Sabtu, 17 Januari 2015

the Sub-Regional Southern Biodiversity Workshop

Hari Senin, tanggal 12 Januari 2014 saya melakukan perjalanan menuju kota Palembang, Sumatera Selatan, dengan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia di sore hari. Tujuan kali ini adalah akan menghadiri Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan yang diadakan oleh GIZ-Bioclime Biodiversity and Climate Change Project bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan. Sebelumnya saya ragu untuk mengikuti acara ini karena sepertinya tidak ada hubungannya dengan bidang kerja saya dan akan memilih untuk kembali ke Bengkulu. Namun setelah berkomunikasi dengan teman-teman saya yang sama-sama kerja untuk konservasi harimau di Sumatera dan hasil perbincangan kami saat bertemu di acara Indonesian Tiger Conference di Bogor di bulan Desember 2014 akhirnya perjalanan ke Bengkulu ditunda beberapa hari dan berganti arah ke Palembang, Sumatera Selatan, dan saya juga akan presentasi di workshop tersebut bersama kawan-kawan Forum HarimauKita. Menurut saya hadir di acara itu juga akan bermanfaat mengingat Animals Indonesia memiliki project pembangunan Animal Rescue and Rehabilitation Centre di wilayah Sumatera Selatan guna mendukung BKSDA Sumatera Selatan dalam upaya penyelamatan satwa liar korban konflik, perburuan dan perdagangan illegal dan merupakan salah satu upaya konservasi biodiversitas di provinsi tersebut.

Sore itu saya tiba di Kota Palembang, dan langsung memesan taxi bandara untuk mengantarkan saya menuju Hotel Novotel karena acara seminar tersebut diselenggarakan disana. Ada hal aneh yang terjadi sesampainya saya di lobby hotel, petugas hotel tidak menemukan nama saya sebagai peserta seminar, cukup lama saya menunggu untuk mengecek ulang daftar peserta, sambil saya mencoba menghubungi penyelenggara seminar, tetap nama saya tidak ditemukan. Saat saya menyebutkan nama panggilan saya, baru mereka menemukan nama saya di daftar peserta. Ternyata panitia tidak mencantumkan nama lengkap sana disana dan hanya mencantumkan nama panggilan saya saja.....hehe :)

Malam itu saya menghabiskan waktu bersama teman-teman peserta seminar di restoran hotel, banyak teman lama dan ada juga yang baru saya kenal, dan saya kembali bertemu dengan teman-teman anggota Forum HarimauKita disana yang bekerja di beberapa NGO (Non-Goverment Organization) setelah sebulan sebelumnya kami telah bertemu di Bogor. Acara ini seperti ajang reuni saja bagi kami terutama praktisi lapangan dan peneliti harimau sumatera yang sama-sama menjadi anggota Forum HarimauKita dan juga ada teman sesama anggota Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI). Pertanyaan pertama yang diajukan ke saya saat bertemu, "bagaimana khabar gajahnya ?" Saya tahu, pertanyaan itu menyindir tentang apa yang telah terjadi di Bengkulu, karena beberapa gajah di Pusat Konservasi Gajah di Bengkulu telah dipindahkan ke kebun binatang untuk alasan breeding guna peningkatan populasi gajah......hmmmm !! Setahu saya sesuai dengan strakornas (Strategi Konservasi Nasional) tentang peningkatan populasi satwa liar adalah diutamakan yang di-insitu. Dan menurut informasi yang kudapat anggota forum ada yang mendukung translokasi gajah tersebut dan mendesak mahout di PKG Seblat Bengkulu untuk menyetujuinya. 


Esok harinya, Selasa tanggal 13 Januari 2015 seminar dimulai, sesungguhnya bukan ini seminar yang saya ikuti karena hari itu tentang biomass survey, stock carbon dan biodiversity (flora/ tumbuhan) khusus untuk wilayah Sumatera Selatan, dan saya seharusnya mengikuti seminar di hari berikutnya tentang konservasi biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan. Tapi ternyata tidak ada ruginya juga saya mengikuti seminar itu meskipun topiknya tidak berhubungan dengan satwa liar. Di kesempatan ini saya banyak mengenal orang-orang baru di bidang konservasi, ada beberapa yang sudah pernah saya lihat di konferensi di Bogor namun saya belum mengenalnya. Saya memilih duduk berdampingan dengan teman-teman lama di Forum HarimauKita dari Jambi dan Sumatera Selatan serta teman baru saya dari PT. ASI Pudjiastuti Geo Survey, presentasinya sangat mengesankan bagi saya karena tentang teknologi Lidar (Light Detection and Ranging) untuk kepentingan konservasi di bidang kehutanan. Ini adalah sesuatu yang baru bagi saya, yakni penginderaan jarak jauh dengan Airbone laser untuk keperluan digital photogrametric mapping spatial planning. Dalam areal yang diphoto dengan menggunakan pesawat dapat diketahui jenis pohon dari tingkat rendah sampai tinggi, juga dapat mengukur ketinggian pohon, selain itu juga bisa mengetahui lapisan tanah. Hal ini tentu menarik, bila jenis pohon bisa diketahui per jenis, berarti obyek yang ada diatas permukaan tanah juga bisa diketahui, itu pertanyaan yang saja ajukan saat diskusi setelah presentasi. Logika saya mengatakan bila pohon rendah yang ada dipermukaan tanah bisa diidentifikasi, tentu mammalia besar juga bisa diidentifikasi, selanjutnya bisa dikombinasikan dengan ground check untuk membantu upaya penyelamatan kawasan habitat satwa liar dari alih fungsi dan eksploitasi yang tidak pro-konservasi biodiversity. Namun sayangnya mereka belum ada pengalaman untuk mengidentifikasi biodiversity terutama spesies satwa liar yang ada di dalam kawasan hutan yang dipotretnya dengan sinar laser dari sebuah pesawat, masih terbatas tumbuhan saja, itu jawaban yang diberikan oleh narasumber baik yang dari Indonesia maupun Jerman. Namun diluar acara diskusi saya diyakinkan bahwa suatu saat itu pasti bisa dilakukan karena teknologi terus berkembang. "Ya, jawaban yang masuk akal, pikirku". Seminar hari itu banyak membahas tentang project Biodiversity dan Climate Change (Bioclime) di Indonesia, namun perhatian saya tertuju pada teknologi Lidar yang dipresentasikan juga daerah-daerah yang menjadi fokus Bioclime project.

Malam harinya saya nongkrong dengan teman-teman anggota Forum HarimauKita, kebetulan banyak yang menghadiri seminar ini, yakni sekitar 9 orang atau mungkin lebih. Selain makan malam bersama kami juga berdiskusi tentang konservasi tentunya. Entah sampai jam berapa kami ngobrol malam itu, akhirnya saya dengan teman sekamar yang merupakan sahabat saya kembali ke kamar untuk mempersiapkan bahan presentasi kami karena kami berdua diundang untuk datang di seminar itu juga untuk presentasi.

Rabu, tanggal 14 Januari 2015, Seminar kedua diadakan di Ballroom Novotel Palembang, yakni Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera bagian Selatan. Dihadiri oleh perwakilan masyarakat lokal dan mitra/ LSM yang terlibat dalam aktivitas keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam, perwakilan pemerintah pusat dan daerah, pengambil keputusan program dan kebijakan, peneliti dan akademisi, pihak swasta dan lembaga donor dan lain-lain. Inilah seminar yang seharusnya saya ikuti karena sesuai dengan bidang profesi saya saat ini. Saya bertemu banyak kolega dan pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di acara ini selain bertemu dengan teman-teman lama saya di LSM yang bergerak dibidang konservasi satwa liar.  Hari pertama seminar kami banyak mendengarkan presentasi dari keynote speaker, yakni dari akademisi, LIPI, private sector, juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan Kementerian Kehutanan dan Konservasi Tanah Nepal.

Kesimpulan dari presentasi masing-masing narasumber hasilnya dipampang di dinding ruang seminar berupa karikatur (kartun), cukup unik menurutku, dan menarik orang untuk membacanya juga mendokumentasikannya. Baru kali ini saya menjumpai kesimpulan presentasi seminar dituangkan dalam bentuk cerita kartun, ternyata hal ini sudah dilakukan juga di negara lain.

Di ruang seminar saya lebih memilih duduk semeja dengan teman-teman NGO, meski banyak juga yang saya kenal di dalam ruangan tersebut, tidak hanya dari NGO. Seminar ini dihadiri kurang lebih 150 undangan.

Malam itu diadakan acara Gala Dinner diiringi dengan life music. Namun sepertinya saya dan teman-teman kurang tertarik, kami lebih tertarik nongkrong dengan teman-teman satu komunitas dan memilih duduk diluar ruangan bersama teman-teman Forum HarimauKita untuk berdiskusi sambil makan malam. Malam itu seperti meeting HarimauKita yang kedua di Palembang setelah pertemuan anggota di Bogor sebulan yang lalu. Topik pembicaraan kami tak jauh-kauh dari konservasi, harimau sumatera dan habitatnya. Kesempatan langka untuk bisa berkumpul seperti ini, karena kami memiliki wilayah kerja yang berbeda-beda. Malam harinya sebelum tidur saya masih memperbaiki presentasi untuk persiapan esok harinya.

Kamis, tanggal 15 Januari 2015, merupakan hari terakhir seminar. Kebetulan saya mendapat jadwal untuk memberikan presentasi hari itu bersamaan dengan narasumber dari Forum HarimauKita dan Zoological Society of London (ZSL), karena materi presentasi kami saling berkaitan, yakni tentang konservasi biodiversitas terutama status konservasi, upaya dan ancamannya yang masih berkaitan dengan harimau sumatera.

Sore itu seminar berakhir, tapi kami pun belum beranjak pergi dari sekitar ruangan seminar, masih menyempatkan diri ngobrol dengan teman-teman forum. Malam itu kami berencana akan makan malam bersama diluar. Saya masih punya kesempatan dua jam untuk pergi dengan berjalan kaki ke mall terdekat dari Hotel Novotel karena ada yang ingin kami beli disana.

Kami masih menginap satu malam di hotel tersebut sebelum pulang. Saya berencana pulang hari Sabtu karena tiket pesawat saya dari Palembang ke Jakarta pada hari Sabtu tanggal 17 Januari 2015, sehingga saya mempunyai waktu luang sehari di kota Palembang untuk berjalan-jalan.

Esok harinya, Jumat tanggal 16 Januari 2015 kami pergi ke kantor ZSL bersama teman-teman ZSL, teman-teman dari Jambi akan pulang malam itu dari kantor ZSL di Palembang. Hari itu kami sempat ikut mereka ke kantor Taman Nasional Sembilang. Setelah itu saya memilih memanfaatkan waktu luang di hari itu untuk menerima undangan makan malam bersama teman sebelum kembali pulang.

Kamis, 01 Januari 2015

Wisata Sejarah ke Sendangsono


Tahukah anda apakah Sendangsono itu ?

Kapel Para Rasul
Saya juga baru mendengar nama tempat ini diawal tahun 2015 dari teman yang beragama Katolik. Lokasinya di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Tempat ini mempunyai nilai sejarah tinggi terutama dalam hal penyebaran agama Katolik di Pulau Jawa. Pada tahun 1894 belum ada orang Jawa Tengah satu pun yang beragama Katolik. Sejarah ini juga mengungkap peran dari Pastur Fr. Van Lith, rohaniwan Belanda yang datang pada tahun 1896 dan ditunjuk sebagai pembantu Pastur W. Helings SJ. untuk misi penyebaran agama Katolik di Jawa. Disana terdapat Goa Maria Sendangsono yang dikelola oleh Paroki St. Maria Lourdes di Promasan. Selain sebagai lokasi kegiatan rohani bagi pemeluk agama Katolik juga merupakan tempat berziarah serta pengambilan air dari sendang (mata air) yang muncul diantara dua pohon Sono. Air tersebut juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Tidak hanya untuk para penganut Katolik, tempat itu juga dibuka untuk umum sebagai lokasi wisata sejarah bagi orang yang beragama lain, karena yang berkunjung ke tempat ini tidak hanya orang Katolik saja, tapi juga penganut agama lainnya seperti Muslim dan Budha. Para rohaniawan Budha juga memanfaatkan tempat tersebut untuk bertapa dalam rangka mensucikan diri dan menyepikan diri, karena lokasinya yang sejuk dan nyaman.

Pohon Sono

Saya tertarik tempat tersebut karena saya menyukai sejarah, terutama sejarah tentang bangsa Indonesia. Belajar sejarah dengan mengunjungi langsung lokasi-lokasi yang bersejarah tentu sangat menarik daripada hanya membaca cerita dari buku dan akan membuat kita mengetahui apa yang terjadi di masa lampau. Dua orang teman saya beragama Katolik, mereka kesana untuk beribadah, sedangkan saya hanya ingin berwisata, memotret tempat yang indah dan melihat-lihat peninggalan bersejarah.  


Sejarah penyebaran agama Katolik di Indonesia

Relief tentang penduduk desa berpakaian Jawa sedang dibaptis
Tahun 1519 dianggap sebagai permulaan missi penyebaran Katolik di Indonesia. Tempat pertama yang dikunjungi adalah Pulau Sumatera, yakni kota-kota sepanjang pantai Sumatera Utara, namun setelah daerah itu di bawah pemerintahan Aceh usaha penyebaran agama Katolik tersebut lenyap. Pada tahun 1530, Pastur Portugis bernama Simon Vaz mendatangi Ternate di Kepulauan Maluku bersama para pedagang. Orang-orang pertama yang menganut agama Katolik di Indonesia adalah Raja (Kapala) beserta anak negerinya di Ternate. Adanya pemberontakan hebat melawan orang-orang Portugis maka misi penyebaran agama Katolik di Ternate pun terhenti, karena mereka diusir dari daerah tersebut. Pada tahun 1546-1547 penyebaran agama Katolik di Maluku dimulai kembali dengan datangnya Sato Fransiskus Xaverius, tidak hanya mengunjungi Ternate tetapi juga Ambon dan Saparua. Sampai tahun 1570 agama Katolik berkembang dengan subur disana dengan pengikut mencapai 25.000 orang.

Di Jawa Timur agama Katolik mulai berkembang tahun 1580-1600, dengan adanya bukti sejarah berupa beberapa patung abdi yang berasal dari jaman Majapahit. Di Pulau Sumatera misi penyebaran agama Katolik dimulai lagi pada tahun 1638, pemerintah Portugis mengirimkan utusan dagang ke Aceh diikuti oleh Pastur Karmelit Di Jonisius dan Bruder Redemptus. Pada awalnya diterima dengan baik tapi karena beragama lain akhirnya mereka disergap dan ditawan oleh Sultan Aceh. Tahun 1544 misi penyebaran agama Katolik di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, sedangkan Manado, Sulawesi Utara baru didatangi para Misionaris lesuit pada tahun 1563. Penyebaran agama Katolik di Pulau Kalimantan dimulai di hulu Sungai Barito, sejak misionaris tersebut meninggal pada tahun 1693 missi tersebut tidak ada yang melanjutkan.

Sedangkan di Pulau Timor dan Flores, missi penyebaran agama Katolik sukses dilakukan oleh Pastur-Pastur dari Ordo Dominikan walaupun ditentang oleh penduduk yang beragama lain. Gereja Katolik pun berdiri di Larantuka dan Maumere/ Shika. Missi penyebaran agama Katolik di Papua dimulai tahun 1850. Selama 200 tahun VOC tidak mengijinkan misionaris masuk ke Indonesia, hal ini menjadikan terhentinya missi Katolik di Indonesia, selain karena jumlah misionaris yang terbatas juga rintangan dari penduduk. Baru pada masa pemerintahan Daendels tahun 1808-1811, mereka diperbolehkan masuk kembali ke Indonesia.

Pada tahun 1914 penyebaran agama Katolik mulai berkembang di Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Sedangkan tahun 1897 misionaris mulai pergi ke Muntilan dan Mendut, sejak itu dimulailah penyebaran agama Katolik di desa - desa sekitar Muntilan, Jawa Tengah. Sedangkan tempat ibadah dan ziarah umat Katolik di Sendangsono tersebut dibangun bertahap pada tahun 1974, arsitekturnya karya budayawan dan rohaniawan YB Mangunwijaya, bangunannya bernuansa Jawa dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan hasil alam. Pada tahun 1991 komplek bangunan di Sendangsono telah mendapatkan penghargaan arsitektur terbaik dari Ikatan Arsitek Indonesia untuk kategori kelompok bangunan khusus.


Yogyakarta, 1 Januari 2015



Kebetulan saya sangat menyukai bangunan dengan arsitektur yang unik, bagiku arsitektur itu adalah sebuah karya seni, dan kebetulan dulunya cita-cita saya memang ingin menjadi Arsitek untuk bisa menciptakan karya seni yang indah dalam bentuk bangunan, sebelum akhirnya saya menjadi seorang dokter hewan untuk konservasi satwa liar di habitat. Pergi berwisata ke Sendangsono tentu menarik buatku, selain untuk mengenal salah satu tempat bersejarah di Indonesia, juga bisa menikmati keindahan karya seni arsitektur yang tentunya menarik perhatianku.



Rabu, 17 Desember 2014

Mengunjungi Raptor Sanctuary di Taman Nasional Gunung Halimun Salak



Raptor Sanctuary, Gunung Halimun Salak National Park

Selesai mengikuti Indonesian Tiger Conference (ITC) di Bogor Jawa Barat, pada tanggal 16 Desember 2014 saya ditawari oleh teman-teman Suaka Elang untuk ikut kegiatan mereka mengunjungi lokasi Raptor Sanctuary di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Raptor Sanctuary tersebut dibangun sebagai upaya untuk penyelamatan dan pelepasliaran raptor (burung pemangsa) terancam punah seperti Elang Jawa dan burung pemangsa jenis lainnya dari hasil penyitaan dan penyerahan masyarakat sesuai standar IUCN dan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, serta melakukan upaya penyadartahuan masyarakat melalui kegiatan pendidikan lingkungan dan ekowisata terbatas berbasis burung pemangsa.


bersama teman-teman Suaka Elang
Lokasinya tak jauh dari Kota Bogor. Kami pergi ke lokasi tersebut berlima, selain dengan teman-teman Suaka Elang juga dengan teman lama saya, drh. Dian Tresno Wikanti, yakni seorang dokter hewan spesialis raptor (burung pemangsa). Dokter hewan yang satu ini mempunyai pengalaman panjang dalam menangani berbagai jenis burung elang terancam punah di berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan ini mempertemukan saya kembali dengannya. 

Kebetulan saya tidak mempunyai banyak pengalaman menangani burung elang, meskipun sebelumnya saya juga pernah bekerja untuk menangani raptor seperti Elang Laut perut putih, Elang Ular bido, Elang Brontok dan lain-lain di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Petungsewu di Malang Jawa Timur, mungkin ini juga karena saya lebih tertarik dengan satwa predator golongan mammalia besar dibanding aves, sehingga tak pernah berminat belajar tentang spesies ini. 

Kesempatan kali ini saya manfaatkan untuk melihat-lihat dan belajar penanganan medis elang selama masa karantina dan rehabilitasi sebelum dilepasliarkan kembali ke habitatnya meski waktunya terbatas hanya sehari. Menurutku ilmu apapun itu sangat berharga dan akan sangat bermanfaat, meski saat ini saya belum membutuhkannya, tapi mungkin suatu saat nanti saya akan membutuhkannya, atau mungkin orang lain yang ada disekitar saya yang membutuhkannya. Jadi menurutku saat itulah waktu yang tepat untuk belajar elang pada orang yang tepat dan di tempat yang tepat.

Raptor Sanctuary, Gunung Halimun Salak National Park

Siang itu, tanggal 16 Desember 2014 pukul 11.08 WIB, kami tiba di lokasi Raptor Sanctuary di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dari jauh tampak pemandangan perbukitan hijau yang indah. Setelah sekian tahun lamanya akhirnya saya bisa melihat kembali hutan di Pulau Jawa. Tak lupa juga dengan kebiasaan saya untuk berkeliling melihat-lihat dan memotret pemandangan yang ada di sekitar.

Kegiatan pemeriksaan medis untuk elang dimulai dari kandang karantina terlebih dahulu, baru dilanjutkan pada elang-elang yang ada di kandang rehabilitasi. Spesies elang yang diperiksa adalah Elang Ular bido (Spilornis cheela), Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). 

Penanganan medis untuk raptor yang dilakukan sebagai berikut :

1
Penimbangan berat badan
 

2
Morfometri (pengukuran panjang tubuh, lebar tubuh bagian dada, panjang kepala, panjang sayap, lebar kaki, panjang cengkraman kaki, panjang paruh, lebar paruh, tinggi paruh)
 

3
Pemeriksaan rongga mulut
 

4
Pemeriksaan bulu primer, bulu sekunder dan bulu ekor
 

5
Pemeriksaan mata
 

6
Pemeriksaan telapak kaki (apakah ada bumblefoot)
 

7
Koleksi sampel darah
Sampel darah untuk pemeriksaan DNA dan serologi terutama untuk mendeteksi adanya penyakit Avian Influensa (flu burung) dan Newcastle Diseases (ND).

Swab rongga mulut dan swab cloaca.
 

8
Penyuntikan anti parasit
 

9
Pemeriksaan kondisi tubuh :
body condition index
kondisi fisiologi
 



10
Sexing
 



Selain pemeriksaan medis, saya juga belajar tentang cara handling elang yang benar. Oya, elang yang akan dilepasliarkan telah diberi tagging / ring untuk penandaan individu sehingga nantinya individu elang yang dilepasliarkan akan dapat diidentifikasi dengan mudah.

Elang jawa (Spizaetus bartelsi)
Populasi elang di alam liar terancam dengan masih adanya perburuan liar dan perdagangan illegal. Di Indonesia maraknya perburuan elang seiring dengan munculnya para penghobby pemelihara elang untuk kesenangan manusia. Ironisnya lagi para penghobby tersebut seringkali membuat komunitas dengan mengatasnamakan penyayang binatang dengan kedok konservasi elang. Mungkin anda pernah melihat komunitas-komunitas seperti itu di sekitar anda ? Elang adalah salah satu satwa liar yang sudah dilindungi oleh UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena statusnya terancam punah sebagai akibat adanya aktifitas perburuan liar dan perdagangan illegal. 

Mengambil (berburu) satwa liar dari hutan jauh lebih mudah daripada pelepasliaran kembali satwa liar ke habitatnya, begitu juga dengan elang. Orang sangat mudah untuk mengambilnya di hutan, namun pada saat ingin dikembalikan lagi ke hutan perlu proses yang panjang dan lama, bahkan waktu yang diperlukan bisa mencapai dua tahun tiap individu, dan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit pada setiap prosesnya, sungguh tak sebanding dengan harga jualnya di pasar gelap. Ini artinya 'merusak' alam jauh lebih mudah dilakukan daripada 'memperbaiki'. Seandainya itu disadari oleh banyak orang terutama para penghobby yang memelihara elang hanya sekedar untuk hiburan bahwa tindakan mereka telah mendorong adanya perburuan liar dan perdagangan illegal, dan tanpa mereka sadari efek samping terburuk adalah tindakan mereka itu telah merusak ekosistem.


Raptor Sanctuary - Bogor Jawa Barat
Prosedur pelepasliaran satwa sesuai dengan panduan yang diterbitkan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) beberapa proses yang musti dijalani oleh satwa yang akan dilepasliarkan adalah 1. Dinyatakan kondisinya sehat dari hasil pemeriksaan kesehatan oleh dokter hewan, hal ini diperlukan untuk mencegah penularan penyakit berbahaya kepada individu elang lainnya ataupun satwa liar lainnya; 2. Rehabilitasi guna menumbuhkan perilaku alaminya seperti berburu mangsa dan belajar terbang; 3. Lolos dari proses habituasi di lokasi pelepasliaran. Bila elang sudah lolos dari pemeriksaan medis dan perilaku maka akan layak untuk dilepasliarkan. Sedangkan kriteria lokasi yang ideal sebagai tempat pelepasliaran elang adalah habitatnya sesuai untuk tempat hidup elang, tingkat kepadatan populasi jenis elang tersebut tidak terlalu tinggi, dan lokasinya aman dari perburuan liar.

Beberapa lokasi untuk rehabilitasi elang di Indonesia diantaranya adalah Raptor Sanctuary yang terletak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat; Pusat Rehabilitasi Elang di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut, Jawa Barat; Pusat Penyelamatan Satwa Kotok, Kepulauan Seribu; Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi Jawa Barat; Pusat Penyelamatan Satwa Gadog/ Animal Sanctuary Trust Indonesia, Bogor, Jawa Barat, dan lainnya.

Minggu, 30 November 2014

Dragonfly at the Seblat Elephant Conservation Center


Dragonfly




Some snapshots that have taken from my trip to the Sumatran rainforest in conservation areas of Elephant Conservation Center (ECC) in Seblat North Bengkulu. In November 2014 I joined with a patrol team for one week to protect sumatran elephant's habitat in the conservation forest of Seblat ECC. And spent my free time took picture of dragonflies at around of our tent at several locations to identify species of dragonfly there, and this is the result :

 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014

 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Cawang, on November 25th. 2014
 
Location : Air Senaba, on November 29th. 2014
Location : Air Sabai, on November 27th. 2014

Location : Air Cawang, on November 25th. 2014

Minggu, 23 November 2014

Temukan berbagai jenis dan perilaku serangga hutan dengan bidikan camera !


Berjalan-jalan ke hutan adalah salah satu hal yang sangat aku sukai hingga kini. Apalagi sambil berburu photo binatang liar. Hutan merupakan tempat hidup berbagai jenis satwa liar dari yang berukuran kecil sampai besar. Bahkan dalam satu batang pohon saja terdapat puluhan makhluk hidup sebagai penghuninya, dari mulai serangga, reptil, burung bahkan primata. Bisa dibayangkan bila kita menebang satu pohon saja, sudah berapa banyak makhluk hidup yang kehilangan tempat tinggal ? Dan bila hutan ditebang habis ataupun dibakar ratusan hektar, berapa juta makhluk hidup yang akan hilang dan mati ? 

Bagi orang yang jeli mengamati sekitarnya pasti akan sering menemukan obyek-obyek menarik disekitarnya untuk dipotret. Dan seringkali menemukan binatang-binatang yang bentuknya aneh dengan berbagai macam warna, bahkan mungkin tidak pernah menjumpai itu sebelumnya. 

Wildlife Photography tidak hanya menunjukkan tentang seni memotret saja, namum lebih banyak berperan untuk edukasi, karena bisa mengungkap berbagai jenis binatang yang mungkin belum pernah dijumpai sebelumnya, terutama binatang kecil seperti serangga (insekta) yang jenisnya begitu banyak. Seseorang yang punya hobby memotret hidupan liar terus-menerus akan belajar dari obyek barunya. Tidak hanya untuk inventarisasi dan identifikasi, tapi juga dapat mengungkap perilaku alami binatang liar, perilaku makan, reproduksi dan lain-lain, yang terkadang kita sendiri tak pernah tahu tentang itu sebelumnya. 

Kegiatan seperti ini juga menarik bagi orang yang punya hobby petualangan di alam bebas. Berhasil memotret binatang yang belum pernah dijumpai adalah suatu kebanggaan, apalagi bila menemukan hal yang baru. Selain itu semakin sulit mendekati obyek, justru menjadi tantangan tersendiri. dan itu sangat menarik dan semakin membuat penasaran.

Beberapa hari ini aku menelusuri jalan setapak di hutan belakang camp kami. Dalam beberapa menit saja telah menemukan banyak jenis serangga. Setiap kali perjalanan selalu menemukan jenis binatang baru. Aku tidak tahu nama binatang ini karena baru pertama kali juga melihatnya. Apakah anda pernah melihatnya dan tahu nama jenisnya ?