Senin, 11 April 2016

Menikmati setiap pekerjaan sebagai dokter hewan dan bukan menganggapnya sebagai beban



Axis axis (Rusa totol)

Tanggal 30  - 31 Maret 2016, Selama dua hari aku akan membantu pembiusan 3 ekor rusa untuk direlokasi dari satu penangkaran ke penangkaran lainnya antar kabupaten di Provinsi Bengkulu. Permintaan bantuan ini sebenarnya sudah beberapa bulan sebelumnya namun aku sendiri kesulitan menyediakan waktu untuk bisa membantu mengingat kegiatanku di banyak tempat belum bisa ditinggalkan. Selama ini orang mengenalku sebagai dokter hewan khusus satwa liar yang tidak hanya sering melakukan pembiusan pada harimau dan gajah saja tetapi juga sebagai pembius rusa, mungkin karena sering berhasil melakukan pembiusan dan relokasi rusa tanpa ada kendala maka akhirnya sering juga dimintai bantuan untuk itu tidak hanya di Provinsi Bengkulu saja namun juga men-supervisi dan memberikan konsultasi tentang pembiusan rusa di tempat lainnya seperti di Jambi, Sumatera Selatan, Aceh, Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur, bahkan pernah juga men-supervisi pembiusan rusa di negara lain yang merupakan habitat alami rusa tutul. Sejujurnya, pembiusan satwa liar yang paling tidak aku sukai adalah membius rusa, terutama rusa tutul, karena efek samping yang buruk dari pembiusan sering terjadi, apalagi bila menggunakan chemical restraint dengan kombinasi obat Xylazine dan Ketamine HCl. Namun saat itu aku lebih memilih menggunakan Zoletyl yang relative lebih aman untuk rusa. Selain itu melakukan immobilisasi pada rusa perlu melibatkan tim yang berpengalaman untuk menghindari hal-hal buruk terjadi selama proses pembiusan dan saat transportasi. Kebetulan kami sudah memiliki tim pembiusan satwa liar yang solid dan terlatih, tidak hanya untuk satwa rusa dan harimau saja tetapi juga satwa liar jenis lainnya. Mereka tidak belajar secara khusus dan tidak memiliki latar belakang pendidikan medik veteriner ataupun paramedik veteriner, tapi menjadi berpengalaman karena sering mengikuti proses pembiusan satwa liar yang aku lakukan selama bertahun-tahun. Alasan lain kenapa aku tidak menyukai melakukan pembiusan rusa karena tidak bisa dilakukan sendirian dan harus melibatkan tim atau orang lain untuk membantu physical restraint. Pembiusan rusa akan berhasil bila dilakukan dengan mengkombinasikan antara chemical restraint dan physical restraint, seperti halnya pembiusan jerapah dan gajah liar di habitatnya. 

Kebetulan mulai tahun 2016 kami difasilitasi oleh anggaran negara untuk melengkapi peralatan rescue satwa liar setelah selama 9 tahun lebih berkecimpung dalam pekerjaan itu dan berhadapan dengan harimau liar yang selalu menerkam setiap kali akan dilepaskan dari jerat pemburu, aku mulai mempertimbangkan tentang keselamatan dan keamanan diri dan tim saat rescue harimau yang sudah terlepas dari jerat pemburu, sehingga peralatan pembiusan yang aman diperlukan, maka pada saat kondisi berbahaya aku tidak akan menggunakan sumpit bius lagi atau pembiusan jarak dekat. Akhirnya aku pun memiliki senjata bius baru sesuai dengan yang kubutuhkan dilapangan.  Dan senjata bius ini juga bisa kami pakai untuk pembiusan rusa dari jarak jauh. Selain itu aku juga mulai sedikit demi sedikit melengkapi peralatan pembiusan lainnya dan peralatan bedah veteriner, berharap suatu saat kami diberi tempat khusus untuk perawatan satwa liar di BKSDA Bengkulu, dan tidak perlu lagi melakukan operasi amputasi atau bedah dan pengobatan pada harimau dan satwa liar lainnya di halaman belakang kantor atau di lorong-lorong kantor. Sedih rasanya, untuk penanganan satwa liar yang hampir punah dan satwa liar yang menjadi fokus pemerintah untuk dilestarikan hanya mendapatkan perlakukan seperti itu dibandingkan dengan kegiatan dibidang kehutanan lainnya yang lebih banyak menghabiskan anggaran, tetapi bila menyangkut nasib satwa liar korban konflik dan perburuan tak banyak yang bisa difasilitasi. Sebagai dokter hewan tentu aku merasa bahwa masih banyak yang harus diperjuangkan dan masih harus terus-menerus mencari dukungan dari banyak pihak untuk kepentingan satwa liar yang statusnya critically endangered species menurut IUCN dan termasuk species yang menjadi fokus negara untuk ditingkatkan populasinya karena kondisinya sudah kritis dan sebentar lagi punah bila tidak ada upaya serius untuk melestarikannya.

Pembiusan rusa totol
Kembali cerita soal rusa, pada hari Kamis tanggal 31 Maret 2016 kami merelokasi 3 ekor rusa ke Kabupaten Bengkulu Utara, tidak ada masalah selama pembiusan dan translokasi, semua berjalan dengan baik, namun masalah baru muncul setelah direlease di penangkaran yang baru. Pada malam hari seekor rusa menabrak dan berhasil menerobos pagar berduri pembatas perkebunan sawit, meski tidak ada luka fisik tetapi cukup menimbulkan stress sehingga rusa hanya terbaring tanpa mau bangun kembali. Aku tidak begitu saja percaya saat melihat kondisi rusa setelah dilepaskan baik-baik saja, mereka tampak berjalan-jalan mengelilingi kandang yang luas (perkebunan sawit yang dipagar sekeliling)  untuk orientasi lokasi baru sampai menghilang dari pandangan. Meskipun begitu aku dan kawan-kawan masih monitoring rusa setelah pelepasan. Ternyata benar, malam itu aku ingin sekali melihatnya lagi, mengajak salah satu pekerja disana untuk mencari rusa-rusa yang sudah dilepaskan, dari atas sebuah bangunan yang belum jadi dekat perkebunan sawit aku mencoba mengarahkan headlamp dan senter ke segala arah, tiba-tiba menemukan seekor rusa yang berjalan sempoyongan dan ambruk tidak bisa berdiri sendiri. Saat itu juga aku langsung berlari turun ditemani salah satu orang disana tanpa peduli tanah yang kupijak naik turun untuk mencari lokasi rusa tersebut terjatuh dengan mengandalkan headlamp karena sekitarku tampak gelap gulita tanpa ada penerangan. Posisi rusa sudah berada diluar pagar berduri pembatas perkebunan sawit. Saya mencoba menganalisa apa yang telah terjadi dengan memeriksa sekeliling sendirian karena karyawan yang bersamaku sebelumnya aku mintai tolong untuk mengambil obat-obatan di ransel yang kuletakkan di dalam mobil dan meminta bantuan kawan lainnya. Menurutku penyebab rusa tersebut ambruk karena stress, kemungkinan ada sesuatu yang menakutinya sehingga berlari dan menabrak pagar berduri malam-malam, sehingga menyebabkan jalan sempoyongan sebelum akhirnya ambruk. Aku mendekati rusa pelan-pelan agar tidak terkejut, akhirnya aku bisa memegangnya, selama obat-obatan dan peralatan medis belum datang, kucoba untuk memenangkannya dengan mengelus-elus bagian bawah leher, dan badannya serta memeriksa kondisi fisiknya. Rusa merasa tidak terganggu dan tampak lebih tenang. Dalam kondisi darurat seperti itu, terasa lama sekali bantuan datang dan aku mulai tak sabar menunggu yang lain datang membawa obat dan alat medis, padahal aku tahu bahwa lokasi mobil dan lokasi rusa jaraknya lumayan jauh. Saat orang-orang telah datang, rusa mulai terganggu sehingga aku hanya membolehkan satu orang saja yang mendekat membantuku untuk merawat rusa, lainnya menunggu dari jarak jauh. Saya periksa frekuensi detak jantungnya dan temperaturenya, serta mulai merawatnya agar kondisinya menjadi lebih baik. Sebelum melakukan terapi apapun, rusa sudah mampu berdiri dan berjalan normal kembali. Baru kali inilah aku mengobati satwa hanya cukup dengan cara dielus-elus saja untuk menenangkannya, meskipun satwa itu perilakunya masih liar dan bukan satwa liar yang sudah dijinakan......hehehe ! 

Dini hari tanggal 1 April 2016 kami baru saja selesai bekerja untuk penanganan rusa di Kabupaten Bengkulu Utara, saat itu dalam kondisi kelelahan dan mengantuk tiba-tiba hand phone-ku berdering berulang kali yang menginformasikan ada seekor kukang yang terkena sengatan listrik tegangan tinggi di areal PLN (Perusahaan Listrik Negara) di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu yang membutuhkan pertolongan. Ya....seperti biasa, panggilan darurat itu sering datang sewaktu-waktu tanpa diduga.



Reporter & Cameraman Kick Andy Talkshow
bersama Mahout PKG Seblat, Bengkulu
Meskipun baru kembali ke Kota Bengkulu dini hari, namun pagi harinya aku sudah pergi ke kantor BKSDA Bengkulu untuk koordinasi dengan humas dan pimpinan yang baru tentang berbagai hal yakni mengenai rencana kerjasama dengan Pertamina untuk upaya konservasi harimau, tentang kasus kukang yang ada di seksi wilayah I KSDA Bengkulu, serta tentang pembuatan simaksi dan mengambil SPT (Surat Perintah Tugas) melakukan liputan Kick Andy tentang aktivitas saya sebagai dokter hewan untuk keperluan acara talkshow dengan tema "Pengabdian Para Dokter", dan mengambil lokasi di salah satu kawasan konservasi di Bengkulu, serta rencanaku untuk melihat kembali kondisi gajah-gajah  yang sebelumnya bermasalah dan telah diambil sampel darahnya untuk pemeriksaan laboratorium serta yang telah mendapatkan pengobatan karena menderita otitis di PKG Seblat, sekaligus ingin melihat kondisi harimau serta waktunya pemeriksaan feces dan pencegahan penyakit parasiter, aku abaikan rasa capek setelah dua hari menangani rusa di luar kota tanpa bisa banyak istirahat, hari itu juga tanggal 1 April 2016 aku kembali melakukan perjalanan menuju TWA Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara. 

Selama dalam perjalanan mencoba untuk berkoordinasi untuk penanganan dan pengobatan kukang (Nycticebus coucang) di kabupaten lainnya. Ada 5 ekor kukang yang harus ditangani di Provinsi Bengkulu dan 2 ekor kukang di Provinsi Sumatera Selatan. Aku berusaha meyakinkan petugas di lokasi tersebut bahwa kukang perlu diperiksa terlebih dulu dan tidak bisa langsung dilepasliarkan kembali apalagi merupakan hasil penyitaan dari perdagangan illegal, perlu proses karantina dan pemeriksaan medis serta monitoring perilaku untuk menyatakan layak untuk segera dilepasliarkan atau ditunda terlebih dahulu. Selama ini yang menjadi masalah besar yang berhubungan dengan penanganan satwa liar selain harimau dan beruang madu, seringkali para petugas polisi kehutanan tidak melibatkan tenaga profesional dokter hewan dalam penanganan satwa sehingga sering melakukan pelepasliaran satwa liar hasil penyitaan dari perdagangan illegal tanpa melakukan pemeriksaan medis dan langsung begitu saja dilepaskan disertai dengan kegiatan ceremonial, tanpa peduli apakah satwa tersebut bermasalah dengan kondisi fisiknya atau kesehatannya atau perilakunya dan adapatasi terhadap makanan alaminya. Bagi mereka asalkan ada Berita Acara Pelepasliaran dan laporan sudah cukup, tanpa peduli apakah satwa yang dilepasliarkan bisa bertahan hidup atau tidak.

Bagi kami sebagai dokter hewan yang sudah lama berkecimpung menangani satwa hasil penyitaan dari perdagangan dan kepemilikan illegal di masyarakat serta hasil penyelamatan dari korban konflik dan perburuan di Pusat Penyelamatan Satwa, Pusat Rehabilitasi Satwa, Stasiun Karantina, Rumah Sakit Satwa Liar dan lain-lain, benar-benar memahami bagaimana proses yang harus dijalani oleh satwa sampai bisa dinyatakan layak untuk dilepasliarkan kembali, tentu merasa sangat sedih dan prihatin dengan kondisi seperti itu apalagi dilakukan oleh petugas terkait yang seharusnya bisa menangani satwa dengan baik sesuai prosedur. Bahkan kadang aku pun harus menerima khabar buruk kematian satwa karena salah penanganan atau perlakuan yang tidak layak, disisi lain aku harus menghadapi arogansi petugas terkait yang selalu merasa benar dengan keputusannya dan merasa mampu untuk menangani satwa tapi kenyataannya tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan saat berdebat soal itu dengan mereka aku seolah-olah ditertawakan dan menganggap bahwa yang mereka lakukan sudah benar adanya.


Pemeriksaan dan Pengobatan Kukang di PPS Sumatera Selatan
Minggu malam, tanggal 3 April 2016 aku kembali ke Kota Bengkulu dari pulang perjalanan ke Kabupaten Bengkulu Utara. Malam itu aku telah disibukkan kembali untuk mempersiapkan worksheets guna pemeriksaan 7 ekor kukang yang berada di PPS (Pusat Penyelamatan Satwa) Sumatera di Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, 5 ekor kukang merupakan titipan BKSDA Bengkulu dan 2 ekor kukang lainnya adalah titipan BKSDA Sumatera Selatan. Esok paginya aku masih menyempatkan diri ke kantor BKSDA Bengkulu untuk mengambil obat-obatan dan peralatan medis dan langsung berangkat lagi menuju Sumatera Selatan untuk pemeriksaan medis dan pengobatan kukang yang sedang menjalani proses karantina. Saat sedang dalam perjalanan, aku sambil menjawab dan menanggapi permintaan beberapa media nasional mumpung signal masih lancar. 

Waktuku sangat terbatas untuk melakukan pemeriksaan medis pada kukang sebelum akhirnya aku harus kembali lagi ke Kota Bengkulu. Sebenarnya aku hanya bisa menyediakan waktu selama 3 hari, meski pada kenyataannya harus molor menjadi empat hari, dan dua hari sudah habis terpakai untuk perjalanan pergi pulang, jadi efektif bekerja hanya dua hari saja, belum terkadang terganggu oleh cuaca buruk (hujan deras) yang menyebabkan kegiatan terhenti. Dalam dua hari akhirnya selesai juga memeriksa kukang-kukang tersebut, dan aku kembali ke Kota Bengkulu hari Kamis tanggal 6 April 2016. Aku hanya memiliki waktu satu hari di Kota Bengkulu yakni hari Jumat untuk efektif bekerja membuat laporan medis hasil pemeriksaan kukang dan membuat materi oral presentation untuk persiapan jadi narasumber seminar di Universitas Airlangga, Surabaya yang diadakan pada hari Minggu tanggal 10 April 2016.

Seminar "Conservation Through Responsible Tourism"
di Rektorat Universitas Airlangga, Surabaya
Setiap menit itu sangat berharga, memanfaatkannya untuk hal-hal yang bermanfaat bukanlah kuanggap sebagai beban bila kita bisa menikmatinya. Dan arti menikmati bukan berarti selalu mendapatkan imbalan uang, bagiku melakukan suatu pekerjaan tidak harus selalu berorientasi untuk mendapatkan uang, bahkan sebaliknya aku sering keluar uang sendiri untuk membiayai pekerjaanku, namun juga ada yang berorientasi untuk menolong makhluk hidup lain yang membutuhkan, berorientasi untuk mencari atau meningkatkan pengalaman, dan lain-lain. Bila kita menjalani setiap kegiatan dengan hati bahagia, tulus dan ikhlas tentu bekerja bukanlah suatu beban berat, namun akan dinikmati sebagai salah satu dari kesenangan dan pengorbanan. Bahkan aku sendiri kesulitan untuk membedakan antara bekerja dan berwisata, karena dua-duanya bagiku mengandung makna yang sama, disaat aku sedang bekerja bagiku aku juga merasa sedang berwisata serta sebaliknya, mungkin karena aku selalu menikmati setiap pekerjaanku dengan senang hati dan tak menganggapnya sebuah beban tugas. 

Jumat, 25 Maret 2016

Kembali ke hutan : mengunjungi kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu




Pekerjaanku dari dulu memang ada yang tidak bisa direncanakan waktunya, terkadang sedang duduk santai bersama teman atau keluarga tiba-tiba ada panggilan emergency dan harus segera berangkat ke lapangan, bahkan dalam kondisi sakit dan sedang istirahat total (bedrest) juga terpaksa harus bangun dan siap-siap pergi ke lapangan bila mendengar ada korban konflik atau perburuan satwa liar. Seperti pada hari Rabu tanggal 23 Maret 2016, pukul 11.32 WIB saat sedang beristirahat karena baru saja pulang dari hutan dan terasa capek, tiba-tiba ada panggilan untuk menangani rusa yang sakit di Taman Buru Semidang Bukit Kabu. Aku pun minta penjelasan gejala klinis yang terlihat sehingga bisa memprediksi obat-obatan dan peralatan medis apa yang perlu dibawa dan untuk mengetahui kondisinya kritis atau tidak, meskipun sebenarnya aku sendiri tidak memiliki stok obat-obatan yang memadai.  Setelah mendengar penjelasan salah satu petugas melalui telephone, saya berkesimpulan bahwa kondisinya kritis dan perlu pertolongan segera, dan saya juga menyampaikan bahwa siap berangkat saat itu juga. 

Namun apa dikata, untuk kesekian kalinya memang aku harus menerima kenyataan bahwa satwa liar itu belum menjadi prioritas meskipun berhubungan dengan nyawa, jadinya kegiatan untuk mengobati pun masih harus ditunda karena menunggu jadwal berangkat kegiatan lainnya yakni sosialisasi pengamanan hutan yang sifatnya tidak mendesak dan bisa dirubah waktunya. Akhirnya saya menyadari bahwa untuk bisa pergi ke lokasi membutuhkan orang lain guna mengantar kesana karena tidak bisa pergi sendiri, tidak ada akses kendaraan umum menuju lokasi, mau nggak mau memang harus menunggu dan menyesuaikan dengan jadwal mereka. Hari itu kucoba melupakan masalah rusa dan mengisi waktu untuk membalas surat dari direktur KKH (Konservasi Keanekaragaman Hayati)  - KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) tentang permintaan dokumentasi harimau sumatera sebagai bahan mereka menghadiri pertemuan "3th Asian Ministerial Conference on Tiger Conservation".

Esok paginya saya teringat lagi dengan rusa yang sakit. Kuhubungi lagi salah satu petugas yang bekerja di wilayah tersebut, dan saya akhirnya dapat khabar menyedihkan bahwa rusa itu telah mati. Ini sesuai dengan perkiraan saya sebelumnya, kemungkinan dia mati akan lebih besar. Namun yang disayangkan, paling tidak sebelum itu terjadi sudah harus ada usaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkannya daripada hanya menunggu kematian tanpa tindakan. Rusa itu juga sedang bunting tua, bila kami tidak bisa menyelamatkan induknya paling tidak bisa menyelamatkan janin yang ada dalam kandungannya. Tapi apa boleh buat, sebagai dokter hewan hal yang paling menyedihkan dalam menjalankan profesi adalah disaat kami seharusnya bisa melakukan sesuatu namun ada faktor lain yang tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan darurat sehingga satwa pun tidak bisa ditolong. Padahal dalam pengobatan satwa liar untuk tujuan konservasi kami para dokter hewan tidak pernah memikirkan berapa jasa yang harus dibayarkan bahkan sama sekali tak peduli ada uang jasa pelayanan medis atau tidak, karena kami biasa bekerja sukarela, profesi kami memang unik dibandingkan tenaga medis lainnya, karena kami memberikan kualitas pengobatan dan perawatan tidak berdasarkan kemampuan finansial yang bisa dibayarkan. Kami tidak pernah mendiskriminasikan pasien, semua mendapat pelayanan dengan kualitas yang sama, tidak mengenal tingkat kelas perawatan. Meskipun begitu, tetap saja kegiatan yang berhubungan dengan satwa liar belum menjadi prioritas untuk didulukan.

Pukul 9 pagi rencana saya akan berangkat bersamaan dengan tim polisi kehutanan dan staff KPHK dari kantor BKSDA Bengkulu, namun saya minta ijin terlambat 30 menit karena masih harus menyelesaikan balasan email untuk KKH, listrik sering mati di Kota Bengkulu membuat banyak pekerjaan menjadi terganggu. Pukul 09.30 WIB saya sudah tiba di kantor BKSDA Bengkulu lengkap dengan barang bawaan saya yang seabrek, backpack, camera, box obat-obatan dan peralatan medis. Ternyata belum ada tanda-tanda untuk berangkat, mereka masih mendapat masalah dengan kendaraan patroli yang tidak diijinkan untuk dipakai, padahal kendaraan dinas terpajang berjajar memenuhi garasi kantor.....hehehe ! Saya termasuk orang yang suka berpikir sederhana dan logis, karena saya pun terlibat dengan kegiatan ini maka akhirnya ikut bicara dan menanyakan,"Ini kendaraan dinas milik negara bukan ?, Kegiatan yang akan kita lakukan termasuk tugas negara bukan ?, Yang tidak mengijinkan mobil patroli ini dipakai bekerja untuk negara bukan ? Jadi masalahnya dimana dan kenapa........???"  Bila berhubungan dengan pemakaian kendaraan dinas kami memang sering emosi dibuatnya, apalagi kendaraan itu kendaraan lapangan yang seharusnya digunakan untuk kegiatan lapangan, dan bukan untuk transportasi dari rumah ke kantor saja seperti milik pribadi. Jadi teringat setahun yang lalu saat ada harimau terjerat dan kami buru-buru akan berangkat rescue harimau, tiba-tiba mendapat masalah tidak bisa memakai kendaraan dinas yang sudah kami persiapkan. Dan saya pun langsung berbicara keras, "baiklah, kalau tidak boleh pakai kendaraan negara untuk kepentingan dinas, kita jalan kaki aja ke lokasi untuk rescue harimau." Orang-orang jadi tahu kalau saya sedang marah, akhirnya kendaraan itu diberikan juga.


Akhirnya kamipun berangkat juga, kebetulan kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu yang merupakan tujuan kami tidak jauh dari Kota Bengkulu, hanya sekitar 1,5 jam perjalanan dengan mobil. Staff BKSDA Bengkulu lainnya bertanya, "kenapa tidak bawa dua mobil saja, kan personil yang ikut banyak ?" Spontan teman saya menjawab, "pinjam satu aja susah apalagi mo bawa dua?" Kami 13 orang tentu berdesak-desakan dalam satu mobil karena tidak hanya orang yang ada didalamnya tetapi juga barang-barang bawaan kami, tak apalah yang penting bisa sampai tujuan. Untuk kesekian kalinya saya mengunjungi kawasan ini, dulu hanya mendengar namanya saja tanpa pernah mengunjunginya, bahkan cerita harimau liar yang suka muncul dan tidur di belakang pos jaga membuatku penasaran ingin kesana. Saya dan polisi kehutanan berangkat bersamaan, namun kami memiliki kegiatan yang berbeda. Tujuan saya kesana untuk otopsi/ nekropsi rusa, pemeriksaan rusa lainnya dan pemeriksaan siamang, serta mencari lokasi yang strategis untuk pasang camera trap buat mendokumentasikan harimau sumatera serta mengindentifikasi individu yang ada disana. Saya seperti konsultan medis keliling, karena tidak hanya bekerja di wilayah kerja saya tapi juga diluar wilayah. Pada kesempatan ini saya bersama perawat satwa yang berjumlah 4 orang membersihkan kandang siamang, memberikan contoh bagaimana membuat enrichment untuk siamang, dan bagaimana cara monitoring perilaku. Siamang tersebut berasal dari penyitaan dan penyerahan dari masyarakat di Provinsi Bengkulu yang dulu memeliharanya secara illegal.  Setelah menjalani pemeriksaan medis di kantor BKSDA Bengkulu akhirnya direlokasi ke kawasan konservasi ini untuk belajar menjadi liar sebelum siap dilepasliarkan kembali ke hutan. Terhadap pengelola kawasan juga disarankan untuk pembinaan habitat, yakni dengan menanam tumbuhan yang merupakan makanan alami satwa liar/ primata bila kedepan mereka ingin mewujudkan mimpinya sebagai lokasi untuk rehabilitasi satwa primata. Dengan ketersediaan pakan alami yang melimpah di hutan seluas 15.300 hektar tentu tidak menutup kemungkinan hal itu bisa diwujudkan, dan akan mempermudah pembelajaran satwa di hutan untuk beradaptasi dan bertahan hidup di lingkungan barunya.

Siamang yang ikut sekolah hutan dalam proses rehabilitasi di TB Semidang Bukit Kabu

Hari itu saya juga melakukan pemeriksaan rusa dan memberikan saran terhadap pengelolaan rusa dalam penangkaran, termasuk sanitasi kandang, enrichment, nutrisi, monitoring perilaku, cara perawatan, membuat daftar obat-obatan yang harus tersedia di lokasi dan lain-lain. Setelah itu melakukan pemeriksaan nekropsi terhadap rusa yang mati dibantu oleh perawat satwa.

Kebun kopi peladang liar di Kawasan TB Semidang Bukit Kabu
Selain berkegiatan yang berhubungan dengan satwa liar, saya juga membantu kegiatan polisi kehutanan untuk mendokumentasikan kegiatan sosialisasi dan operasi mandiri terhadap pelaku perladangan liar, ada sekitar 10 pondok peladang liar (perambah hutan) di dalam kawasan dengan lokasi yang berbeda-beda. Kami berjalan kaki naik turun menuju satu per satu lokasi pondok milik peladang liar. Pondok pertama dan kedua yang ditemui sedang ditinggalkan oleh penghuninya, hanya tampak kebun kopi yang telah berbuah dan siap panen. Kebun ini sepertinya sangat terawat, dan pasti penghuninya sering juga tinggal di pondok ladangnya.

Akhirnya kami menuju ke lokasi lainnya, jalan yang dilalui menurun sangat curam, dari atas perbukitan saya bisa melihat beberapa pondok di tengah ladang kopi, dua pondok lainnya agak berjauhan. Terdapat perbedaan yang jelas antara lokasi pondok yang bersih tanpa tumbuhan, kemudian kebun kopi yang berbatasan dengan hutan yang masih lebat. Saat perjalanan menuju lokasi juga menjumpai areal seperti HTI (Hutan Tanaman Industri) karena didominasi tanaman monokultur yakni akasia. Saya tidak tahu kenapa ada akasia dalam jumlah banyak di dalam kawasan hutan ini padahal itu bukan tanaman asli hutan Sumatera. Di kejauhan tampak areal yang baru di land clearing yang berbatasan langsung dengan hutan lebat, kemungkinan ada orang yang ingin membuka kebun juga disana.

Pondok peladang liar di dalam kawasan konservasi TB Semidang Bukit Kabu

Salah satu hal yang paling sulit dalam hidup saya bila berhadapan langsung dengan pelaku perambahan, tidak hanya di lokasi itu saja, tapi juga di kawasan konservasi lainnya. Saya selalu tidak tega melihat orang dengan wajah sedih saat tahu harus meninggalkan pondok dan kebunnya yang berada dalam kawasan konservasi, ini artinya mereka harus meninggalkan harta bendanya dan sumber hidupnya, tidak saja menghadapi ibu-ibu dengan anak-anaknya, tetapi kadang juga berhadapan dengan orang yang sudah tua renta tanpa keluarga. Dan saya lebih memilih untuk sebisa mungkin tidak banyak terlibat pembicaraan dengan mereka, karena bila mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya akan membuat saya tambah bersedih. Tetapi tidak semua peladang liar seperti mereka, bahkan ada dari kalangan orang bermodal dan datang dari luar kabupaten, yang ingin memperkaya diri dengan cara merampas tanah negara. Di hutan ini pun peladang liar ada yang dari Kota Bengkulu dan kabupaten lainnya.

Setelah adanya peringatan untuk meninggalkan lokasi dan masih diberi kesempatan beberapa hari untuk bersiap-siap dan membongkar sendiri pondoknya sebelum kembali ke daerah masing-masing. Meski diberi waktu cukup lama, namun mereka esok harinya sudah mulai meninggalkan hutan. Tampak 8 buah mobil menjemput mereka yang akan keluar dari kawasan konservasi ini. Solusi dalam menghadapi peladang liar ini memang bertujuan untuk menyelesaikan masalah tanpa masalah, jadi tidak ingin dengan cara keras, cukup pemberitahuan saja, ada kesepakatan untuk membongkar pondok sendiri atau bersama-sama dan meninggalkan lokasi tanpa perselisihan. Dan mereka perlu menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan dengan melakukan aktivitas menetap di dalam kawasan konservasi tanpa ijin adalah melanggar undang-undang. "Hidup memang susah dan penuh dengan perjuangan, namun jangan sampai melakukan hal-hal yang melanggar hukum untuk bertahan hidup".

Pemburu burung berkicau
Saat perjalanan kembali ke pos resort di TB Semidang Bukit Kabu, di hari yang panas itu jalan yang kami lalui terus menanjak dan curam, saya tetap melanjutkan berjalan kaki sendirian meski teman-teman lainnya memilih berhenti untuk beristirahat. Kebiasaan saya memang lebih memilih untuk terus berjalan daripada beristirahat yang membuat badan menjadi dingin kembali, sehingga untuk melangkah lagi akan terasa berat. Disaat capek saya memilih berjalan pelan, bila jalan sudah rata dan tidak menanjak baru berjalan cepat lagi. Ditengah perjalanan saya melihat dua orang sedang memasang perangkap untuk burung, yang satu sedang memasang kayu yang sudah diberi perekat dan satunya menggantung sangkar burung berkicau sebagai umpan guna menarik perhatian burung lainnya untuk datang. Mereka tidak tahu saya mengintip dari sela-sela pohon dan berusaha tetap diam tak begerak sambil mengambil dokumentasi. Untuk kondisi seperti ini saya tidak akan mau sendirian menangkap mereka, karena saya perempuan dan sendirian di tengah hutan, saya memilih menunggu teman lainnya datang menyusul. Salah satu teman saya muncul dari arah belakang, dan saya memberi isyarat agar tidak berisik dan memberitahu dia ada pemburu burung di depan kami. Sepertinya pelaku mendengar kami berbicara meskipun sambil berbisik-bisik, membuat mereka bersembunyi di semak-semak. Teman saya mengajak saya langsung mendatangi mereka dan aku pun setuju. Kami meminta mereka untuk mengambil umpan burung dan jebakan yang dibuat, pada saat itu polisi kehutanan lainnya sudah muncul, akhirnya kami serahkan ke mereka untuk diinterogasi dan diberi penjelasan tentang larangan berburu di dalam kawasan konservasi. Ternyata pelaku perburuan burung berkicau di hutan itu juga berasal dari kabupaten lain.

Setiap perjalanan yang saya lakukan termasuk salah satu proses belajar, untuk mempelajari banyak hal yang belum pernah saya jumpai dan lakukan, karena setiap perjalanan selalu ada keunikan tersendiri dan ada hal-hal baru yang dijumpai, dengan orang-orang baru, di wilayah baru serta adanya permasalahan yang beragam dan berbeda. Perjalanan seperti itu bagi saya juga bukan sebagai beban kerja tapi saya selalu menikmati setiap hal dalam perjalanan yang saya lakukan dan menganggapnya sebagai sebuah kegiatan berwisata di alam bebas. Ya, bekerja itu menyenangkan, bisa dinikmati tanpa beban apalagi yang berhubungan dengan petualangan di alam bebas, hutan dan satwa liar.

Senin, 21 Maret 2016

Harimau Sumatera 'Giring' Korban Konflik dengan Manusia di Bengkulu


Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) korban konflik dengan manusia di Bengkulu. Tanggal 22 Maret 2016

GIRING, biasa kami memanggilnya, yakni seekor harimau sumatera berjenis kelamin jantan berusia 14 tahun yang kini sedang kami rawat di dalam salah satu kawasan hutan konservasi di Provinsi Bengkulu. Pada bulan Pebruari 2015, kami dari BKSDA Bengkulu telah mengevakuasinya dari perkebunan karet milik warga desa di Kabupaten Seluma karena terlibat konflik dengan manusia yang menyebabkan korban jiwa, salah satu warga meninggal dalam konflik tersebut. Perkebunan karet itu hanya berjarak beberapa meter dari areal HGU Perusahaan Sawit yang sudah land clearing, dan juga berbatasan langsung dengan Kawasan Konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu yang juga merupakan jalur jelajah dari harimau.

Human-Tiger Conflict di Bengkulu
Mencoba mengingat kembali cerita dari kepala desa disana tentang kronologis kejadian sehingga terjadi korban jiwa. Malam itu sepasang suami istri sedang menginap di sebuah pondok miliknya di kebun  karet saat terdengar suara raungan harimau di sekitar pondok mereka. Malam yang mencekam itu membuat mereka keluar dari pondok dan pindah mengungsi ke pondok milik warga lainnya. Istri korban sudah meminta untuk pulang kembali desa sementara waktu demi keamanan, namun suaminya meminta untuk tetap bertahan di lokasi tersebut. Esok paginya mereka kembali ke pondok miliknya karena merasa kondisi sudah aman dan harimau telah pergi menjauh. Seperti biasa mereka tetap bekerja untuk menyadap (mengambil getah) karet, dengan sang istri bekerja di depan pondok sedang suaminya bekerja di belakang pondok. Itu kegiatan rutin yang dilakukan sehari-hari bila sedang tinggal dan menginap di kebun. Pukul 10 pagi biasanya mereka akan bertemu kembali dan berkumpul di pondok usai kerja pagi itu, namun didapati sang suami tak kunjung pulang. Pagi itu istri korban mendengar suara binatang ternak (seperti suara kambing), dan mencoba keluar pondok dan mencari arah suara namun yang dilihat adalah seekor harimau sumatera yang sedang menghadang di depannya, dengan rasa takut dia kembali ke pondoknya. Suaminya yang ditunggu pun tak kunjung pulang, membuatnya nekat untuk mencari bantuan ke pondok-pondok lain di sekitar kebunnya. Ada sekitar 9 orang yang membantunya untuk mencari suaminya di kebun karet. Namun yang ditemui hanyalah helm yang sudah terlepas dan jaket suami yang sudah berlumuran darah serta peralatan penyadap getah karet, suaminya pun belum ditemukan. Mereka semua akhirnya kembali ke desa yang lumayan jauh lokasinya dari kebun karet tersebut, melaporkan kejadian itu kepada kepala desa dan pukul 3 sore beramai-ramai mencari korban, pada akhirnya bisa ditemukan namun sudah dalam kondisi mengenaskan dan meninggal. 

Rescue Harimau Korban Konflik dengan Manusia
Hanya perlu waktu kurang dari 10 menit saja untuk menangkap harimau itu di sekitar lokasi kejadian, yang tak jauh dari perbatasan HGU perkebunan sawit milik perusahaan yang berupa tanah terbuka dalam skala besar. Jejak-jejak harimau banyak terlihat berada tak jauh dari lokasi kejadian. Bahkan binatang buas itu belum menjauh dari lokasi saat tim rescue harimau dari BKSDA Bengkulu tiba disana, tidak seperti 5 ekor harimau lainnya yang setelah menerkam korban langsung menghilang dan masuk ke dalam hutan dan tak akan muncul kembali. Mungkin inilah jawabannya, dua minggu kemudian muncul 2 ekor harimau jantan lainnya yang sedang memperebutkan wilayah jelajah di sekitar lokasi tersebut. Kebun karet itu yang kondisinya penuh dengan semak belukar sepertinya merupakan jalur jelajah harimau sumatera, namun kondisinya sudah dirubah menjadi kebun karet dan lainnya sudah di-land clearing oleh perusahaan untuk disiapkan menjadi perkebunan sawit skala besar, sehingga tak dapat dihindarkan adanya tumpang tindih aktifitas di daerah yang sama antara harimau dengan manusia. Hasil pemeriksaan gigi harimau yang tertangkap menunjukkan bahwa usia harimau tersebut sudah tua. Saat tertangkap harimau diperkirakan berusia 13 tahun, jadi kini usianya sudah menginjak 14 tahun, padahal usia harimau liar diperkirakan hanya sampai 15 tahun. Kemungkinan dia tersingkir karena sudah tua dan digantikan oleh pejantan baru yang dominan yang saat itu sedang memperebutkan wilayah jalur jelajahnya. Harimau tua akan mencari mangsa yang lebih mudah untuk didapatkan. Sedangkan dari hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa harimau jantan ini mengidap penyakit parasit darah. Ini adalah harimau liar kedua yang  saya periksa dan terindikasi positif parasit darah. Tidak ada clinical signs yang spesifik untuk penyakit tersebut pada harimau liar, pada harimau betina yang menjadi korban konflik di wilayah Sumatera Barat dan terindikasi positif penyakit parasit darah hanya menunjukkan perilaku yang tidak aktif, perilaku lainnya tampak normal. Sedangkan harimau jantan yang menjadi korban konflik di wilayah Bengkulu tidak memperlihatkan gejala klinis, tampak sangat agresif dan perilaku lainnya terlihat normal. Hasil pemeriksaan darah secara mikroskopis saja yang bisa menunjukkan bahwa harimau-harimau tersebut menderita penyakit parasit darah. 

Perawatan Medis 
Harimau sumatera : sebelum pengobatan. Tanggal 20 Mei 2015.
Tidak hanya parasit darah yang ditemukan dalam pemeriksaan medis selama perawatan di kantor BKSDA Bengkulu, tetapi kami pun masih harus melakukan pemeriksaan dan operasi bedah mulut serta pengobatan kelainan yang ditemukan pada ronga mulut yakni pada gigi, gusi dan lidah. Setelah semua permasalahan itu bisa diatasi dengan baik dan bisa kembali sehat, akhirnya kami juga menemui masalah baru yakni penyakit kulit yang diduga disebabkan oleh jamur, menyebabkan rambut hampir di seluruh tubuh mengalami kerontokan. Saya berdiskusi dengan kolega dokter hewan di Eropa, dan saya selalu merasa puas bila berdiskusi dengannya tentang harimau dan permasalahannya. Kami memang tidak melakukan pengambilan sampel dan pemeriksaan mikologi di laboratorium karena pengambilan sampel berarti harus mengulang melakukan pembiusan, pemeriksaan laboratorium berarti juga membutuhkan dana untuk transport specimen dan biaya pemeriksaan. Sedangkan perawatan harimau itu kami lakukan dengan dana dan fasilitas seadanya tanpa bantuan pihak lain. Dan saat itu kami juga dibebani untuk merawat dua ekor harimau sekaligus dengan segala keterbatasan fasilitas. Setelah menjalani pengobatan selama 4 (empat) bulan dan perbaikan ventilasi serta sanitasi akhirnya harimau bisa kembali sehat dan rambut tumbuh kembali. Sebagai dokter hewan kebahagiaan itu akan dirasakan saat berhasil mengobati satwa hingga sembuh kembali dan kondisinya menjadi lebih baik.

Meskipun dalam perjalanan tugas kerja kami terkadang juga mendapat banyak tekanan, intimidasi bahkan diskriminasi kepentingan, satwa korban konflik dan perburuan liar belum menjadi target fokus dari banyak pihak, jadi apapun yang terjadi padanya belum menjadi perhatian bersama. Sudah sembilan tahun saya merasakan hal ini, namun tak apa meski kenyataannya tidak seindah saat dalam rapat, workshop atau seminar atau diatas kertas bahwa ini adalah salah satu satwa prioritas yang harus diperhatikan. Saya memang bekerja secara mandiri, tidak punya lembaga besar yang bisa mempengaruhi kebijakan, dan institusi terkait pun masih sibuk menggunakan sebagian besar anggarannya untuk hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan satwa korban konflik dan perburuan. Ya, satwa memang belum menjadi prioritas, meski korban selalu ada setiap tahunnya.

Relokasi Harimau Sumatera
Relokasi harimau sumatera ke TWA Seblat. 
Tanggal 28 Oktober 2015.
Tanggal 28 Oktober 2015, saat pemuda pemudi Indonesia merayakan hari Sumpah Pemuda, kami disibukkan dengan merelokasi harimau korban konflik agar ditempatkan ke tempat perawatan yang lebih baik, dengan sekitarnya hutan agar mereka merasakan seperti berada di tempat alaminya, bukan berada di sekitar manusia. Meskipun sudah merawatnya begitu lama, namun sifat liarnya masih bisa dipertahankan dan belum berubah, ya karena selama ini kami bekerja untuk harimau liar dan bukan harimau captive, perawatan dengan cara mengisolasi dan sebisa mungkin membatasi kontak dengan manusia, serta membiarkannya lebih banyak kontak dan mendengar suara satwa liar yang ada disekitarnya seperti babi hutan, siamang, owa, monyet ekor panjang, simpai, burung dan suara-suara dari penghuni hutan lainnya. Relokasi itu bagi kami tidak ada sangkut-pautnya dengan desakan banyak pihak agar harimau sumatera tersebut dirawat dalam kondisi yang layak. Mungkin mereka perlu tahu bahwa kami pun sejak sembilan tahun yang lalu juga menginginkan hal yang demikian, dan terus-menerus berusaha agar hal itu bisa terwujud, meskipun setelah sembilan tahun berlalu impian itu belum ada tanda-tanda untuk terwujud, karena kami tahu diri dan menyadari bahwa Provinsi Bengkulu tidak masuk prioritas untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Namun apakah dengan mendesak, mengintimidasi tanpa berbuat nyata hal itu bisa dilakukan, tentu tidak. Merawat harimau sumatera bukan seperti main sulap, yang bisa dirubah dalam waktu sekejab. Dan yang menjadi pertanyaan adalah kemana saja mereka yang ambisius dan lantang mengintimidasi, mengkritik, menekan kami dengan berbagai cara dengan mengatasnamakan peduli dengan harimau sumatera saat kami membutuhkan lokasi perawatan yang lebih layak, saat kami membutuhkan pakan harimau, saat kami membutuhkan obat-obatan, saya tidak pernah mendengar suaranya dengan lantang ingin membantu. Kemanakah mereka ???? Saya sendiri pun masih suka bersedih bila mengingat masa-masa sulit itu bahkan tidak ingin mengingatnya lagi, menyinggungnya saja bisa membuat air mata ini mengalir.  

Monitoring Perilaku selama Perawatan
Harimau jantan bernama Giring masih tampak liar, dan terlihat selalu tampak waspada. Setiap ada orang yang berjalan mendekati kandangnya membuatnya memberi suara peringatan meskipun orang tersebut belum terlihat. Bahkan saat diintip dari balik pintu melalui lubang kecil meski tanpa suara, dia akan selalu tahu dan matanya langsung tertuju ke arah pintu. Saat pintu dibuka reaksi pertama pasti menggertak dengan posisi menerkam dengan suara raungan yang keras dan menciutkan nyali, sorot matanya yang tajam tak akan pernah lepas mengawasi setiap gerakan orang di sekitarnya. Semakin banyak orang yang ada disekitar kandangnya semakin membuatnya merasa terancam dan ingin menerkam, namun bila hanya satu orang saja yang masuk di dalam lokasi kandangnya, harimau akan tampak lebih tenang, dan tidak merasa terganggu saat dibersihkan kandangnya, bahkan terlihat relax, dan matanya tidak akan memperhatikan gerak-gerik orang sepanjang waktu.

Itu mengapa dalam setiap kegiatan rescue/ upaya penyelamatan harimau terjerat atau harimau yang berkonflik dengan manusia, kami selalu mengisolasi lokasi agar tidak banyak orang yang mendekati harimau. Untuk pembiusan dan melepas jerat harimau biasanya hanya dokter hewan dan petugas yang bersenjata yang mengamankan dokter hewan saja yang mendekati harimau, sedangkan anggota tim lainnya berada jauh dari lokasi yang tidak terlihat oleh harimau, karena untuk meminimalkan stress dan membuat harimau agar tidak merasa terancam. Bila harimau terancam dan panik akibatnya jauh lebih fatal, yakni bisa menyerang karena ingin mempertahankan diri. Dan harimau yang sudah terlanjur stress akan sulit dibius, karena efek obat bius menjadi tidak maksimal. Begitu juga dalam penanganan konflik antara manusia dan harimau, harus diusahakan sebisa mungkin agar masyarakat banyak tidak mendekati/ mengepung bahkan mengintimidasi harimau, karena harimau bisa menyerang karena merasa terancam. Biarkan orang yang bertugas untuk menangani harimau bekerja dengan baik, dan petugas lainnya menangani masyarakat agar tidak mendekat. Harimau akan memilih untuk menghindar bila tidak didesak/ dikepung banyak orang.

Setelah selesai pembersihkan kandang, kemudian pemberian pakan berupa pakan alami/ satwa mangsa alami. Ketersediaan pakan alami yang melimpah membuat kami tak pernah kekurangan pakan untuk harimau. Dalam perawatan harimau dengan positif penyakit darah memang harus dihindari kondisi stress dan perlu nutrisi yang cukup. Untuk itu, kami mengisolasinya dengan lingkungan sekitarnya berhutan adalah untuk mengurangi stress, agar harimau merasa nyaman karena berada di tempat alami seperti tempat hidupnya yang dulu, ditambah dengan pemberian pakan/ nutrisi yang cukup sesuai kebutuhan. Kondisi stress dan asupan nutrisi merupakan faktor predisposisi bagi penyakit parasit darah ini, sehingga kedua hal tersebut harus dipenuhi, yakni menghindari stress dan memberikan nutrisi yang cukup. 

Kondisi harimau masih liar sehingga tidak mau makan saat masih ada orang disekitarnya. Begitu pintu pagar areal kandang ditutup, dan kami satu-persatu pergi menjauh, saya mengamati apa yang dia lakukan. Posisinya berubah duduk seperti anjing, sambil kepala mendongak mengawasi kearah luar dan sekeliling untuk memastikan bahwa semua orang sudah pergi. Baru bergerak dari belahan kayu tempatnya berada untuk turun mengambil makanan dan mulai memakannya. Di siang hari dia lebih banyak rebah tengkurap dan bersantai sambil meletakkan kepalanya di atas kayu menghadap tempat air. Malam hari berjalan-jalan mengelilingi kandang, dan membuat bekas cakaran di kayu yang telah disediakan di dalam kandang untuk enrichment. Semua itu dilakukan bila tidak ada orang berada disekitar areal kandangnya. Bila dia melihat orang ada disekitarnya maka membuatnya selalu waspada dan menjauh, mencari tempat disudut yang ada penutup untuk mengamankan diri.

Kamis, 18 Februari 2016

Kick Andy Talk Show "PENGABDIAN TANPA BATAS" di Metro TV


Narasumber 'Pengadian Tanpa Batas' di Acara Kick Andy Show - Metro TV
Doc. Metro TV

Sabtu, 13 Pebruari 2016 saya ingin beristirahat setelah kembali dari perjalanan selama tiga hari ke Kabupaten Mukomuko untuk menjadi saksi ahli mewakili Forum HarimauKita (The Indonesian Tiger Conservation Forum) dalam penyidikan dua kasus wildlife crimes yakni perburuan dan perdagangan harimau sumatera di Bengkulu yang sedang ditangani oleh Polisi Resort Mukomuko. Perjalanan yang melelahkan, dari pagi hingga larut malam, bahkan jam 12 malam saya dan tim PHS-KS (Tiger Protection and Conservation Unit - Kerinci Seblat National Park) baru tiba di mess TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat) di Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara tempatku menginap. Setelah kembali ke Kota Bengkulu dan akan beristirahat, seorang wartawan media lokal di Bengkulu menghubungi saya untuk memberitahukan bahwa televisi nasional Metro TV Jakarta ingin mencari tahu nomor hand phone saya, karena mereka ingin mengundang saya menjadi narasumber di acara Kick Andy Talk Show di Metro TV. Semula saya berpikir CNN lah yang akan mengundang saya untuk menjadi narasumber, karena sebelumnya presenter Desi Anwar mengungkapkan ingin bertemu dan mewawancaraiku untuk acaranya setelah saya selesai melakukan shooting untuk acara Indonesian Heroes " pada tanggal 21-23 Januari 2016 di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu Utara yang akan ditayangkan oleh CNN Indonesia. Pada saat berada di lapangan itu teman kerja saya juga memberitahuku bahwa liputan TV One di Jakarta tentang profile saya sedang ditayangkan siang itu. Toh saya sendiri tidak pernah melihat acara / pemberitaan tentang diri sendiri di media televisi, karena sudah tahu isi beritanya dan ikut proses pembuatannya ....hehehe !

Hari itu juga tanggal 13 Pebruari 2016 jam 10 pagi salah satu crew Kick Andy Show menghubungi saya dan mengundang saya agar bersedia menjadi narasumber untuk acara Kick Andy Show pada hari Kamis tanggal 18 Pebruari 2016 di studio Metro TV Jakarta. Dan sebelumnya juga akan diadakan pengambilan video aktivitas sehari-hari di lokasi tempat bekerja. Sebenarnya saya tidak keberatan untuk shooting di lapangan, namun yang menjadi pertanyaan saya apakah mereka siap mengikuti jadwal saya yang biasanya serba mendadak sedangkan mereka berada di Jakarta. Saya hanya bisa beristirahat 2 jam saja di hari itu sebelum akhirnya hari minggu pagi sudah harus pergi lagi ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) di Kabupaten Musirawas, Provinsi Sumatera Selatan untuk membantu Animals Indonesia dalam pemeriksaan kukang (Nycticebus coucang) saat proses karantina. Saya sendiri tidak tahu bagaimana harus mengatur jadwal agar crew Kick Andy bisa mengambil video aktivitas saya sehari-hari seperti yang mereka inginkan, sepertinya sudah tidak ada waktu lagi yang tersisa. Hanya dua hari saya berada di Sumatera Selatan, selesai pemeriksaan medis untuk dua ekor kukang yang baru datang ke PPS sore harinya langsung kembali ke Kota Bengkulu. Rencana semula saya berada di Sumatera Selatan selama tiga hari, namun karena sulit akses internet maka saya percepat menjadi dua hari kebetulan juga ada tumpangan mobil yang membawaku keluar lokasi ke kota Lubuk Linggau, karena beberapa hari saya musti aktif untuk komunikasi via email dengan tim research Metro TV yang sedang mengumpulkan data tentang profil saya. Dan saya musti berkomunikasi dengan beberapa orang dari tim liputan itu yang telah punya tugas masing-masing untuk menggali informasi dan mengambil/ mengumpulkan gambar/ video aktivitas sehari-hari narasumber dari masa kanak-kanak hingga sekarang.

Minggu, 14 Pebruari 2016 saya dihubungi kembali untuk mengirimkan CV saat saya masih berada di lapangan dan sedang operasi kukang, tentu tidak bisa saya lakukan. Senin, 15 Pebruari 2016, malam hari saya baru sampai Kota Bengkulu, badan terasa sangat lelah dan akhirnya tertidur di depan komputer saat email tentang CV saya pun belum sempat terkirim.... hehehe :) Hanya data tambahan yang diperlukan baru bisa kukirimkan lewat WhatsApp.

Selasa, 16 Pebruari 2016, saya sudah disibukkan dengan pekerjaan di kantor BKSDA Bengkulu untuk mengurusi obat-obatan gajah dan peralatan medis untuk rescue harimau yang belum selesai juga pengadaannya serta menyelesaikan laporan medis. Disela-sela itu saya sempatkan waktu untuk menjawab pertanyaan wawancara dari crew Kick Andy Metro TV lewat email, itulah satu-satunya cara yang saya tawarkan dan memungkinkan untuk dilakukan, karena saya tidak bisa mengerjakan pekerjaan saya sambil menjawab pertanyaan lewat telepon. Selain itu disaat yang bersamaan crew Kick Andy juga sedang liputan untuk narasumber lainnya. Ada 16 pertanyaan yang musti kujawab dengan jawaban bercerita dalam 15 halaman. Banyak juga yaaa....... :) "Bahkan curhat pun boleh", katanya.....hahaha :) Dan saya jawab, "kalo pakek curhat segala, kaget ntar bacanya".

Tim lainnya dari Kick Andy terus menghubungi saya untuk mengirim photo atau video aktivitas sehari-hari sebagai dokter hewan, untuk permintaan yang ini cukup lama bisa saya penuhi karena butuh waktu seharian untuk bisa mencari dan memilih photo/ video kegiatan saya saat masih kuliah, saat bekerja sebagai dokter hewan baik yang di Indonesia maupun di Afrika, dan di rumah sakit satwa liar serta kebun binatang di Australia maupun Amerika Serikat, saat sedang mengikuti konferensi ilmiah baik nasional maupun internasional, saat mengajar mahasiswa kedokteran hewan, saat memberikan pelatihan untuk dokter hewan lokal dan petugas lapangan, serta saat memberikan penyuluhan kepada masyarakat, private sector, relawan LSM konservasi satwa liar sesuai dengan permintaan crew Kick Andy. Proses mengirimkan photo/ video lewat email meski sudah di-compress sekalipun juga butuh waktu yang tidak sebentar. Tapi akhirnya untuk urusan ini baru selesai esok paginya, padahal hari Rabu tanggal 17 Pebruari 2016 adalah batas akhir editing. Hari Rabu itu saya dihubungi lagi oleh crew Kick Andy yang meminta data dan dokumentasi saat saya masih kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Surabaya dan saat wisuda serta dokumentasi tentang kehidupan masa kecil. Saya sendiri saja sudah tidak tahu lagi dokumentasi keluarga kami ada di kota mana dan disimpan dimana, di Surabaya atau di Nganjuk, karena sejak pindah ke Sumatera saya tidak membawa satupun dokumentasi keluarga dan photo-photo masa kecil sampai  dewasa saat masih tinggal di Jawa. Untuk mendapatkannya tentu butuh waktu, karena harus mencari lewat orang lain, sedangkan hari itu batas waktu terakhir untuk editing. Sebelumnya tidak pernah sesibuk ini untuk persiapan liputan acara televisi, mungkin karena untuk acara yang satu ini butuh informasi detail dan banyak data yang harus dikumpulkan sebelum talkshow dilakukan. Biasanya dengan media lain baru sibuk bukan diawal tapi pada saat proses liputan seperti waktu shooting untuk acara serial televisi Perancis tentang aktivitas dokter hewan dalam penanganan satwa liar di Indonesia, bahkan kami baru selesai dan bisa istirahat jam 2 atau 3 dini hari dan mulai shooting lagi jam 6 pagi selama beberapa hari, baru bila tidak ada gangguan di lapangan bisa tidur lebih awal :)

Hari itu saya juga baru memberi tahu keluarga dan teman-teman dekat mungkin bisa hadir di studio Metro TV untuk mendampingi saya. Saya memang tidak banyak memberitahu orang lain ikut acara ini bahkan teman-teman kerja saya di BKSDA Bengkulu tidak banyak yang tahu, meski akhirnya mereka pun protes kenapa tidak diberi tahu mungkin dari mereka ada yang mewakili untuk bisa hadir. Dan baru hari Selasa sampai Kamis pagi saya mendaftarkan keluarga dan teman-teman saya ke Metro TV yang akan hadir di acara itu dan menginformasikan dresscode apa yang harus dipakai. Ada 28 orang yang hadir dari pihak saya, beberapa orang membatalkan hadir karena ada hal lain yang tidak bisa ditinggalkan, paling banyak diantara narasumber lainnya, padahal mereka tidak hanya dari Jakarta saja tapi ada yang dari luar kota, bahkan ada yang datang langsung dari Surabaya. Ini yang membuat saya sangat terharu dan bahagia, dan saya merasa mereka sangat berarti buat saya karena mereka datang untuk saya. Keluarga dan teman-teman narasumber yang terdaftar akan mendapat prioritas masuk studio terlebih dahulu dan duduk dibagian depan. 

Untuk bisa diundang acara talkshow Kick Andy dengan tema Pengabdian Tanpa Batas " ini menurutku prosesnya juga tidak mudah, karena tim research mereka menilai kami para narasumber dari perjalanan panjang yang kami lalui dengan tidak mudah, butuh perjuangan keras, penderitaan, ketidaknyamanan, serta semangat pantang menyerah untuk menolong orang lain dan makhluk lainnya sesuai dengan bidang keahlian kami masing-masing, kebetulan hanya saya satu-satunya yang dokter hewan, narasumber lainnya adalah seorang dokter senior yang praktek di Medan dan satunya lagi dokter spesialis kanker anak. Kami bertiga adalah orang-orang yang mempunyai kesamaan tujuan yakni ingin membuat perubahan dan hanya ingin menolong sesama dan makhluk lainnya yang membutuhkan adalah orientasi kami untuk mengabdi pada profesi.

Kamis, 18 Pebruari 2016. Beberapa hari yang lalu saya sudah mendapat kiriman tiket penerbangan dari Bengkulu - Jakarta PP dari Metro TV setelah saya menyatakan bersedia menjadi narasumber untuk acara Kick Andy. Pukul 11.48 WIB saya sudah sampai di Bandara Soekarno Hatta dan dijemput oleh driver Metro TV, di dalam mobil sudah ada salah satu narasumber lainnya yaitu Prof. Aznan seorang dokter yang berasal dari Medan. Dalam mobil suasana hening tak satupun orang yang berbicara, yang terdengar hanya suara batuk saya saja yang tak kunjung berhenti karena memang saya sedang sakit dan terkena radang tenggorokan. Kami diantarkan ke Fave Hotel tempat kami menginap untuk beristirahat sebentar tak jauh dari studio Metro TV, dan jam 4 sore kami sudah dijemput kembali untuk dibawa ke studio Metro TV dengan membawa semua perlengkapan untuk kebutuhan pemotretan profil untuk website dan yang dipakai untuk shooting/ talkshow. Saya tidak sempat menyiapkan kostum apa yang bisa saya pakai, karena baju lapangan saya lebih banyak berada di camp di hutan dan hanya satu saja yang ada di Kota Bengkulu, jadi itu saja yang saya bawa. Untuk alternatif lainnya saya meminjam baju kerja adik saya untuk dibawakan ke studio, kebetulan kami sama-sama kerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tentu memiliki seragam dinas yang sama. Akhirnya yang dipilih oleh MetroTV adalah baju lapangan "Wildlife Rescue Team" saya untuk dipakai shooting dan pemotretan. 

Sesampainya di depan Metro TV saya melihat keluarga dan teman-teman satu organisasi di Pecinta Alam Wanala Unair sudah datang terlebih dulu. Setelah menyapa dan bicara sejenak, saya diminta oleh crew Kick Andy untuk naik ke lantai 3 bersama narasumber lainnya. Setelah menikmati hidangan yang telah disediakan, saya diajak masuk ke ruang make up untuk didandani agar terlihat lebih menarik. Tiga orang petugas make up dengan cekatan merias wajah dan merapikan rambut saya. Tak perlu waktu lama untuk merubah wajah saya dari penampilan sebelumnya. Keluar dari ruang make up ternyata keluarga saya sudah dibawa ke lantai 3, salah satu keponakan saya bertanya, " Auntie dimana ?" padahal saya ada didepannya, petugas make up itu telah sukses merubah wajah saya sampai tidak dikenali lagi :) Kemudian saya diminta masuk ruang VIP untuk berganti seragam, setelah itu kami bertiga menuju ruang pemotretan di lantai 2. Saya bahkan tidak membawa aksesoris yang biasa dipakai di lapangan seperti topi, stetoskop, blowpipe dan lain-lain, hanya daypack, baju dan sepatu lapangan saja yang saya bawa. Akhirnya stetoskop salah satu narasumber kami pakai bertiga secara bergantian untuk keperluan pemotretan....hehehe ! Untungnya ada yang bawa :) Sulit bagi kami bertiga untuk bisa bergaya saat pemotretan. Saya sendiri hobby memotret tapi tidak hobby dipotret :)

Saat menyusuri lorong-lorong di studio, keluar pertanyaan spontan saat kami melihat sesuatu, seperti saat saya memperhatikan televisi yang ada di ruangan, saya bertanya, "Kenapa orang di studio tidak melihat acara TVnya sendiri ya ? Yang dilihat kok TV lain ?" (Dalam hati aku jawab sendiri, "ya kenapa juga lihat acara yang dibuat sendiri, kan sudah tahu"). Seorang narasumber juga spontan bertanya saat melewati sebuah patung besar di ujung lorong, "Ini patung siapa ? Saya pikir Surya Paloh?" Kami berempat pun langsung memperhatikan bentuk patung itu dan menerka-nerka.

Malam itu acara akan segera dimulai, dan penonton yang berjumlah sekitar 650 orang sudah berbaris berjajar untuk naik ke lantai tiga dan memasuki studio. Petugas security sudah berjaga-jaga di setiap ujung eskalator. Crew Kick Andy menyarankan agar teman-teman dan keluarga saya masuk terlebih dahulu sebelum penonton lainnya. Bagaimana caranya mencari orang diantara 650 orang yang berjubel di lantai dasar, pikirku. Dengan diantar security dan crew Kick Andy saya mencoba untuk mencari mereka agar masuk studio lebih dulu. Namun karena banyaknya penonton akhirnya mereka lebih memilih untuk tidak kehilangan narasumber di tengah-tengah penonton daripada saya menemukan teman-teman saya tapi ganti saya yang susah ditemukan :)

Menunggu acara talkshow dimulai bersama narasumber lainnya
Saat penonton memasuki studio, kami bertiga berada di ruang VIP untuk berkenalan dan briefing terlebih dahulu dengan Andy F Noya sang pembawa acara, pertemuan kami didokumentasikan oleh crew Kick Andy lainnya. Kebetulan saya tampil di segmen ke 5 dan 6, jadi terakhir sendiri. Lalu kami memasuki studio duduk tersembunyi disamping kursi penonton, sambil mendengarkan Andy F Noya membuka acara dan sambil menunggu giliran untuk dipanggil keatas panggung olehnya. Kedua keponakan saya yang melihat saya masuk studio datang menghampiri dan bertanya, "Auntie mau ngapain ?" Mereka belum mengerti dan mungkin bingung melihatku akan duduk didepan diatas panggung bersama pembawa acara, ditonton orang banyak dan ada banyak kamera yang merekam. Mereka belum paham kalau itu salah satu proses pembuatan acara di televisi. Esok harinya baru saya bisa menjelaskan waktu memutar acara Kick Andy di Metro TV di rumah memperlihatkan bahwa yang dilihatnya di studio itu nantinya akan ditayangkan di televisi seperti itu. 

Malam itu saya agak nervous, bukan karena dilihat oleh ratusan penonton di studio tetapi karena kondisi saya sedang sakit radang tenggorokan yang membuat saya sering batuk rejan dan sulit berhenti kalau sudah batuk, apalagi suhu dingin di dalam studio dan harus bicara banyak bisa memicu saya batuk, untuk itu saya sering minum air putih yang disediakan. Saya hanya mengkhawatirkan batuk saya kambuh sewaktu saya sedang bicara di atas panggung, karena saya juga tidak bisa membawa air minum diatas panggung. Saat kedua narasumber lainnya selesai talkshow giliran saya berikutnya, dua orang petugas make up sibuk kembali memberbaiki riasan wajah dan menata rambut saya. Floor Director mengarahkan saya untuk memilih duduk di sofa paling ujung dekat Andy F Noya. Dan saya disediakan air putih lagi untuk diminum sebelum naik ke panggung agar tidak batuk. Akhirnya nama saya dipanggil dan saya pun duduk di tempat seperti yang diarahkan oleh Floor Director acara tersebut. 

Saat saya menyeberangi Sungai Seblat bersama seekor harimau sumatera berusia 14 tahun korban konflik dengan manusia yang sedang direlokasi ke kawasan konservasi Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu

Sebelum talkshow dimulai, photo saya sedang menyeberangi Sungai Seblat bersama seekor harimau sumatera ditampilkan dan saya diminta untuk menceritakan kisah tentang photo itu. Bagi saya pribadi photo itu sama artinya dengan photo-photo lainnya, mungkin karena saya yang sudah terbiasa dan sudah lama bekerja untuk harimau sumatera jadi biasa-biasa saja, ya memang seperti itulah pekerjaan kami. Dan menyeberangi sungai dengan harimau sumatera hidup bagi saya juga bukan hal yang luar biasa karena saya yakin bisa maka saya melakukannya. Bahkan bagiku masih banyak kegiatan bersama harimau yang lebih beresiko, berbahaya dan penuh perjuangan untuk menyelamatkannya yang tak terdokumentasikan dan tak terungkapkan ke publik. Tapi sepertinya bagi sebagian besar orang, photo itu sangat mengandung arti dan photo itu bisa menceritakan kisah perjuangan dibalik itu, dan ternyata dari sebuah photo akhirnya juga terungkap kisah panjang dalam upaya penyelamatan harimau sumatera yang tidak mudah, dengan segala resiko, tantangan, menguras banyak air mata, dan perlu komitment tinggi dan semangat pantang menyerah. Bahkan niat baik untuk menolong makhluk lain pun belum tentu diterima dengan baik oleh pihak lain, terkadang dibalas dengan fitnah, penolakan, tekanan dan butuh kesabaran tinggi serta pengorbanan yang cukup besar, tidak hanya tenaga dan pikiran tetapi juga materi dan sanggup menderita dalam jangka waktu lama karena jauh dari fasilitas dan kenyamanan hidup. Ya memang benar, Pengabdian itu tidak ada batasnya, seperti tema talkshow saat itu.  

Saat menjadi narasumber Talk Show Kick Andy di Metro TV
Sebagian kecil dari suka duka di lapangan saat bekerja sudah saya ungkapan di acara talkshow itu, namun ada satu pertanyaan dari pembawa acara Andy F Noya yang tidak bisa saya jawab karena saya malu untuk menjawabnya, saat dia bertanya tentang gaji saya. Saat itu saya malu menceritakan tentang kenyataan pahit beberapa tahun yang lalu itu didengar oleh 650 penonton dalam studio termasuk keluarga saya dan teman-teman dekat saya, saya malu mereka tahu bahwa saya menderita di tahun-tahun awal saya bekerja di Sumatera, merantau di daerah baru yang belum pernah saya kunjungi, sendirian tanpa punya keluarga disana dan tak ada orang yang dikenal. Hanya bermodalkan komitmen kuat untuk membantu satwa liar di hutan agar kondisinya lebih baik yang membuat saya bertahan, meski banyak orang meragukan mungkin karena saya seorang perempuan dan berpendapat saya tidak akan pernah mampu bertahan.  Saat itu saya harus berjuang keras agar mampu bertahan hidup di Bengkulu dengan uang 150 ribu per bulan di tahun 2004, meski seharusnya gaji yang saya terima 300 ribu per bulan, setengahnya menguap entah kemana, karena uang yang diberikan kepada saya hanya 50%-nya saja. Bahkan sebagai dokter hewan gaji saya tidak sebanyak pengemis jalanan di ibukota. Dan saya pun tidak memiliki tuntutan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seperti buruh-buruh di Jakarta dan sekitarnya. Cukup tidak cukup 300 ribu itulah untuk biaya hidup sebulan, dimana biaya hidup di Sumatera lebih tinggi dibanding di Jawa. Dengan 150 ribu itu sudah mencakup biaya hidup, untuk biaya tempat tinggal dan bahkan membiayai untuk pekerjaan  yakni transportasi dan logistik di lapangan, tanpa dukungan dari pihak-pihak terkait membuat saya menjadi sangat mandiri, bekerja tidak harus menunggu anggaran pemerintah ada atau tidak. Prinsip saya adalah sekecil apapun gaji saya yang paling penting adalah saya tidak boleh punya hutang dan meminta belas kasihan orang lain bahkan kalau bisa saya harus memberi orang lain yang membutuhkan. Makanya saya menolak saat teman-teman kantor saya yang memandang saya seperti anaknya sendiri memberikan bantuan finansial. Saya tetap berusaha sendiri selain bekerja untuk konservasi satwa liar, saya juga bekerja apa saja agar tetap hidup, karena kerja keras tanpa pantang menyerah dengan niat baik akan membukakan pintu rejeki yang halal dengan banyak cara dan dari mana saja. Itu juga yang membuat saya bisa bertahan hidup di perantauan.
  
Di satu sisi saya harus berjuang untuk bertahan hidup dan di sisi lainnya saya harus berjuang keras membuat perubahan/ perbaikan 'health care management' untuk membantu satwa liar di hutan, dan saya tahu persis itu tidak mudah, butuh waktu lama, siap menghadapi penolakan dan hanya orang-orang yang punya komitmen kuat serta mampu bertahan yang bisa melakukannya. Tantangan dan resiko lainnya saya kesampingkan, seperti medan dan lokasi kerja yang berat untuk dijangkau, harus tinggal di hutan bersama tim yang semuanya laki-laki dan dengan tipikal perilaku yang beragam, menghadapi binatang buas yang kadang bisa mengancam nyawa, dan saya menyadari dalam setiap pekerjaan pasti ada yang suka dan tidak suka, yang berusaha menjatuhkan dengan berbagai cara dan menghambat. Belum lagi adanya kebijakan pemerintah yang kurang mendukung, ancaman dari pelaku aktivitas illegal, ancaman dari masyarakat yang terkena dampak konflik satwa liar dan berbagai faktor lainnya yang melemahkan semangat dan menguji kesabaran dalam menghadapi kenyataan bahwa untuk menolong saja tidak mudah. Padahal disaat yang bersamaan saya juga mendapat tawaran dari 5 lembaga besar baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) nasional maupun internasional yang juga bekerja untuk konservasi orangutan, gajah, harimau dan meminta saya untuk bergabung dan bekerja di lembaga tersebut dengan tawaran fasilitas dan gaji yang lebih dari cukup sesuai dengan pengalaman kerja dan profesi saya sebagai dokter hewan. Tapi anehnya, hati saya mantab memilih membantu pemerintah untuk perbaikan dan perawatan gajah di hutan HPKH PLG Seblat yang sekarang sudah dialihfungsikan menjadi kawasan konservasi TWA Seblat, di Bengkulu Utara yang kemudian saya pun aktif membantu penyelamatan harimau korban konflik dan perburuan tidak hanya di Bengkulu saja. Hanya karena saat pertama kali travelling ke Bengkulu ingin melihat gajah dan siamang di habitat, saya merasa sedih dan prihatin dengan kondisinya, tidak ada dokter hewan disana, hati saya berkata ,"justru tempat seperti ini yang seharusnya dibantu dan mendapat perhatian". Sedangkan satwa liar yang dtangani oleh LSM-LSM besar tidak perlu dikhawatirkan karena mereka lebih fokus bekerja untuk satwa liar dan memiliki fasilitas yang jauh lebih baik untuk kepentingan satwa, tentu orang lain banyak yang bersedia bekerja disana, kalau di tempat seperti ini siapa yang mau kalau harus menderita dan keluar dari zona nyaman dengan gaji tidak layak dengan beban pekerjaan yang cukup berat.

Harimau sumatera bernama Elsa, korban perburuan liar

Permasalahan yang dihadapi pun tidak cukup sampai disitu, saya juga menghadapi banyak hambatan secara bertubi-tubi saat sedang merawat satwa baik gajah ataupun harimau yang saya tangani. Seringkali pihak lain yang seharusnya peduli menjadi acuh tak acuh bila diminta untuk ikut memikirkan nasib satwa korban konflik dan perburuan. Sedangkan kami dihadapkan kenyataan bahwa satwa tersebut perlu perawatan yang layak pasca penyelamatan. Merawat satwa dibutuhkan biaya pakan dan tempat yang layak serta obat-obatan yang memadai, dan itu yang kadang tak bisa dipenuhi. Kadang yang membuatku putus asa, untuk hidup sendiri saja pas-pasan apalagi juga harus menanggung biaya hidup pasien-pasien yang saya tangani yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kadang hanya instruksi dari pejabat yang saya terima bahwa apapun yang terjadi satwa itu tak boleh mati tapi tak ada bantuan dana untuk perawatannya karena anggaran harus diusulkan terlebih dulu setahun sebelumnya, disisi lain kami juga tidak pernah tahu kapan konflik terjadi, karena itu bisa terjadi kapan saja tanpa bisa diprediksi, dan mereka lupa bahwa gajah perlu makan dan tidak bisa kenyang dengan sendirinya hanya dengan instruksi saja. Kadang saya harus melihat kenyataan bahwa berhari-hari harimau tidak makan bahkan sudah tidak sanggup meraung lagi karena kelaparan, saya pun harus rela berbagi uang untuk saya dan untuk makannya, terkadang bila tidak punya uang sama sekali saya hanya bisa menangis didepannya saat harimau itu menatap mata saya tanpa suara, saya sangat sedih tidak bisa membelikannya makanan, dan saya tahu dia ingin mengatakan bahwa dia lapar dan membutuhkan makanan, meski bahasa kami berbeda tapi tatapan matanya sudah cukup membuat saya mengerti. Disaat menghadapi hal paling sulit dan saya sudah tidak tahu lagi bagaimana jalan keluarnya, saya selalu percaya bahwa Tuhan pasti akan memberikan jalan keluarnya, dan disaat saya sudah tidak bisa berpikir lagi, Tuhan selalu menghubungkan dan mempertemukan saya dengan orang-orang yang ingin membantu mengatasi permasalahan itu secara tidak terencana baik yang ada di Indonesia maupun di negara lain.

Sebagai manusia biasa tentu saya juga pernah mengalami rasa putus asa dan hampir menyerah karena tidak ada dukungan, bosan menderita, tidak punya solusi untuk menyelesaikan persoalan satwa dan habitatnya yang komplek dan bahkan untuk menolong saja tidak mudah, belum tentu diterima dengan baik oleh pihak-pihak terkait yang ditolong. Jika sudah muncul rasa ragu saya akan bertanya pada diri sendiri, "untuk apa sih saya ada disini ?" Dan berusaha untuk mengingatkan diri-sendiri tujuan awal saya ada di Bengkulu. Untuk menyemangati diri sendiri saya berkata dalam hati, "kalau saya bekerja orientasinya untuk mendapatkan kenyamanan dengan gaji besar, bukan disini tempat saya. tapi karena dari semula hanya berniat untuk menolong, disinilah tempatnya". Dan saya percaya sepenuhnya bahwa "God created you to be in the world. You are in the world to fulfil a specific mission", jadi saya ada disini sampai sekarang karena itu, karena ingin menolong satwa liar di hutan yang membutuhkan pertolongan, dan tidak punya kepentingan lainnya.

Bersama teman Saka Wanabakti saat SMA dari NTT
Meski kami dalam keterbatasan secara materi tapi saya sendiri merasa kaya, dengan punya banyak teman, punya banyak jaringan, dan masih mendapatkan kesempatan travelling ke beberapa negara untuk meng-update ilmu dan ketrampilan, menghadiri konferensi nasional dan internasional untuk saling berbagi ilmu dan informasi dengan kolega lainnya, dan merasa cukup bahagia hidup kami yang hanya satu kali ini bisa berguna untuk menolong orang lain atau makhluk lainnya yang membutuhkan. 

Saat acara talkshow selesai, Andy F Noya melarang saya beranjak dari kursi dan diminta untuk tetap duduk dengannya di atas panggung. Sambil mendengarkan lagu yang dibawakan oleh pemeran utama Film Denias. Saya sungguh tidak tahu, kalau vokalisnya itu adalah Albert Fakdawer, kalau saja tahu mungkin saya ingin mengajaknya berfoto.....hehehe :) Suaranya sangat bagus saat membawakan lagu Michael Jackson berjudul 'Heal The World'. Setelah pembawa acara menutup acara Talkshow, dia mengajak para narasumber berfoto bersama dengannya. Dia meminta saya yang terlebih dulu berfoto dengannya baru menyusul narasumber lainnya, "Ayooo....harimau foto dulu bersama buaya", katanya. Dua orang photographer Metro TV sudah siap di depan kami. Selesai foto berdua untuk dokumentasi Metro TV, dia berkata, "Mana keluarga dan teman-temannya, ayo kita foto bersama!

Keluarga dan teman-teman Wanala Universitas Airlangga yang mendampingi
dan mendukung saya di acara Talk Show Kick Andy - Metro TV

Ini adalah hari yang paling membahagiakan bagiku, karena acara Talk Show Kick Andy ini telah mempertemukan saya kembali dengan teman-teman lama dari organisasi Pecinta Alam Wanala Unair dan teman-teman dekat lainnya sesama relawan untuk konservasi satwa liar, juga teman organisasi Wanabakti sejak SMA yang berasal dari Nusa Tenggara Timur beserta keluarganya, diantaranya sudah belasan tahun tidak pernah bertemu lagi. Saya memang tidak mengundang teman-teman kolega dokter hewan dan teman-teman dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), namun meski begitu mereka sudah hadir juga untuk melihat langsung acara ini, tanpa saya sadari. Saya baru mengetahuinya setelah acara selesai dan saat saya turun dari panggung untuk mengajak teman-teman Wanala dan keluarga berfoto bersama Andy F Noya, mereka menyapa saya dan mengajak saya foto bersama dengan semua kolega dari Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK. Dan karena saya menjadi narasumber di acara ini, mereka bersedia meluangkan waktu untuk datang mendukung saya, meskipun mereka tidak hanya berasal dari Jakarta dan sekitarnya saja tapi juga datang langsung dari Surabaya. 

Meskipun kenyataannya kesempatan saya untuk bisa bertemu dan berbicara dengan mereka semua hanya beberapa detik saja, karena saya harus mengikuti jadwal ketat dari Kick Andy. Bahkan untuk bisa berbicara dengan mereka saya terus didampingi oleh salah satu crew Kick Andy, yang kadang terlihat tidak sabar menunggu dan mengingatkan bahwa saya sudah ditunggu. Waktu yang hanya beberapa detik untuk menemui dan berbincang-bincang dengan mereka sungguh besar artinya bagi saya, ini adalah bentuk sebuah dukungan yang menyemangati saya, meski tidak sebanding dengan pengorbanan mereka untuk datang dan sekian lamanya waktu kami tidak pernah bertemu. Bahkan kesempatan yang ada untuk bertemu setelah acara juga masih harus terbagi dengan melayani banyak orang yang ingin berfoto bersama denganku secara bergantian dan yang ingin saya tanda-tangan di buku yang mereka dapat di acara itu. Meskipun saya bukan selebritis dan hanya orang biasa-biasa saja maka saya harus bersedia melayani permintaan mereka satu-persatu dengan baik. Bahkan saat saya sedang berbincang-bincang sejenak dengan keluarga dan teman-teman Wanala, dan melayani orang lain yang ingin berfoto bersama, mobil Metro TV sudah menunggu saya di depan pintu masuk untuk mengantarkan saya beristirahat setelah acara.

Perjuangan hidup yang panjang itu adalah proses belajar dan pelajaran sangat berharga yang tentu hanya saya dapatkan sekali seumur hidup, hingga akhirnya membawaku seperti sekarang ini, dan membuatku sedikit berbeda daripada saya menjadi pegawai yang biasa-biasa saja yang tidak punya keberanian keluar dari zona nyaman demi satu tujuan mengabdi pada profesi untuk menolong satwa liar di hutan yang membutuhkan pertolongan. Bila saat itu saya menyerah berarti saya tidak lulus dalam menghadapi ujian hidup, dan orang akan mengenal saya tidak seperti 'Yanti' yang sekarang tentunya, yang hidupnya penuh liku dan penuh warna hanya karena berkomitmen untuk mengabdi pada profesi.  "Life will always have a different plan for you. If you don't give up, you will eventually get to your destination".

Saya sangat menyukai profesi saya saat ini dan saya bersyukur telah menjadi dokter hewan serta bisa mengabdikan profesi untuk membantu species yang diambang kepunahan. Merasa bahagia saat profesi dan hidup ini bermanfaat. Dan arti kebahagian bagi saya tidak bisa diukur dan dinilai dengan uang, dengan harta yang dimiliki, tapi kebahagiaan itu datangnya dari hati. Kami yang menjadi narasumber Pengabdian Tanpa Batas sama-sama sudah merasa bahagia bila profesi kami bisa menolong dan bermanfaat bagi sesama dan makhluk lainnya. Uang bukanlah segala-galanya dan bukan satu-satunya tujuan yang harus dikejar dalam bekerja. 

Minggu, 31 Januari 2016

HiLo Green Conference & Talk Show 2016


Tanggal 7 Januari 2016 saya dihubungi reporter salah satu stasiun TV swasta di Jakarta, sebelumnya kami memang pernah bertemu saat sedang liputan untuk acara stasiun TV nasional tentang PLG Seblat di Bengkulu dan sejak itu kami masih berkomunikasi. Dia mengatakan bahwa ada seorang dokter di Jawa Timur yang ingin menghubungi dan mengundang saya untuk menjadi pembicara dalam seminar. 


Beberapa hari kemudian saya dihubungi oleh HiLo Green Community (HGC), saya belum pernah mendengar nama organisasi itu sebelumnya, yang mengatakan bahwa mereka akan mengadakan acara konferensi dan talk show dengan tema 'Save The Endangered Animals' pada akhir bulan ini dan ingin mengundang saya untuk jadi salah satu narasumber. Saya belum tahu apakah itu HGC, sebelumnya saya mengira bahwa itu komunitas yang berasal dari Mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang. Karena di universitas tersebut seminar akan diselenggarakan, dan bahkan saya juga sempat berpikir atau mungkin itu komunitas pecinta satwa yang ada di Malang, Jawa Timur. Sebelum menyatakan bersedia menghadiri acara seminar, saya musti mencari tahu tentang organisasi itu, agar saya tidak menghadiri acara yang salah dan tidak ingin terjebak menghadiri acara organisasi yang mengeksploitasi satwa dengan mengatasnamakan penyelamatan satwa. Pada saat itu saya belum bisa memastikan untuk bisa datang atau tidak, selain mempertimbangkan hal itu juga karena masih harus melihat jadwal kerja saya lainnya apakah berbenturan atau tidak dan masih harus berkoordinasi dengan atasan. Ternyata perkiraan saya salah, setelah menemukan jawabannya maka saya bersedia menghadiri acara konferensi dan talk show tersebut. Dan langsung mengurus birokrasi administrasi dengan BKSDA Bengkulu untuk diberikan Surat Perintah Tugas (SPT). 

Sabtu, tanggal 30 Januari 2015, pukul 10.25 WIB saya berangkat ke Malang, Jawa Timur dengan penerbangan dari Kota Bengkulu menuju Surabaya, Jawa Timur. Sesampainya di Surabaya sudah dijemput oleh panitia yakni dari HiLo Green Ambassador yang membawaku ke Kota Malang. Kami berhenti sejenak untuk makan siang dan istirahat di rumah makan Padang. Dalam hati aku berkata, "selama di Sumatera saja aku sebisa mungkin menghindari rumah makan ini karena tidak cocok dengan masakannya dan lebih memilih mencari rumah makan Jawa yang lokasinya jauh sekalipun, biasanya terpaksa baru makan ini bila tidak ada pilihan lainnya".  Sambil menunggu menu makanan disajikan, saya bertanya,"Ada yang berasal dari Sumatera ? Biasanya orang Sumatera memang kurang doyan makanan Jawa".  Ternyata tidak ada yang berasal dari Sumatera, malah mereka yang mengira saya berasal dari Sumatera. Memang, anggapan mereka tidak salah dan juga tidak benar, karena saya adalah orang Jawa yang kebetulan sudah lama tinggal di Sumatera. Tapi tak apalah, toh masakan Padang yang dijual di Jawa rasanya juga jauh berbeda dengan masakan Padang yang dijual di Sumatera, rasanya masih menyesuaikan lidah orang Jawa. Selesai makan siang kami melanjutkan perjalanan, menjelang petang sampai juga di Kota Malang dengan disambut hujan badai sepanjang perjalanan. 

Menghadiri acara ini sama artinya meninggalkan acara penting lainnya, karena seminggu sebelumnya saya juga mendapat undangan untuk menghadiri acara The Regional Asian Elephant and Tiger Veterinary Workshop yang diselenggarakan di Kerala Veterinary and Animal Sciences University, India yang diadakan selama 6 hari di waktu yang bersamaan. Sebelumnya sempat bimbang, untuk membatalkan acara yang sudah dikonfirmasi akan hadir atau meninggalkan acara yang berhubungan dengan kegiatan medis, harimau dan gajah untuk peningkatan kapasitas diri dan berbagi informasi tentang permasalahan penyakit serta tentunya akan bertemu lagi dengan teman-teman lama yang bekerja untuk konservasi harimau dan gajah di beberapa negara, kebetulan sudah lama saya tidak bertemu mereka. Kebetulan beberapa orang yang hadir aku mengenalnya dengan baik tidak hanya yang berasal dari Asia saja tetapi juga kolega dari Amerika dan Eropa. Hari Sabtu tanggal 30 Januari 2016 sama-sama sudah harus berada di lokasi konferensi, baik di Malang ataupun di India Selatan. Tak lama kemudian saya juga dapat undangan dari Saka Wanabakti Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu untuk menghadiri acara pelantikan kepengurusan Saka Wanabakti Rejang Lebong pada tanggal 30 - 31 Januari 2016. Sebelumnya saya juga menyatakan bersedia saat diminta untuk menjadi pembina Saka Wanabakti Rejang Lebong, karena saya juga tidak asing lagi dengan organisasi pramuka itu, sewaktu masih menjadi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) saya juga aktif berkegiatan di Saka Wanabakti di Perhutani yang ada di Jawa Timur.

Di Kota Malang saya menginap di Hotel de' Beautique, narasumber lainnya yang sekaligus juga rekan kerja saya dari Copenhagen Zoo Research Project di Taman Nasional Baluran juga menginap di hotel yang sama.  Kami seperti reuni saja, sering bertemu di banyak kegiatan yang berhubungan dengan konservasi satwa liar. Malam itu saya menghabiskan waktu untuk menyelesaikan bahan presentasi esok hari, sebetulnya selama perjalanan saat menunggu penerbangan di Fatmawati Soekarno Airport dan saat transit di Soekarno Hatta Airport saya sudah menyibukkan diri untuk menyeselaikan presentasi, sampai di Malang tinggal menambah kekurangannya. 

Kesempatan bisa berkunjung kembali ke Malang membuat saya bahagia, karena sudah sepuluh tahun lebih saya tidak pernah mengunjungi kota itu. Dulu awal berkarier sebagai dokter hewan satwa liar bermula di kota Malang, dan saya pernah tinggal di Malang beberapa saat sebelum hijrah ke Sumatera. Tentu banyak teman di kota itu, dan mereka kukenal sebagai aktivis konservasi satwa liar. Kembali ke Kota Malang sama artinya saya bernostalgia kembali dengan teman-teman lama dan bernostalgia dengan kota yang merupakan cikal bakal aktivitas saya dan yang membesarkan saya menjadi relawan dan akhirnya berkarier di dunia konservasi satwa liar. Dan saya juga sangat antusias saat melihat bahwa yang menjadi narasumber dalam konferensi dan talk show 'Save The Endangered Animals' tersebut tidak hanya kami berdua tetapi juga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur dan LSM ProFauna Indonesia yang kebetulan berkantor juga di Kota Malang. Namun sayangnya malam itu kami dapat informasi dari panitia bahwa mereka tidak bisa datang padahal mereka sama-sama memiliki kantor di Malang.

HiLo Green Conference "Save the Endangered Animals" di Graha Medika
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Minggu, tanggal 31 Januari 2016, Jadwal kami presentasi jam 1 siang, saya mendapat urutan terakhir. Setelah presentasi baru diadakan talk show yang dipandu oleh kolega dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang kebetulan juga menjadi HiLo Green Ambassador. Dalam presentasi ada hal yang tidak terduga dan tak biasa saat saya menampilkan photo harimau kami Elsa, saya tiba-tiba menangis dan tidak bisa melanjutkan kata-kata dan orang-orang yang hadir pun terdiam. Saya tidak tahu kenapa berubah menjadi begitu rapuh dan cengeng, mungkin teringat lagi betapa sulitnya kami mengevakuasi harimau Elsa sebagai korban jerat pemburu liar disaat kondisi saya yang tak berdaya saat itu, saya pun harus melakukan operasi amputasi kakinya yang membusuk karena jerat disaat saya sendiri sedang dirawat di UGD salah satu rumah sakit di Bengkulu, bagaimana sulitnya perjuangan kami merawatnya agar tetap hidup dan mendapatkan perawatan terbaik yang kami bisa disaat pihak lain dan pihak berwenang tidak peduli dengannya, perjuangan yang sarat dengan emosi, rasa putus asa dan air mata, belum lagi kami yang merawatnya dengan suka duka dihujat habis-habisan oleh pihak-pihak lain yang nyatanya membantu harimau kami pun tidak, yang seolah-olah mereka mengatakan pada publik bahwa sangat peduli dengan harimau sumatera, bahkan sampai direlokasi di kawasan konservasi pun tak pernah melihat bantuan mereka secara nyata terhadap harimau itu agar kualitas hidupnya lebih baik. Bicara itu mudah, tapi bukan itu yang kami dan harimau butuhkan, kami hanya membutuhkan tindakan nyata. Akhirnya saya pun harus melewatkan untuk membahas penyelamatan harimau Elsa daripada saya tidak bisa melanjutkan presentasi saya. Dia sungguh membuatku tidak bisa berkata-kata, seharusnya memang saya tidak menyinggungnya untuk saat-saat seperti ini. Dan saya sendiri pun masih sensitive bila orang lain bertanya soal itu, saya lebih memilih untuk tidak menjawabnya daripada mengingatkan saya kembali dengannya. Dua kali ditanya tentang harimau Elsa, dua kali juga membuatku menangis, sepertinya saya sungguh belum rela mendapati kenyataan telah kehilangan. 

Talk Show "Save the Endangered Animals" di Graha Medika
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Acara Talk Show kami dikejutkan dengan banyaknya orang yang antusias untuk bertanya, membuatku sedikit terhibur. Usai acara, banyak mahasiswa Kedokteran Hewan yang mendatangiku mengajak foto satu persatu dan foto bersama. "Apa menariknya berfoto denganku, karena aku bukanlah orang beken yang diidolakan banyak orang," pikirku. Dan mereka juga mengajakku berbincang-bincang, saya menyukai generasi muda yang sudah optimis dengan jurusan yang dipilihnya, apalagi ingin mengikuti jejak sebagai dokter hewan yang bekerja untuk konservasi satwa liar. Itu sungguh luar biasa, berharap saya bisa terus menginspirasi mereka dengan terus berkomitmen bekerja untuk konservasi satwa liar terutama harimau sumatera.

Bersama Mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan,
Universitas Brawijaya
Pulang dari acara saya dijemput oleh teman-teman dari Centre for Orangutan Protection (COP) yakni LSM yang bekerja untuk konservasi orangutan di Indonesia untuk diajak makan malam bersama. Bakso Presiden pilihan kami, belum dianggap pergi ke Malang bila belum merasakan Bakso Presiden yang terkenal itu. Malamnya masih dilanjutkan bertemu dengan teman-teman COP dan orangufriends atau alumni COP School yang juga merupakan mahasiswa kedokteran hewan, Universitas Brawijaya. 

Senin, tanggal 1 Pebruari 2016 jam 7 pagi saya dijemput teman dari COP untuk makan pagi bersama dilanjutkan mengisi waktu untuk pertemuan internal membahas organisasi dan project dengan teman-teman COP dan Animals Indonesia sampai jam 10 pagi, karena saya harus berangkat ke Bandara Abdul Rachman Saleh di Malang untuk kembali ke Jakarta hari itu juga. Sebenarnya masih banyak teman-teman lainnya yang ingin saya temui, teman dokter hewan, teman satu organisasi Pecinta Alam dan lainnya, namun waktu yang singkat selama berada di Malang sudah terisi penuh untuk acara dengan teman-teman kerja dan untuk hal-hal yang berhubungan dengan konservasi satwa liar. Waktuku tidak sia-sia dan menjadi sangat berarti meski hanya singkat berada di Kota Malang. Masih banyak teman lain yang belum bisa dijumpai selama disana, berharap suatu saat nanti ada kesempatan lainnya untuk bertemu mereka.

Sebelum kembali ke Bengkulu, Sumatera, saya masih mengadakan pertemuan dengan teman-teman di Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manggala Wanabakti Jakarta untuk rencana pembuatan buku dan mengikuti pertemuan dengan anggota Forum HarimauKita di Bogor, Jawa Barat untuk rapat lainnya. Memanfaatkan waktu diluar kerja untuk hal-hal yang bermanfaat itu memang membahagiakan dan membuat hidup menjadi selalu bersemangat.