Tampilkan postingan dengan label Siamang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Siamang. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Oktober 2016

Idealisme vs Kepentingan : Ancaman terhadap Upaya Konservasi Insitu


Sejak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mendorong pejabat dibawahnya melakukan penertiban peredaran satwa liar baik dari perdagangan maupun pemeliharaan illegal di masyarakat, sejak saat itulah para pejabat di tingkat provinsi (Unit Pelaksana Teknis KLHK) memberikan edaran ke masyarakat dan institusi terkait untuk mendukung upaya penertiban satwa langka yang ada di masyarakat. Namun tidak diimbangi dengan persiapan posko penampungan satwa tersebut dengan fasilitas yang layak bagi pemeliharaan sementara satwa liar sesuai dengan jenisnya masing-masing dan ketersediaan dana pakan serta perawatan didasarkan prinsip-prinsip animal welfare. Awal tahun 2016 dimulailah aksi tersebut di Provinsi Bengkulu, banyak satwa liar yang berhasil disita dari perdagangan gelap maupun dari penyerahan sukarela oleh masyarakat seperti kukang, siamang, burung elang, julang, beruang madu, trenggiling, buaya muara, kucing hutan dan lain-lain.

Beberapa satwa liar yang direscue tersebut berhasil dilepasliarkan kembali ke habitatnya di Taman Wisata Alam Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara seperti kucing hutan, dan beberapa ekor siamang di Taman Buru Semidang Bukit Kabu, Kabupaten Seluma serta empat ekor kukang sumatera dilepasliarkan kembali di Taman Wisata Alam Bukit Kaba, Kabupaten Rejang Lebong. Sebelum dilepasliarkan, satwa tersebut melalui proses panjang pemeriksaan medis untuk mengetahui apakah satwa tersebut dalam kondisi sehat ataukah tidak, dirawat sementara di Kantor Resort Kota Bengkulu dan ada yang dititipkan sementara ke Pusat Penyelamatan Satwa yang ada di Sumatera Selatan.

Namun sebagai dokter hewan kebijakan ini menjadi tantangan tersendiri, karena kami antar petugas memiliki pola pikir yang berbeda dalam penanganan satwa liar. Sebelumnya saya pernah bekerja di Pusat Penyelamatan Satwa, di Stasiun Karantina untuk satwa liar serta menjadi konsultan medis di Pusat Rehabilitasi Satwa Liar tentu mengharapkan satwa liar yang direscue dari perdagangan illegal dan kepemilikan illegal harus mendapat pemeriksaan medis yang ketat sesuai dengan masing-masing jenis satwa dan kebutuhannya. Selain itu mereka harus melalui masa karantina dan diisolasi dari satwa lainnya dan manusia, kemudian dari hasil penilaian tersebut baru menjalani proses rehabilitasi dan pelepasliaran kembali. Tentu itu butuh proses bertahap dan butuh dana yang tidak sedikit, apalagi biaya pemeriksaan medis tidak murah. Ditambah lagi tidak ada fasilitas kandang yang layak disesuaikan dengan masing-masing jenis satwa serta sanitasi yang bagus untuk mencegah penularan penyakit hewan ke manusia juga menjadi permasalahan tersendiri. Inilah sebagai gambaran kebijakan yang terlalu dipaksakan tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapi untuk mendukung / menyukseskan kebijakan lainnya yakni penegakkan hukum.

Beberapa petugas ingin mencari jalan pintas dalam menyelesaikan permasalahan penumpukan satwa liar hasil sitaan dan penyerahan masyarakat yang ada di kota Bengkulu dengan langsung melepasliarkan satwa-satwa tersebut tanpa melalui proses pemeriksaan medis seperti burung elang. Tanpa mempertimbangkan permasalahan berikutnya bila ternyata elang tersebut menderita penyakit menular atau sebagai pembawa penyakit yang bisa menularkan ke spesies burung lainnya atau bahkan membahayakan kesehatan manusia. Satwa liar bila sudah dilepasliarkan di hutan akan susah untuk kontrol penyakit berbeda dengan yang berada di lembaga konservasi eksitu atau peliharaan masyarakat. Bagi dokter hewan, kegiatan ini menjadi terasa aneh bila ternyata juga mendapat dukungan dari para pejabat terkait.

Siamang JEN saat proses rehabilitasi untuk dilepasliarkan kembali di kawasan 
Konservasi TB Semidang Bukit Kabu, Kabupaten Seluma, 
Bengkulu, Tanggal 30 Agustus 2016 
Tantangan kami dalam upaya pelestarian satwa liar di habitat tidak hanya sampai disitu, selain tidak adanya dukungan dana untuk kegiatan-kegiatan medis yang berhubungan dengan pemeriksaan sampel ke laboratorium juga dana untuk pembelian obat-obatan dan peralatan medis yang dibutuhkan serta untuk pengadaan pakan satwa.  Namun yang paling membuat kami putus asa adalah, saat ini kami sedang melakukan proses rehabilitasi siamang di sebuah kawasan konservasi di Bengkulu. Setelah beberapa bulan menjalani forest school (sekolah hutan) beberapa siamang berhasil dilepasliarkan kembali ke hutan tanpa ada kendala, dan hanya tinggal satu ekor saja yang masih terus belajar, namun sudah tidak tergantung lagi dengan manusia, sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan baru dan makanan alami. Sebuah kemajuan yang tinggal selangkah lagi untuk bisa direlease kembali ke hutan, tapi akhirnya harus berakhir hidupnya berada di LK selamanya yang berada diluar habitat bahkan di luar pulau, hanya karena sebuah LK / kebun binatang menginginkan jenis satwa tersebut, masa depannya direnggut dengan paksa setelah diambil dari hutan dan diserahkan ke kebun-binatang.

Tumpang tindih kepentingan dalam pemanfaatan satwa liar saat ini menjadi permasalahan serius yang mengancam upaya konservasi satwa liar di insitu, seperti permintaan satwa liar sebagai koleksi lembaga konservasi eksitu baik itu kebun binatang, taman satwa dan lain-lain seringkali ditujukan ke KLHK, dan itu mendorong Unit Pelaksana Teknis untuk memenuhi permintaan tersebut sesuai dengan jenis satwa yang diinginkan. Dalam rekomendasi medis dan conservation biologist sudah jelas bahwa satwa liar yang sehat tidak beresiko dalam transfer penyakit menular baik kepada satwa sejenis, satwa jenis lainnya maupun manusia, dan tidak cacat fisik permanen atau secara fisik masih bisa bertahan hidup dan beradaptasi dengan habitat baru, serta berperilaku normal maka layak untuk dilepasliarkan kembali. Namun bila kemungkinan besar tidak akan bertahan hidup pasca release karena kondisi tertentu maka ditranslokasi ke lembaga konservasi eksitu untuk keperluan breeding dan lain-lain. Dan rekomendasi yang terakhir adalah euthanasi untuk kasus-kasus spesific dengan tujuan mencegah penularan penyakit berbahaya bagi kesehatan hewan dan manusia serta untuk mengurangi penderitaan satwa.

Siamang JEN saat sedang berada di kandang angkut
sebelum ditranslokasi ke Pulau Lombok
Tanggal 29 September 2016
Terkadang rekomendasi tersebut menjadi tidak berarti manakala lembaga konservasi eksitu (LK) sangat menginginkan satwa tersebut menjadi koleksinya, dan para pejabat di management authority setempat bersedia memenuhi permintaan dari LK tersebut, maka pemindahan/ translokasi satwa bisa terjadi. Itu dilakukan secara legal karena memenuhi persyaratan perijinan, administrasi birokrasi yang dibutuhkan. Tapi bagi kami para praktisi konservasi satwa liar memandang hal itu sebagai ancaman upaya konservasi insitu. Secara Illegal seperti perburuan liar dan wildlife trafficking ataupun secara legal dengan semua persyaratan administrasi birokrasi translokasi satwa ke LK terpenuhi, efek samping yang ditimbulkan adalah sama saja menurut kami, bahwa satwa tersebut tidak memiliki kesempatan lagi untuk kembali ke habitatnya dan menjalankan fungsinya dalam ekosistem hutan.

Siamang bernama Jen, pandangannya yang kosong menatap masa depan yang berubah dengan sekejap saat berada dalam kandang angkut menunggu translokasi ke Nusa Tenggara Barat untuk menjadi koleksi sebuah kebun binatang. "Maaafkan aku, Jen tidak bisa berbuat banyak untuk mencegahnya, maafkan aku tidak bisa melepas kepergianmu karena untuk menatap matamu yang sangat sedih itu membuatku berkaca-kaca. Sungguh, aku lebih suka melihatmu di hutan dengan ekspresi bahagia".

Dalam Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan  jelas disebutkan bahwa pemerintah wajib memfasilitasi medik konservasi, forensik veteriner dan medik reproduksi. Berharap kedepan keputusan yang berhubungan dengan nasib satwa liar dan ekosistemnya semakin bijak dalam mendukung upaya konservasi insitu, tidak hanya memikirkan kepentingan perseorangan dan sekelompok orang. Sudah saatnya jeritan satwa liar juga didengar dan diperhatikan, pada dasarnya mereka juga seperti manusia menginginkan kebahagian, hidup normal di tempat yang semestinya. Jangan pernah renggut masa depan satwa liar hanya untuk kepentingan manusia. Tempat tinggal mereka di hutan bukan di dalam kandang seumur hidupnya.

Kamis, 28 Mei 2015

Pembiusan dan Pemeriksaan Siamang (Symphalangus syndactylus)


Siamang gibbon / Symphalangus syndactylus
SIAMANG adalah kera berwarna hitam tak berekor yang hidup arboreal atau sebagain besar hidupnya dihabiskan diatas pohon. Aktif pada siang hari dan hidup dalam kelompok kecil. Tidur dengan posisi duduk di percabangan pohon dengan bantalan di sekitar pantatnya yang disebut ischial callosities.  Dan salah satu ciri khas siamang adalah memiliki kantung gular di bagian leher depan, sehingga saat kantung tersebut mengembang menyebabkan pita suara/  mengeluarkan suara lebih keras. Makanan alami siamang sebagian besar adalah buah-buahan yang bisa mencapai 75% dari keseluruhan pakan hariannya, sisanya berupa daun-daunan, bunga, biji-bijian, kulit kayu, serangga, telur burung bahkan burung kecil.  Mampu berkembang biak pada umur 5-7 tahun, dan dapat bertahan hidup hingga umur sekitar 35-40 tahun. Anak siamang akan disapih induknya pada umur 1 tahun, namun masih hidup bersama induk mereka sampai umur 5-7 tahun.

Tentu saya sudah tidak asing lagi dengan kera hitam yang satu ini karena sebelumnya pernah bekerja sebagai dokter hewan di Wild Animal Rescue Centre yang ada di Jawa Timur, dan satwa liar yang menjadi fokus kami untuk dirawat dan direhabilitasi adalah primata, termasuk didalamnya golongan gibbon. Bahkan di depan klinik tempat saya bekerja adalah kandang siamang yang dalam sehari selalu saya kunjungi setiap pagi dan sore hari. Belum termasuk siamang lainnya yang berada di kandang yang berbeda. Dan saat telah pindah ke Pulau Sumatra yang merupakan habitat siamang di Indonesia, saya juga sering menjumpai siamang liar di dalam hutan baik melihat langsung maupun mendengar suara long call-nya. Binatang ini memang sangat menarik, suaranya nyaring dan keras dengan membentuk irama yang unik, rambutnya yang tebal dengan model yang menarik dan rapi.

Selain itu siamang juga memiliki wajah yang imut dan tingkah laku yang lucu, sehingga banyak siamang yang diburu untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan. Apalagi siamang yang masih anakan bisa sangat dekat dengan manusia. Karena hal itu juga membuat status siamang adalah satwa liar dilindungi UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena terancam punah.

Provinsi Bengkulu juga merupakan habitat siamang, penyebarannya merata hampir di setiap wilayah yang masih berhutan. Perburuan liar siamang juga merupakan ancaman bagi upaya pelestarian satwa liar di provinsi ini. Masih banyak dijumpai masyarakat memelihara siamang secara illegal sebagai hewan peliharaan, di Provinsi Bengkulu sendiri kini ada sekitar 10 ekor siamang yang dipeliharan oleh masyarakat. Kontak langsung dengan satwa liar seperti primata sangat beresiko terhadap penularan penyakit zoonosis yang berbahaya. Masih banyak orang yang tidak menyadari akan hal ini.

Pada bulan Mei 2015 ada dua ekor siamang yang diserahkan masyarakat kepada BKSDA Bengkulu. Ini merupakan efek samping dari instruksi menteri kehutanan yang membuka posko untuk penyerahan kakatua jambul kuning ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai tindak lanjut adanya temuan kasus penyelundupan kakatua jambul kuning di Surabaya, Jawa Timur. Di Provinsi Bengkulu pun akhirnya pihak terkait mengeluarkan surat edaran tentang instruksi kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait untuk penyerahan burung kakatua jambul kuning dan satwa liar dilindungi lainnya dalam jangka waktu 1 bulan, bila tidak diserahkan akan dikenai sanksi pidana.

Medical Examination on Siamang gibbon after confiscation from illegal owner
Karena tidak adanya solusi bagi dua ekor siamang yang telah diserahkan itu maka kami, anggota wildlife rescue unit mengambil langkah-langkah inisiatif sendiri untuk melakukan pemeriksaan kesehatan siamang, memperbaiki kandang untuk penampungan sementara agar sedikit lebih layak, seperti mengganti atap kandang dari terpal plastik ke peneduh khusus yang bisa mereduksi panas matahari hingga 70%, melengkapi kandang dengan enrichment, menyediakan air minum sepanjang hari (ad libitum), dan memebrsihkan kandang secara rutin. Membuat rekomendasi tentang bagaimana perawatan dan nutrisi yang harus diberikan sesuai dengan kebutuhan alaminya, dengan membuat menu pakan harian, melarang orang lain memberi pakan kecuali petugas, juga merekomendasi untuk menunjuk secara resmi petugas khusus guna perawatan satwa dalam bentuk Surat Keputusan, semua ini dilakukan agar satwa tidak terlantar dan mendapat perawatan lebih baik. Dan yang pasti semua kegiatan yang berhubungan dengan satwa ini dilakukan secara sukarela. Bekerja volunteering tanpa berorientasi honor perlu ditanamkan juga pada masing-masing orang.


Pembiusan siamang
Sebelum dibius sehari sebelumnya siamang dipuasakan minimal 8 jam. Pembiusan dengan menggunakan dua dosis yang berbeda bagi dua ekor siamang, untuk pertama kalinya saya menggunakan dosis ini pada siamang untuk mengetahui sejauh mana efeknya dengan dosis yang lebih rendah. Immobilisasi untuk siamang betina menggunakan 4,4 mg/kg Ketamine yang memberikan efek selama 1 jam 28 menit. Immobilisasi untuk siamang jantan menggunakan kombinasi dari 1 mg/kg Xylazine + 5 mg/kg Ketamine yang memberikan efek selama 1 jam 8 menit. Masing-masing ditambah setengah dosis setelah 15 menit dan 20 menit kemudian karena belum tidur sempurna. Efek samping dari stress dan cemas sebelum pembiusan pada siamang jantan sepertinya berpengaruh terhadap durasi terimmobilisasi, dengan melihat dosis yang digunakan seharusnya dia tidur lebih lama. Namun juga perlu diingat bahwa efek obat pada setiap individu berbeda selain faktor lainnya. 

Pemeriksaan medis
Collecting blood sample
Pemeriksaan medis yang dilakukan berupa pemeriksaan fisik dengan melihat kondisi extremitas dan persendiannya, pemeriksaan mata dan mucosa mata, pemeriksaan rongga mulut dan gigi, dan lain-lain. Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan dan morfometri. Selama terimmobilisasi juga dilakukan pemberian obat mata, penyuntikan anti parasit dan antibiotik long acting untuk mencegah infeksi sekunder bekas injeksi blow dart. 

Monitoring vital signs
Selama pembiusan juga dilakukan monitoring pulsus/ detak jantung, respirasi (pernafasan) dan temperatur tubuh per 5-10 menit sekali untuk mengetahui kondisi satwa selama terbius. Semua perlakukan dan hasil pemeriksaan dicatat oleh recorder. Tidak ada komplikasi selama pembiusan. Pembiusan primata jarang sekali menimbulkan komplikasi. Berbeda dengan pembiusan harimau sumatra, terkadang terjadi hypertermia, seizure, vomit dan depresi nafas. Sedangkan paling banyak komplikasi selama pembiusan adalah pada rusa, yakni seringkali terjadi bloat, hypertermia, shock, seizure, torticolis dan stress tinggi. Untuk itu dalam pembiusan satwa liar baik yang berpotensi menimbulkan komplikasi maupun tidak maka harus juga sudah menyediakan obat-obatan emergency. Suksesnya pembiusan bila bisa memprediksi apa yang akan terjadi selama pembiusan dan sudah siap dan tahu apa yang akan dilakukan untuk mengatasi itu bila terjadi. Kata-kata itu selalu saya ingat sejak saya belajar pembiusan satwa liar di waktu dulu hingga kini.

Pemeriksaan medis adalah prosedur yang harus dilakukan pada setiap satwa liar yang baru datang untuk mengetahui status kesehatannya. Kemudian kami juga membuat rekomendasi untuk dilakukan proses rehabilitasi agar selanjutnya dapat dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Beberapa tahun yang lalu BKSDA Bengkulu telah punya pengalaman dalam melepasliarkan siamang dari penyitaan kepemilikan illegal masyarakat dan berhasil survive di alam hingga kini di kawasan Taman Wisata Alam Seblat.  Menurut saya memberi kesempatan hidup dan masa depan yang lebih baik bagi satwa liar dengan memfasilitasinya agar bisa kembali ke habitat alaminya adalah sesuatu yang mulia. Sebagai manusia kita tidak bisa dengan sepihak dan sewenang-wenang mengakhiri masa depan siamang di dalam jeruji kandang seumur hidupnya. Siamang yang telah menderita karena diburu dan dikeluarkan dari habitatnya jangan diakhiri lagi hidupnya dengan dipindahkan ke balik jeruji kebun binatang atau taman satwa, karena mereka masih punya kesempatan untuk bisa hidup bebas di alam guna menjalankan fungsinya bagi ekosistem. Dan satu hal lagi, satwa liar seperti siamang adalah korban kejahatan perburuan dan perdanganan illegal, dan bila ditranslokasi ke lembaga konservasi eksitu sebagai barang komoditas yang bernilai ekonomi, lalu praktek-praktek seperti itu apa bedanya dengan pelaku perdagangan satwa liar dilindungi ?