Tampilkan postingan dengan label Taman Nasional Baluran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Taman Nasional Baluran. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 November 2015

For the Third Time : Helping Research in the Baluran National Park


Bengkulu, 14 November 2015, Pukul 02.00 dini hari saya baru kembali pulang ke Kota Bengkulu dari perjalanan keluar kota untuk pembiusan dan translokasi rusa sambar (Cervus unicolor) ke Kota Argamakmur, Kabupaten Bengkulu Utara. Kami bekerja dari pagi dan baru selesai pagi dini hari di hari berikutnya. Begitu sampai, satu jam saya manfaatkan untuk packing barang-barang yang akan dibawa untuk perjalanan ke Jawa Timur untuk tiga tujuan sekaligus. Pukul 03.00 WIB saya baru bisa tidur, namun pukul 04.00 WIB saya sudah harus segera bangun dan menuju airport. Waktu terasa sempit, adakalanya saya selalu merasa terburu-buru. Pagi itu pukul 4 tepat saya sudah dijemput untuk diantar ke Fatmawati Soekarno Airport di Kota Bengkulu dengan membawa 1 box obat-obatan dan peralatan medis, serta dua ransel. Hari itu saya akan melakukan perjalanan menuju ke Bandara Blimbingsari, Banyuwangi dengan transit di dua tempat yakni Bandara Soekarno Hatta di Jakarta dan Bandara Juanda di Surabaya, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat ke Taman Nasional Baluran yang terletak di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Perjalanan panjang itu saya manfaatkan untuk beristirahat dan tidur selama dalam penerbangan. Saya terbiasa memanfaatkan waktu perjalanan untuk tidur karena hanya itulah waktu yang bisa saya pakai untuk beristirahat, dan saya terbiasa tidur di mobil, kereta, pesawat maupun kapal laut, bahkan bila sudah terlanjur capek di jalan buruk pun masih bisa tertidur pulas, mengingat jam kerja yang tidak menentu dan terbiasa menangani satwa liar 24 jam ataupun lebih tanpa bisa beristirahat.

Sesampainya di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi saya telah dijemput oleh teman lama Hariyawan Agung Wahyudhi yang kini bekerja untuk proyek penelitian dengan Copenhagen Zoo berkerjasama dengan Taman Nasional Baluran. Dan saya sebelumnya telah turut membantu dalam pemberian training bagi tim research yakni tentang pembiusan dan handling satwa terutama macan tutul serta teknik pengambilan specimen untuk penelitian DNA. Dan saya datang kembali untuk membantu dalam penanganan satwa bila satwa target telah tertangkap karena kandang jebak mulai diaktifkan, kebetulan saya punya waktu luang beberapa hari saat itu untuk ikut stand by disana.

Siang itu kami langsung menuju homestay di Desa Wonorejo tempat kami biasa menginap. Pemilik homestay sudah tidak asing lagi dengan kami, dan ini adalah homestay favorit kami untuk menginap, yakni Homestay Tresno sesuai dengan nama pemiliknya, tempatnya sejuk dan bersih. 


Taman Nasional Baluran, 15 - 22 November 2015

Baluran National Park. Photo: Erni Suyanti Musabine

Taman Nasional Baluran merupakan salah satu tempat terindah yang ada di Provinsi Jawa Timur, meski kondisinya kering kerontang dan panas tak mengurangi keindahannya, selain itu mudahnya menjumpai satwa liar disana sehingga banyak orang menyebutnya sebagai Afrika-nya Indonesia. Mengunjungi tempat ini tidak pernah membuatku merasa bosan, namun malah selalu ingin kembali.

Sebelum mulai beraktivitas, saya bersama Hariyawan Agung Wahyudi yang merupakan project leader disana menemui Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Baluran karena Kepala Balai sedang tidak ada di tempat untuk menginformasikan bahwa penelitian dan pengaktifan kandang jebak untuk macan tutul akan dimulai, dan saya membantu untuk standby disana kebetulan memiliki waktu luang satu minggu untuk berada di Baluran. Surat Perintah Tugas untuk kami ternyata sudah disiapkan sebelum saya datang. Kami juga menginformasikan bahwa saya juga akan membawa volunteer dokter hewan fresh graduate yang telah mendapatkan training tentang pembiusan dan handling kucing besar di Bengkulu untuk bisa membantu di Baluran dan diharapkan juga nantinya bisa mendampingi volunteer medis lainnya yang masih berstatus mahasiswa kedokteran hewan untuk project penelitian ini. Hari itu akhirnya kami mengaktifkan kandang jebak (box trap) dan meletakkan umpan hidup, tempatnya sangat strategis karena merupakan jalur jelajah macan tutul dan macan kumbang (Panthera pardus melas), juga merupakan tempat singgahnya berbagai jenis satwa liar lainnya untuk mencari minum. Bahkan saat kami sedang disibukkan untuk mengaktifkan kandang jebak, seorang volunteer pemasangan camera trap menyaksikan para ajag (Cuon alpinus) sedang minum di tempat yang tak jauh dari kami berada. Sayang sekali pemandangan seperti itu terlewat dariku.

Air minum satwa liar
Setelah selesai mengaktifkan kandang jebak, saya bersama teman lainnya memeriksa sekitar tempat minum, terlihat berbagai jejak dan feces satwa liar ada disekitarnya, ini menandakan bahwa banyak satwa liar mencari minum disitu. Dibandingkan dengan hutan di Sumatera yang banyak dilalui sungai besar dan kecil serta adanya rawa-rawa dengan air yang melimpah meski di musim kemarau sekalipun, sungguh jauh berbeda dengan yang ada di tempat ini sungai tampak kering, gersang dengan suhu lingkungan yang panas, tentu air merupakan kebutuhan pokok yang paling dicari oleh satwa liar. Air dalam wadah tersebut dengan volume sedikit pun sangat berarti bagi semua jenis satwa liar, dimanfaatkan mulai dari binatang kecil seperti lebah, burung kecil sampai mammalia besar seperti ajag, macan tutul, banteng dan lainnya. Bahkan ketersediaan air selain sebagai sumber kehidupan juga merupakan sumber konflik antara satwa liar dan manusia di sekitar Taman Nasional Baluran, ya begitulah yang dapat saya simpulkan dari obrolan kami dengan warga desa setempat selama tinggal di homestay. Kebetulan saya sendiri juga fokus bekerja dalam penanggulangan konflik satwa liar, sehingga setiap bepergian ke tempat manapun yang merupakan habitat satwa liar itulah salah satu informasi yang ingin saya ketahui dari masyarakat sekitar.


Kerbau liar (Bubalus bubalis)
Setelah kandang jebak diaktifkan, setiap hari kami melakukan pengecekan dan melakukan piket jaga malam dengan personil bergantian untuk mengetahui sedini mungkin bila macan tutul sudah masuk perangkap. Dan bila sedang standby di homestay dan tidak mengikuti tim jaga malam di taman nasional, saya memanfaatkan waktu untuk ngobrol dengan warga, banyak informasi yang saya dapatkan, paling menarik perhatianku adalah tentang konflik satwa liar, yang semula saya tidak pernah mendengar tentang hal itu di sekitar Taman Nasional Baluran. Ketersediaan air yang terbatas di dalam Taman Nasional disaat musim kemarau karena sungai-sungai kering, dan yang tersedia adalah air sumur untuk mengisi tempat-tempat air secara manual yang diletakkan di lokasi-lokasi tertentu. Tidak tersedianya air di daerah jelajah satwa liar mendorong kerbau liar dan rusa keluar taman nasional untuk minum di sungai-sungai kecil di desa dekat batas kawasan pada malam hari. Saat perjalanan menuju ke desa satwa liar itu juga merusak tanaman di sawah seperti jagung dan lainnya. Bahkan warga yang menjadi korban konflik satwa liar mengajak saya untuk ikut mitigasi konflik disana, mereka mulai berjaga-jaga sekitar perbatasan taman nasional dan desa terdekat sekitar pukul 02.00 dini hari sampai menjelang pagi, kamipun saling berdiskusi bagaimana cara meredakan konflik tersebut. Menurut warga kerbau liar merupakan satwa yang paling berbahaya disana karena suka menyerang bila merasa terancam. Beberapa cara telah dilakukan oleh warga desa yakni dengan pengusiran dan penggiringan agar masuk kawasan kembali, ada yang berhasil dan ada yang gagal. Setelah bercerita banyak tentang kerugian yang diderita akibat konflik dengan satwa liar, mereka bertanya pada saya, "kemana institusi yang tepat untuk melaporkan kejadian konflik seperti itu ?" Banyak warga masih beranggapan melaporkan kejadian konflik satwa liar itu ke kepolisian. Menurutku mereka perlu melaporkan setiap kejadian konflik dengan otoritas setempat yakni Balai Taman Nasional sehingga untuk selanjutnya bisa secara bersama-sama antara warga dengan petugas dapat mencari strategi meredakan konflik untuk mencegah kerugian ekonomi akibat tanaman palawija yang dimakan satwa serta mencegah adanya korban manusia karena serangan satwa liar, dan yang tidak kalah penting adalah agar warga juga tidak berbuat anarkis terhadap satwa yang berkonflik dengan mereka. Memang harus disadari bahwa tidak ada solusi tunggal dalam penanggulangan konflik satwa liar dengan manusia. Satwa liar juga terlalu pintar untuk mengamati strategi yang kita buat dan mereka juga selalu belajar untuk itu. Manusialah yang harus rajin berinovasi menemukan cara terbaik guna meredakan konflik dengan satwa liar.

Parasit di Feces Carnivora
Esok harinya di pagi hari tim kami yang melakukan piket jaga mendapatkan sampel feces carnivora di dekat kandang jebak. Cukup banyak dari beberapa individu. Kami bagi sampel menjadi tiga, yakni untuk pemeriksaan DNA, untuk pemeriksaan penyakit parasiter, dan sisanya kami sendirikan untuk bisa dimanfaatkan dalam berbagai hal seperti analisa pakan dan lain-lain. Kesempatan ini juga cocok untuk training cara pengambilan sampel DNA dari feces bagi para volunteer dan kami menggunakan media alkohol absolut. Sayang sekali sampel feces untuk pemeriksaan parasit tidak bisa langsung dikirim, dikhawatirkan sampel akan rusak dan tidak bisa diperiksa lagi, dan kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Bagi saya lebih baik menyimpan data hasil pemeriksaan daripada menyimpan sampel yang belum diperiksa. Belajar dari pengalaman pribadi.

Saya juga sempatkan untuk belajar setting camera trap kembali. Dan ikut memasang camera trap di sekitar kandang jebak.

Disela-sela waktu kegiatan, saya juga menyempatkan diri untuk melihat daerah sekitar diluar taman nasional, meski hanya melihat tanah gersang dan kering, melihat tumbuhan berdaun coklat dan bebatuan, pemandangan itu tetap menarik bagiku. Sedangkan hal paling mengasyikkan buatku setiap berada di Taman Nasional Baluran adalah bisa menyalurkan hobby photography, banyak obyek menarik yang menggoda untuk dipotret, terutama satwa liar. Tak pernah ada rasa bosan melihat mereka berkeliaran dan meski sudah berkali-kali melihatnya, perilaku mereka tetap membuat penasaran dan tetap menjadi primadona sebagai model photo di alam liar.

Ini beberapa photo satwa liar yang saya dapatkan selama berada di Taman Nasional Baluran, meski pada kesempatan kunjungan kali ini tidak banyak waktu untuk memotret satwa liar karena pada hari minggu tanggal 22 November 2015 saya sudah harus kembali ke Surabaya.






































Kamis, 19 November 2015

Cycling 24 km in the Baluran National Park


Baluran, Kamis 19 November 2015

Batas kawasan Taman Nasional Baluran. Photo oleh Erni S 
Hari itu saya tidak punya banyak aktivitas, hanya menunggu informasi dari kandang jebak macan tutul. Beberapa hari sebelumnya saat berkeliling saya memperhatikan pemandangan indah di sekitar Desa Wonorejo dan perbatasan kawasan Taman Nasional Baluran, dan melihat ada beberapa jalan yang belum pernah kulalui sebelumnya yang membuat penasaran, kiri kanan jalan berupa hutan berdaun coklat dan tampak kering. Tersirat keinginan untuk melaluinya dengan berjalan kaki atau bersepeda gunung. Kulihat pemilik homestay memiliki sebuah sepeda gunung yang bisa dipinjamkan. Saya berpikir mungkin saya bisa bersepeda kesana sambil memotret dan mencari sampel feces binatang liar yang mungkin bisa ditemukan di sekitar taman nasional mengingat seorang warga pernah mengatakan padaku bahwa kerbau liar dan rusa kerap keluar kawasan untuk mencari air minum di sungai-sungai kecil di sawah. Sedangkan jalan yang ingin kulalui adalah daerah yang sering terlibat konflik dengan satwa liar. Seorang volunteer medis yang juga temanku dari Wanala Unair yang ikut membantu penelitian macan tutul di Taman Nasional Baluran berminat untuk bergabung, menemaniku bersepeda gunung. Akhirnya kami mendapatkan tambahan sebuah sepeda lagi dari keluarga pemilik homestay.


Nggowes (bersepeda) 12 km ditempuh dalam waktu 3 jam 14 menit

Taman Nasional Baluran. Photo oleh Happy Ferdiansyah 

Pukul 12.30 WIB kami mulai mengayuh sepeda menelusuri desa Wonorejo menuju perbatasan Taman Nasional Baluran dengan Hutan Tanaman Industri. Dengan berbekal GPS, camera, kacamata hitam, dan backpack berisi air minum. Kami melewati pekarangan belakang rumah warga, melewati rumpun pohon bambu yang berujung di lokasi pemakaman (kuburan). Jalan yang kami lewati tidak datar, justru itu yang mengasyikan. 

Bersepeda gunung di Taman Nasional Baluran bukan yang pertama kali ini saya lakukan, beberapa tahun yang lalu saat ada acara seleksi sepuluh petualang terbaik Indonesia yang diadakan oleh Marlboro Adventure Team (MAT) disana dan saya terlibat didalamnya, juga pernah ikut bersepeda gunung sejauh kira-kira 25 km untuk mencoba jalur bersama kawan-kawan MAT. Namun medan yang dilalui jauh lebih berat, tidak hanya melewati jalan desa tapi juga melewati jalan setapak dalam kawasan Taman Nasional Baluran yang kering, tandus dan panas, melewati sungai-sungai kering berbatu dan berakhir di pinggir pantai Balanan yang sangat indah dan tim kami yang paling dahulu mencapai finish. Dan untuk pertama kalinya dari atas tebing saya terpana melihat keindahan pantai biru jernih, keindahannya melebihi pantai-pantai yang pernah saya lihat sebelumnya.

Amorphophalus sp. Photo oleh Erni Suyanti M
Dalam perjalanan di lahan pekarangan masyarakat kami menemukan bunga bangkai yang akan mekar sebanyak dua buah, akhirnya kami merecord titik koordinatnya dengan GPS yang kami bawa. Lokasinya di Desa Wonorejo di sekitar rumpun bambu, tak jauh dari tempat kami menginap, dan tak jauh juga dari perbatasan kawasan Taman Nasional Baluran. Selanjutnya kami memilih melalui jalan tanah yang memisahkan antara kawasan taman nasional dengan HTI, kami menelusuri jalan tersebut di siang hari yang panas dan menyengat. Bersepeda gunung di Baluran yang panas di bawah terik matahari jam 12 siang memang sangat menguras tenaga, ditambah lagi medan yang berbatu dan tanah kering. Dehidrasi membuatku cepat merasa lelah. Setelah jauh berjalan, saya hampir putus asa dan ingin berbalik arah menuju desa. Saat teman saya sedang sibuk memotret, saya parkir sepeda dan menelusuri jalan setapak dengan berjalan kaki masuk kedalam hutan, tak disangka akhirnya saya menemukan jalan poros dalam Taman Nasional Baluran, seketika itu pikiranku berubah, saya ingin bersepeda sampai savana Bekol atau bila waktu memungkinkan sampai pantai Bama. Dengan riangnya saya memberitahu teman dan mengajaknya untuk melanjutkan petualangan dengan mengayuh sepeda sejauh 12 km lagi. Sepanjang perjalanan kami banyak berhenti untuk memotret atau sekedar menikmati pemandangan yang indah sehingga sampai di Bekol sore hari yakni sekitar pukul 15.44 WIB.  Selama perjalanan yang panas saya juga membayangkan minum es yang segar di kantin di Bekol. Air minum kami hanya sebotol kecil air mineral, dalam perjalanan kami harus berhemat air, namun sebaliknya disaat dehidrasi seperti itu kami ingin banyak minum. Satu-satunya cara untuk menyemangati diri agar cepat sampai di Bekol adalah membayangkan minum es yang bisa menyegarkan tenggorokan. 

Sesampainya di Bekol saya langsung istirahat sejenak di kantin sambil menunggu teman yang belum sampai dan langsung memesan air minum dingin 2 gelas, itu hanya untuk diriku sendiri yang sudah sangat kehausan karena panas dan belum memesan untuk temanku berpetualang di hari itu. Bajuku basah karena keringat. Karena capek saya tidak punya selera makan lagi, hanya temanku yang memesan makanan. Saya membeli air mineral dalam jumlah lebih banyak untuk perjalanan kembali pulang agar tidak kehabisan air minum dan kehausan di perjalanan. selama di kantin kami juga mengobrol dengan penjual, polhut TN Baluran dan kawan-kawan outsourcing yang sedang ada disana, kebetulan mereka semua sudah kami kenal sebelumnya. Salah satu dari mereka berkomentar, kalau saya disuruh mengayuh sepeda dari Batangan ke Bekol ya nggak mau, mbak. Jauh sekali dan tentunya bikin capek, mending naik sepeda motor 

Merak (Pavo muticus). Photo oleh Erni Suyanti Musabine 

Istirahat kami tidak bertahan lama karena obyek menarik lewat di depan mata, yakni seekor merak jantan yang melenggang dan menggoda untuk dipotret, berjalan-jalan disekitar kami. Itu membuat kami seringkali mengeluarkan kamera untuk menunggunya dan mencari waktu yang tepat untuk mengambil photo. Meski itu merak jantan namun terlihat anggun dengan ekornya yang panjang. Bulan ini adalah musim kawin bagi merak, sehingga penampilan merak jantan terlihat lebih indah. Bahkan kami menyaksikan aksi berkelahi antara merak jantan dalam memperebutkan dan menarik perhatian betina. Tidak hanya merak yang kami jumpai dalam perjalanan tetapi juga binatang liar lainnya, dan paling banyak adalah melihat ayam hutan baik yang hijau maupun yang merah di sepanjang perjalanan. Tampak juga lutung berkelompok meloncat-loncat dari pohon satu ke pohon lainnya menyeberangi jalan di sore hari. 

Kami tidak jadi melanjutkan perjalanan ke pantai Bama yang kurang 3 km lagi karena waktu telah menjelang gelap. Dan untuk kembali ke savana Bekol kami masih harus menempuh perjalanan 3 km lagi. Kami pikir itu akan menyulitkan kami untuk kembali ke Batangan yang harus melalui jalan buruk dengan lampu terbatas, karena yang membawa headlamp hanya saya saja itupun sinarnya kurang terang. Kembali pulang lebih awal adalah keputusan yang terbaik. Akhirnya pukul 16.48 WIB kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Desa Wonorejo. Selama satu jam beristirahat di savana Bekol dan memotret satwa liar disana sudah cukup memuaskan.

Taman Nasional Baluran. Photo oleh Happy Ferdiansyah
Di tengah perjalanan hari sudah gelap, agak mengerikan memang naik sepeda di jalan buruk tanpa bisa melihat jalan yang dilalui karena gelap, dan kondisi jalan naik turun. Pada saat menurun sepeda kami meluncur dengan kencangnya meski tanpa dikayuh, sesekali kami harus menggunakan rem bila tidak ingin sepeda menjadi tidak terkendali saat meluncur. Tapi anehnya kami sangat menikmati kesulitan itu. Orang-orang yang hobby petualangan di alam bebas akan merasa bahagia menikmati kesulitan dalam perjalanan, berbeda dengan orang yang tidak menyukai petualangan pasti akan banyak mengeluh dengan kondisi yang ada. Ya, hobby orang-orang seperti kita yang suka melakukan petualangan di alam bebas memang aneh, setiap kesulitan yang kita hadapi akan dinikmati dan bukan dikeluhkan.

Kami keluar melalui pintu masuk pos Batangan, kami menyapa petugas jaga sebelum keluar dan melanjutkan bersepeda menuju Desa Wonorejo. Sampai di homestay sekitar pukul 19.00 WIB. Jarak 12 km lebih dalam perjalanan pulang kami tempuh selama 2 jam 52 menit, sedikit lebih cepat dari waktu berangkat. Itupun sudah sering dipakai untuk berhenti memotret burung dan primata serta terkendala kesulitan mencari jalan untuk dilalui karena hari sudah gelap. Sungguh, ini adalah pengalaman kedua bersepeda gunung di Taman Nasional Baluran yang sangat mengasyikkan, bila ada kesempatan saya masih ingin mengulang lagi dengan start lebih pagi dan jarak tempuh lebih jauh dan dengan jalur yang berbeda. Tak pernah bosan untuk mencoba hal-hal baru yang menarik, apalagi bisa menyalurkan hobby sambil berolahraga seperti itu. Ada yang tertarik ??? Ayo kita buat rencana untuk petualangan selanjutnya !!!