Erni Suyanti/ NPM. E2A019011
I. Pendahuluan
One Health
adalah konsep yang muncul dalam ilmu kesehatan berkaitan dengan kesehatan
manusia, hewan dan lingkungan dari satu kerangka kerja. Pendekatan kebijakan
ini didasarkan pada pengetahuan bahwa sekitar 70 persen penyakit yang muncul
pada manusia berasal dari spesies lain dan bahwa transmisi silang spesies ini terjadi
karena tekanan pada sistem lingkungan seperti perubahan habitat dan hilangnya
keanekaragaman hayati (Malloy, S.S. et al, 2019). The World Health Organization (WHO) mendefinisikan Emerging Infectious Disease sebagai penyakit
yang muncul dalam populasi untuk pertama kalinya atau yang mungkin sudah ada
sebelumnya namun kejadiannya meningkat dengan cepat / rentang geografis.
Keadaan iklim sesungguhnya juga berkaitan erat dengan timbulnya gangguan kesehatan karena dapat memicu munculnya berbagai penyakit infeksi, terutama pada pemanasan yang berkepanjangan dan ketidakstabilan iklim seperti cuaca yang ekstrim. Keadaan iklim seperti ini dapat memicu munculnya (emerging) atau kemunculan kembali penyakit infeksius (re-emerging infectious disease) secara global (Nicholls, 1993; Epstein, 1999; 2001).
II. Tinjauan Pustaka
Perubahan lingkungan alami dan sistem pertanian sebagai dampak perkembangan ekonomi dan industri, termasuk dinamika populasi (pertumbuhan, urbanisasi, migrasi), adalah penyebab utama yang mengakibatkan persistensi, kemunculan penyakit menular baru (Emerging infectious diseases), dan kemunculan kembali penyakit menular (Re-emerging infectious diseases) di nergara berkembang (Yang et al., 2015).
Perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh penggundulan hutan menyebabkan penularan penyakit pada manusia, dan dari semua spesies yang berasal dari hutan, nyamuk merupakan hewan yang paling sensitif terhadap perubahan lingkungan, meskipun hanya terjadi perubahan kecil pada lingkungan seperti perubahan suhu, kelembaban, tempat berkembang biak yang sesuai, hal ini dapat mempengaruhi kelangsungan hidupnya, kepadatan dan distribusi secara dramatis. Perubahan ekologi nyamuk dan perilaku/ aktivitas manusia di kawasan hutan yang telah dialihfungsikan berpengaruh terhadap penularan penyakit terutama yang ditularkan oleh nyamuk, seperti Malaria, Japanese encephalitis dan Filariasis (Yasuoka, J and Levins, R., 2007).
Pada tahun 1985, Wilson menggambarkan konsep dasar dalam munculnya penyakit
menular sebagai berikut:
Sebanyak lebih dari 17 % penyakit menular pada manusia yang ditularkan melalui vektor merupakan beban secara global. Ekspansi global yang cepat dari patogen yang sebelumnya tidak dikenal, seperti virus Zika dan chikungunya pada beberapa tahun terakhir menandakan pentingnya memahami bagaimana perubahan antropogenik memengaruhi munculnya dan penyebaran penyakit yang ditularkan melalui vektor (Burkett, N.D dan Vittor, C.A.Y., 2018). Deforestasi telah diidentifikasi sebagai satu perubahan antropogenik yang mempengaruhi prevalensi penyakit yang ditularkan melalui vektor, gambaran tentang dampak deforestasi pada penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor telah dilaporkan (Burkett, N.D dan Vittor, C.A.Y., 2018). Analisis data dari 87 spesies nyamuk yang berasal dari 12 negara dikumpulkan dari studi lapangan dan dipublikasikan, mengungkapkan bahwa sekitar setengah dari spesies (52,9%) terkait dengan habitat yang terdeforestasi. Spesies nyamuk yang berfungsi sebagai vektor berbagai patogen pada manusia yang diakibatkan oleh deforestasi/ penggundulan hutan, yakni Anopheles bancroftii, Anopheles darlingi, Anopheles farauti, Anopheles funia, sl, Anopheles gambiae sl, Anopheles subpictus, Aedes aegypti, Aedes vigilax, Culex annexstrac (Burkett, N.D dan Vittor, C.A.Y., 2018).
Pemanasan global dan perubahan iklim juga berpengaruh terhadap paling tidak adanya 5 (lima) penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang perlu diwaspadai dapat muncul dan mewabah di Indonesia, yaitu bluetongue, Nipah, Japanese encephalitis, West Nile dan Rift Valley fever. Hal ini dikarenakan tiga dari lima PHMS tersebut yakni bluetongue, Japanese encephalitis dan Nipah, agen patogen, vektor dan hospesnya sudah terdapat di Indonesia, sehingga dikhawatirkan bahwa perubahan iklim dan perubahan ekologi yang terjadi akan memicu munculnya penyakit tersebut. Selain itu tiga penyakit lainnya yakni avian influenza H5N1, anthrax dan leptospirosis, yang memang sudah ada di Indonesia dapat diperkirakan sering muncul kembali seiring dengan terjadinya perubahan iklim terutama pada musim hujan yang berkepanjangan (Bahri, S., Syafriati, T, 2011).
III. Metodologi
Mengulas studi kepustakaan
- Munculnya penyakit menular itu kompleks,
- Penyakit menular bersifat dinamis,
- Sebagian besar infeksi baru tidak disebabkan oleh patogen yang benar-benar baru,
- Agen yang terlibat terjadinya infeksi baru dan yang muncul kembali berdasarkan taksonomi masuk kategori virus, bakteri, jamur, protozoa, dan cacing,
- Konsep mikroba sebagai penyebab penyakit tidak memadai dan tidak lengkap,
- Aktivitas manusia adalah faktor paling kuat yang mendorong munculnya penyakit,
- Faktor sosial, ekonomi, politik, puncak kejadian, teknologi dan lingkungan membentuk pola penyakit dan berpengaruh terhadap kemunculannya,
- Memahami dan merespons munculnya penyakit memerlukan perspektif global, secara konseptual dan geografis,
- Situasi global saat ini mendukung munculnya penyakit.
Sebanyak lebih dari 17 % penyakit menular pada manusia yang ditularkan melalui vektor merupakan beban secara global. Ekspansi global yang cepat dari patogen yang sebelumnya tidak dikenal, seperti virus Zika dan chikungunya pada beberapa tahun terakhir menandakan pentingnya memahami bagaimana perubahan antropogenik memengaruhi munculnya dan penyebaran penyakit yang ditularkan melalui vektor (Burkett, N.D dan Vittor, C.A.Y., 2018). Deforestasi telah diidentifikasi sebagai satu perubahan antropogenik yang mempengaruhi prevalensi penyakit yang ditularkan melalui vektor, gambaran tentang dampak deforestasi pada penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor telah dilaporkan (Burkett, N.D dan Vittor, C.A.Y., 2018). Analisis data dari 87 spesies nyamuk yang berasal dari 12 negara dikumpulkan dari studi lapangan dan dipublikasikan, mengungkapkan bahwa sekitar setengah dari spesies (52,9%) terkait dengan habitat yang terdeforestasi. Spesies nyamuk yang berfungsi sebagai vektor berbagai patogen pada manusia yang diakibatkan oleh deforestasi/ penggundulan hutan, yakni Anopheles bancroftii, Anopheles darlingi, Anopheles farauti, Anopheles funia, sl, Anopheles gambiae sl, Anopheles subpictus, Aedes aegypti, Aedes vigilax, Culex annexstrac (Burkett, N.D dan Vittor, C.A.Y., 2018).
Pemanasan global dan perubahan iklim juga berpengaruh terhadap paling tidak adanya 5 (lima) penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang perlu diwaspadai dapat muncul dan mewabah di Indonesia, yaitu bluetongue, Nipah, Japanese encephalitis, West Nile dan Rift Valley fever. Hal ini dikarenakan tiga dari lima PHMS tersebut yakni bluetongue, Japanese encephalitis dan Nipah, agen patogen, vektor dan hospesnya sudah terdapat di Indonesia, sehingga dikhawatirkan bahwa perubahan iklim dan perubahan ekologi yang terjadi akan memicu munculnya penyakit tersebut. Selain itu tiga penyakit lainnya yakni avian influenza H5N1, anthrax dan leptospirosis, yang memang sudah ada di Indonesia dapat diperkirakan sering muncul kembali seiring dengan terjadinya perubahan iklim terutama pada musim hujan yang berkepanjangan (Bahri, S., Syafriati, T, 2011).
III. Metodologi
Mengulas studi kepustakaan
IV. Emerging dan Re-emerging Infectious Diseases
Ada
banyak contoh pengaruh perubahan lingkungan dan pertanian terhadap munculnya
penyakit menular, seperti SARS yang menginfeksi masyarakat China pada tahun
2003, Lyme disease yang terjadi di
Eropa pada tahun 2000. Adanya perubahan interaksi
antara manusia dengan populasi satwa liar atau hewan peliharaan sebagai
fasilitator yang paling mungkin bagi munculnya penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), Avian influenza (Flu burung), Nipah virus, Human Immunodeficiency
Virus (HIV) (Yang et al., 2015). Mengingat
bukti baru yang saling mempengaruhi antara perubahan lingkungan dan penyakit
menular baru atau penyakit menular yang
kembali muncul (WHO, 2012, 2013). Ada konsensus yang berkembang di antara para
ahli ekologi bahwa disfungsi ekologis, fragmentasi habitat, perubahan iklim,
dan akumulasi racun lebih banyak dikaitkan dengan aktivitas manusia. Semua ini
telah bekerja secara sinergis untuk mengurangi keanekaragaman hayati dan fungsi
ekosistem yang telah mengakibatkan penyebaran penyakit menular pada satwa liar
dan manusia .
Beberapa penyakit menular baru yang disebabakn oleh kerusakan lingkungan diantaranya sebagai berikut:
1. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Nyamuk Aedes aegyti. Photo: Alodokter, Kemenkes RI |
Demam berdarah di
Sumatera dan Kalimantan sangat musiman dan berhubungan dengan faktor iklim dan
deforestasi. Memasukkan indikator iklim
ke dalam surveillance berbasis resiko mungkin diperlukan untuk penyakit demam
berdarah di Indonesia (Husnina, Z et al., 2019).
2. Malaria
Penyakit
malaria merupakan penyebab utama kematian dan morbiditas di negara-negara
berkembang. Pada tahun 2008, ada sekitar 243 juta
kasus malaria secara global dan ini mengakibatkan 863.000 kematian (WHO, 2009).
Malaria sangat berbahaya untuk anak di bawah usia lima tahun; Perkiraan
menunjukkan bahwa seorang anak meninggal setiap dua menit karena penyakit ini (WHO,
2016).
Terbukti
ada hubungan positif antara deforestasi dan prevalensi malaria di Brasil (Olson
et al, 2010; Terrazas et al, 2015), Paraguay (Wayant et al, 2010), Malaysia
(Fornace et al, 2016) dan Nigeria (Berazneva dan Byker, 2017). Investigasi di
beberapa negara endemis malaria juga menemukan hasil yang serupa (Austin et al,
2017). Di antara tahun 2000-2012 telah kehilangan hutan di dunia seluas 2,3 juta kilometer persegi (Hansen et al, 2013). Salah satu konsekuensi dari perubahan besar yang terjadi akibat deforestasi adalah potensi peningkatan prevalensi malaria (Patz et al, 2000; Pattanayak dan Pfaff, 2009). Merupakan salah satu penyakit dengan peringkat teratas sebagai penyebab kematian di seluruh dunia (Lozano et al, 2012).
Pada
kasus wabah malaria, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian bayi
menghadapi risiko kematian yang lebih tinggi dalam menghadapi hilangnya hutan
di Indonesia, mungkin karena peningkatan bersamaan malaria. Diperlukan tindakan
kebijakan yang terpadu dan cepat untuk mengatasi deforestasi yang cepat dan degradasi
lingkungan yang terjadi di Indonesia, serta masalah kesehatan terkait
(Pattanayak et al, 2010; Garg, 2017).
Kehilangan tutupan
hutan dapat meningkatkan kejadian malaria melalui jalur yang berbeda.
Deforestasi untuk lahan pertanian, dan saluran irigasi serta kanal yang dibuat
untuk pertanian menciptakan kondisi baru bagi perkembangbiakan vektor nyamuk.
Peningkatan suhu akibat deforsetasi juga membantu penularan malaria. Akumulasi
air di lahan/ hutan yang ditebang cenderung memiliki pH netral, dan banyaknya
paparan sinar matahari menguntungkan bagi perkembangan larva nyamuk. Selain itu
akibat deforestasi juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati,
berkurangnya dan punahnya predator (seperti capung) menyebabkan proliferasi
nyamuk (Patz et al, 2000; Pattanayak dan Pfaff, 2009).
3. Avian Influenza (Flu Burung)
Avian
influenza (HPAI) yang sangat patogenetik pada unggas (strain H5 dan H7)
memiliki tingkat kematian yang tinggi dan sering menyebabkan kematian mendadak.
Flu burung menyebabkan kehancuran seluruh populasi, menyebabkan kerugian
ekonomi yang serius. Strain pertama dari virus HPAI (H5N1) diisolasi dari angsa
di Cina pada tahun 1996. Menurut Departemen Pertanian, Cina, telah mengalami 50
epidemi di 16 provinsi pada tahun 2004. Perlu digarisbawahi bahwa hal ini menunjukkan
unggas domestik dan liar dapat mati karena infeksi ini (Yang et al, 2015).
Virus
influenza A adalah virus RNA termasuk dalam family Orthomyxoviridae dan merupakan agen penyebab influenza, suatu
penyakit virus pernapasan yang menular pada burung dan manusia. Pandemi pertama
abad ke-20 terjadi pada tahun 1918 disebabkan oleh virus influenza novel
(H1N1), kemudian terjadi pandemi kedua pada tahun 1957 disebabkan oleh A(H2N20),
terjadi lagi pada tahun 1968 karena A(H3N2), dan tahun 2009 karena novel A(H1N1).
Selain itu, kasus influenza A(H1N1) dilaporkan kembali pada tahun 1977, yang
mungkin disebabkan keluaran dari laboratorium. Pada era sebelum 1977, hanya ada
satu jenis influenza yang bersirkulasi yang menyebabkan influenza musiman pada
manusia. Sejak 1977, beredarnya virus A(H1N1) dan A(H3N2) (Weber, D.J. et al,
2016).
Berdasarkan
jumlah kasus yang dilaporkan dan durasi subtipe ini diisolasi, H5N1 dan H7N9
adalah virus yang paling mungkin menyebabkan pandemi di seluruh dunia. Sebagian
besar kasus pada manusia yang terinfeksi oleh virus A(H5N1) dan A (H7N9) terjadi
karena kontak langsung atau tidak langsung dengan unggas hidup atau mati yang
terinfeksi. Subtipe virus A(H5N1), virus influenza A yang sangat patogen, kasus
manusia yang pertama terinfeksi terjadi pada 1997 selama terjadi wabah pada
unggas di Hong Kong. Sejak kemunculannya secara luas pada tahun 2003 dan 2004,
A(H5N1) telah menyebar dari Asia ke Eropa dan Afrika dan telah menyerang unggas
di beberapa negara. Sampai saat ini telah dilaporkan di 16 negara, orang yang
terinfeksi sebanyak lebih dari 500 orang dengan kematian yang dilaporkan
sekitar 60%. Sedangkan subtipe virus A(H7N9) merupakan virus influenza yang
rendah patogenitasnya, pertama kali menginfeksi beberapa penduduk Shanghai pada
bulan Maret 2013. Tidak ada kasus A (H7N9) yang dilaporkan di luar Cina (Weber,
D.J. et al, 2016).
4. SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome)
SARS
disebabkan oleh coronavirus baru, SARS-CoV secara filogenetik berbeda dari
semua coronavirus pada manusia dan hewan yang sebelumnya dikenal. Seperti
halnya coronavirus lainnya, SARS-CoV adalah virus RNA untai positif yang
termasuk dalam keluarga Coronaviridae.
Ini diklasifikasikan sebagai turunan dari 2B β CoV. Virus mirip SARS-CoV terdeteksi di musang
sawit Himalaya dan anjing rakun di pasar di Cina Selatan. Sebagai reservoir
utama adalah kelelawar Cina (Rhinolophus sinicus) (Weber, D.J et al,
2016).
SARS
pertama kali muncul di Cina Selatan pada November 2002 dan diakui sebagai
ancaman global pada Maret 2003 ketika menyebar ke 33 negara atau wilayah di 5
benua dan diatasi pada Juli 2013. SARS muncul kembali pada akhir tahun 2003 dan
awal tahun 2004 di Cina Selatan setelah dimulainya kembali kegiatan perdagangan
hewan liar di pasar. Tidak ada kasus yang dilaporkan sejak tahun 2004. Secara
keseluruhan, 8.098 orang di seluruh dunia terjangkit SARS, dimana 774 orang
meninggal (tingkat fatalitas kasus = 9,6%). Di Amerika Serikat, hanya 8 orang
yang memiliki bukti laboratorium terinfeksi SARS-CoV (Weber, D.J et al, 2016).
5. MERS (Middle East Respiratory Syndrome)
MERS adalah penyakit virus baru yang menyerang pernapasan pada manusia, pertama kali dilaporkan pada tahun 2012 dan disebabkan oleh coronavirus baru, turunan dari 2C β CoV (Weber, D.J et al, 2016). Hingga tanggal 25 September 2015, negara-negara di Timur Tengah melaporkan bahwa telah terjadi kasus penyakit MERS di Iran, Yordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yaman. Negara-negara dengan kasus-kasus yang terkait dengan perjalanan termasuk Aljazair, Austria, Cina, Mesir, Perancis, Jerman, Yunani, Italia, Malaysia, Belanda, Filipina, Republik Korea, Thailand, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat (Weber, D.J et al, 2016).
MERS adalah penyakit virus baru yang menyerang pernapasan pada manusia, pertama kali dilaporkan pada tahun 2012 dan disebabkan oleh coronavirus baru, turunan dari 2C β CoV (Weber, D.J et al, 2016). Hingga tanggal 25 September 2015, negara-negara di Timur Tengah melaporkan bahwa telah terjadi kasus penyakit MERS di Iran, Yordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yaman. Negara-negara dengan kasus-kasus yang terkait dengan perjalanan termasuk Aljazair, Austria, Cina, Mesir, Perancis, Jerman, Yunani, Italia, Malaysia, Belanda, Filipina, Republik Korea, Thailand, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat (Weber, D.J et al, 2016).
MERS-CoV adalah penyakit zoonosis yang
ditularkan dari hewan ke manusia. Asal-usul virus tidak sepenuhnya diketahui, namun
diyakini berasal dari kelelawar dan kemudian ditransmisikan ke unta. Saat ini,
diyakini bahwa unta berpunuk tunggal adalah host reservoir utama untuk penyakit
MERS-CoV dan sebagai sumber penularan dari hewan ke manusia (Weber, D.J et al,
2016). MERS dapat ditularkan dari orang
ke orang. Pada umumnya tertular karena
kontak langsung/ berdekatan serta memberikan perawatan tanpa pelindung kepada
pasien yang terinfeksi. The World Health
Organization (WHO) / Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan bahwa jumlah
kasus MERS yang telah dikonfirmasi adalah 1.583 kasus, dengan jumlah kematian 566
kasus. Pada musim panas 2015, wabah
besar MERS dilaporkan terjadi di Republik Korea dan Cina. Pada 11 September
2015, WHO melaporkan telah terjadi 186 kasus yang dikonfirmasi (Republik Korea:
n = 185; Cina: n = 1), dengan 36 kematian. Kasus terakhir infeksi MERS di
Republik Korea yang dilaporkan ke WHO tanggal 4 Juli 2015 (Weber, D.J et al,
2016).
6. SARS-CoV-2 atau COVID-19
Menurut Gary Whittaker (2020), Profesor Virologi di College of Veterinary Medicine dan seorang pakar coronavirus, berpendapat bahwa semua virus corona pada manusia berasal dari kelelawar. Hewan-hewan tersebut bertindak sebagai reservoir alami atau inang/host tempat virus tersebut bertahan. Diketahui ada tujuh virus corona manusia, termasuk diantaranya SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yakni infeksi saluran pernafasan akut yang parah, diidentifikasi pada tahun 2003. MERS (Middle East Respiratory Syndrome) pertama kali dilaporkan pada tahun 2012, dan sekarang muncul penyakit baru SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19.
Ilustrasi Satwa Harimau. Photo: Erni Suyanti |
Anjing Pomeranian. Sumber Photo: South China Morning Post |
Dilaporkan
Fakultas Kedokteran Hewan, University of Liège, Belgia bahwa pada tanggal 18
Maret 2020 hasil pemeriksaan sampel feces dan muntahan kucing dengan gejala
klinis pernafasan dan pencernaan dinyatakan positif SARS-CoV-2, dan pemilik kucing terlebih dulu
dinyatakan terinfeksi SARS-CoV-2.
Coronavirus
(subfamili Orthocoronavirinae, famili
Coronaviridae, order Nidovirales) diselimuti, single-strand,
virus RNA indra-positif. Saat ini, ada empat genera yang berbeda, yaitu Alphacoronavirus, Betacoronavirus, Gammacoronavirus
dan Deltacoronavirus, sebagai
reservoir adalah kelelawar dan tikus untuk virus alfa dan betacoronaonae
atau burung untuk gamma- dan deltacoronavirus. Dari reservoir alami
mereka CoVs dapat ditransmisi ke hewan lain, termasuk manusia, dengan penularan
ke manusia biasanya membutuhkan inang perantara (Lorusso et al., 2020).
Dalam
kurun waktu 18 tahun terakhir, dengan adanya dukungan teknologi pengurutan
novel, sejumlah besar CoV novel ditemukan pada sejumlah besar hewan. Di antara
hewan, terbukti bahwa kelelawar adalah kelompok mamalia yang memiliki jumlah
CoV terbesar. Bagaimana CoV berasal,
berevolusi, berpindah, bermutasi, dan menginfeksi host mereka, tindakan untuk
menghindari penyebaran virus berikutnya dari hewan ke manusia tentu menjadi
prioritas (Decaro, N., Lorruso, A. 2020).
Sehubungan
dengan COVID-19, virus yang terkait dengan Cov-2 masih memiliki sampel yang
buruk pada mamalia (bahkan pada kelelawar) untuk mencapai kesimpulan.
Identifikasi dua kelompok virus yang berbeda dalam trenggiling menunjukkan
bahwa virus yang terkait dengan SARS-COV-2 pada mamalia dapat membantu untuk
mengklarifikasi asal usul SARS-COV-2. Kemiripan yang tinggi antara CoVs
trenggiling Guandong dan SARS-CoV-2 di RBD menimbulkan kekhawatiran bahwa virus
mungkin siap ditularkan ke populasi manusia. Dibutuhkan lebih banyak pekerjaan
untuk mengeksplorasi patogenisitas dan keanekaragaman CoV pada trenggiling.
Namun demikian, karena statusnya terancam punah, dan risiko menyebabkan wabah
COv di masa depan, perburuan, penanganan, perdagangan trenggiling harus
dilarang keras (Han, G.Z. 2020).
Perubahan
epidemiologis dalam infeksi COVID-19 harus digunakan untuk memperhitungkan rute
potensi penularan dan infeksi subklinis, di samping adaptasi, evolusi, dan
penyebaran virus di antara manusia dan kemungkinan hewan dan reservoir menengah
(Rothan, H.A dan Byrareddy, S.N, 2020).
Menurut
Li, J.Y et al (2020), mengingat bahwa munculnya pneumonia 2019-nCoV sebagai
penyakit menular baru dengan penularan antarspesies dari hewan, kita harus
merefleksikan asal usul patogen manusia dan belajar dari pengalaman. Dengan adanya
perubahan ekologi dan aktivitas manusia, termasuk menginvasi tanpa batas
habitat alami satwa liar, dan adanya pertanian modern, penyebaran virus dari
inang alami ke manusia terus muncul dan bahkan mungkin meningkat. Meskipun
telah dibangun peradaban manusia yang tak tertandingi dengan informasi yang
sangat maju, virus tak kasat mata masih dapat memiliki dampak buruk pada
manusia. Virus yang menyebabkan kematian tinggi seperti SARS-CoV, MERS-CoV,
H5N1, H7N9, Ebola, dan Emerging 2019-nCoV seharusnya menjadi alarm bagi dunia.
Kita harus berusaha untuk mengurangi kemungkinan terjadi wabah dan membahayakan
manusia, diantaranya memperkuat penyelidikan etiologi hewan, mengurangi kontak
langsung dengan satwa liar, tidak kontak antara reservoir alami dengan populasi
manusia, serta perlu dilakukan pemberantasan perdagangan satwa liar sebagai
upaya untuk mencapai tujuan tersebut.
7. Ebola Virus Disease
Ebola
disebabkan oleh virus RNA dari family Filoviridae. Ada 5 spesies virus Ebola yang
teridentifikasi, 4 di antaranya diketahui menyebabkan penyakit pada manusia,
yaitu Zaire, Sudan, Tai Forest (sebelumnya Coted'Ivoire), dan Bundibugy.
Kelima, virus Reston, telah menyebabkan penyakit pada primata manusia (nonhuman primate), tetapi tidak pada
manusia. Host alami reservoir virus
Ebola masih belum diketahui. Namun, deteksi antibodi terhadap Ebola dan fragmen
virus Ebola pada kelelawar buah dan serangga menunjukkan bahwa hewan-hewan
ini berfungsi sebagai reservoir. Wabah Ebola sebelumnya telah terjadi di Afrika
Barat dan Tengah, termasuk Republik Demokratik Kongo, Uganda, Sudan, dan Gabon.
Kasus tunggal yang disebabkan oleh kecelakaan laboratorium juga telah
dilaporkan dari Rusia dan Inggris. Masa inkubasi Ebola umumnya 8-10 hari. Infeksi
hanya ditularkan dari orang yang bergejala. Ebola ditularkan dari orang ke
orang melalui kontak langsung dengan kulit, melalui kontak selaput lendir, dengan
darah, cairan tubuh (misalnya, urin, air liur, keringat, tinja, muntah, ASI,
air mani) dari orang yang sakit, benda (misalnya jarum, jarum suntik) yang
telah terkontaminasi dengan cairan tubuh dari orang yang sakit, atau kelelawar
buah yang terinfeksi atau primata. Dan yang terbaru penularan virus ini bisa
melalui kontak seksual yang diakui terjadi di Liberia. Wabah Ebola dilaporkan pertama kali terjadi
di Afrika Barat pada tahun 1976, setelah 40 tahun kemudian terjadi wabah di
Zaire dan Sudan sekitar 24 wabah telah terjadi. Wabah saat ini, yang dimulai
pada tahun 2014 di Afrika Barat, telah melibatkan Guinea, Sierra Leone, dan
Liberia. Kasus-kasus juga dilaporkan di Nigeria, Senegal, Spanyol, Mali,
Inggris, Italia, dan Amerika Serikat. Per 24 September 2015, ada 28.355 total
kasus (15.235 kasus yang dikonfirmasi laboratorium) dan 11.311 kematian
(tingkat fatalitas kasus, sekitar 40%).
8. Novel Ebolavirus
Pada
tahun 2007, penyakit novel Ebolavirus menyebabkan epidemi demam berdarah Ebola
di distrik Bundibugyo Uganda (virus ini berbeda meskipun mirip dengan
Ebolavirus dari kasus epidemi tahun 2014 di Afrika Barat). Meskipun kurang
mematikan daripada Ebolavirus yang serupa, penyakit ini menyebabkan kerugian
yang cukup besar, karena di antara 56 kasus yang terkena wabah ini, sekitar 40%
mengakibatkan kematian. Peringatan dini tentang gangguan keanekaragaman hayati
bisa menjadi prediktor penting peristiwa Emerging
Infectious Disease/ munculnya penyakit menular baru (Malloy, S.S. et al,
2019).
9. Schistosomiasis
Schistosomiasis
disebabkan oleh infeksi oleh cacing Schistosoma
japonicum melalui kontak dengan air, karena hospes perantara adalah siput.
Catatan sejarah menunjukkan korelasi yang tinggi antara intensitas transmisi schistosomiasis dengan faktor lingkungan
dan ekologis, seperti suhu, vegetasi dan curah hujan (Yang et al, 2015).
10. Angiostrongyliasis
Disebabkan
oleh cacing Nematoda jenis Angyostrongylus
contonensis adalah penyakit yang disebabkan dari makanan, muncul pertama
kali didapatkan pada tikus Rattus
norvegicus dan tikus hitam (Rattus rattus)
di Guangzhou, Cina pada tahun 1933. Penularan ke manusia terutama disebabkan
mengkonsumsi siput mentah. Kasus pertama Angiostrongyliasis
manusia terjadi di daratan Cina didiagnosis pada tahun 1984. Selama dekade
terakhir, jumlah kasus telah meningkat tajam. Wabah terbesar terjadi di Beijing
pada tahun 2006, puncaknya pada bulan Agustus dan telah terjadi 160 kasus yang
dilaporkan, 100 di antaranya dirawat di rumah sakit dengan menyebakan empat orang
meninggal dunia. Hasil investigasi wabah penyakit ini diketahui penyebabnya
adalah 75,1% pasien telah makan siput apel mentah (Pomacea canaliculata) atau siput tanah raksasa Afrika mentah (Achatina fulica).
11. Lassa virus
Demam Lassa adalah endemik di Sub-Sahara Afrika Barat,
termasuk Sierra Leone, Liberia, Guinea, dan Nigeria. Diperkirakan bahwa jumlah
infeksi Lassavirus per tahun di Afrika Barat adalah 100.000 - 300.000,
dengan menyebabkan sekitar 5.000 kematian (Weber, D.J., et al, 2016). Pada
tahun 1969, dilaporkan tiga perawat
misionaris Amerika jatuh sakit di Lassa, Nigeria. Dua pekerja laboratorium
Universitas Yale yang mempelajari penyakit ini juga menjadi sakit. Dua perawat
dan satu pekerja laboratorium meninggal karena tertular penyakit ini. Sejak
itu, beberapa kasus demam Lassa impor telah dilaporkan di Eropa. Beberapa kasus
impor telah dilaporkan di Amerika Serikat. Kasus impor terbaru di Amerika
Serikat terjadi pada Mei 2015 dan meninggal karena terinfeksi penyakit ini
(Weber, D.J., et al, 2016).
12. Leptospirosis
Dalam
hal ini tikus yang bertindak sebagai reservoar, bakteri Leptospira spp. akan tersebar ke pemukiman/daerah lain melalui urin
tikus dan dapat menginfeksi manusia atau hewan lain sehingga terjadi wabah
penyakit leptospirosis (Kusmiyati et al., 2005).
13. Japanese Encephalitis (JE)
Penyakit
Japanese encephalitis (JE) adalah
penyakit radang otak dapat menyerang hewan maupun manusia yang disebabkan oleh
virus JE dapat berakibat fatal pada penderita (Fenner et al., 1992; Weissenbock
et al., 2010). Pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1871, karena itu disebut
Japanese encephalitis, sedangkan
virusnya sendiri baru berhasil diisolasi pada tahun 1933. Virus JE ini termasuk
dalam kelompok virus Arbo dari genus Flaviviridae,
mempunyai 5 genotipe didasarkan atas analisis phylogenetic dari gen E virus (Solomon
et al., 2003; Williams et al., 2000). Bersifat zoonosis dan penularan kepada
hewan maupun manusia tidak secara langsung tetapi melalui gigitan vektor
nyamuk. Induk semang yang dapat terinfeksi adalah babi, ternak ruminansia,
kuda, kelinci, unggas, kelelawar dan manusia. Aktivitas virus secara alami
terpelihara melalui siklus hidup nyamuk dengan unggas dan babi adalah induk semang
penting tempat perbanyakan dari virus tersebut (Weissenbock et al., 2010). Pada
saat ini virus JE telah tersebar hampir di banyak negara, terutama di Asia
termasuk Indonesia (Ompusunggu et al., 2008). Hewan yang berperan sebagai
reservoar dari virus JE adalah ternak babi, sedangkan manusia dan kuda
merupakan target akhir dari siklus penularan atau dikenal juga dengan istilah dead-end karena viraemia terjadi sangat
singkat sehingga sulit untuk ditularkan dari manusia ke manusia.
14. Nipah
Merupakan
penyakit viral yang disebabkan oleh virus Nipah dari genus Morbilivirus, Famili Paramyxoviridae
yang menyerang ternak babi dan bersifat zoonosis (Chua et al., 2000b). Penyakit
Nipah pertama kali dilaporkan di Desa Sungai Nipah Negeri Sembilan, Malaysia
pada tahun 1998. Wabah penyakit ini dalam waktu kurang dari satu tahun
(September 1998 – April 1999) telah menewaskan 105 orang dan sekitar 1,1 juta
ekor babi dimusnahkan (Chua et al., 1999; 2000a). Penyakit Nipah ini merupakan penyakit
baru yang sebelumnya belum pernah dilaporkan di dunia. Dua spesies hewan yang
berperan penting adalah kalong sebagai reservoar dari virus Nipah, dan ternak
babi sebagai pengganda virus yang mengamplifikasi virus Nipah sehingga siap
untuk ditularkan ke babi atau hewan lain atau manusia (Daniels et al., 2001; Field,
2001).
15. Rift Valley Fever (RVF)
Rift Valley Fever (RVF) adalah penyakit viral yang menyerang hewan maupun
manusia yang disebabkan oleh virus dari genus Phlebovirus dari famili Bunyaviridae.
Pertama kali diidentifikasi pada tahun 1931 saat kejadian epidemik di peternakan di Rift Valley di Kenya (Daubney et
al., 1931 yang dikutip Gould dan Higgs, 2009). Ditularkan kepada hewan dan
manusia oleh nyamuk Aedes spp., dapat
menyebabkan penyakit yang serius yang ditandai dengan tingginya kejadian
keguguran dan bisa mengakibatkan kematian. Manusia bisa tertular apabila berada
pada lokasi tersebut dan terkena gigitan nyamuk yang mengandung virus RVF. Penyakit
RVF menyebar ke Afrika Utara sehingga pada akhir tahun 1977 di Mesir terjadi
epizootik yang menyebabkan 600 orang meninggal dan lebih dari 60.000 orang
memperlihatkan gejala klinis yang berat (Meegan, 1979; Meegan et al., 1979). Pada
tahun 2000 terjadi kasus penyakit RVF di Saudi Arabia dan Yaman (Gould dan Higgs,
2009).
V. Kesimpulan
Aktivitas manusia dalam skala luas berpengaruh terhadap munculnya penyakit menular baru terutama penyakit zoonosis, seperti perilaku manusia yang menyebabkan deforestasi, alih fungsi lahan/ hutan, tekanan terhadap populasi keanekaragaman hayati, intensifikasi pertanian, perdagangan global satwa liar, adanya limbah rumah tangga/industri dan lain-lain. Perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut menyebabkan interaksi antara manusia dengan hewan/ satwa liar semakin intens sehingga menyebabkan peningkatan sebesar 70% ancaman penyakit menular baru (Emerging Infectious Diseases/ EID) yang bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia atau dari mansuia ke hewan). One Health merupakan sebuah konsep untuk merespon ancaman penyakit zoonosis tersebut, bahwa kesehatan manusia/masyarakat sangat dipengaruhi oleh kesehatan hewan dan lingkungan yang sehat.
Penyakit menular baru yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan/ perubahan lingkungan diantaranya disebabkan oleh virus seperti peyakit Avian Influenza (Flu Burung), Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), Middle East Respiratory Syndrome (MERS), COVID-19 (SARS-CoV-2), Ebola, Novel Ebolavirus, Lassa virus, Japanese Encephalitis, Nipah, Rift Valley Fever (RVF) dan lain-lain, sedangkan yang disebabkan bakteri adalah Leptospirosis, serta yang disebabkan oleh parasit diantaranya Schistosomiasis dan Angiostrongyliasis. Kerusakan lingkungan akibat deforestasi dan alihfungsi lahan/ hutan juga menyebabkan penyebaran penyakit menular melalui vektor nyamuk, yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD), Malaria, virus Zika dan Chikungunya.
Aktivitas manusia dalam skala luas berpengaruh terhadap munculnya penyakit menular baru terutama penyakit zoonosis, seperti perilaku manusia yang menyebabkan deforestasi, alih fungsi lahan/ hutan, tekanan terhadap populasi keanekaragaman hayati, intensifikasi pertanian, perdagangan global satwa liar, adanya limbah rumah tangga/industri dan lain-lain. Perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut menyebabkan interaksi antara manusia dengan hewan/ satwa liar semakin intens sehingga menyebabkan peningkatan sebesar 70% ancaman penyakit menular baru (Emerging Infectious Diseases/ EID) yang bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia atau dari mansuia ke hewan). One Health merupakan sebuah konsep untuk merespon ancaman penyakit zoonosis tersebut, bahwa kesehatan manusia/masyarakat sangat dipengaruhi oleh kesehatan hewan dan lingkungan yang sehat.
Penyakit menular baru yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan/ perubahan lingkungan diantaranya disebabkan oleh virus seperti peyakit Avian Influenza (Flu Burung), Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), Middle East Respiratory Syndrome (MERS), COVID-19 (SARS-CoV-2), Ebola, Novel Ebolavirus, Lassa virus, Japanese Encephalitis, Nipah, Rift Valley Fever (RVF) dan lain-lain, sedangkan yang disebabkan bakteri adalah Leptospirosis, serta yang disebabkan oleh parasit diantaranya Schistosomiasis dan Angiostrongyliasis. Kerusakan lingkungan akibat deforestasi dan alihfungsi lahan/ hutan juga menyebabkan penyebaran penyakit menular melalui vektor nyamuk, yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD), Malaria, virus Zika dan Chikungunya.
VI. Daftar Pustaka
Bahri, S., Syafriati,
T. 2011. Mewaspadai munculnya beberapa
penyakit hewan menular strategis di Indonesia terkait dengan pemanasan global
dan perubahan iklim. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Balai
Besar Penelitian Veteriner. Bogor.
Brook, B.W., Sodhi, N.S., Bradshaw, C.J.A., 2008. Synergies among extinction drivers under
global change. Trends Ecol. Evol 25.
Burkett, N.D.,
Vittor, C.A.Y. (2018). Deforestation and
vector-borne disease: Forest conversion favors important mosquito vectors of
human pathogens. Basic and Applied Ecology. Vol 26, pp. 101-110.
Chakrabarti, A.
(2018). Deforestation, Malaria and Infant
Mortality in Indonseia. Harvard University, Department of Global
Health and Population, pp. 2–7.
Han, G.Z. (2020). Pangolins Harbor SARS-CoV-2 Related
Coronaviruses. Tren in Microbiology. TIMI 1818, P:3.
Husnina, Z., Clements,
A.C.A., Wangdi, K. (2019). Forest cover
and Climate as potential drivers for dengue fever in Sumatra and Kalimantan
2006-2016: a spatiotemporal analysis. Tropical Medicine and
International Health. Vol 24, Issue 7.
Li, J.Y., You, Z.,
Wang, Q., Zhou, Z.J., Qiu, Y., Luo, R., Ge, X.Y. (2020) The epidemic of 2019-novel-coronavirus (2019-nCoV) pneumonia and
insights for emerging infectious diseases in teh future. Microbes and
Infection. 22: 80-85.
Malloy, S.S., Horack,
J.M., Lee, J., Newton, E.K. (2019). Earth
observation for public health: Biodiversity change and emerging disease
surveillance. Acta Astronautica 160: 433-441.
McMichael, A.J. et
al, 2004. Comparative quantification of
health risk: global and regional burden of disesase due to selected major risk
factors. In: Ezzati, M., Lopez, A.D., Rodgers, A., Murray, C.J.L. (Eds.),
Global Climate Change. World Health Organization. Geneva.
Olson,
J.G., C. Rupprecht, P.E. Rollin, S.A. Ung, M. Niezgoda, T. Clemmins, J. Waltston and T.G. Ksiazek. 2002. Antibodies
to Nipah-like virus in bats (Pteropus lylei) Cambodia. Emer. Infect. Dis.
8: 987 –988.
Pattanayak, S. K., & Pfaff, A. (2009). Behavior, environment, and health in
developing countries: evaluation and valuation. Annu. Rev. Resour. Econ.,
1(1), 183-217
Ramanujan, K. (2020).
Cornell exsperts discuss state of
pandemic. Cornell Chroniclle.
Rothan, H.A.,
Byrareddy, S.N. (2020). The epidemiology
and pathogenesis of coronavirus diseases (COVID-19) outbreak. Journal of
Autoimmunity 109.
Weber, D.J., Rutala,
W.A., Fischer, W.A., Kanamori, H., Bennet, E.E.S. 2016. Emerging infectious diseases: Focus on infection control issues for
novel coronaviruses (Severe Acute Respiratory Syndrome-CoV and Middle East
Respiratory Syndrome-CoV), hemorrhagic fever viruses (Lassa and Ebola), and
highly pathogenic avian influenza viruses, A(H5N1) and A(H7N9). American
Journal of Infection Control 44, e91-e100.
Yang, G.J., Utzinger,
J., Zhou, X.N. 2015. Interplay between
environment, agriculture and infectious diseases of poverty: Case Studies in
China. Acta Tropica 141, 399-406.
Yasuoka, J., Levins,
R. (2007). Impact of Deforestation And
Agricultural Development on Anopheline Ecology and Malaria Epidemilogy. The
American Society of Tropical Medicine and Hygiene. Am. J. Trop. Med. Hyg.,
76(3), 2007, pp. 450–460.