Jumat, 04 April 2014

Penyelamatan Harimau Sumatera yang Terperangkap Jerat Pemburu di Kabupaten Kaur, Bengkulu


Catatan Perjalanan

Rabu, 2 April 2014

Sudah tiga hari kondisi saya lemah karena Hypotensi (tekanan darah rendah).  Kondisi seperti ini seringkali membuat saya khawatir untuk bepergian atau perjalanan jauh, karena tekanan darah yang terlalu rendah bisa membuat saya tiba-tiba terjatuh dan pingsan. Untuk kembali pulang ke Bengkulu saya memilih penerbangan pagi pukul 7.20 WIB.  Setelah check in di bandara Soekarno Hatta, tubuh saya terasa sangat lemah dan tak bertenaga serta telah berkeringat dingin, pucat dan gemetaran, saya berpikir untuk membatalkan perjalanan ke Bengkulu dan kembali pulang. Dalam keragu-raguan tersebut akhirnya saya tetap melanjutkan perjalanan dan berhasil sampai kedalam pesawat tanpa menghadapai masalah. Setelah landing di bandara Fatmawati Bengkulu, kembali muncul kekhawatiran apakah saya sanggup berjalan sampai pintu kedatangan. Setelah minta bantuan jasa porter dan sopir taxi akhirnya saya bisa pulang kembali ke rumah tanpa hambatan. Hari itu saya berniat untuk kembali istirahat tanpa memikirkan pekerjaan apapun sampai kondisi sehat kembali. Belum sempat beristirahat tiba-tiba handphone saya berdering, seseorang di BKSDA Bengkulu menghubungi saya dan mengabarkan bahwa ada harimau terjerat dan perlu cepat dievakuasi. Setelah itu beberapa teman kerja dan beberapa pejabat di BKSDA Bengkulu menghubungi saya untuk memberi informasi yang sama. Batal beristirahat, saya langsung menyiapkan peralatan dan obat-obatan untuk rescue harimau dan menunggu dijemput karena saya tidak sanggup pergi sendiri ke kantor BKSDA karena tubuh masih terasa lemah. 

Seekor Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang terjerat pemburu 
di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Kamis, 3 April 2014.  
Photo : Erni Suyanti Musabine
Menunggu tim rescue berkumpul, akhirnya kami baru berangkat pukul 3 sore dari Bengkulu menuju lokasi kejadian. Saya berangkat bersama dua orang polisi kehutanan dan dua orang PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) dengan membawa dua buah kendaraan. Dua orang polisi kehutanan lainnya telah berada di lokasi untuk mengamankan harimau agar tidak hilang diambil pemburu. 

Sekitar pukul 10 malam kami baru sampai di perbatasan antara Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Kaur. Sepanjang jalan diiringi hujan deras. Malam itu kami memutuskan untuk menumpang menginap di mess karyawan PT. Dinamika Selaras Jaya yang berada di Sulau. Malam itu tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan karena hujan deras, kondisi jalan buruk, tanah merah berlumpur yang tepinya bukit dan jurang ciri khas jalan di pedalaman Sumatera.

Saya mencoba mencari informasi dari karyawan dan salah satu pimpinan perusahaan perkebunan sawit PT. Dinamika Selaras Jaya yang ada di mess tersebut untuk mengetahui kronologis harimau yang terjerat di sekitar lokasi mereka. Sebelumnya dalam perjalanan saya sudah mendapat informasi awal bahwa ada harimau lain yang menunggu harimau terjerat tersebut. Membuat saya sepanjang perjalanan berpikir keras bagaimana cara yang aman membius harimau terjerat bila ada harimau lain didekatnya. Lagi-lagi saya mendapatkan informasi terbaru yang mengejutkan bahwa kayu pengikat jerat harimau telah patah dan harimau telah berjalan-jalan dan berpindah tempat. Saya demam lagi dan batuk malam itu sehingga tidur lebih dulu sedangkan lainnya masih berbincang-bincang di teras rumah. Karena perempuan sendiri saya mendapat fasilitas untuk tidur di dalam kamar sedangkan lainnya tidur di ruang tamu. Saat memejamkan mata saya pun masih memikirkan bagaimana cara yang aman untuk membius harimau yang jeratnya sudah terlepas dari kayu pancang dan harimau lainnya ada di dekatnya, sedangkan saya tidak membawa senapan bius, yang kami bawa hanyalah sumpit bius.


Kamis, 3 April 2014

Pagi itu setelah selesai memeriksa peralatan dan obat-obatan serta membuat daftar dosis obat-obatan yang akan digunakan untuk rescue harimau, kami segera berangkat menuju mess karyawan PT. Dinamika Selaras Jaya Divisi 1 yang ada di lokasi perkebunan sawit dan lokasinya terdekat dari lokasi harimau terjerat. Disana ada tim Tata Batas HGU dari Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu yang menemukan harimau terjerat tersebut serta polisi kehutanan Seksi Wilayah II KSDA Bengkulu yang ditugaskan untuk mengamankan lokasi harimau sebelum kami datang. Sejauh mata memandang terlihat perkebunan sawit masyarakat dan perusahaan, juga masih terlihat daerah yang masih berhutan. Menurut keterangan mereka bahwa masih sering terlihat juga harimau berkeliaran di areal HGU perusahaan sawit tersebut.  Saya sibuk mengamati sekitar di sepanjang perjalanan, tampak perbukitan terjal yang telah gundul dan telah diganti dengan tanaman sawit yang baru tanam. Juga tampak jurang yang dalam disisi lainnya dari jalan yang kami lalui yang berliku-liku dan naik turun. Akhirnya sekitar pukul 9 pagi kami sampai di mess karyawan PT. Dinamika Selaras Jaya yang termasuk wilayah administratif Desa Beriang Tinggi, Kecamatan Tanjung Kemuning, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Saya pun berusaha mencari informasi dari orang-orang yang menemukan harimau terjerat itu serta mencari perkembangan informasi terkini tentang kondisi harimau. Dan saya mendapat informasi bahwa harimau sudah berpindah tempat dan masuk ke semak belukar dan tak terlihat lagi, sambil melihat photo dan video yang mereka rekam di handphone tentang kondisi sekitar harimau terjerat. Lokasinya telah berubah dengan sehari sebelumnya yang masih terjerat di pinggir jalan. Lagi-lagi membuat saya berpikir untuk kesekian kalinya bagaimana mencari harimau tersebut dengan aman dan bisa membiusnya bila dia berada di belukar yang lebat dan tak terlihat. Sejak harimau sudah berjalan-jalan karena kayu pengikat jeratnya patah, mereka belum berani memeriksa kondisi harimau, mereka memilih menunggu kami datang.

Tim rescue harimau dari BKSDA Bengkulu yang diturunkan ke lokasi hanya 5 orang termasuk saya sendiri, dua orang polhut dan dua orang PEH, dan ditambah dua orang polisi kehutanan (polhut) dari resort setempat untuk survey dan mengamankan lokasi harimau terjerat. PT. Dinamika Selaras Jaya juga menurunkan dua orang Brimob yang bekerja di perusahaan tersebut serta beberapa karyawannya untuk membantu rescue harimau. Selain itu tim Tata Batas Dinas Kehutanan juga turut serta ke lokasi, juga wartawan setempat. Dengan banyaknya orang yang ingin ikut serta dalam rescue harimau bagi saya pribadi ini justru bisa menimbulkan permasalahan baru saat rescue, maka saya mengajak mereka untuk briefing terlebih dahulu sebelum berangkat ke lokasi kejadian, mengingat kami sebagai tim rescue tidak hanya punya tanggung jawab menjaga keselamatan harimau tetapi juga menjaga keselamatan tim. Saya sendiri yang memimpin briefing dan menentukan tugas masing-masing orang. Saya ambil alih koordinasi daripada saya nantinya kesulitan saat melakukan rescue karena banyaknya orang yang ikut serta. Saya tentukan bahwa yang bisa mendekat ke lokasi harimau hanyalah 5 orang, yakni saya sendiri sebagai petugas yang akan melakukan pembiusan dan seorang anggota tim rescue BKSDA yang membantu saya dan membantu dokumentasi kegiatan, seorang polisi kehutanan yang bersenjata yang akan bertugas mengamankan kami bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dan dua orang karyawan PT. Dinamika Selaras Jaya sebagai sopir John Deere dan penunjuk lokasi harimau terakhir kali ditemukan. Sedangkan lainnya tidak diperbolehkan ikut ke lokasi selama proses pembiusan dan harus menunggu di tempat yang telah ditentukan, yang tak terlihat dari lokasi harimau dan baru bisa mendekat setelah saya menyatakan bahwa harimau telah benar-benar terbius dan aman untuk didekati. Sedangkan petugas bersenjata lainnya baik dari polisi kehutanan maupun Brimob diminta untuk mengamankan orang-orang yang ikut serta dalam rescue ini bila harimau lainnya masih di sekitar lokasi kejadian. Saya membutuhkan alat berat John Deere, tidak hanya sebagai alat untuk mengangkut kandang angkut tetapi juga bisa kami pakai untuk mengamankan diri, sebagai pelindung bila harimau meloncat ke arah kami saat akan melakukan pembiusan, mengingat tidak ada pohon besar untuk bersembunyi menurut keterangan orang-orang yang tahu kondisi lokasi kejadian.

Kami pun berangkat, ada yang naik John Deere dan ada yang mengendarai trail. Mendekati lokasi semua orang dilarang bicara dan berisik, suasana harus tetap tenang. Bahkan saya meminta orang-orang untuk mematikan HP. Sambil John Deere berjalan pelan, kami berlima memeriksa kiri kanan jalan yang kami lalui, semak belukar terlalu lebat sehingga kesulitan mencari keberadaan harimau. Dipinggir jalan akhirnya kami menemukan kayu bekas pengikat jerat yang telah patah dan tergeletak di pinggir jalan di tepi hutan, namun tak terlihat ada kawat sling disana, berarti sling masih terikat di kaki harimau tersebut dan dibawa berjalan-jalan. Kami meminta John Deere mendekati kayu tersebut dan berhenti di tempat itu, namun sepertinya sopirnya ketakutan dan bilang, "Bu, Bapak yang bersenjata tadi ada dimana ?" "Tenang aja, pak. Dia ada dibelakang kita", saya berusaha untuk menenangkannya. Kami mencium bau harimau di sekitar sana namun harimaunya tak terlihat. Penunjuk jalan kami akhirnya melihatnya dan bilang, "Itu bangkainya, dia sudah mati", sambil menunjuk semak-semak di sebelah kanan kami. Membuat saya dan polhut turun mendekat dan mengamati dibalik semak belukar, kami melihat loreng harimau pada tubuh bagian belakang dan ekornya, kepalanya tak terlihat, dia tidak bergerak serta tercium bau bangkai yang membusuk, juga terlihat sudah banyak lalat disana. Kami masih berpikir, harimau itu sudah mati atau sedang tidur karena diam dan tak ada bagian tubuhnya yang bergerak ?! Tiba-tiba merasa lega setelah melihat ekornya bergerak, tak lama kemudian diikuti suara raungan keras dan loncatan ke arah kami, membuat kami langsung spontan menghindar dan naik keatas John Deere, diikuti loncatan-loncatan harimau berikutnya karena melihat kehadiran kami. Dari situ kami mengetahui kemampuan dia menyerang sejauh mana, sepertinya jerat di kakinya tersangkut, karena bila tidak maka loncatannya akan mencapai lokasi kami berada. Beberapa kali meloncat ke arah kami membuat jerat sling di kakinya jangkauannya semakin pendek karena membelit disana sini. Itu waktu yang tepat untuk melakukan sumpit bius. Setelah mengamati kondisinya dan melakukan estimasi berat badan, saya segera menyiapkan obat bius di atas John Deere dan turun lagi guna melakukan pembiusan dengan seorang teman. Setiap akan melakukan pembiusan saya juga mempersiapkan bius cadangan yang akan digunakan bila pembiusan pertama tidak tepat sasaran. Lokasi yang rimbun dengan belukar dan harimau yang waspada dan terus melihat kearah kami jelas mempersulit pembiusan. Mencari alternatif untuk bisa melakukan pembiusan dari sisi belakang harimau tetapi sulit untuk dilakukan karena belakang harimau adalah jurang yang dalam dan tidak bisa dilewati, pembiusan hanya bisa dilakukan dari depan atau samping kiri harimau, namun terhalang belukar. Akhirnya memakai strategi lama, yakni satu orang dijadikan umpan untuk menarik perhatian harimau dan membuat harimau berpindah posisi yang bisa terlihat dengan jelas, dan akhirnya baru berhasil disumpit bius. Karena blowsyringe yang saya miliki hanya berkapasitas 3ml maka sumpit bius dilakukan dua kali. Sulit untuk bisa melihat apakah obat bius masuk dengan sempurna apa tidak. Setelah menunggu selama kurang lebih 15 menit harimau sudah tidak meraung-raung lagi, dan mulai tenang, untuk mengamati pupil matanya saya menggunakan zoom camera saya, karena memang tidak membawa binocular/ teropong, terlihat harimau sudah mulai mengantuk dan menjatuhkan kepalanya.

Tiba-tiba orang-orang dari tim lainnya yang saya minta untuk menunggu malah datang ke lokasi untuk memotret harimau tersebut, tentu itu mengganggu pekerjaan saya karena saat harimau belum terbius sempurna mereka datang, akhirnya saya meminta polhut untuk mengarahkan mereka agar menjauh dan tidak berisik, namun masih ada juga yang bandel dan tidak mau diatur, hanya karena ingin memotret harimau dari dekat tapi tidak mau mengikuti prosedur. Ya begitulah tantangan bekerja di lapangan dengan menghadapi banyak orang. Suara berisik dan banyak orang di sekitarnya bisa membuat harimau stress dan sulit tertidur/ terbius. Untuk itu butuh suara tenang disekitarnya selama proses pembiusan dan saat membangunkannya kembali.

Rescue harimau sumatera dari jerat pemburu di Kaur, Bengkulu
Setelah memastikan bahwa harimau telah terbius akhirnya saya mendekati harimau, menutup telinga dan matanya, kepalanya masih bergerak saat itu. Saya periksa syringe bius satu persatu, ternyata hanya satu syringe yang masuk sempurna lainnya obat tidak masuk. Pada saat itu orang-orang mendekati harimau dan saya berteriak, "jangan mendekat dulu, obat bius belum masuk semua". Spontan orang-orang pada menjauh kembali. Dosis sisanya saya suntikan handinject. Setelah polhut memutus tali sling kemudian harimau diangkat dan diletakkan di tempat yang teduh untuk diberikan pengobatan sementara, yakni pembersihan luka bekas jerat, pemberian antiseptik dan salep antibiotik, terapi cairan, pengobatan berupa injeksi antibiotik, antiinflamasi dan analgesik serta pemberian anti parasit karena ektoparasitnya banyak sekali. Selain itu juga dilakukan monitoring vital sign, yakni monitoring temperatur tubuh, detak jantung dan pulsus serta frekuensi nafas per 5-10 menit secara rutin. Selain itu juga dilakukan morfometri dan pemeriksaan fisik. Baru setelah akan bangun kembali baru kami masukkan kedalam kandang angkut.


Setiap evakuasi harimau, saya lebih memilih memegang bagian kepala, karena bila orang lain yang mengangkatnya, saat harimau mengangkat kepalanya menjelang sadar kembali kadang membuat orang takut dan menjatuhkannya. Tidak hanya itu, dengan memegang bagian kepala saya juga bisa mengawasi bila ada orang-orang usil yang ingin mencabut kumis harimau. Seperti saat itu, ada orang yang ikut memegang bagian kepala tiba-tiba mencabut kumis harimau, tentu membuat saya marah dan membentaknya.

Setelah dimasukkan ke dalam kandang angkut yang ditutup dengan daun-daunan, kondisi harimau sudah harus stabil baik detak jantung, pernafasan maupun suhu tubuh. Dan setelah sadar kembali dan bisa pindah posisi baru direkomendasikan untuk ditranslokasi. Karena pengangkutan harimau dalam kondisi belum sadar dari pembiusan akan sangat berbahaya karena akan sulit dikontrol kondisinya dan bila terjadi efek samping yang buruk dari pembiusan akan sulit diketahui dengan cepat sehingga tidak bisa mendapatan penanganan yang cepat pula untuk menormalkan kembali.


Kandang angkut yang telah berisi harimau diangkut lagi oleh John Deere, kemudian kandang angkut dipindahkan ke dalam mobil BKSDA Bengkulu. Siang itu sangat panas, sehingga sepanjang perjalanan harimau diberi minum dan disemprot air. Saat perjalanan keluar dari lokasi harimau terjerat saya memilih duduk di papan kayu yang berada di depan John Deere ternyata mengasyikan berada di depan sendiri saat melalui jalan buruk naik turun.

Saat harimau akan dibawa ke BKSDA Bengkulu, diperjalanan sudah menunggu banyak orang. Pertama kali yang kami jumpai adalah Camat dan Kapolsek Tanjung Kemuning, Kabupaten Kaur beserta rombongannya. Yang lebih mengejutkan lagi, mendekati jalan raya telah berderet orang bersepeda motor, truk dan beberapa mobil berhenti dan menunggu hanya ingin melihat dan memomtret harimau yang telah kami evakuasi. Harimau sejak dulu selalu menarik perhatian orang untuk dilihat. Untuk itu dalam pengangkutan harimau sebaiknya kandang ditutup agar harimau tidak stress bila melihat banyak orang. Stress membuat harimau terluka karena menabrak kandang.

Tiba di kantor BKSDA Bengkulu sekitar pukul 22.30 malam. Harimau langsung dipindahkan ke dalam kandang perawatan yang telah dipersiapkan dan diletakkan di tempat yang terisolasi. Tempat ideal untuk perawatan harimau liar harus terisolasi untuk mengurangi kontak antara manusia dengan harimau yang memicu stress dan luka traumatis.  Harimau liar sering meloncat dan menabrak jeruji kandang bila melihat orang yang mendekati kandangnya.

Menunggu kondisi harimau tenang kembali setelah stress karena penangkapan dan transportasi untuk penanganan lebih lanjut. Selanjutnya akan dilakukan operasi amputasi empat jari pada kaki depan sebelah kanan yang terkena jerat pemburu, karena kondisinya sudah tidak ada vascularisasi dan sudah nekrosis (mengalami kematian jaringan) dan membusuk akibat jerat sling. Bila tidak cepat dilakukan amputasi dikhawatirkan terjadi infeksi sekunder yang lebih serius dan bisa membahayakan nyawa harimau itu sendiri.

Jumat, 28 Maret 2014

Specimen Collection for Laboratory Diagnosis Workshop



Senin, tanggal 24 Maret 2014

Selesai meeting untuk koordinasi dengan kolega dokter hewan yang tergabung dalam Sumatran Tiger Health Forum, yakni diwakili oleh Dr. John Lewis dari International Zoo Veterinarian Group sebagai supervisor dan dokter hewan Taman Safari Indonesia serta saya sendiri di Safari Lodge, Taman Safari Indonesia Cisarua yang membahas tentang rencana kegiatan training untuk mendukung Sumatran Tiger Diseases Surveillance, sore itu dari Cisarua saya segera menuju ke kota Bogor untuk mengikuti meeting lainnya yakni workshop untuk capacity building dokter hewan yang diadakan oleh pemerintah Amerika Serikat dan Kementerian Pertanian yang difasilitasi oleh Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI). Tanggal 24 Maret kami semua peserta workshop sudah harus check in di Hotel Santika Bogor dimana lokasi workshop diadakan. Malam itu saya sampai di Hotel Santika yang satu areal dengan Botani Square Bogor. Saat check in dikejutkan dengan nama teman sekamar saya yang telah ditentukan oleh panitia adalah laki-laki, mungkin karena namanya mirip perempuan sehingga satu kamar dengan saya. Kemudian saya menelpon salah satu panitia dari PB PDHI untuk menanyakan kemungkinan dari kami ada yang bisa dipindahkan ke kamar lainnya. Saat menelpon saya tidak tahu bahwa yang menjawab telepon saya adalah Drh. Ratni, orang yang ada disamping saya....hehe :) Baru malam itu juga saya tahu bahwa yang mengadakan acara ini adalah Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) bersama Kementerian Pertanian RI dan U.S Government yang diwakili oleh USDA dan American Embassy.

Specimen Collection for Laboratory Diagnosis Workshop, 
Santika Hotel - Bogor - West Java, 25 - 27 Maret 2014 
Membuat saya agak salah tingkah setelah mengetahui bahwa panitianya adalah PB PDHI, karena saya diam-diam sedang menghindari bertemu dengan Drh. Wiwiek yang menjabat Ketua Umum PB PDHI, karena saya belum melaporkan hasil perjalanan saya mengikuti konferensi ilmiah tahunan AAZV (American Association of Zoo Veterinarian) setelah pulang dari United States. Karena sebelumnya beliau pernah menanyakan saya apakah sudah pulang ke Indonesia atau belum. Saat sedang menunggu di depan lift untuk menuju kamar saya di lantai tujuh, begitu lift terbuka yang ada dihadapan saya adalah Drh. Wiwiek dan spontan beliau langsung memanggil saya dan mengajak saya berbincang-bincang sejenak dan memperkenalkan saya dengan Dr. Darunee dari Thailand yang bekerja di USDA, salah satu pemateri dalam workshop yang akan saya ikuti. Hehehe.....berusaha menghindari malah bertemu :)

Malam itu saya hanya meletakkan travel bag saya di dalam kamar hotel kemudian keluar lagi ke cafe Telapak dengan seorang teman yakni Drh. Zulvi Arsan yang juga merupakan Ketua Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Aquatik dan Eksotik Indonesia. Kebetulan kami bertemu secara tidak sengaja di lobby hotel karena beliau sedang membantu PB PDHI mempersiapkan acara workshop, mumpung bertemu maka kami merencanakan untuk ngobrol bareng malam itu dan berusaha menghubungi kolega lainnya mungkin bisa ikut bergabung dengan kami. Banyak hal yang kami diskusikan saat itu. Malam itu saya juga bolak-balik mengecek hand phone untuk melihat message dan telepon masuk dari kolega dokter hewan lainnya karena kami juga berencana untuk menjenguk seorang kolega Drh. Retno Sudarwati, yakni dokter hewan Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua yang sedang sakit di rumahnya. Seharusnya hari itu saya rapat koordinasi dengan beliau tentang rencana mengadakan training tentang sample collection guna persiapan Sumatran Tiger Diseases Surveillance bagi petugas lapangan yang bekerja secara langsung untuk harimau liar di Sumatera  di Safari Lodge TSI, kebetulan beliau ditunjuk sebagai Ketua Sumatran Tiger Health Forum dan saya ditunjuk sebagai wakil beliau untuk Field Coordinator di Sumatera. Karena beliau sakit maka tidak bisa menghadiri meeting dan saya ingin menjenguknya dan sekaligus menyampaikan hasil meeting hari itu secara informal. Pada akhirnya pun saya hanya bisa berkomunikasi lewat telepon karena saya sendiri mulai malam itu jatuh sakit.

Selesai berdiskusi dengan Drh. Zulvi Arsan, saya langsung kembali ke Hotel Santika untuk beristirahat karena kondisi tubuh saya sudah menunjukkan gejala kurang sehat dan besok harus mengikuti acara workshop beberapa hari disana.


Selasa, tanggal 25 Maret 2014


Bersama pemateri workshop : Dr. Surapong Wongkrasemjit, 
Dr. Sontana dan Dr. Darunee Tuntasuvan 
Pagi itu kondisi kesehatan saya memang kurang baik, namun melihat materi workshop yang akan disampaikan menarik dan saya pun saat ini sangat membutuhkan pengetahuan tersebut membuat saya menjadi bersemangat mengikuti acara ini.  Peserta workshop didominasi oleh dokter hewan dari Kementerian Pertanian dan Puskeswan, hanya beberapa dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta dua orang dokter hewan dari Kementerian Kehutanan, salah satunya saya sendiri. Pemateri kami berasal dari Thailand, yakni Dr. Darunee Tuntasuvan, Dr. Surapong Wongkrasemjit dan Dr. Sontana. Adapun materi yang diberikan dalam workshop sebagai berikut :


1
Introduction and preparation for specimen collection
2
History taking & clean verses infected zones
3
Sample from live animal, carcass and environment
4
Sample collection, packing and transport
5
Basic laboratory tests (pathogen)
6
Basic laboratory tests (chemical agent)
7
Avian necropsy
8
Mammal necropsy
9
Gross pathology to enhance diagnosis
10
Demonstration : Necropsy
11
Demonstration : Specimen collection & discussion


Sebelum workshop dimulai semua peserta harus mengikuti pre-test dan begitu juga setelah workshop selesai diadakan post-test. Namun sayangnya yang dibahas dalam workshop ini lebih banyak tentang animal domestic terutama hewan ternak, dan pertanyaan saya yang berhubungan dengan field cases pada satwa liar belum banyak terjawab dan belum dapat dijelaskan semuanya akhirnya Dr. Darunee memberikan saya alamat email dan akan memperkenalkan saya dengan kolega dokter hewan yang bekerja di satwa liar di Thailand untuk diskusi lebih lanjut.

Alumnus Faculty of Veterinary Medicine, Airlangga University
Workshop ini berlangsung sampai dengan hari Kamis, tanggal 27 Maret 2014.  Dan kami peserta workshop baru check out dari Hotel Santika pada hari Jumat tanggal 28 Maret 2014. Karena peserta workshop adalah semua berprofesi sebagai dokter hewan maka workshop ini juga sekaligus sebagai ajang reuni karena kami bisa bertemu dengan teman-teman satu alumni dari universitas masing-masing.

Selasa sore selesai acara workshop hari itu, saya bersama dua orang kolega berjalan-jalan ke Botani Square untuk membeli obat-obatan agar kondisi saya menjadi lebih baik, dan makan malam bersama diluar hotel karena pada malam hari kami memang tidak mendapat jatah makan malam. Namun pada malam-malam berikutnya saya tidak keluar hotel untuk makan malam karena badan saya demam dan hilang tenaga. Saya lebih memilih makan malam di dalam kamar dengan memesan makanan dari hotel.


Rabu, tanggal 26 Maret 2014

Kondisi kesehatan saya makin memburuk, mungkin salah satu penyebabnya karena kecapekan. Pada saat makan siang saya satu meja dengan para pemateri workshop, saya banyak berdiskusi dengan Dr. Sontana dan Dr. Darunee Tuntasuvan. Diskusi informal diluar acara lebih efektif karena punya banyak kesempatan untuk bertukar pikiran, berbeda saat berdiskusi di dalam acara workshop yang mana waktu tanya jawab sangat dibatasi. Selain itu disaat coffee break saya juga banyak berdiskusi dengan perwakilan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian terutama tentang dugaan adanya transmisi penyakit dari hewan-hewan domestik pada satwa liar. Saya pun sepertinya harus banyak belajar lagi tentang ilmu epidemiology, yang dulu waktu masih kuliah termasuk mata kuliah yang tidak saya sukai dan sekarang saya malah membutuhkannya dan harus mempelajarinya lagi, bahkan menurut saran beliau, saya diminta bergabung dengan asosiasinya dokter hewan yang berkaitan dengan itu. Di setiap workshop selalu saja ada orang-orang tertentu yang menjadi target saya untuk mendapatkan emailnya guna komunikasi lebih lanjut sebagai tempat saya bertanya, berdiskusi, berkonsultasi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan aktivitas profesi diluar workshop. Tidak hanya acara workshop yang penting bagi saya, tapi juga mengidentifikasi dan mengenal orang-orang yang expert dibidangnya yang berhubungan dengan profesi saya juga tidak kalah penting.


Kamis, tanggal 27 Maret 2014


Praktek Nekropsi di FKH - IPB
Kegiatan workshop tidak hanya dilaksanakan di Hotel Santika, Bogor tetapi juga di kampus Institute Pertanian Bogor (IPB). Di hari terakhir itu kegiatan kami praktek nekropsi dan menonton film dokumenter tentang cara nekropsi, koleksi sampel dan pemeriksaan laboratorium. Drh. Ratni, Drh. Zulvi serta saya sendiri sebagai operatornya secara bergantian. Begitu juga dengan dokumentasi kegiatan, kami bertiga secara bergantian sebagai petugas dokumentasi untuk PB PDHI dari hari pertama kegiatan sampai selesai.

Sejak Kamis sore sudah tidak ada acara lagi di hotel, sehingga saya berniat untuk bertemu dengan teman-teman anggota Sumatran Tiger Conservation Forum di kantor HarimauKita, kebetulan seorang teman dari Zoological Society of London yang bekerja di wilayah Sumatera Selatan juga sedang berada di Bogor, akhirnya kami semua bertemu di kantor HarimauKita. Malam itu saya berangkat ke kantor HarimauKita dengan dijemput seorang teman ke Hotel Santika. Berkumpul dengan teman-teman yang satu idealisme dan sama-sama bekerja untuk perlindungan harimau sumatera terkadang membuat lupa waktu, sekitar pukul 01.30 WIB saya baru kembali ke hotel. Baru esok harinya saya bersiap-siap untuk kembali pulang.

Training seperti ini sangat bermanfaat bagi praktisi dokter hewan untuk menunjang kinerjanya. Koleksi specimen dan pemeriksaan laboratorium merupakan hal penting sebagai upaya penegakan diagnosa guna mengetahui penyebab sakit atau kematian hewan atau satwa liar.

Senin, 24 Maret 2014

Meeting Koordinasi Sumatran Tiger Health Forum


Senin, tanggal 24 Maret 2014 pukul 3.50 AM alarm saya berbunyi, pertanda saya harus cepat bangun dan mandi karena sebentar lagi taxi akan menjemput saya di rumah. Pagi itu ada pertemuan dengan Dr. John Lewis dari International Zoo Veterinarian Group dan dokter hewan dari Taman Safari Indonesia di Safari Lodge, Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua pukul 9.00 AM. Pukul 5.00 AM taxi baru datang menjemput saya untuk mengantar saya ke terminal Kampung Rambutan, Jakarta. Setengah jam kemudian saya telah sampai di terminal tersebut. Dan tiga puluh menit lamanya saya menunggu namun tak satupun bus jurusan Bogor yang parkir di depanku, ternyata saya salah tempat untuk menunggu. Seseorang yang menunjukan lokasi Bus jurusan ke Bogor ternyata menunjukan lokasi yang salah. Kemudian saya berpindah tempat dan bertanya kepada petugas di pos jaga, tak lama kemudian saya sudah menaiki bus yang saya cari.

Melanjutkan tidur sejenak dalam perjalanan karena saya masih mengantuk, tak lama kemudian saya telah sampai Terminal Baranang Siang di kota Bogor sekitar pukul 7.10 AM. Biasanya tak secepat itu, mungkin karena saya pergi pagi sekali sehingga terhindar dari macet. Kemacetan hanya terjadi dari arah Bogor menuju Jakarta, sedangkan dari arah Jakarta menuju Bogor bebas hambatan.

Sebelumnya berniat untuk menghubungi dokter hewan Taman Safari yang tinggal di kota Bogor untuk berangkat bersamaan menuju Safari Lodge, namun saya batalkan, sepertinya saya lebih tertarik untuk menaiki angkutan umum karena rasa ingin tahu angkutan apa saja yang bisa digunakan untuk menuju kesana. Ternyata saya perlu berganti angkutan kota sebanyak tiga kali untuk mencapai lokasi. Angkutan kota pertama saya hanya membayar Rp. 2500 menuju Ciawi, kemudian berganti dengan angkutan yang menuju ke Cisarua dengan hanya membayar sebesar Rp. 8000, dan untuk menuju Taman Safari Indonesia saya hanya membayar sebesar Rp. 5000,-

Sesampainya di Safari Lodge jam tangan saya menunjukkan pukul 8.05 AM. Hmm....akhirnya saya tidak terlambat karena meeting baru dimulai pukul 9.00 AM. Saya memilih menunggu para kolega di ruang tunggu di lobby hotel Safari Lodge. Tak lama kemudian Dr. John Lewis datang menghampiriku, sambil menunggu lainnya kami minum kopi dan berdiskusi sebelum meeting dimulai. Selain itu saya juga mendapat oleh-oleh sebuah microskop berukuran mini yang bisa saya pakai untuk bekerja di lapangan. Sebelumnya saya memang menginginkan benda itu sudah sejak setahun yang lalu dan saya pun berniat ingin membelinya karena saya sangat membutuhkannya. Tanpa diduga dia ingin membelikan itu untuk saya :) Dan ternyata dia emang sungguh-sungguh membawakan itu dari negaranya untuk saya. Seorang kolega yang melihat benda itu mengira bahwa yang kubawa itu adalah alat untuk memasak kopi....hahaha, mungkin karena bentuknya yang tidak terlalu mirip dengan microskop :)

Berbicara soal kopi ada cerita lucu pagi itu, Dr. John meminta bantuan saya untuk menyampaikan kepada petugas reservation untuk membantu mengeprintkan boarding pass-nya karena dia memang tidak bisa berbahasa Indonesia.  Setelah boarding pass tersebut diprint kemudian saya serahkan kepadanya. Ternyata dia membutuhkan lebih dari satu lembar. Kemudian dia mencoba ingin meminta tolong sendiri kepada reservation dan bilang, "I need two copies". Dan reservation menjawab, "with sugar or no sugar ?". Dan kolega saya pun kebingungan mendengar jawaban petugas tersebut. Akhirnya saya membantunya untuk menjelaskan bahwa John membutuhkan dua lembar print out dan bukan memesan kopi, dan saya juga menjelaskan kepada John bahwa copy dan kopi mempunyai kesamaan dalam pengucapan namun punya arti yang berbeda, yang satu artinya salinan dan satunya minuman coffee  :)

Mendekati pukul 9.00 AM kolega dokter hewan dari Taman Safari datang dan kamipun memulai meeting untuk berkoordinasi hari itu karena saya sendiri hanya bisa menyanggupi satu hari saja karena di hari itu pun saya masih harus mengikuti pertemuan dokter hewan di lain tempat. Beberapa hal penting dibahas untuk persiapan mengadakan training bagi dokter hewan dan petugas lapangan untuk persiapan rencana sumatran tiger diseases surveillance. Meeting hari itu tidak hanya dihadiri oleh dokter hewan yakni saya sendiri, seorang dokter hewan dari International Zoo Veterinarian Group dan tiga orang dokter hewan dari TSI namun juga dihadiri oleh direktur Taman Safari.

Meeting hari itu sudah selesai menjelang makan siang, dan sisa waktu kami gunakan untuk berdiskusi dan konsultasi tentang wildlife anaesthesia untuk berbagai jenis satwa liar. Sore itu sekitar pukul 5 PM saya langsung menuju kota Bogor untuk mengikuti workshop yang diadakan oleh Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia tentang Sample Collection and Laboratory Diagnosis. Peserta yang mengikuti workshop ini didominasi oleh staff Kementerian Pertanian, dan hanya saya dan seorang kolega dokter hewan berasal dari Kementerian Kehutanan.

Sabtu, 08 Maret 2014

Training 'Human-Tiger Conflict Mitigation' untuk Private Sector di Provinsi Jambi



'Human-Tiger Conflict Mitigation' Training at Private Sector - Jambi 
with Sumatran Tiger Conservation Forum

Sumatran Tiger Conservation Forum atau lebih dikenal dengan sebutan Forum HarimauKita (FHK) merupakan suatu forum peneliti dan pemerhati harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Pada bulan Maret 2014 berkegiatan mengunjungi private sector di Sumatera yang bersinggungan dengan habitat harimau sumatera di wilayah konsesinya, guna memberikan pelatihan bagi staff perusahaan sektor kehutanan tersebut tentang mitigasi konflik manusia dengan harimau.


Human-Tiger Conflict at Bengkulu
Habitat harimau sumatera yang tersisa sekarang ini sebagian besar berada diluar kawasan konservasi. Pembangunan dibidang ekonomi menyebabkan adanya tumpang tindih kepentingan atas suatu kawasan hutan, tidak hanya sebagai tempat hidup bagi satwa liar tetapi juga telah dimanfaatkan untuk keperluan perkebunan, pertambangan, pemukiman seperti untuk pemekaran desa dan lokasi transmigrasi, pembangunan jalan dan lain-lain.

Hal ini telah memicu intensitas human-tiger conflict makin lama makin meningkat dari waktu ke waktu karena berbagai sebab tersebut. Konflik antara manusia dengan harimau tidak hanya menyebabkan kerugian materi saja tetapi bahkan bisa menyebabkan korban jiwa, baik manusia yang menjadi korban atau terbunuhnya harimau yang terlibat konflik.

Berdasarkan laporan forum HarimauKita dalam kurun waktu 1998-2011 kurang lebih telah terjadi human-tiger conflicts sebanyak 563 kali dan telah menyebabkan 57 orang meninggal dunia dan 46 ekor harimau sumatera terbunuh. (Sumber : Laporan lapang Wildlife Conservation Society; Leuser International Foundation; Fauna and Flora International; Zoological Society of London; World Wildlife Fund; PHKA-Kementerian Kehutanan).

Salah satu cara Mitigasi Konflik Manusia dengan Harimau
Photo : Erni Suyanti Musabine
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan pedoman penanggulangan konflik antara manusia dengan satwa liar, termasuk harimau sumatera didalamnya melalui P.48/Menhut-II/2008, namun implementasinya di lapangan belum maksimal untuk itu mendorong dilakukannya pelatihan dan sosialisasi tentang penerapan dari pedoman yang telah dibuat. Dan adanya kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan hutan yang dialihfungsikan untuk kepentingan lainnya seperti perkebunan Hutan Tanaman Industri (HTI) maka diperlukan adanya keterlibatan private sector (perusahaan-perusahaan pemegang konsesi) untuk terlibat langsung dalam upaya konservasi harimau sumatera di wilayah konsesinya. Dan karena latar belakang tersebut Forum HarimauKita memberikan pelatihan tentang human-tiger conflict mitigation bagi staff perusahaan dengan tujuan meningkatkan kapasitas staff perusahaan dibidang kehutanan dalam mitigasi konflik antara manusia dengan harimau dan satwa liar lainnya serta untuk meminimalkan terjadinya konflik antara manusia dengan harimau di wilayahnya.  

Kegiatan ini diadakan berdasarkan hasil annual meeting Forum HarimauKita di Padang pada bulan Oktober tahun 2013, kebetulan saya sendiri tidak bisa mengikuti acara tersebut karena pada waktu yang bersamaan sedang bekerja menjadi relawan dokter hewan di salah satu rumah sakit satwa liar di Seattle, Washington, U.S.A. Salah satu hasil rapat tahunan tersebut bahwa akan diadakan pelatihan tentang human-tiger conflict mitigation bagi private sector yang ada di Provinsi Riau dan Provinsi Jambi. Kebetulan saya beserta 5 orang anggota Forum HarimauKita lainnya yakni Hariyo T. Wibisono (Beebach) dari Fauna and Flora International; Drh. Kholis dari Fauna and Flora International; Nurhazman Nurdin dari Taman Nasional Berbak; Adnun Salampessy dari APP; Hariyawan Agung Wahyudi dari FHK mendapat amanah untuk menjadi pemateri dalam training tersebut.

Sebelum kegiatan dimulai kami berdiskusi melalui email karena masing-masing pemateri yang terlibat berada di provinsi yang berlainan, untuk menentukan waktu disesuaikan dengan kesibukan masing-masing. Dari hasil kesepakatan kami akan melakukan training di Provinsi Riau terlebih dahulu yakni di awal bulan Maret dan kemudian menyusul di Provinsi Jambi di akhir bulan Maret. Karena saya sendiri di bulan Maret juga memiliki jadwal lainnya yakni akan mengikuti workshop tentang Specimen Collection - Laboratory Diagnosis yang diadakan oleh Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia. Kebetulan oleh Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) - PHKA Kementerian Kehutanan saya ditugaskan untuk mengikuti acara tersebut. Selain itu juga masih memiliki jadwal lain yakni meeting dengan kolega dokter hewan dari Wildlife Vets International UK dan Taman Safari Indonesia untuk mempersiapkan training bagi dokter hewan dan petugas lapangan untuk rencana kegiatan 'Sumatran Tiger Diseases Surveillance'. Belum lagi kesibukan teman-teman pemateri lainnya yang masing-masing punya peran penting di institusinya, dan kami semua pun harus menyesuaikan jadwal masing-masing untuk mencari waktu yang tepat agar sama-sama bisa meluangkan waktu guna mendukung kegiatan forum HarimauKita tersebut.

Kabut asap yang melanda Provinsi Riau karena kebakaran hutan dan lahan telah mengganggu penerbangan dari dan menuju Pekanbaru, Riau. Hal ini juga yang menyebabkan jadwal pelatihan di Riau untuk sementara dibatalkan dan dialihkan ke Jambi. 

Minggu, tanggal 2 Maret 2014 saya berangkat ke Bogor, Jawa Barat. Saya singgah sebentar untuk menemui teman-teman yang bekerja di International Animal Rescue (IAR) di Ciapus, Bogor. Memanfaatkan waktu saat mengunjungi kota lain untuk bertemu teman-teman yang sama-sama bekerja untuk konservasi satwa liar Indonesia merupakan hal yang membahagiakan karena kami bisa berdiskusi banyak hal. Disana saya juga bertemu dengan staff IAR lainnya dan seorang volunteer dokter hewan dari Bangalore, India yang telah mendirikan lembaga animal rescue untuk pet animal di negaranya. Hmmm...sungguh menginspirasi.


Hari itu saya benar-benar merasakan berada di kota hujan Bogor, karena sore itu sepanjang perjalanan menjadi basah kuyup diguyur hujan deras bersama seorang teman yang mengantarkan saya dari Ciapus menuju kantor Forum HarimauKita di kota Bogor


Senin, tanggal 3 Maret 2014 saya bersama Hariyawan A. Wahyudi berangkat dari kantor Forum HarimauKita di Bogor.  Sesampainya di Bandara Soekarno Hatta, kami bertemu dengan teman-teman lainya yakni dua orang dari perusahaan APP dan Sinarmas Forestry dan dua orang lainnya anggota Forum HarimauKita yakni Adnun Salampessy dan Pak Beebach, kemudian kami bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju ke Jambi. 

Pelatihan Mitigasi Konflik Manusia dengan Harimau di Lanskape Hutan Produksi bagi private sector ini akan diadakan pada tanggal 3 - 7 Maret 2014 di Sungai Tapah, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Diikuti oleh 10 orang staff PT. WKS, 10 orang staff PT. RHM, 2 orang staff BKSDA Jambi dan 2 orang staff BKSDA Sumatera Selatan. Bagi saya sendiri ini adalah untuk pertama kalinya saya mengikuti kegiatan guna memberikan training bagi staff perusahaan dalam hal human-tiger conflict mitigation. Biasanya saya memberikan materi pelatihan bagi polisi kehutanan baik yang berasal dari Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) maupun Dinas Kehutanan, unit-unit patroli hutan yang dibentuk oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan animal rescue team yang dibentuk oleh management authority ataupun Non-Government Organization.


Hutan koridor  di areal konsesi perusahaan HTI - Jambi
HarimauKita termasuk salah satu forum yang paling aktif dari sekian banyaknya forum di bidang konservasi yang saya ikuti. Dan adanya ide memberikan pelatihan bagi private sector dan melibatkan mereka secara aktif dalam upaya perlindungan harimau sumatera merupakan ide yang brilliant menurut saya. Mengingat di wilayah konsesi perusahaan perkebunan atau HTI juga merupakan wilayah rawan konflik manusia dengan harimau karena disekitar perkebunan juga merupakan habitat harimau sumatera dan mereka juga menyisakan hutan sebagai koridor yang merupakan habitat harimau saat ini yang mereka sebut dengan hutan konservasi. Seperti yang telah saya lihat saat menuju ke tempat pelatihan di Sungai Tapah, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Memasuki wilayah perkebunan sejauh mata memandang yang terlihat adalah pohon akasia sebagai bahan baku kertas. Namun mendekati tempat pelatihan saya masih melihat hutan alami yang disisakan, dan itulah yang mereka sebut dengan hutan konservasi, hutan tersebut juga merupakan koridor satwa liar ke kawasan lindung. Didalamnya masih dihuni oleh gajah dan harimau juga satwa liar lainnya. Sepanjang waktu pelatihan angan-angan saya melayang ke berbagai daerah di Indonesia yang seringkali terjadi human-wildlife conflict, pembantaian orangutan oleh perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan, peracunan gajah di lokasi perkebunan yang merupakan jalur jelajahnya dan lain-lain. Seandainya perusahaan-perusahan tersebut didorong untuk menyisakan hutan sebagai koridor satwa liar, dan diberikan sosialisasi 'P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dengan Satwa Liar' serta memberi kesempatan untuk pelatihan staffnya tentang human-wildlife conflict mitigation dan mendorong perusahaan punya mekanisme yang jelas di internalnya dalam merespon terjadinya konflik satwa liar tentu akan meminimalkan korban akibat konflik baik korban jiwa yakni satwa liar itu sendiri dan manusia ataupun kerugian secara materiil.

Yang perlu direnungkan adalah bila pemerintah sudah terlanjur memberi ijin perusahaan untuk ekploitasi hutan yang merupakan habitat satwa liar untuk kepentingan perkebunan, pertambangan dan lain-lain, menurut pengalaman saya pribadi bahwa upaya dengan segala cara untuk menghentikan atau mencabut kembali kebijakan itu tentu tidak bisa dilakukan dengan mudah bahkan bisa dikatakan tidak akan pernah bisa, karena yang dihadapi bukan orang perorang tetapi banyak lembaga atau institusi yang mendukung kebijakan itu terjadi dari tingkat daerah (dari tingkat desa, kabupaten, provinsi) sampai pusat. Jadi melibatkan private sector dalam perlindungan satwa liar merupakan alternatif dan jalan tengah yang efektif dalam menyikapi kebijakan tumpang tindih kepentingan antara perlindungan satwa liar dan pembangunan di bidang ekonomi. Semua itu tujuan utamanya sama yakni meminimalkan terjadinya konflik antara manusia dengan satwa liar serta melakukan tindakan mitigasi konflik dengan mencegah terjadinya korban jiwa baik bagi manusianya sendiri maupun harimau dan mencegah kerugian materiil yang cukup besar dengan membuat mekanisme penanggulangan konflik yang jelas dan terarah sesuai aturan hukum yang berlaku. Dan yang penting adalah sosialisasi tentang sejauh mana tindakan yang boleh dilakukan oleh masyarakat sipil dan karyawan perusahaan dan mana yang tidak boleh dilakukan dan hanya boleh dilakukan oleh petugas terkait dalam setiap mitigasi konflik antara manusia dan satwa liar.



Materi 'Penanganan Pertama Harimau Korban Konflik'
Photo : HarimauKita
Selasa, 4 Maret 2014 acara pelatihan Mitigasi Konflik antara Manusia dengan Harimau di Lanskape Hutan Produksi tersebut dibuka oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi. Kegiatan training berlangsung sampai dengan tanggal 6 Maret 2014. Materi yang diberikan berupa oral presentation dan praktek, antara lain  Ekologi dan Status Konservasi Harimau yang disampaikan oleh Hariyo T. Wibisono (Beebach) dari Fauna and Flora International; Identifikasi Tiger Sign dan Satwa Liar lainnya disampaikan oleh Adnun Salampessy dari APP; Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Harimau, Penjelasan Permenhut P.48/Menhut-II/2008 dan turunannya disampaikan oleh Nurazman Nurdin dari Taman Nasional Berbak/WCCRT; Mitigasi Konflik Harimau dan Kiat-Kiat Menghindari Konflik dengan Harimau saat Bekerja di HTI disampaikan oleh Drh. Munawar Kholis dari Fauna and Flora International; Penanganan Pertama Harimau Korban Konflik yang disampaikan oleh saya sendiri.  Semua pemateri berasal dari lembaga/ institusi yang beragam dan mereka semua merupakan anggota Sumatran Tiger Conservation Forum (Forum HarimauKita). Dalam kesempatan ini juga dibagikan buku tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dengan Harimau sebagai panduan bagi pekerja dan petugas di lapangan. 


Presentasi Peserta tentang Alur Penanganan Konflik
Manusia - Harimau di Perusahaan HTI
Photo : Erni Suyanti Musabine
Di hari terakhir pelatihan, kami ikut mendengarkan hasil diskusi dan presentasi peserta tentang mekanisme pelaporan dan kerja yang telah dibuat di perusahaan masing-masing tentang upaya penanggulangan konflik manusia dan satwa liar. Kembali saya membayangkan bila setiap perusahaan yang berdampingan langsung dan bahkan tumpang tindih dengan habitat harimau sumatera atau satwa liar lainnya dan merupakan daerah rawan konflik satwa liar, bila masing-masing mempunyai mekanisme kerja yang jelas dalam upaya human-wildlife conflict mitigation dan berperan aktif didalamnya maka ini akan sangat membantu petugas terkait dalam upaya penanggulangan konflik dan perlindungan satwa liar. Berharap kegiatan seperti ini akan bermanfaat bagi semua pihak dan bagi konservasi satwa liar itu sendiri tentunya. Dan P.48/Menhut-II/2008 menjadi aturan/ pedoman yang tidak hanya diatas kertas belaka tapi bisa diimplementasikan dengan tepat oleh setiap pihak yang terlibat dalam konflik manusia vs satwa liar. Hari Kamis, tanggal 6 Maret 2014 sore itu kegiatan Pelatihan telah usai dilaksanakan. Tanggal 7 Maret 2014 pagi, kami kembali pulang ke daerah masing-masing. 

Minggu, 09 Februari 2014

Bekerja sekaligus berwisata alam


Sudah bertahun-tahun saya bekerja sebagai dokter hewan di tempat ini yakni di Pusat Konservasi Gajah  (PKG) Seblat, yang berlokasi di hutan konservasi Taman Wisata Alam Seblat. Kawasan seluas lebih kurang tujuh ribuan hektar ini dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu, Kementerian Kehutanan RI. Hutan tersebut merupakan habitat berbagai jenis satwa liar terancam punah seperti gajah sumatera, harimau sumatera, tapir, beruang madu, rusa sambar, kijang, napu, siamang, owa, simpai, burung rangkong, elang, kuaw dan masih banyak lagi satwa liar jenis lainnya.

Seblat Elephant Concervation Center - Bengkulu

Pertama kali menginjakkan kaki di hutan ini dan mulai bekerja, saya sempat diragukan oleh BKSDA Bengkulu begitu juga oleh beberapa mitra dari negara lain, mereka beranggapan bahwa saya tidak akan bertahan lama bekerja disana, karena akses masuk yang susah, satu-satunya wanita yang harus tinggal di hutan itu, gaji yang sangat kecil dan tidak banyak fasilitas yang akan didapatkan untuk menunjang aktivitas disana. Mungkin pendapat mereka juga berpedoman pada orang-orang sebelumnya yang hanya mampu bertahan bekerja selama satu hari saja dan tidak pernah kembali lagi setelah mengetahui kondisi yang sebenarnya dan hanya mengejar status pegawai negeri. Ini artinya mereka belum mengenali saya dengan baik, bahwa saya sangat menyukai petualangan di alam bebas, tidak peduli ada fasilitas pendukung atau tidak, bahkan tidak memikirkan berapa besar gaji yang akan diterima, yang penting asalkan saya bisa membantu dengan bekerja secara langsung untuk satwa liar di habitatnya. Kenapa akhirnya saya lebih memilih PKG Seblat yang jelas-jelas akan membuat hidup saya akan lebih banyak menderita dengan berbagai tantangan. Bekerja di lembaga pemerintah bukanlah hal yang mudah, tidak hanya akan membuat lelah fisik tapi juga pikiran yang adakalanya tidak sejalan. Makanya saya tidak pernah punya cita-cita untuk menjadi pegawai negeri sipil, cita-cita saya hanya ingin bekerja secara langsung untuk satwa liar apapun caranya. Padahal disaat yang bersamaan ada lima NGO International dan satu NGO nasional baik di Sumatera, Kalimantan dan Jawa yang menginginkan saya bekerja dengan mereka sebagai dokter hewan dengan gaji jauh lebih besar dan berbagai fasilitas yang menunjang.  Mereka menawarkan kepada saya terlebih dulu sebelum ditawarkan ke orang lain. Saya lebih memilih tempat mana yang paling membutuhkan bantuan medis, tentu yang kondisi satwanya jauh dari animal welfare, tempat yang masih butuh diperjuangkan untuk perbaikan pengelolaan satwa liarnya dan tempat dimana dokter hewan tidak suka bekerja disana. Gaji kecil dan fasilitas yang minim tentu tidak akan jadi prioritas dokter hewan untuk mau bekerja disana, dan disitulah satwa liar yang membutuhkan tenaga medis yang sebenarnya. Akhirnya saya memilih untuk tinggal di Bengkulu dan semua itu sudah saya pertimbangkan dari awal konsekuensinya. 


Crossing Seblat River by a Wooden Boat
Kepala Balai KSDA Bengkulu yang meminta saya untuk bersedia bekerja disana pernah menggambarkan kondisi disana, bahwa untuk mencapai tempat tersebut saya harus melewati jalan buruk, lalu menyeberangi Sungai Seblat dengan perahu ataupun dengan bantuan gajah disaat banjir, kemudian berjalan kaki menanjak untuk mencapai camp PKG Seblat. Beliau meminta saya untuk berpikir kembali dan memantapkan hati apakah bersedia ditempatkan di daerah terpencil tanpa banyak fasilitas sebelum menjawabnya. Saat itu saya malah berpikir sebaliknya, serta membayangkan bahwa tempat itu pasti indah dan menyenangkan, saya suka dayung perahu mungkin juga karena saya pernah menjadi atlit dayung bersama teman-teman Pecinta Alam Wanala Universitas Airlangga Surabaya waktu masih mahasiswa dulu dan kami pun pernah jadi juara dayung. Bermain di sungai dengan perahu akan menjadi hal yang mengasyikan buatku. Berjalan menanjak menaiki tebing dan menuruni tebing, serta trekking ke dalam hutan bukankah itu yang saya sukai selama ini, karena saya juga menyukai mendaki gunung dan melakukan kegiatan di hutan sejak masih sekolah. Saat mahasiswa pun kami sering mengadakan kegiatan di beberapa taman nasional yang ada di Jawa Timur. Dan itu kegiatan yang menyenangkan bekerja sebagai volunteer untuk konservasi satwa liar di habitatnya.

Bukankah ini juga telah menjadi cita-citaku sejak masih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) bahwa saya ingin bekerja di luar Pulau Jawa. Entah mengapa saat itu saya berpikir tidak ingin tinggal di Jawa kelak kalau sudah dewasa, ingin tinggal dimana saya tidak memiliki saudara dan keluarga disana, di daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, yang memiliki budaya dan bahasa berbeda dan tentunya daerah tersebut haruslah menarik bagi saya terutama keindahan alamnya. Namun saya belum tahu bagaimana caranya saya bisa keluar Pulau Jawa. Akhirnya mimpi itupun jadi kenyataan, dan Provinsi Bengkulu lah yang saya pilih setelah kurang lebih empat tahun berkeliling Sumatera dari satu provinsi ke provinsi lainnya dari Aceh sampai Lampung mengunjungi seluruh Pusat Konservasi Gajah yang ada di Sumatera dan Unit Patroli Gajah serta membantu harimau dan orangutan sumatera.

Presbytis melalophos melalophos
Pusat Konservasi Gajah Seblat sudah seperti rumah keduaku. Setiap saat saya mengunjungi tempat itu dan ingin terus kembali lagi, tidak hanya untuk bekerja, kadang juga mendampingi tamu seperti mitra, volunteer, mahasiswa penelitian, film maker dan lain-lain. Selain itu terkadang hanya ingin tinggal disana untuk melepas penat. Pemandangannya sangat bagus menurutku, camp tempat tinggal kami yang terletak diatas bukit dengan dibawah tampak aliran Sungai Seblat dan di halaman belakang berbatasan langsung dengan hutan yang kami pun bisa melihat langsung berbagai jenis satwa liar saat mereka sedang mencari makan. Setiap pagi alarm berbunyi yakni kicauan burung dan suara burung Rangkong serta suara primata bersaut-sautan seperti Simpai, Siamang dan Owa Sumatera yang menandakan hari telah pagi.  Sampai sore hari kami masih bisa mendengarkan suara-suara itu. Suara gajah, kijang, babi hutan dan rusa sambar kadangkalan juga bisa didengar dari camp tempat kami tinggal. 


Menunju lokasi itu juga bukan hal yang mudah. Saya harus naik mobil travel dari kota Bengkulu ke Desa Air Muring yakni kecamatan terdekat dari PKG Seblat, yang ditempuh sekitar 3-4 jam perjalanan melalui jalan buruk lintas pantai barat Sumatera. Jangan pernah membayangkan bahwa jalan lintas provinsi di Pulau Sumatera semulus jalan di Pulau Jawa, yang jelas banyak lubang dan bahkan terputus karena abrasi air laut, juga longsor karena hujan yang membuat antrian panjang kendaraan yang lewat dan terkadang membuat mobil terperosok. Dan kami bukan termasuk orang-orang yang terbiasa dimanjakan oleh mobil dinas dan anggaran perjalanan dinas saat melakukan kegiatan di lapangan. Bertahun-tahun lamanya sudah terbiasa mandiri, tanpa fasilitas dan anggaran kegiatan seperti bagian lainnya, dan itu bukan hambatan untuk bisa bekerja. Sengaja berangkat pagi hari agar sesampainya di desa Air Muring siang hari dan bisa langsung masuk ke PKG Seblat, karena mengejar waktu penyeberangan sungai di sore hari. Dalam perjalanan banyak hal yang terjadi, yakni mobil travel dikejutkan oleh rombongan babi hutan yang muncul dari semak-semak dan tiba-tiba menyeberang jalan raya, kemudian dikejutkan lagi dengan seekor anjing yang berlari menyeberang jalan, tidak hanya sampai disitu seekor ayam pun tiba-tiba terbang dari pinggir jalan dan menabrak kaca mobil. 

Namun sesampainya di Air Muring tidak ada satupun orang atau ojek yang bisa mengantarkan saya ke sebrang Sungai Seblat. Akhirnya sayapun harus menginap semalam di desa itu dan baru menlanjutkan perjalanan esok harinya dan mengejar waktu penyeberangan sungai di pagi hari.  Dari Desa Air Muring menuju PKG Seblat sejauh sekitar 17 km yang ditempuh dalam waktu satu jam melalui jalan koral (berbatu) dan berlubang-lubang.


Pengobatan Gajah Tria di PKG Seblat Bengkulu
Kali ini saya kembali kesana untuk pemeriksaan kesehatan gajah secara berkala. Kegiatan yang biasa dilakukan adalah penimbangan gajah, namun karena timbangan digital untuk gajah sedang rusak dan masih dibawa ke United State untuk perbaikan maka hanya dilakukan body measurement untuk estimasi berat badan gajah. Untuk keperluan ini data yang dibutuhkan adalah tinggi bahu (cm) dan lingkar (keliling) dada (cm). Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus untuk mengetahui perkiraan berat badan gajah. Deworming, yakni pencegahan penyakit parasiter dengan pemberian anthelmintic, kali ini obat cacing yang diberikan adalah Febantel. Pemberian obat cacing dilakukan setiap tiga bulan sekali secara rutin dengan jenis obat divariasi untuk mencegah resistensi. Obat cacing yang biasa digunakan di PKG Seblat adalah Ivermectine, Albendazole, Oxyclosanide, dll semua dalam sediaan per oral. Sedangkan cacing yang sering menginvestasi gajah sumatera adalah golongan Trematoda, terkadang juga ditemukan Nematoda. Koleksi sampel feces dan pemeriksaan feces juga perlu dilakukan untuk mengetahui jenis dan banyaknya endoparasite yang menginvestasi gajah sehingga bisa dilakukan pengobatan yang tepat. Dilakukan juga penilaian body condition index, pemerikaan fisik ini untuk mengetahui apakah gajah tersebut masuk golongan obesitas, gemuk, sedang, kurus dan kekurusan (sangat kurus), sebagai evaluasi kondisi tubuh per tiga bulan. Bila ada yang bermasalah dengan kaki terutama telapak kaki dan kuku dilakukan footcare. Dan bila ada masalah dengan kesehatan maka dilakukan pengobatan. Pengambilan photo masing-masing gajah sebagai data dokumentasi kondisi gajah saat diperiksa. 


Flies Mating at Seblat ECC - Bengkulu
Kegiatan sampingan selain bekerja untuk pemeriksaan seluruh gajah adalah photography. Banyaknya obyek-obyek menarik yang dijumpai selama di hutan membuat saya ingin berjalan-jalan dan memotret. Mengambil photo primata yang setiap sore bergelantungan diatas pohon dibelakang camp untuk mencari makan, ada Macaca fascicularis dan Presbytis melalophos melalophos. Mereka hidup berkelompok dan sering bersuara ribut bila merasa terganggu dan melihat kehadiran orang disekitarnya.  Saya lebih suka memotret dari jarak jauh, yakni dari ruang makan sambil duduk menikmati teh hangat dan makanan di sore hari. Lalu lalang gajah-gajah yang menyeberangi Sungai Seblat juga menarik untuk dipotret. Untuk mengisi waktu luang saya juga sering berkeliling untuk memotret insecta dan burung, memotret binatang kecil dan burung yang lincah bergerak merupakan tantangan tersendiri. Mengkombinasikan antara adventure dan art, terkadang musti berbasah-basah di lumpur untuk mendekati mereka. Di kesempatan yang lain saya ikut bergabung dengan mahout (perawat gajah) saat menggembalakan gajah di hutan, saya juga bisa memotret aktivitas mereka dan pemandangan indah disekitarnya.

Selain itu tinggal di hutan itu juga membuat saya bisa memanfaatkan waktu untuk bereksperimen memasak. Saya menyukai kegiatan ini meskipun saya tidak pandai memasak, namun saya suka berinovasi menciptakan makanan baru sesuai dengan selera saya sendiri. Seperti halnya saat saya sedang camping di dalam hutan ini bersama tim patroli CRU, saya suka memanfaatkan bahan yang ada di sekitar saya, seperti daun puar (seperti daun lengkuas dan batangnya bagian dalam biasanya dimakan oleh orangutan). Saya sering menggunakan daun ini untuk membakar ikan hasil memancing di sungai dalam hutan. Daun ini bila dipakai untuk memasak ikan bisa menggantikan fungsi tomat, karena ada rasa kecutnya pada masakan. Penemuan baruku yang sampai sekarang masih sering kumanfaatkan untuk memasak di hutan. 

Selain itu kegiatanku di bulan ini adalah menginvetarisasi obat-obatan dan bahan-bahan medis yang baru dikirim dari BKSDA Bengkulu. Kemudian menata ulang sesuai dengan penggunaannya. Saya lebih suka mengklasifikasikan obat-obatan sesuai dengan cara pemakaiannya yakni injection, orally atau for external used. Kemudian peralatan medis dan bahan-bahan medis juga memiliki tempat tersendiri.  Selain itu juga klasifikasi sesuai dengan fungsinya, yakni peralatan nekropsi (bedah bangkai), peralatan bedah, peralatan laboratorium (untuk koleksi specimen), peralatan untuk pemeriksaan gajah berkala, peralatan rescue gajah dan lain-lain, semua diletakkan dalam tempat tersendiri sehingga saat memerlukannya bisa diambil dengan mudah. Dan khusus untuk obat-obatan guna keperluan pembiusan akan saya simpan tersendiri sehingga orang lain tidak memiliki akses dengan mudah untuk menggunakannya, selain itu setiap pemakaian obat bius atas sepengetahuan dan dibawah kontrol dokter hewan, tidak bisa hanya sebatas perintah atasan. Meskipun pada awalnya tindakan saya ini ditentang oleh beberapa orang namun saya tidak peduli, karena mereka menjadi tidak bebas lagi menggunakan obat bius untuk menangkap satwa liar dengan mengatasnamakan penanggulangan konflik dengan membanting senjata bius di depan saya dan berusaha membeli obat bius sendiri tanpa resep dokter di pasar gelap.  Alasan saya cukup jelas karena dalam aturan hukum sudah jelas, serta obat bius yang disalahgunakan oleh orang-orang non Vet telah menyebabkan kematian pada beberapa satwa liar saat pembiusan karena overdosis dan tanpa termonitoring dengan baik. 

Bekerja di tempat itu seperti berwisata alam bagiku, karena saya menyukai tempat itu dengan hutan masih asri dan satwa liar mudah dijumpai serta pemandangan sekitar yang indah. Bisa bermain dengan gajah, bisa memancing di sungai atau di rawa-rawa, atau duduk santai di teras camp membaca buku atau menikmati suara beraneka macam satwa liar di hutan yang membuat hati damai. Bila berada disana tidak seperti sedang bekerja tetapi serasa berlibur saja, jauh dari hiruk-pikuk kota, jauh dari godaan untuk berhura-hura di mall dan tempat hiburan lainnya, berinteraksi dengan penduduk lokal yang memiliki bahasa daerah berbeda dan saya pun tidak bisa mengerti saat mereka berbicara, membuat ingin belajar banyak tentang budaya dan bahasa lokal yang banyak variasinya dan itu mengagumkan. 


with Elephant Nelson
Dan yang lebih membahagiakan lagi, kami bekerja bisa langsung berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan satwa liar secara langsung, kesempatan yang tidak dimiliki oleh banyak orang tentunya, dan bukan hanya sekedar bekerja di balik meja, di ruang workshop, membuat proyek abal-abal dan diatas kertas semata untuk menghabiskan anggaran negara dengan mengatasnamakan kegiatan konservasi. Kami bekerja juga tidak memerlukan seragam yang bersih, harum dan licin terkadang cukup dengan baju kumal, karena kinerja seseorang tidak dapat dinilai dari pembungkus badannya, pangkat dan golongannya serta jabatannya juga besarnya anggaran yang didapatkannya, tapi berdasarkan otak, kemauan serta kemampuannya untuk menunjang kinerja.