang kita sukai selama kuliah itu memang sangat bermanfaat, tidak hanya belajar berorganisasi, belajar management perjalanan, tetapi juga memperluas networking agar pergaulan kita tidak hanya sebatas teman sekampus, seangkatan tetapi juga bisa punya jaringan dengan teman-teman dari fakultas lain bahkan dari luar universitas, sehingga kita bisa belajar hal-hal yang tidak kita dapatkan selama perkuliahan, yakni belajar tentang dunia nyata yang suatu saat kita akan terjun didalamnya. Karena dunia konservasi satwa liar sudah menjadi kegemaranku sejak itu maka akupun harus memperluas networking dengan orang-orang yang berkegiatan di dunia konservasi ini.

Jawa Timur terkenal sebagai daerah lahirnya para aktivis konservasi satwa liar di Indonesia. Banyak teman-teman para pendiri organisasi/ Lembaga Swadaya Masyarakat terdepan dalam penyelamtaan satwa liar di Indonesia berawal dan besar di Jawa Timur. Untuk memperluas jaringan dan menabung pengalaman, saya tidak hanya aktif di organisasi mahasiswa tetapi juga mengikuti organisasi di luar kampus dalam bidang yang sama, yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) nasional yang berkegiatan untuk konservasi satwa liar terancam punah di Indonesia. Saya bergabung dengan LSM Konservasi Satwa Liar Bagi Kehidupan (KSBK) yang akhirnya berubah nama menjadi ProFauna Indonesia, yang berkantor pusat di Kota Malang, Jawa Timur, yakni 2 jam dari Kota Surabaya. Meskipun berbeda kota tapi itu bukan masalah, karena masih bisa beraktifitas dengan menyesuaikan jadwal kuliah dan jadwal kegiatan di Pecinta Alam Wanala Unair. Bahkan saya tidak sendirian, bahkan sodara-sodara saya ikut aktif dalam organisasi ini, termasuk kakak dan adik saya. Selain menjadi teman di rumah, mereka juga teman berkegiatan di organisasi karena kami memiliki ketertarikan yang sama untuk terlibat dalam kegiatan konservasi satwa liar di Indonesia. Kami aktif melakukan education dan awareness di sekolah-sekolah dan kampus untuk sosialisasi tentang permasalahan dan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu penyelamatan satwa liar, melakukan kampanye damai di berbagai kota untuk memperjuangkan nasib satwa, ikut membantu proses penyitaan satwa liar dari kepemilikan illegal bersama petugas, melakukan investigasi dan inventarisasi satwa liar dilindungi yang diperjualbelikan di black market dan dimiliki masyarakat secara illegal, kegiatannya seperti seorang detektif/ intelejen yang tentu beresiko, namanya juga menginvetarisasi kegiatan illegal yang ada hubungannya dengan kejahatan terhadap satwa liar. Tapi kami bersemangat melakukan itu semua. Selain itu mengikuti kegiatan wild trip untuk bird watching, juga pengamatan satwa liar lainnya untuk menambah pengetahuan tentang identifikasi satwa liar. Saya pada dasarnya sangat suka berorganisasi, dan suka mengikuti organisasi yang punya kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan selain kegiatan petualangan di alam bebas. Semua itu tidak akan saya dapatkan dari kuliah di Kedokteran Hewan, karena mereka lebih tertarik membahas tentang hewan ternak dan hewan kesayangan, sedangkan minat saya di satwa liar. Untuk itu perlu mencari pengetahuan dan pengalaman sendiri diluar kampus untuk bekal nanti setelah lulus kuliah.

Banyak kenangan pahit dan kenangan yang menyenagkan selama aktif bergabung dalam organisasi ini. Namun tinggal kita sendiri pintar memilah-milah, yang baik kita jadikan referensi dan yang kurang baik dijadikan pengalaman saja, agar kedepannya hidup kita jauh lebih baik.

Selain itu saya juga memanfaatkan hari libur untuk menjadi volunteer (kerja relawan) guna mencari pengalaman di lembaga konservasi eksitu seperti Pusat Penyelamatan Satwa (Wild Animal Rescue Centre). Karena untuk praktek di satwa liar sagat minim, yang ada di kampus adalah praktek untuk hewan kesayangan di rumah sakit hewan milik fakultas.

Pengalaman kerja pertama kali di Pusat Penyelamatan Satwa Petungsewu, Malang
Setelah lulus kuliah dan menjadi dokter hewan, saya langsung mendapat tawaran untuk menjadi dokter hewan di Pusat Penyelamatan Satwa Petungsewu, Malang, Jawa Timur yang saat itu dikhususkan untuk merawat primata hasil penyitaan dan penyelamatan, namun karena tidak hanya primata yang didapat dari hasil penyitaan kepemilikan dan perdagangan illegal namun hampir semua jenis satwa liar dilindungi di Indonesia maka yang kami rawat pun beraneka macam. Itulah manfaatnya kita mempnyai networking yang luas, tidak perlu susah payah mencari pekerjaan dan membuat surat lamaran pekerjaan. Selama ini saya tidak pernah membuat surat lamaran pekerjaan ke instansi apapun, baik LSM maupun goverment. Semua berdasarkan tawaran, mereka melihat latar belakang kita. Tidak hanya networking, tapi menabung pengetahuan dan pengalaman diluar kampus sesuai dengan bidang yang kita inginkan juga sangat penting, dengan kemudian dilengkapi idealisme dan kesungguhan, setelah itu kita serahkan pada orang lain biar yang menilai layak tidaknya kita bekerja dengan mereka. 

Kalau bisa dibilang, saya sangat beruntung setelah lulus kuliah langsung mendapat kesempatan bekerja di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) tanpa ada supervisi dari siapapun. Saya dipaksa untuk belajar sendiri untuk menangani kasus-kasus yang ada dan harus mandiri. Benar-benar sebuah tantangan, dan tentu tidak mudah bagi seorang dokter hewan baru. Saya seperti kuliah lagi waktu itu dengan buku dan referensi sebagai dosennya. Saya selalu mempelajari kasus-kasus penyakit yang saya temui saat itu, bahkan rajin membeli buku yang berkaitan dengan itu. Saya harus belajar sendiri penyakit burung nuri, kakatua, cendrawasih, jalak, rangkong, elang juga kasuari dan masih banyak jenis burung langka lainnya. Tidak hanya itu, saya juga musti bisa menangani kasus-kasus penyakit pada buaya, kucing-kucingan, mammalia besar (rusa, beruang madu dan banteng), ular dan lain-lain. Belum lagi primata, mulai dari orangutan sumatera dan kalimantan, semua jenis owa sumatera, kalimatan dan jawa, juga siamang, simpai dan lutung. Menurutku Pusat Penyelamatan Satwa sangat ideal untuk mencari pengalaman bagi dokter hewan baru yang tertarik bekerja untuk konservasi satwa liar, karena satwanya beraneka macam sehingga akan mendapat pengalaman jauh lebih banyak dan variasi. Keuntungan lainnya, bekerja di Pusat Penyelamatan Satwa tak jauh beda dengan bekerja di Pusat Rehabilitasi Satwa karena lebih menantang, merawat satwa yang sudah berinteraksi dengan manusia atau dirawat orang kemudian penanganannya disesuaikan dengan kebutuhan untuk keperluan diliarkan kembali, dan ini sangat berbeda dengan perawatan satwa koleksi di lembaga konservasi eksitu seperti kebun binatang tentunya, dimana interaksi antara manusia dengan satwa tidak dibatasi karena tidak untuk dilepasliarkan kembali.

Di PPS saya juga mendapatkan ilmu baru tentang identifikasi species satwa liar yang dilindungi, karena pada kenyataannya tidak setiap petugas BKSDA mengetahui apakah satwa tersebut masuk golongan dilindungi atau tidak, juga tidak tahu nama latin speciesnya. Selama bekerja di PPS membuatku menghafal nama latin setiap species yang dirawat yang jumlahnya ratusan, karena sebagai koordinator medis dalam setiap pembuatan laporan medis perbulan saya juga harus menyertakan nama latin masing-masing satwa. Dan uniknya lagi, hampir setiap satwa yang baru datang dan belum ada namanya, sayalah yang memberi nama, karena jumlahnya sangat banyak sehingga saya menggunakan nama teman-teman saya untuk nama satwa tersebut agar mudah diingat. Saya sendiri juga seperti kamus berjalan, kadang sebagai tempat bertanya tentang nama satwa dan nomor kandangnya, karena setiap pagi dan sore saya selalu berkeliling kandang untuk memeriksa pasien satu persatu sebelum memulai kerja dan mengakhiri kerja di klinik membuat saya lama-kelaman hafal diluar kepala tentang jenis satwa berikut namanya masing-masing serta berada di kandang nomor berapa. Bahkan hafal anggota keluarganya dan pasangannya juga kebiasaan perilaku masing-masing satwa.......hehehe !

Banyak suka duka yang dialami selama bekerja disini. Sukanya tentu semua yang berhubungan dengan satwa liar, banyak pengalaman unik dengan orangutan disana, seperti orangutan Simon, masih anakan dan sukanya mengajakku bermain guling-guling, dia suka memaksaku untuk megikutinya berguling-guling di lantai kandang dengan cara menarik kepala dan rambutku untuk mengikutinya....hehehe! Dia juga pernah lepas dari kandang masuk kandang buaya, yang membuatku berteriak histeris memanggilnya untuk kembali naik pagar kandang. Dia mengikutiku namun menolak untuk dimasukkan kandang kembali, akhirnya kubawa ke ruang klinik untuk sementara sambil menunggu animal keeper. Saat kutinggalkan sebentar ke ruang obat, dia sudah mempermainkan keyboard komputer di ruanganku sambil duduk dikursiku dengan perilaku menirukan orang mengetik. Dia juga pernah membuka pintu kandang sendiri dengan cara mencopet kunci kandang dari saku belakang cattlepack animal keeper, kemudian memanjat pucuk pohon tinggi, setelah dirayu seharian dengan makanan baru mau turun dan berjalan mengikuti animal keeper, namun membuat ulah lagi dengan menghadang tukang masak dan merampas sayuran hasil belanjanya dan menghambur-hamburkan semen untuk membangun kandang baru. Selain Simon, masih ada lagi Unyil dan Bagong yang tidak kalah usilnya. Namun dari semua orangutan tersebut, si Tole yang cukup banyak menyita perhatian, menguras emosi, tenaga dan pikiran. Termasuk orangutan yang pendiam dan tidak banyak tingkah. Orangutan ini yang membuat namaku terkenal juga sekaligus tercemar di media massa. Banyak kisah memilukan tentangnya. Selain itu kami masih punya satwa yang unik seperti Ucang, owa jawa yang menggemaskan, dan trio siamang Rino, Kimo, Kenji yang sangat lucu. Uut, si owa sumatera yang paling membenciku karena pernah membius dan menjahit telinganya. Dan kami punya juga owa yang paling galak, akhirnya diberi nama Zombie. Dan yang berkesan lagi dalam hidupku adalah keluarga lutung, si kecil Dony yang kurawat sejak bayi, mulai dari masih menyusu di botol sampai makan solid food dan punya keluarga baru, tiap hari mengajarinya memanjat pohon dan selalu menangis bila aku tinggalkan. Keluarga besarnya yakni Rojali, Vilaiwan, Aura, Pretty, Hughes juga tidak mungkin kulupakan.

Selama setahun lebih bekerja untuk penyelamatan satwa liar di PPS Petungsewu, Malang, Jawa Timur telah banyak pelajaran yang saya dapatkan, tidak hanya tentang penyakit tetapi juga tentang team work building. Bekerja di PPS tidak hanya punya tim dengan teman sesama bekerja di PPS atau BKSDA saja tapi juga memperluas jaringan kita dengan orang-orang penegak hukum karena seringkali kita akan bekerja satu tim dengan kepolisian. Networking tentu semkin luas. Di tempat ini juga untuk pertama kalinya saya jatuh cinta pada orangutan dan sampai sekarang satwa yang satu ini menjadi satwa yang paling saya sukai. Dan sejak itu saya punya impian untuk bisa bekerja menjadi dokter hewan di Pusat Rehabilitasi Orangutan di Indonesia.

Hijrah ke Sumatera
Saat berlibur ke Sumatera untuk melihat gajah dan siamang di habitat alaminya, saya mendapat tawaran untuk bekerja di BKSDA Bengkulu sebagai dokter hewan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, Bengkulu. Mereka sangat membutuhkan tenaga dokter hewan dan selama ini sulit mendapatkan orang yang bersedia bekerja di hutan dengan medan yang sulit, harus mendayung perahu menyeberagi sungai besar untuk mencapai camp gajah. Memutuskan bekerja di lembaga pemerintah membuat saya banyak dibully orang, banyak omingan yang negatuf ditujukan pada saya sejak menjadi pegawai pemerintah, Namun bagi saya, bekerja untuk konservasi satwa liar itu bisa dengan banyak cara, dan bisa dimana saja, sesuai dengan latar belakang kita masing-masing, yang penting masih punya idealisme untuk konservasi satwa liar dan konsisten. Jadi omongan negatif dari orang lain pun tidak saya pedulikan. 

Ilmu dan pengalaman yang didapatkan diluar bangku kuliah akhirnya sangat bermanfaat setelah terjun ke dunia kerja. Bersyukur sekali saya bergabung dengan organisasi mahasiswa Pecinta Alam Wanala Unair dan LSM yang bergerak dibidang konservasi satwa liar, karena pada akhirnya pengalaman itu yang berguna untuk mendukung pekerjaan.

Sebenarnya saya lebih tertarik untuk bekerja di konservasi orangutan dibandingkan untuk satwa liar lainnya. Tapi tidak ada salahnya untuk dicoba, tentu yang ini lebih menantang. Tidak hanya itu saja, sebenarnya lebih banyak ada dorongan dari hati kecil untuk membantu memperbaiki kondisi gajah dan manajemen perawatannya. Saat itu yang kulihat adalah kondisi obat-obatan yang terbatas juga tidak ada pelayanan kesehatan rutin, padahal dana pengadaan obat dan peralatan medis selalu ada setiap tahunnya. Kondisi gajah-gajah yang buruk menurutku karena cara memperlakukannya jauh dari standar animal welfare. Bisa dibayangkan, saya sebelumnya bekerja di Pusat Penyelamatan Satwa dimana cara perlakuan dan kebutuhan satwa sangat diperhatikan dan diutamakan. Semuanya sempurna, fasilitas juga sangat mendukung, dana medis tidak terbatas, jadi tidak ada kendala apapun dalam pengobatan satwa. Sangat berbeda kondisinya dengan yang di PLG Seblat, semua yang dibutuhkan untuk fasilitas penanganan medis serba tidak ada. Pada awalnya saya masuk kesana dan mulai bekerja orang lebih mempercayai cara pengobatan yang masih primitif dibanding pengobatan medis modern. Menghadapi manusianya dan merubah pola pikirnya merupakan tantangan tersendiri. Belum lagi mengahadapi administrasi dan birokrasi yang ruwet, dana medis yang menurut saya sudah mencukupi harus dipotong ini itu sampai akhirnya menjadi sedikit dan tidak mencukupi dan akupun dipaksa untuk bisa menerima kondisi dan budaya seperti ini setiap tahun, lama-lama menjadi terbiasa dengan keadaan. Tantangan di lokasi berupa medan yang berat tidak menjadi masalah bagiku karena sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu bahkan yang lebih berat dari itu saat masih aktif mengikuti kegiatan di organisasi Pecinta Alama Wanala Unair. Jadi kalau musti bekerja di daerah yang seperti itu tidak ada kendala, saya pun menyukai petualangan di alam bebas. Tantangan paling berat adalah menghadapi administrasi birokrasi serta kebijakan yang kadang tidak bisa diterima oleh logika terutama bila merugikan upaya konservasi satwa liar dan habitatnya.

Membuatku sempat berpikir, dahulu waktu bekerja di PPS ada lutung yang mati pasca penyitaan kami sudah kena marah oleh pihak otoritas dalam hal ini Kementerian Kehutanan. Padahal penyitaan dari pasar burung dan kondisi lutung masih bayi tentu sangat rentan mengingat di pasar burung/ pasar gelap lutung tidak pernah dirawat, apalagi kondisinya masih bayi. Tapi mereka tidak pernah mau mengerti, yang mereka tahu bahwa semua satwa harus selamat tanpa peduli kondisinya sebelum disita dan seberapa parah kondisinya saat masuk ke PPS. Dan saat saya mulai bekerja dengan gajah di Sumatera, membuat saya menjadi prihatin, dulu pihak otoritas memarahi saya seperti itu saat ada satwa PPS yang mati pasca penyitaan, namun kenyataannya mereka sendiri dalam merawat satwa tidak mengindahkan animal welfare. Mereka hanya bisa marah dengan mitra namun tidak mau instropeksi diri, itulah yang ada dipikiranku saat melampiaskan kekecewaanku melihat kondisi gajah waktu itu. Bekerja di dua lembaga seperti yang pernah saya alami membuat saya mengetahui siapa yang sebenarnya serius dan fokus bekerja untuk penyelamatan satwa liar. 

Bekerja di lembaga pemerintah merupakan tantangan terberat bagi saya, karena melelahkan dan banyak menyita waktu untuk menghadapi permasalahan dengan manusianya dibandingkan dengan satwa liarnya. Bagaimanapun setiap masalah yang menghadang musti berani untuk menghadapinya, dan tidak malah lari menghindari masalah. Kalau saya memilih jalan itu pasti sejak awal saya sudah pindah pekerjaan dan tidak akan bisa bertahan.

Sebelumnya saya tidak punya bekal sedikitpun tentang perawatan gajah karena memang saya tidak punya pengalaman itu. Almarhum teman saya seorang wartawan Tempo senior mencarikan saya banyak literatur tentang gajah, agar saya pelajari sebelum berangkat ke Bengkulu. Tidak hanya itu, beliau juga berjasa dalam mengajari saya menulis, dengan cara mengedit tulisan-tulisan saya dan memperbaikinya, hingga akhirnya sekarang menulis adalah hal yang menyenangkan buat saya, selain sebagai pelampiasan disaat penat juga untuk mengisi waktu luang. 

Untuk belajar tentang pengobatan gajah, saya juga melakukan travelling keliling Sumatera ke hampir seluruh Pusat Latihan Gajah dan Unit Patroli Gajah serta Kebun Binatang yang ada gajahnya di Sumatera. Belajar dari kolega yang bekerja di LSM untuk selanjutnya sebagai bekal awal bekerja di PLG Seblat.

Keinginan saya untuk bisa bekerja di Pusat Rehabilitasi Orangutan masih terus ada, pada akhirnya saya pun merangkap bekerja sebagai konsultan medis bagi Frankfurt Zoological Society - Sumatran Orangutan Conservation Programme di Jambi. Meskipun berbeda provinsi, namun saya sangat senang dan bersemangat saat bisa bekerja untuk konservasi orangutan. Selain itu saya juga beberapa kali membantu Centre for Orangutan (COP) dalam penangan medis orangutan di lembaga konservasi eksitu, selain sebagai anggota dewan penasehat COP. Jadi selain gajah, saya juga bekerja untuk membantu konservasi orangutan.

Rescue Harimau Sumatera Bernama Dara dari Jerat Pemburu Liar
di HP Aur Rami, Mukomuko, Bengkulu

Suatu hari saya pernah punya keinginan kuat untuk bekerja bagi konservasi harimau sumatera, namun saya tidak tahu bagaimana jalan menuju kesana. Saya menyukai kegiatan yang punya banyak tantangan, dan bekerja untuk harimau liar tentu sangat besar tantangannya. Saya menyukai ini karena belum banyak orang yang mau bekerja di bidang ini, tapi kalau bekerja untuk orangutan dan gajah sudah cukup banyak, tidak hanya dokter hewan Indonesia tetapi juga dokter hewan asing. Kesan harimau yang menyeramkan membuatku malah tertarik, dan kini saya jatuh cinta dengan satwa liar yang satu ini. Tak lama kemudian saya mendapat kesempatan untk pertama kalinya merescue harimau dari jerat pemburu liar bersama Tiger Protection and Conservation Unit dan BKSDA Bengkulu, dan itu adalah untuk pertama kalinya harimau yang diselamatkan dalam kondisi hidup. Sejak itu saya menjadi sangat bahagia bekerja untuk penyelamatan harimau baik dari konflik dengan manusia maupun perburuan liar.

"Bila ingin bekerja untuk konservasi satwa liar maka kita harus merintisnya sejak dini, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang mendukung cita-cita kita. Bekerja untuk satwa liar butuh konsistensi dan idealisme, selain itu musti mau dan mampu bekerja setengah sukarela, karena yang dibutuhkan bukanlah orang yang hanya money oriented dan project oriented, tapi orang yang bekerja dengan hati"

Senin, 29 September 2014

Narasumber dalam Training "Human-Tiger Conflicts Mitigation" di Bengkulu


Hari Sabtu, tanggal 20 September 2014 saya mendapat undangan dari Yayasan Genesis Bengkulu untuk memberikan training sehari tentang 'Penanggulangan Konflik Manusia dengan Harimau' di Kota Bengkulu. Peserta pelatihan tersebut adalah perwakilan masyarakat dari beberapa desa di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu yang desanya berdekatan dengan habitat harimau sumatera dan Taman Nasional Kerinci Seblat, dan tentunya punya resiko tinggi terhadap terjadinya konflik antara warga setempat dengan harimau. Materi pelatihan yang diberikan diantaranya "Cara Identifikasi Keberadaan Harimau Sumatera", dilanjutkan dengan "Kiat-Kiat Mengindari Konflik dengan Harimau Sumatera", serta materi terakhir adalah "Metode Penanggulangan Konflik dengan Harimau Sumatera". Selain materi berupa presentasi lisan tersebut juga disediakan waktu untuk berdiskusi/ tanya jawab dan praktek. Kegiatan tersebut berjalan dengan lancar dimulai dari pagi dan berakhir di sore hari.

Beberapa hari kemudian saya kembali melakukan perjalanan ke luar kota yakni ke Kabupaten Mukomuko yang terletak diujung bagian utara Provinsi Bengkulu. Kebetulan saya mendapat undangan untuk menjadi narasumber dalam training yang sama, yakni tentang Human-Tiger Conflic Mitigation untuk private sectors (sektor swasta) yang akan dilaksanakan pada tanggal 24-25 September 2014. Sebelumnya di awal tahun ini saya beserta tim dari Forum Konservasi Harimau Sumatera (Forum HarimauKita) juga pernah memberikan training yang sama untuk private sectors di Provinsi Jambi dan Provinsi Riau. Dan kini diundang untuk menjadi narasumber bagi training yang diadakan oleh perusahaan perkebunan di Provinsi Bengkulu, yang juga memiliki areal HGU (Hak Guna Usaha) berdampingan langsung dengan habitat harimau serta memiliki hutan restorasi yang memang merupakan habitat harimau sumatera di areal konsesinya tersebut.

Mukomuko Airport. Photo : Erni Suyanti Musabine
Hari itu Selasa, tanggal 23 September 2014 saya berangkat dari Kota Bengkulu pukul 13.00 WIB dengan menggunakan pesawat kecil berkapasitas 12 orang dari Bandara Fatmawati Bengkulu menuju Bandara Mukomuko. Perjalanan yang ditempuh hanya selama 40 menit. Biasanya saya melakukan perjalanan ke Kabupaten Mukomuko via darat dengan jarak tempuh selama kurang lebih 7 jam. Harga tiket pesawat dan biaya travel juga tidak terlalu jauh, tiket penerbangan dengan pesawat kecil tersebut sebesar Rp. 340.000,- sedangkan dengan menggunakan travel sekitar Rp. 100.000,- s/d Rp. 180.000,- belum termasuk biaya untuk makan di perjalanan, dan ditambah lagi rasa kecapekan karena berjalanan yang lama dan jauh.

Sesampainya di Bandara Mukomuko, saya dijemput oleh karyawan dari perusahan tersebut untuk diantarkan ke guest house di tempat mereka. Terlihat disana juga sedang banyak tamu, saya tidak sendirian, namun kami mempunyai tujuan yang berbeda. Mereka ada yang sedang bekerja sebagai auditor dan dua orang lainnya dari perusaahan lain yang bergerak dibidang pengolahan limbah dan pemanfaatan limbah untuk biogas. Malam itu saya lebih banyak beristirahat di dalam kamar, sambil sebelumnya memeriksa kembali materi presentasi untuk training yang akan saya sampaikan esok hari nya.

Rabu tanggal 24 September 2014, pagi-pagi saya sudah bersiap diri untuk menuju lokasi training. Sebelum dimulai, di tempat training saya diperkenalkan dan berbincang-bincang sebentar dengan seorang expratiate yang merupakan General Manager perusahaan tersebut dan Bupati Mukomuko yang kebetulan juga ada di lokasi. Mendengar bahwa saya akan memberikan training tentang Human-Tiger Conflict Mitigation, bupati tersebut juga menghubungi organisasi Pencinta Alam di Kabupaten Mukomuko untuk ikut serta dalam pelatihan ini. Hari itu adalah jadwal saya seharian memberikan training tentang Human-Tiger Conflict Mitigation bagi semua manager di group perusahaan tersebut dan seluruh rangers dan asisten dari PT. Agromuko dan PT. MMAS. Materi training tidak hanya berupa oral presentation tetapi juga diskusi interaktif (tanya jawab) dan praktek di akhir kegiatan.

Training 'Human-Tiger Conflict Mitigation' di PT. Agromuko dan PT. MMAS, Mukomuko Bengkulu. 

Sesuai dengan hasil diskusi sebelumnya dan permintaan dari pihak perusahaan maka materi training yang saya berikan adalah 1. Sosialisasi Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-II/ 2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar; 2. Sosialisasi Panduan Praktis Penanganan Konflik antara Manusia dengan Harimau; 3. Cara Identifikasi Keberadaan Harimau dan Satwa Liar Lainnya; 4. Kiat-Kiat Mencegah dan Menghindari Konflik dengan Harimau; 5. Penanganan Harimau Sumatera Korban Konflik dan Perburuan Liar; 6. Praktek Pengenalan Alat untuk Mitigasi Konflik dengan Harimau. Materi yang harus saya sampaikan cukup banyak dan padat. Biasanya kami membutuhkan waktu sekitar 3 hari untuk pemberian materi seperti itu, namun kini dituntut untuk meringkasnya menjadi satu hari saja dan dengan hasil yang optimal. Sungguh ini pekerjaan yang berat, sebagai instructor, kita akan selalu berharap bahwa materi yang diberikan akan dipahami seluruhnya dan bisa diaplikasikan demi keselamatan karyawan dan orang-orang yang pekerjaannya sehari-hari bersinggungan langsung dengan habitat harimau serta demi keamanan harimau itu sendiri. Dan dari semua materi yang diberikan berhubungan dengan hal itu.

Selama waktu diskusi banyak pertanyaan dan juga berbagi pengalaman yang berhubungan dengan materi yang diberikan. Bahkan waktu training yang diberikan dirasa sangat kurang karena peserta sangat antusias untuk berdiskusi. Banyak pertanyaan yang sangat bagus disampaikan, diantaranya yang menjadi perhatian saya adalah :
Pertanyaan ini disampaikan oleh para manager :

  • Seperti apa peran sektor swasta dalam Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar ?
  • Bila terjadi Human-Elephant Conficts di areal perusahaan perkebunan, dan satwa tersebut dibunuh, apakah hukumannya dan adakah peraturan yang mengatur tentang itu ?

Pertanyaan seperti ini juga diajukan oleh manager lainnya yakni,

  • Di Kalimantan banyak orangutan yang dibunuh oleh perusahaan perkebunan sawit karena dianggap hama, begitu juga dengan gajah di Sumatera. Adakah aturan hukum yang mengatur untuk memberi sanksi pada para pelaku tersebut ?
  • Bila perburuan harimau hanya dikenai sanksi hukuman 5 tahun penjara dan denda 100 juta apakah hukuman itu tidak terlalu ringan karena tidak sebanding dengan harga jual harimau hasil perburuan di pasar gelap.
  • Apakah perambahan yang terjadi pada habitat harimau juga akan memicu terjadinya konflik ? Dan mengapa perambahan dan illegal logging seringkali tidak segera ditangani saat sebelum meluas dan semakin banyak ?

Pertanyaan yang diajukan oleh karyawan/ ranger :

  • Bagaimana cara penanganan konflik harimau yang berkeliaran di pemukiman ?
  • Pada tahun 2011 ada harimau yang berkeliaran di pinggir perkebunan dan terjadi perjumpaan langsung dengan masyarakat yang akan pergi ke ladang, harimau berjalan mengarah ke orang tersebut, apa yang harus dilakukan ?
  • Bila mencium bau bangkai dan juga menemukan jejak harimau disekitarnya maka apa yang harus dilakukan ?
  • Di salah satu estate milik perusahaan perkebunan juga banyak dijumpai macan dahan. Apakah perilaku makan macan dahan sama dengan harimau ?

Peserta Training dari PT. Agromuko dan PT. MMAS
Dan masih banyak pertanyaan berbobot lainnya yang tak mungkin saya sebutkan satu per satu disini. Dalam diskusi tersebut saya banyak menjelaskan hal-hal teknis di lapangan yang berhubungan dengan konflik harimau, kemudian tentang Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, karena harus menjelaskan tentang pengertian hutan dan institusi apa saja sebagai management authority baik yang di pusat atau daerah sebagai pengelolanya. Juga memberikan penjelasan mengenai Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kedua peraturan perundangan itu erat hubungannya dengan Human-Wildlife Conflict, yang satu membahas tentang satwa liar dilindungi dan satunya lagi membahas tentang habitatnya. Dan ini juga sangat berkaitan dengan Permenhut No. P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Satwa Liar, maka dalam Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik Manusia-Satwa Liar serta Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Manusia-Satwa Liar harus melibatkan banyak pihak, tidak hanya pemerintah pusat saja (Kementerian Kehutanan) tetapi juga pemerintah daerah, pihak swasta, LSM yang bergerak dibidang itu serta masyarakat dan aparat. Mereka punya peran masing-masing.

Kita ketahui selama ini dalam kejadian konflik antara manusia dengan satwa liar bahwa, "Siapa yang berbuat ? Siapa yang menanggung akibatnya ? Dan Siapa yang bertanggung jawab ?" Semua berbeda, bukan pihak yang sama, untuk itu sekarang semua harus ikut bertanggung jawab dalam penanganan konflik antara manusia dengan satwa liar ini. Mengingat pemicu konflik ini penyebabnya sangat komplek dan melibatkan banyak pihak untuk itu juga menuntut banyak pihak ikut bertanggung jawab dalam penanganan konflik ini.

Praktek Mitigasi Konflik Harimau. 
Siang harinya sampai menjelang sore hari, training dilanjutkan dengan praktek tentang pembuatan salah satu alat untuk mitigasi konflik harimau, yakni meriam karbit. Peserta kali ini hanya diikuti oleh petugas lapangan yakni asisten dan ranger. Kemudian kami praktekan cara pemakaiannya.

Pukul 17.00 WIB kegiatan training hari itu selesai dan akan dilanjutkan esok hari untuk materi lainnya. Saya diantarkan ke guest house. Sesampainya di depan penginapan, teman baru saya yang saya kenal ditempat itu, satu dari Indonesia dan satu lagi dari India, mereka adalah staff perusahaan pengolahan limbah untuk dijadikan biogas, menawari saya untuk ikut keluar makan bersama di Penarik. Akhirnya kami bertiga keluar ditemani oleh seorang supir perusahaan. Lumayan untuk refreshing sejenak dengan berbincang-bincang membahas makanan khas negara masing-masing, setelah capek seharian berbicara serius di depan peserta pelatihan. Malam itu saya ditraktir oleh teman dari India untuk makan Kwiteau, itulah makanan favoritnya selama berada di Mukomuko. Sepulang dari jalan-jalan dan sampai di guest house, kami masih juga makan malam kembali bersama dengan tamu lainnya :)

Saya tidak langsung beristirahat dan tidur, tapi masih berbincang-bincang santai di teras dengan teman lainnya. Akhirnya saya kembali ke kamar karena masih ada pekerjaan yang belum selesai dan musti saya ketik malam itu.

Praktek Analisa Vegetasi

Kamis, tanggal 25 September 2014. Hari itu materi training akan disampaikan oleh internal perusahaan yakni tentang Analisa Vegetasi, materi lainnya adalah Teknik Patroli dan Input Data Hasil Patroli ke Program Smart, Penggunaan GPS serta praktek lapangan. Peserta pelatihan adalah ranger, asisten serta diikuti oleh Pencinta Alam di Mukomuko yang ditugasi oleh Bupati Mukomuko untuk ikut serta. Sisa waktu hari itu saya manfaatkan untuk mengikuti training tersebut sambil menunggu jadwal penerbangan kembali ke Kota Bengkulu.

Sejak siang hari turun hujan deras, yang membuat cemas takut pesawat akan batal terbang ke Kota Bengkulu padahal saya musti kembali ke Bengkulu secepatnya karena ada tugas lainnya. Secepatnya membuat rencana/ Plan B bila diputuskan tidak ada penerbangan ke Bengkulu karena cuaca buruk. Saya akan naik travel malam harinya dan akan sampai Kota Bengkulu pagi harinya. Setelah menunggu lama di bandara dengan ditemani sopir dari perusahaan akhirnya hujan reda dan saya mempersilahkan sopir tersebut untuk kembali ke perusahaan, karena penerbangan ke Bengkulu akan tetap ada sore itu. Pukul 16.00 WIB berangkat dari bandara Mukomuko, sore itu saya bertemu lagi dengan Bupati Mukomuko yang kebetulan juga satu penerbangan dengan saya menuju Bengkulu.

Narasumber dalam Training Human-Tiger Conflict Mitigation
dan Analisa Vegetasi
Seharusnya kegiatan sosialisasi seperti ini bisa dilakukan oleh Penyuluh Kehutanan dan sudah harus menjadi kegiatan rutin di setiap BKSDA atau Taman Nasional yang di wilayahnya rawan konflik dengan satwa liar. Materi yang diberikan juga harus tepat sasaran dan sesuai kebutuhan disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah serta satwa liar jenis apa saja yang berkonflik dengan masyarakat disana. Karena cara penanganan konflik masing-masing satwa liar berbeda, harus memahami perilaku satwa liar dan hal-hal lain yang berhubungan dengan satwa liar tersebut. Materi juga harus mudah dipahami oleh masyarakat yang hidup berdampingan dengan habitat satwa liar serta bisa diaplikasikan secara nyata. Semua dilakukan untuk perlindungan satwa liar yang terlibat konflik, dalam hal ini adalah harimau sumatera dan habitatnya juga kenyamanan orang-orang yang tinggal berbatasan langsung dengan habitat harimau, mendorong mereka untuk bisa hidup berdampingan dengan harimau.

Dalam pelatihan ini juga diharapkan adanya peran aktif perusahaan sektor swasta dalam mencegah dan menangani konflik satwa liar, diharapkan di internal mereka sendiri sudah memiliki protokol pengambilan keputusan yang jelas bila menjumpai kasus konflik manusia-satwa liar di areal konsesinya. Dan setiap tindakan yang dilakukan tetap berpedoman bahwa Satwa Liar dan Manusia sama-sama penting, dan dilakukan secara tepat, cepat, efektif dan efisien. Dan mereka harus tahu sejauh mana yang bisa dilakukan oleh perusahaan/ sektor swasta dalam penanganan konflik satwa liar, dan tindakan apa saja yang hanya boleh dilakukan oleh petugas terkait/ pihak berwenang. Seperti penangkapan satwa liar sebagai upaya penanggulangan konflik atau penyelamatan dari perburuan hanya boleh dilakukan oleh pihak berwenang atau seijin pihak berwenang dalam hal ini BKSDA setempat, untuk menghindari terjadinya tindakan anarkis yang merugikan satwa liar dan mengancam jiwanya.

Minggu, 14 September 2014

Berbagi makanan untuk harimau di hari ulang tahunku :)


14 September 2014, adalah hari ulang tahunku. Aku sendiri tak selalu mengingatnya,
Sumatran tiger 'Elsa'. Photo by Erni Suyanti M
terkadang baru mengetahui kalau sedang berulang tahun dari teman-teman yang begitu banyak mengirimkan ucapan di hari ulang tahunku.  Dari masa kanak-kanak sampai dewasa di keluargaku memang tak pernah ada tradisi untuk perayaan ulang tahun sehingga bagiku pun hari ulang tahun sama seperti hari-hari lainnya. Tak pernah menerima kado ulang tahun dari keluarga, yang ada hanya hadiah bila kami mendapatkan nilai bagus di sekolah itupun untuk mendapatkannya musti berkompetisi ketat dengan saudara-saudaraku. Kebetulan mereka adalah juara kelas bahkan siswa terbaik di sekolahnya. Sedangkan aku di masa kecilku, aku bukanlah juara kelas hanya seorang siswa dengan nilai matematika terbaik di sekolah, dan juga senang ikut berorganisasi sejak usia dini serta senang ikut perlombaan bakat baik dibidang seni maupun olahraga.

Setelah beranjak dewasa baru aku mulai punya tradisi merayakannya bersama teman-teman dekatku. Seperti kebanyakan remaja lainnya yang suka merayakan ulang tahun dengan makan bersama, dan mendapat hadiah istimewa dari mereka. Moment seperti itu adalah saat yang paling membahagiakan tentunya. 

Saat aku telah bekerja dan berkecimpung dengan satwa liar, tradisi seperti itu tidak selalu dilakukan lagi. Mungkin karena aku sangat menyukai pekerjaanku dan menyukai satwa liar terancam punah yang aku tangani terkadang muncul ide-ide secara spontan untuk merayakan ulang tahun bersama mereka. Bukan aku namanya kalau tidak selalu punya ide-ide yang aneh. Berbagi kebahagian di hari yang istimewa tidak musti dengan sesama teman dan keluarga atau dengan sesama manusia, dengan makhluk lainnya pun tak ada salahnya menurutku. 

Sumatran orangutan ' Temara'. Photo by Erni Suyanti Musabine
Beberapa tahun yang lalu saat aku masih menjadi konsultan medis di Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera ada salah seekor orangutan betina bernama Temara. Orangutan ini lahir di kebun binatang Perth, Western Australia kemudian dilepasliarkan kembali ke hutan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Provinsi Jambi. Yang membuatku berkesan saat itu, orangutan Temara hari ulang tahunnya sama denganku, sehingga aku pun pernah punya ide untuk merayakan ulang tahun bersamanya di hutan. Sederhana saja, dengan membeli buah-buahan yang disukainya kemudian aku berbagi makanan itu dengannya :)

Dan hari ini, saat aku berulang tahun kembali aku ingin merayakannya dengan satwa yang ada disekitarku. Ide itu muncul tiba-tiba, kemudian aku langsung melaksanakannya tanpa berpikir panjang, aku ingin berbagi makanan dengan harimau kami bernama Elsa di hari ulang tahunku kali ini. 


Kenapa harus dengan harimau Elsa ?

with Tiger 'Elsa' on my Birthday
Karena dia salah satu harimau sumatera yang kondisinya telah menguras simpati dan emosiku saat ini. Teringat lagi hari itu, Kamis tanggal 3 April 2014 pukul 11.33 WIB telah berhasil membius harimau tersebut untuk melepaskannya dari jerat pemburu liar. Tim rescue dan harimaunya dalam kondisi selamat. Untuk menyelamatkannya pun bukanlah hal yang mudah, karena disaat itu ada dua ekor harimau lain yang menunggu dekat harimau terjerat, dan jerat sling masih terikat di kaki depannya meski telah putus dari kayu pengikatnya yang membuat harimau tersebut berjalan-jalan dan berpindah tempat serta harimau tak bisa terlihat dengan jelas dari jalan setapak karena masuk semak belukar. Upaya rescue harimau yang penuh resiko bagi keselamatan petugas dan tentu nyawa taruhannya karena harimau dalam kondisi bebas. Apapun kesulitannya namun akhirnya harimau bisa dievakuasi dengan berbagai trik yang muncul spontan di lapangan. Harimau selamat, petugas pun selamat setelah bekerja selama lebih dari 24 jam untuk penyelamatan harimau itu. Padahal kondisiku sendiri pada saat itu sedang sakit serius yang mengharuskan aku untuk istirahat total (bedrest). Bahkan dua petugas kami yang mengamankan lokasi harimau kelaparan karena tidak ada logistik yang datang karena harus menunggu lebih dari sehari.

Kedatangan kami bersama harimau pun tak pernah membuat orang-orang itu menanyakan hingga kini, "Bagaimana kondisi harimaunya ? Apakah tim rescue baik-baik saja? Apakah yang dibutuhkan untuk perawatan harimau itu ?" Ketahuilah, kami bukan orang yang minta dihargai dalam setiap kegiatan yang kami lakukan untuk satwa liar, yang kami inginkan hanya satwa yang kami bawa dan terluka itu perlu diperhatikan.   

Harimau sumatera yang aku beri nama Elsa akhirnya harus kehilangan 4 jari dan telapak kaki depannya yang bagian kanan karena harus diamputasi demi untuk menyelamatkan nyawanya. Kaki yang terkena jerat itu telah membusuk, jaringannya telah mati. Itu artinya dia akan cacat seumur hidup akibat korban para pemburu liar. Tidak cukup sampai disitu, bantuan makanan dari pihak otoritas pun tersendat-sendat yang membuatku harus menggalang dana dan mencari bantuan dari pihak lain. Karena nutrisi yang baik adalah salah satu faktor yang mempercepat penyembuhan. Meski aku sendiri tahu bahwa pegawai negeri sipil dilarang untuk mencari dana dari pihak lain kecuali dalam kondisi darurat, itu yang pernah diucapkan oleh pimpinanku. Bagiku harimau yang kelaparan dan tidak ada dana untuk membeli pakannya adalah kondisi darurat, tapi entah menurut pihak lain bila harimau yang lapar tidak dianggap darurat dan masih bisa diacuhkan. Berpikirku sederhana saja, bila lapar ya harus makan, dengan hanya menurut aturan tidak bisa membuat satwa menjadi kenyang dengan sendirinya tanpa adanya dana untuk membeli makanannya. Beberapa teman yang aku kenal baik yang di Indonesia maupun diluar negeri secara individu patungan untuk memberi makan harimau Elsa, mereka adalah teman-temanku di komunitas Forum Konservasi Harimau Sumatera (Forum HarimauKita) juga teman Pecinta Alam Wanala Unair, Juga mendapat bantuan dari beberapa orang yang bekerja di lembaga yang bergerak dibidang konservasi satwa liar baik perorangan maupun organisasi seperti ASTI dan Animals Indonesia. Dan yang lebih mengharukan lagi, para mahasiswa Kedokteran Hewan di Universitas Udayana Bali yang rela melelang barang-barang pribadinya untuk mengumpulkan dana guna membantu memberi makan harimau Elsa. Aku merasa terharu sekaligus bangga dan bahagia menghadapi kenyataan bahwa orang-orang Indonesia masih banyak yang peduli dengan satwa liar Indonesia sendiri. Karena selama ini kita sering mendengar bahwa bantuan untuk satwa liar seringkali datang dari orang asing.  

Setelah lima bulan berlalu kondisi Elsa sudah membaik tentunya. Dan secara medis telah direkomendasikan untuk ditranslokasi ke tempat yang lebih baik ataupun dilepasliarkan kembali bila perilakunya masih memungkinkan. Keinginan itupun belum terwujud karena adanya beberapa kepentingan yang membuat harimau itu akhirnya tetap dipertahankan dalam kandang sempit seperti saat perawatan untuk penyembuhan. Aku pun menghentikan upaya pencarian dana pakannya setelah membaca surat instruksi itu dengan tidak sengaja, karena aku tidak mau mengecewakan orang-orang yang telah menyumbangkan dananya untuk pakan Elsa, tentunya mereka banyak berharap agar selanjutnya hidup Elsa berakhir di tempat yang lebih baik. Dua kepentingan yang bertolak belakang itu membuatku kecewa tentunya, karena tidak setimpal dengan upaya yang telah kami lakukan untuk menyelamatkannya sampai sembuh. Kami juga tidak rela hidupnya akan berakhir di tempat yang kurang nyaman dan menyenangkan baginya. Akhirnya kusampaikan dan kuserahkan kembali perawatan harimau tersebut kepada pihak berwenang untuk menghidupinya. 


Hari ini, minggu tanggal 14 September 2014 aku teringat padanya. Beberapa cerita pilu yang sering kudengar, bahwa Elsa belum makan karena tidak ada dana untuk itu. Aku menelpon petugas yang biasa memberi makan untuk menanyakan sudah berapa hari Elsa tidak makan. Jawabannya membuatku bergegas ke pasar tradisional yang tak jauh dari tempatku tinggal. Aku ingin merayakan ulang tahunku dengannya. Aku tidak ingin merayakan ulang tahun dengan siapa pun, hanya  ingin dengannya saja. Aku ingin mentraktirnya makan. Aku mencari daging ayam yang masih segar, karena daging sapi adanya hanya di waktu pagi saja, sambil membayangkan pasti dia senang dengan apa yang kubawa ini untuknya.

Seperti biasa, dia tahu saat aku datang meski pintu belum aku buka, terdengar raungan dari dalam sana itu artinya dia tahu ada orang yang sedang berdiri dibalik pintu kandangnya. Dia begitu agresif melihatku membawa hadiah untuknya. Bahagia melihatnya lagi, juga sedih karena dia tampak lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Berulang kali dalam hati aku meminta maaf padanya karena tidak mampu membuat kondisinya jauh lebih baik sesegera mungkin. Aku merasa menjadi orang tidak berguna dihadapannya. Pertemuanku dengan Elsa saat ini banyak menguras emosiku, aku menangis terharu. Bahkan saat menulis ini pun air mata ini tak juga berhenti. 

Harimau Elsa makan dengan rakusnya tanpa ada sedikitpun yang tersisa. Bahkan dia akan meraung marah bila aku terlambat menyuapinya. Seorang rekan kerja datang sore itu dan bercerita bahwa teman kami yang selama ini secara sukarela sering membantuku dalam perawatan harimau telah melakukan penggalangan dana sendiri tanpa sepengetahuanku, yakni dengan meminta dan mengumpulkan sumbangan sukarela pada orang-orang di kantor kami guna membeli makanan untuk harimau Elsa. Apa yang dia lakukan sungguh membuatku terharu. Ternyata aku tidak sendiri, masih ada orang-orang disekitarku yang juga peduli. Kuakui, baru kali inilah kami merasa kesulitan dalam perawatan harimau korban perburuan liar karena sebelumnya tak pernah dalam kondisi seburuk ini. Di hari ini aku hanya bisa berharap semoga harimau Elsa cepat mendapatkan tempat yang lebih layak agar kondisinya jauh lebih baik dan welfare, serta semoga orang-orang yang telah membantu dan berbuat baik untuknya mendapat balasan di akhirat nanti. Aamiin.....Ya Allah Ya Rabbal 'Alamin.

Minggu, 07 September 2014

Pelatihan Dokter Hewan dan Paramedis untuk Penanganan Satwa Liar



the 1st Veterinarian Training in Sumatra : Tiger Rescue - Health and Handling


Praktek Pembiusan Harimau Sumatera di Kebun Binatang Bukittinggi. 

Berdasarkan fakta yang ada bahwa beberapa tahun terakhir konflik antara manusia dan satwa liar semakin meningkat karena berbagai sebab. Salah satu satwa liar yang seringkali dianggap berkonflik dengan manusia adalah harimau sumatera. Konflik antara manusia dengan satwa liar seperti harimau, gajah dan beruang madu seringkali menimbulkan kerugian di kedua belah pihak, yakni kerugian harta benda, ancaman keselamatan jiwa manusia dan satwa liar terancam punah itu sendiri tentunya. 

Dalam setiap upaya penyelamatan satwa liar dari korban konflik juga perburuan selalu membutuhkan dokter hewan yang memiliki kemampuan dalam penanganan satwa liar. Karena penanganan satwa liar di habitatnya agak berbeda dengan hewan ternak dan hewan peliharaan lainnya. Penanganan satwa liar yang tepat akan berpengaruh terhadap keamanan dan keselamatan tim atau petugas juga bagi satwa liar itu sendiri.

Praktek Pelatihan Sumpit Bius di Kebun Binatang Bukittinggi
Untuk itu perlu adanya pembekalan bagi dokter hewan yang memiliki wilayah kerja di sekitar daerah konflik satwa liar di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat yang berasal dari empat provinsi, yakni Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu dengan pemberian pelatihan khusus tentang Tiger Rescue, Health Care and Handling; Animal Welfare; Profil Konservasi Satwa Liar Indonesia secara umum dan lain-lain. Juga dilakukan praktek pembiusan harimau sumatera dan praktek sumpit bius. Pelatihan ini diadakan oleh Akar Network bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat. Diadakan di Bukittinggi pada tanggal 6 s/d 7 September 2014.

Petugas medis (dokter hewan) yang bekerja untuk satwa liar sangat terbatas, terutama yang memiliki kemampuan dalam penanganan harimau sumatera. Itu juga menjadi salah satu kendala bagi otoritas terkait yakni Kementerian Kehutanan dalam hal ini BKSDA dan Taman Nasional dalam melakukan penyelamatan harimau sumatera dari konflik dan perburuan. Dan ini merupakan pelatihan yang diadakan untuk pertama kalinya di Sumatera bagi para dokter hewan di daerah rawan konflik satwa liar guna membantu Kementerian Kehutanan dalam upaya penyelamatan satwa liar terutama harimau sumatera. 

Materi Kelas oleh Drh. Wisnu Wardana dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia

Peserta pelatihan diwakili oleh dokter hewan praktisi yang bekerja di berbagai institusi, sebagian besar berasal dari Dinas Peternakan/ Puskeswan yang berlokasi di dekat daerah-daerah rawan konflik satwa liar dengan manusia, yakni yang daerahnya berdekatan dengan kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Selain itu juga ada beberapa dokter hewan praktisi, dokter hewan kebun binatang setempat serta paramedis yang biasa membantu dokter hewan dalam penanganan satwa liar.  Dengan harapan para kolega ini adalah orang terdekat di daerah konflik satwa liar, sehingga upaya penyelamatan satwa liar bisa dengan cepat dilakukan tanpa perlu menunggu tenaga medis dari daerah lain. Peserta pelatihan juga diikuti oleh petugas lapangan dari BKSDA terkait. Peminat pelatihan ini sangat banyak, peserta yang mengikuti pelatihan membengkak dua kali lipat dari jatah yang diberikan. Dan itupun masih banyak para kolega yang berminat namun tidak bisa mengikuti pelatihan meskipun mereka bersedia membayar akomodasi dan transportasi sendiri. Kami memang membatasi peserta untuk pelatihan seperti ini karena bila terlalu banyak juga tidak bisa efektif dalam penyampaian materi dan praktek.

Materi Kelas oleh Drh. Erni Suyanti Musabine dari BKSDA Bengkulu - Kementerian Kehutanan

Sebagai narasumber dalam pelatihan ini adalah Drh. Wisnu Wardana dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia yang memberikan materi tentang Profil Konservasi Satwa Liar Indonesia, Animal Welfare dan Am a brave enough to be wildlife veterinarian? Tips and trick to be wildlife veterinarian. Selain itu Drh. Wisnu Wardana juga menyampaikan materi tentang Jenis-Jenis Obat Bius : Kelebihan dan Kekurangannya.  Sedangkan narasumber lainnya adalah saya sendiri dari BKSDA Bengkulu. Kami berdua juga merupakan anggota Forum Konservasi Harimau Sumatera (Forum HarimauKita). Saya memberikan materi teknis tentang The Basics of Safe Anaesthesia in Sumatran Tigers, Anaesthetic Emergencies and health care, praktek penggunaan blowdart dan praktek pembiusan harimau sumatera di Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan Bukittinggi, Sumatera Barat. Selain itu juga dilakukan evaluasi kegiatan pembiusan harimau dan diskusi interaktif.

Diharapkan dengan adanya kegiatan ini akan dimanfaatkan untuk menjalin komunikasi antara jaringan Akar Network yang berada di wilayah potensial konflik satwa liar dengan para kolega dokter hewan di wilayah tersebut juga dengan pihak otoritas setempat yakni Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di daerah dalam hal ini BKSDA dan Balai Taman Nasional. Sehingga satwa liar korban konflik bisa tertangani dengan cepat serta untk mengurangi kerugian/ dampak akibat konflik satwa liar juga perburuan. 

Peserta Pelatihan Dokter Hewan dan Paramedis di Bukittinggi

Semoga pelatihan seperti ini bisa dilakukan di daerah lain yang juga rawan konflik satwa liar terutama harimau sumatera. Penanggulangan konflik secara kolaborasi dengan berbagai pihak yang berkompeten akan sangat membantu mengurangi dampak akibat konflik itu sendiri terutama bagi satwa liar terancam punah agar bisa ditangani dengan cepat dan tepat.