Senin, 13 Juni 2016

Mengisi waktu menjelajahi hutan konservasi TWA Seblat


Ada empat ekor gajah di Pusat Konservasi Gajah Seblat yang menjadi fokus saya untuk disembuhkan, dan sekarang kondisi mereka sudah tidak perlu dikhawatirkan, berangsur-angsur satu persatu sudah membaik setelah pengobatan dan perlakuan khusus, sehingga tak banyak aktivitas yang bisa kulakukan kecuali bekerja menyelesaikan laporan dan membuat beberapa rencana kerja, dan semua dikerjakan di depan komputer yang hanya bisa dilakukan saat listrik dari genset dan solar panel dinyalakan. Tentu membuatku bosan dan tak banyak bergerak, hanya duduk diam di dalam ruangan. Hari itu para mahout (perawat gajah) akan memancing di sungai-sungai dalam hutan untuk mengisi waktu di bulan puasa Ramadhan, mereka berjumlah 9 orang. Saya pikir perlu sedikit berolahraga sehingga saya berniat untuk ikut mereka. Saya segera berganti baju lapangan, sepatuku yang masih basah karena baru dicuci tak perlu lagi menunggu kering untuk bisa dipakai, toh nantinya saya juga akan berjalan-jalan di dalam rawa dan sungai. Saya tidak akan ikut memancing, saya hanya ingin berjalan-jalan ke dalam hutan, mungkin akan menemukan obyek bagus untuk bisa dipotret, karena saya memang menyukai photography.  

TWA Seblat terlihat dari pinggir hutan

Taman Wisata Alam Seblat, Minggu, 12 Juni 2016, waktu menunjukkan pukul 07.45 WIB, tujuh orang mahout telah berangkat masuk ke hutan dan sudah tak terlihat. Saya berjalan kaki menyusul dibelakang mereka, dan ternyata masih ada dua orang lagi yang menyusul kami. Dalam perjalanan terlihat seekor induk siamang bersama anaknya sedang bergelayutan di atas kepala kami, dan akupun gagal memotretnya karena pergerakan mereka sangat cepat. Kami berjalan beriring-iringan di dalam hutan, sambil mencari jalan setapak menuju sungai, namun jalan yang diharapkan tidak ditemukan mungkin sudah terlalu lama tidak pernah dilewati sehingga tertutup lagi oleh semak belukar. Beberapa tahun yang lalu saya pernah melewati jalan itu sendirian di sore hari, jalan setapak masih bisa terlihat jelas, namun kali ini sama sekali tak terlihat ataukah kami yang salah jalan. Yang jelas akhirnya kami berjalan tak tentu arah dan terpisah satu sama lain, ada yang kembali ke arah camp lagi dan saya bersama mahout lainnya bisa menemukan sungai meski terlebih dulu harus naik turun tebing beberapa kali dan melewati rawa berlumpur, bahkan sepatuku nyaris tertinggal terbenam lumpur saat mengangkat kaki.

Pacet yang mengigit dan menghisap darah di kakiku
Sesampainya di Sungai Senaba, satu persatu sudah mencari lokasi sendiri-sendiri untuk memancing, kecuali saya yang memilih berjalan sendiri mencari obyek yang menarik untuk difoto, sesekali saya juga memotret mereka yang sedang memancing ikan dari kejauhan. Kadang saya berjalan menyusuri sungai, kadang juga melewati hutan yang lembab dan basah. Bisa dibayangkan entah berapa puluh pacet yang menempel di tubuhku dan mengisap darahku, sudah tak kupedulikan lagi. Resiko melewati daerah yang lembab di dalam hutan akan bertemu banyak pacet. Berjalan sendirian juga beresiko salah arah, dan tanpa terasa saya terus berjalan menjauhi sungai, kemudian menyadarkanku bila diteruskan pasti akan tersesat dan akan kesulitan menemukan jalan untuk keluar hutan, karena memang tidak ada jalan setapak yang terlihat jelas. Saya kembali mencari sungai untuk bisa menemukan kawan-kawan lainnya.

Dalam perjalanan saya menemukan sekitar lima bekas lokasi orang bermalam di hutan. Mereka membuat tenda di pinggir sungai, di sepanjang jalan yang saya lewati. Tidak terlihat ada bekas illegal logging di sekitar sana, kemungkinan penduduk lokal / penduduk asli yang mencari kabau dan ikan, karena dijumpai banyak bekas kulit kabau (biji-bijian hutan yang bisa dikonsumsi) di sekitar lokasi serta bekas membuat salai ikan / ikan asap. Saat itu saya juga mendengar suara kijang yang terus berbunyi dari kejauhan. Saya juga menemukan feces rusa sambar yang masih segar serta jejak kakinya di sekitar sungai. Menurut perkiraan saya rusa sambar tersebut berukuran sebesar sapi lokal dilihat dari ukuran feces dan jejak kaki yang ditinggalkannya. 

Ikan sungai hasil memancing
Hari sudah siang, waktu sudah menunjukkan pukul 1 lebih, kami memutuskan untuk kembali ke camp sambil membawa ikan hasil memancing. Ada perbedaan pendapat diantara kami kemana arah jalan pulang. Perjalanan kembali ke camp terasa sangat jauh karena kami sambil menebak-nebak mencari mana arah yang benar. Tanpa ada GPS, hanya mengandalkan arah matahari dan ingatan. Beberapa lokasi ada yang diingat ada yang tidak. Berbeda dengan mencari alamat di dalam kota, tinggal menyebutkan nama jalan, nomor yang dituju atau tanda-tanda lain disekitarnya maka lokasi yang dicari bisa ditemukan. Namun bila mencari lokasi di dalam hutan bila tanpa menggunakan GPS atau titik koordinat, hanya bisa mengandalkan ingatan seperti, "diatas sana nanti ketemu jalan setapak" atau "disini dulu aku mendengar suara harimau" atau "disitu nanti ada rawa yang banyak pandannya".......

Perjalanan pulang pun ternyata tidak lancar, karena kami masih juga berputar-putar tak tentu arah. Meski saya sendiri masih bisa ingat bahwa jalan setapak yang kami lalui dulunya sering kulewati juga bersama gajah-gajah bila perjalanan pulang dari Senaba Alang-Alang menuju Senaba Suharto, dan saya pun masih ingat bahwa punggungan bukit tersebut termasuk salah satu  jalan setapak favoritku karena sejuk dengan kiri kanan jurang dengan pohon-pohon tertata rapi secara alami. Tempat-tempat di hutan ini terutama yang pernah kami pakai untuk berkemah serta jalan-jalan setapak yang pernah kami lalui sudah ada namanya masing-masing, dan nama-nama itu hanya kami yang tahu karena yang menciptakan nama itu. Di jalan setapak itu kami menemukan jejak seekor gajah, dan kami semua bisa langsung menduga pasti itu jejak kaki gajah Nelson, hanya yang jadi masalah kearah mana kami harus menuju camp. Beberapa mahout menuju arah yang salah dan menjauhi camp, sedangkan kami hanya bisa menerka-nerka arah yang benar berdasarkan melihat arah matahari. Kamipun mengikuti jejak kaki gajah tersebut akhirnya sampai juga ke jalan bekas logging yang mengarah ke camp gajah Seblat. Perjalanan kembali pulang itu terasa sangat jauh, bahkan untuk mengangkat kaki saja terasa berat, belum lagi harus berjalan melewati resam (pohon pakis), hal yang paling tidak saya sukai bila berjalan di hutan harus menembus rimbunan resam yang kadang membuat kaki kami tersangkut. Pukul 14.30 WIB, saya dan teman-teman mahout baru sampai di camp gajah. Dan inilah hasil photo yang saya dapatkan selama perjalahan :

Tropical rainforest of Sumatra













































Selasa, 07 Juni 2016

Beruang madu JONY dan Harimau sumatera GIRING - Strategi Translokasi Satwa yang Berbeda


Strategi dalam persiapan dan proses akan berpengaruh terhadap hasil yang diinginkan. Begitulah, saat kita berpikir tentang memperbaiki nasib satwa liar untuk menentukan masa depannya. Tanpa diimbangi strategi yang baik dan hanya berambisi ingin mewujudkan keinginan dengan menghalalkan segala cara akan sangat berpengaruh terhadap proses dan hasilnya.


Masih ingat Beruang madu bernama Jony ?

Beruang madu JONY di kantor BKSDA Bengkulu
Jony adalah seekor beruang madu, berjenis kelamin jantan yang dievakuasi dari pemeliharaan masyarakat secara illegal di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Beruang madu (Helarctos malayanus) adalah salah satu satwa liar terancam punah yang dilindungi Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sehingga dilarang dipelihara oleh masyarakat. Jony merupakan beruang madu tangkapan dari alam. Sudah 4 (empat) tahun Jony dirawat di kantor BKSDA Bengkulu dalam kandang perangkap (box trap) ukuran 1m x 2m x 1m tanpa ada keputusan yang jelas tentang masa depannya dari para pengambil kebijakan. Meskipun makanan cukup terjamin dan diberi enrichment namun perawatan dalam kandang sempit seperti itu bukanlah tempat yang layak bagi seekor beruang dewasa.

Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yakni Centre for Orangutan Protection (COP) melihat kondisi tersebut merasa tergerak hati untuk membantu agar nasib beruang jauh lebih baik. Mereka mulai mengumpulkan informasi detail dan dokumentasi tentang beruang tersebut, melakukan komunikasi rutin dengan pihak-pihak terkait dalam hal ini BKSDA Bengkulu dan pihak ketiga yang memungkinkan untuk dijadikan tempat rehabilitasi beruang madu di Sumatera. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar beruang tersebut bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya, dan bila hal itupun tidak memungkinkan maka beruang madu akan berada di sanctuary beruang yang berada di habitatnya di Sumatera dengan kondisi yang lebih layak.

Translokasi Beruang madu JONY dilakukan oleh Tim
gabungan dari COP, BKSDA Bengkulu, Kelaweit
Usaha yang dilakukan tidak cukup hanya sampai disitu, mereka juga melakukan fund-raising (penggalangan dana) guna membantu proses translokasi sehingga tujuan yang diinginkan bisa tercapai, karena pihak ketiga tidak memiliki dana untuk membangun fasilitas tambahan untuk rehabilitasi beruang tersebut, tetapi mereka menyediakan hutan sebagai tempat rehabilitasi. Penggalangan dana dilakukan untuk membantu BKSDA Bengkulu dalam translokasi beruang dari Provinsi Bengkulu ke Provinsi Sumatera Barat, dan membantu pembangunan fasilitas untuk rehabilitasi beruang madu di lokasi tujuan. Perencanaan yang matang sangat berpengaruh terhadap proses pelaksanaan kegiatan, yang terdiri dari beberapa tahap, yakni tahap pertama mengumpulkan data tentang kondisi beruang saat berada di BKSDA Bengkulu yang akan menjadi alasan kuat kenapa beruang perlu ditranslokasi, hal ini COP melakukan komunikasi rutin dengan BKSDA Bengkulu; tahap kedua mengirimkan surat pemberitahuan bahwa COP siap membantu beruang madu di BKSDA Bengkulu untuk ditranslokasi guna pelepasliaran kembali ke habitatnya kepada Ditjen PHKA, Sekditjen PHKA, Direktur KKH serta BKSDA Bengkulu; setelah surat mendapat dukungan maka tahap ketiga COP aktif komunikasi dengan pihak ketiga sebagai calon tempat rehabilitasi, karena pihak ketiga tersebut baru dapat membantu untuk rehabilitasi beruang dengan syarat dibangunkan fasilitas, maka tahap keempat COP menghubungi pihak donor yang akan melakukan fund-raising guna mengumpulkan dana untuk membiayai translokasi dan pembangunan fasilitas rehabilitasi beuang. 

Sebelumnya telah ada tulisan juga yang membahas tentang beruang tersebut di media sosial yang dibuat oleh orang asing yang isinya hanya menekan pemerintah agar memberikan fasilitas yang layak, namun kenapa tidak direspon oleh pihak-pihak terkait karena strategi yang dilakukan kurang tepat. Hanya menekan saja tanpa ada komunikasi yang baik dengan pihak-pihak terkait akhirnya pun tidak ada hasilnya.

Beruang madu JONY tiba di lokasi rehabilitasi di Solok, Sumatera Barat
Tahap selanjutnya memprediksi waktu persiapan dan kegiatan, yakni berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penggalangan dana, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan fasilitas rehabilitasi dan setelah itu bisa menentukan kapan beruang harus ditranslokasi. Setelah semua dilakukan, COP melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk proses translokasi beruang yakni dengan BKSDA Bengkulu, pihak ketiga sebagai tempat rehabilitasi dan BKSDA Sumatera Barat sebagai otoritas setempat. Akhirnya translokasi beruang pun bisa dilakukan dengan baik tanpa kendala pada tanggal 15 Desember 2013 dengan melibatkan tim Ape Warrior dari Centre for Orangutan Protection (COP), tim BKSDA Bengkulu, tim BKSDA Sumatera Barat dan Tim Kalaweit. Dan semua pihak merasa happy dengan apa yang dilakukan tersebut demi masa depan beruang yang lebih baik, dan yang terpenting beruang bisa dikembalikan ke hutan sebagai rumah terbaik untuk satwa liar.


Dan bagaimana kisah dibalik translokasi Harimau sumatera bernama Giring ?

Harimau sumatera bernama Giring, yang sebelumnya saya beri nama Dang karena homerange-nya di kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu, dan 'Dang' adalah nama panggilan khas Bengkulu untuk anak pertama. Ah...sudahlah, saat ini saya tidak ingin membahas nama harimau yang kami berikan tapi ingin membahas soal translokasi harimau.

TWA Seblat lokasi perawatan sementara harimau Giring
Harimau Giring ditranslokasi pada tanggal 5 - 6 Juni 2016, dari kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara ke Taman Safari Indonesia (TSI) di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Kenapa itu bisa terjadi ? Tahukah anda tentang Lembaga Swadaya Masyarakat Scorpion di Indonesia ? Saya sendiri setelah berkecimpung sebagai relawan untuk konservasi satwa liar di Indonesia sejak masih mahasiswa dan mengawali karir dengan bekerja untuk konservasi berbagai jenis satwa liar terancam punah sejak tahun 2002 belum pernah mendengar organisasi ini yang ternyata juga bekerja untuk konservasi satwa liar. Mungkin ini organisasi baru, atau mungkin saya saja yang kuper (kurang pergaulan) dan baru mengetahuinya meski di dunia konservasi sebenarnya kami memiliki link yang kuat antar lembaga yang bergerak di bidang yang sama, biasanya saling mengenali dan kadang bekerjasama satu sama lain di seluruh pelosok Indonesia, bahkan yang ada di negara lain sekalipun. Heran juga, mengapa saya tidak mengenalinya. 

Menuju lokasi perawatan harimau Giring di hutan TWA Seblat
Tahun 2015 saya baru tahu bila di Indonesia ada organisasi tersebut, dan mereka menunjukkan diri bahwa sangat peduli terhadap konservasi satwa liar. Itu pun tahunya bukan karena kami pernah berkomunikasi atau bekerjasama, tapi karena secara tidak sengaja, saat itu saya baru saja melakukan pemeriksaan dua ekor harimau sumatera, yang satu harus dioperasi karena ada pembengkakan di tubuh bagian belakang dan yang satu lagi pemeriksaan kesehatan ulang karena sebelumnya menderita luka infeksi pada rongga mulut dan dermatitis serta diperlukan pengambilan sampel darah untuk kontrol penyakit protozoa darah yang merupakan bawaan dari liar. Kebetulan ada Tim Peneliti Harimau Sumatera dari WWF dan Virginia Tech serta ada Dokter Hewan baru dari Universitas Airlangga yang ingin belajar pembiusan dan penanganan kucing besar maka waktunya saya buat bersamaan, disaat kami perlu memeriksa dan mengobati harimau, maka mereka bisa melihat dan belajar, sehingga harimau tidak diberi perlakukan dua kali untuk tujuan berbeda. Ini juga salah satu cara untuk meminimalkan stress karena handling untuk pengobatan. Bagaimana pun itu adalah harimau liar yang tidak biasa kontak dengan manusia, perlakuan yang diberikan pun harus menyesuaikan behaviornya.

Kandang perawatan harimau Giring selama di TWA Seblat
Beberapa hari kemudian saya mendapat email dari seseorang yakni warga negara asing yang membawa nama Scorpion, dan dalam satu hari saya bisa menerima email beberapa kali darinya yang isinya tentu menguji kesabaranku. Tidak perlu saya sebutkan disini isinya seperti apa. Email tersebut tidak hanya dikirimkan kepada saya tetapi juga dishare ke banyak lembaga di seluruh dunia, yang tentunya isi email tersebut adalah pendapat pribadi mengenai perlakuan terhadap harimau yang kami rawat hanya berdasarkan dugaan, karena mereka tidak mengetahui fakta yang sebenarnya, baik kondisi maupun permasalahannya. Hanya men-justifikasi berdasarkan dugaan dan menginterpretasikan berdasarkan asumsi pribadi tanpa cross check dengan pihak-pihak terkait yang berkompeten dan yang terlibat dalam perawatan satwa. Suatu hari KLHK mendapat surat dari Born Free USA, yang mengkritik tentang perawatan harimau Giring, karena mereka mendapat informasi dari orang yang sering mengirimiku email, mengintimidasiku dan membuat berita tanpa dasar. Born free pun ikut menekan kami. Saya pribadi tidak mau menanggapinya bukan karena diintimidasi setiap hari, tetapi karena berita yang disebarluaskan tersebut tidak berdasar, dan mereka tidak mencari tahu permasalahan yang sebenarnya. Kami sering bekerjasama dengan banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik yang ada di dalam maupun di luar negeri untuk memperbaiki kondisi satwa liar seperti beruang madu, siamang, kukang, gajah, harimau dan satwa liar lainnya di Provinsi Bengkulu dan berhasil sesuai tujuan semula, tetapi dengan cara yang baik dan beretika, bukan dengan cara tuduhan tanpa cross check untuk merealisasikan ambisius sekelompok orang yang menghalalkan segala cara agar dilihat publik telah peduli dengan satwa liar.  

Sebenarnya kami tidak ingin membanding-bandingkan cara kerja lembaga yang satu dengan lainnya dalam membantu translokasi satwa liar, namun saya pikir perlu juga diungkap agar kita mengetahui perbedaan hasilnya dari berbagai strategi yang digunakan. Sebagai contoh untuk mewujudkan translokasi beruang madu dan siamang maka strategi yang dipakai oleh LSM COP seperti yang telah saya sebutkan diatas, begitu juga strategi yang dipakai oleh organisasi Internasional yang membantu translokasi gajah sumatera, mereka (Asian Elephant Support) melakukan tahapan-tahapan seperti yang dilakukan oleh COP, dan akhirnya gajah berhasil dipindahkan ke lokasi/ hutan yang diinginkan ke Provinsi Bengkulu, begitu juga dengan kukang korban perdagangan illegal yang telah ditranslokasi ke Provinsi Bengkulu dan kini telah menikmati kebebasannya di alam liar dengan bantuan Animals Indonesia di kawasan konservasi TWA Bukit Kaba.

Tahun 2016 ada dua berita direlease oleh media online yang ada di Indonesia, lagi-lagi tentang harimau Giring. Disana disebutkan tanggal berapa melakukan investigasi ke lokasi berdasarkan pengakuan narasumber di berita tersebut. Membaca itu hanya membuatku tersenyum, karena pada kenyataannya tidak pernah ada orang dari lembaga tersebut (Scorpion) yang penah datang ke lokasi, melihat langsung lokasi perawatan harimau, mengetahui bagaimana perawatan harimau Giring, bahkan ukuran kandangnya pun tidak tahu, dan tidak pernah bertanya sekalipun tentang hal-hal detail yang berhubungan dengan harimau Giring kepada pihak-pihak terkait dan perawat satwa harimau. 

Dan yang paling aneh adalah mereka menyebutkan waktu investigasi di media disaat saya dan mahasiswa saya dari Fakultas Kedokteran Hewan atau pun tim saya sedang berada di lokasi/ di hutan tempat Giring dirawat sehingga kami tahu benar adakah orang yang datang kesana atau tidak atau siapa saja yang ada di hutan untuk melihat harimau Giring, kenyataannya tidak ada. Banyak pertanyaan menggelitik di benak saya saat itu, seperti :
  • Bagaimana bisa sebuah media me-release berita tanpa dasar yang akurat ? (Saya kebetulan mengenal banyak media lokal, nasional maupun internasional yang sering liputan tentang satwa liar di Bengkulu, tapi mereka semua melalui prosedur yang benar, dengan perijinan yang legal untuk memasuki kawasan konservasi dan menggunakan data yang akurat serta berkomunikasi dengan para narasumber yang bisa dipertanggungjawabkan)
  • Bagaimana bisa seseorang dari sebuah lembaga bisa menjadi narasumber meski pada kenyataannya tidak pernah tahu menahu soal apa yang disampaikan ?
  • Bagaimana seseorang bisa menjadi narasumber sedangkan dia sendiri tidak paham dengan apa yang dikatakan dan tidak pernah bersentuhan langsung dengan obyek ?
  • Bagaimana bisa tulisan yang tidak akurat itu dijadikan rekomendasi beberapa pihak untuk menyurati KLHK guna menentukan nasib harimau agar lebih baik sedangkan kondisi yang sebenarnya mereka tidak tahu dan rencana-rencana kami untuk harimau itu kedepan mereka juga tidak tahu ?     
  • Bagaimana bisa tujuan yang ingin dicapai terwujud bila strategi yang digunakan hanya menyerang, menekan, mengintimidasi pihak lain tapi tanpa mau berbuat dan mendukung secara langsung ? (kami menyebutnya ''Talk only no action" hanya agar dilihat publik seolah-olah peduli dengan satwa liar). Dan masih banyak hal lain yang sebenarnya ingin kupertanyakan.

Orang-orang yang telah membantu harimau kami secara langsung sejak evakuasi hingga perawatan baik yang individu maupun lembaga saja tidak pernah sibuk mempublikasikan diri-sendiri dan bicara kesana kemari untuk menunjukkan bahwa sudah berkonstribusi terhadap harimau sumatera seperti LSM Animals Indonesia, sekelompok Mahasiswa Universitas Udayana Bali, Yayasan Arsari, teman-teman dari ASTI, beberapa orang anggota Forum HarimauKita, PHS (Tiger Protection and Conservation Unit), serta teman dari GIZ dan lain-lain, karena mereka membantu dengan tulus untuk satwa liar tanpa ambisi dan tanpa ada kepentingan apapun. Nah, ini sebuah lembaga yang tiba-tiba muncul lalu sibuk membuat publikasi dirinya di media atau melalui media sosial dan mengirim email kesana kemari untuk memperlihatkan bahwa dia sangat peduli dan telah berkonstribusi untuk membantu memperjuangkan nasib harimau agar lebih baik namun tulisannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi tindakannya hanya sebatas itu, sangat berbeda dengan pihak lain bila sudah bersedia membantu maka akan membantu dengan sungguh-sungguh dari mulai perencanaan sampai tindakan dan sampai tujuan itu tercapai, apa yang tidak tersedia disediakan, apa yang menjadi kendala dicarikan solusi dengan menjalin komunikasi yang baik, semua demi kepentingan satwa liar yang akan dibantu.

Sehingga dalam menanggapi tekanan yang terus - menerus dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang cara kerjanya seperti itu untuk peduli dengan satwa, ya respon yang dilakukan beberapa pihak pun berbeda sesuai cara pandang masing-masing. Cara pandang kami sebagai dokter hewan bahwa merawat harimau yang perilakunya masih liar harus di habitat dengan lingkungan sekitarnya hutan agar tidak jauh berbeda dengan kondisi tempat hidup harimau itu sebelumnya, hal ini juga untuk meminimalkan stress, dibandingkan harus dirawat yang lingkungan sekitarnya bersinggungan langsung dengan aktivitas manusia. Untuk itu kenapa rekomendasi medis sejak awal pasca evakuasi bulan Februari 2015 dalam laporan tertulisnya pada pengambil kebijakan adalah ditranslokasi ke TWA Seblat, sebuah kawasan konservasi yang memiliki fasilitas perawatan harimau dengan kondisi hutan masih bagus, namun tetap pelaksanaannya tergantung pengambil keputusan dan ternyata baru disetujui dan diperintahkan untuk ditranslokasi ke TWA Seblat tanggal 28 Oktober 2015, cukup lama hanya untuk menunggu sebuah keputusan penting tidak hanya bagi kami perawatnya tetapi juga bagi kebaikan harimau. Dan saat itu kami tidak menyetujui dipindahkan ke kebun binatang dengan alasan seperti diatas, lingkungan terbaik bagi harimau liar adalah di hutan bukan di lembaga konservasi eksitu, dan untuk apa dipindahkan kesana hanya bersifat sementara lalu baru dipindahkan ke lokasi rehabilitasi yang berada di provinsi yang berbeda. Dalam hal ini cara pandang kami sebagai dokter hewan dengan para conservasionist lainnya agak sedikit berbeda, transportasi yang berulang-ulang antar provinsi untuk harimau liar tentu akan menimbulkan stress berulang kali, bila dokter hewan diberi otoritas maka rekomendasi kami adalah dari TWA Seblat dipindahkan ke lokasi release, toh selama perawatan di TWA Seblat perilaku normalnya masih bisa dipertahankan. Harimau dirawat dengan diisolasi untuk menghindari terlalu sering kontak langsung dengan manusia dengan tujuan agar tidak terjadi perubahan perilaku, serta memang harus diisolasi karena penyakit zoonosis yang dibawanya dari alam liar. Perawatan di TWA Seblat dan kebun binatang juga tidak jauh berbeda, hanya lokasinya yang berbeda yakni satu di hutan satunya di kota, ketersediaan pakan alami juga bisa dipenuhi sesuai dengan kebutuhannya, ada kontrol kesehatan rutin, ada strerilisasi kandang rutin serta pencegahan dan pengobatan penyakit parasiter rutin, kandang pun dilengkapi dengan enrichment untuk mengekspresikan perilaku alaminya, serta memiliki tim perawat satwa yang tetap, karena perubahan orang juga akan berpengaruh terhadap harimau liar karena bila harus berhadapan dengan orang-orang baru yang terus berganti akan mempengaruhi perilakunya.

Cara pandang birokrat akan berbeda karena pada dasarnya mereka tidak ingin diberitakan buruk, dengan atau pun tanpa tahu kondisi yang sebenarnya keputusan yang dikeluarkan pun atas kepentingan untuk menghentikan tekanan pihak-pihak yang katanya peduli. Meski pada kenyataannya mereka tidak pernah terlibat langsung membantu satwa harimau yang katanya diperjuangkan, tidak pernah tahu apa permasalahannya dan tidak terlibat dalam mencarikan solusi, dan tidak pernah mau tahu bagaimana proses translokasinya karena mereka hanya mau tahu bahwa keinginan ambisiusnya tercapai tanpa mau peduli dengan permasalahnnya. 

Monitoring vital signs selama perjalanan/ translokasi
Tanggal 5 Juni 2016
Sedangkan cara pandang pengambil keputusan yang mendapat tekanan dari atasannya adalah bagaimana cara harimau itu segera dipindahkan untuk meredam tuntutan, tanpa perencanaan yang jelas dan tanpa tujuan yang jelas, yang terpenting sudah keluar dari lokasi sebelumnya untuk membuktikan bahwa harimau telah ditranslokasi sesuai keinginan pihak-pihak tertentu. Menentukan nasib seekor harimau sumatera dengan cara serba mendadak dan tanpa dana. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. LSM yang mendesak pun tidak pernah muncul untuk mendukung, misalnya mencarikan solusi soal pendanaan translokasi, atau misalnya mencarikan dana untuk membangun fasilitas rehabilitasi di habitat aslinya agar harimau tidak terus-menerus dipindahkan keluar Provinsi Bengkulu disaat populasi harimau liar di Bengkulu pun semakin terus berkurang, atau berbuat apapun yang lebih nyata untuk kepentingan harimau. Mereka tidak pernah muncul untuk itu, kemampuannya hanya sebatas berkoar-koar di media, dan berharap harimau bisa pindah dengan sendirinya seperti main sulap dengan mantra yang diucapkan di media dan disebarluaskan ke banyak pihak. Dan apa hasilnya ? Akhirnya harimau berada di lokasi pihak-pihak yang peduli mengulurkan dana untuk membantu translokasi, disaat lokasi tempat rehabilitasi yang diinginkan pun menolak untuk membantu, dan LSM yang dengan ambisius menginginkan translokasi harimau Giring pun tidak pernah mengulurkan bantuan dalam bentuk apapun. Hal-hal seperti ini yang membuatku bisa menilai kinerja seseorang atau sebuah lembaga, dari sejauh mana keterlibatan mereka dalam upaya ini, tidak ada komunikasi yang baik dengan berbagai pihak, tidak ada solusi untuk pencarian dana guna translokasi dan bisa kita lihat bagaimana hasil akhirnya bila bekerja hanya bermodal berkoar-koar saja dengan koordinasi seperlunya serta lepas tangan untuk prosesnya. Dan paling parah adalah, kalau bisa saya ibaratkan seperti peribahasa "lempar batu sembunyi tangan", ya seperti itulah kenyataannya. 

Koleksi sampel darah harimau Giring tanggal 2 April 2015
Dalam Undang-Undang dokter hewan memang memiliki otoritas medis, namun di dunia nyata itu tidak pernah ada. Otoritas tetap berada di pimpinan tertinggi dengan jabatan tertinggi. Jadi, masalah kesehatan harimau itu bukan hal yang cocok untuk dijadikan dasar translokasi, karena harimau telah mendapatkan perawatan medis dan pengobatan. Bila hanya sekedar kontrol kesehatan bisa menggunakan sampel darah yang bisa dikirimkan ke laboratorium untuk diketahui hasilnya dan tak perlu lagi membawa harimaunya sekaligus kesana-kemari. Apakah untuk mendeteksi suatu penyakit dengan pemeriksaan laboratorium kita perlu membawa satwanya, tidak kan ? Alangkah repotnya bila itu dilakukan dan tentu akan mengeluarkan banyak biaya, biaya pengangkutan satwa dan biaya pemeriksaan laboratorium dan biaya pakan selama perjalanan. Cukup sampel apa yang diperlukan untuk deteksi penyakit, hasilnya sudah bisa diketahui. Mungkin cara pandang dokter hewan dengan conservasionist serta para birokrat agak sedikit berbeda dalam hal ini maka keputusan yang diambil pun berbeda.

"Satwa liar itu mahkluk hidup, yang hidupnya pun tidak mau dipermainkan seperti halnya manusia. Seyogyanya kita sebagai manusia yang diberi moral dan akal yang baik memperlakukan mereka tidak sebagai obyek semata, setiap tindakan harus direncanakan dengan baik, untuk hasil yang lebih baik bila menyangkut memperjuangkan nasibnya. Jangan mengatasnamakan satwa liar hanya untuk dilihat kita peduli, tapi sungguh-sungguh berbuatlah untuk mereka dengan tulus tanpa menghalalkan segala cara dan tanpa ada kepentingan apapun, berbuatlah sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada dan saling mendukung untuk tujuan yang sama. Dan hargailah orang-orang yang bekerja untuk satwa liar karena anda tidak akan pernah tahu apa yang telah dilakukannya, dikorbankannya dan diperjuangkannya demi satwa-satwa yang diselamatkannya dan dirawatnya"

Bloat pada Gajah Ucok


Gajah Ucok yang mengalami bloat, di PLG Seblat
Tanggal 29 Mei 2016, ada pergantian mahout (perawat) gajah Ucok. Saat itu gajah sudah terlihat sering mengejan, kesulitan buang kotoran, tampak lesu dan nafsu makan turun, namun belum dilaporkan ke dokter hewan oleh mahout kedua meskipun gejala klinis itu telah berlangsung selama dua hari.  

Lendir yang keluar dari anus saat gajah mengejan
Tanggal 31 Mei 2016, hari sudah menjelang gelap, tanpa sengaja saya mendapat informasi saat sedang ngobrol dengan mahout gajah lainnya yang kebetulan melihat kondisi gajah Ucok sore itu. Dia menjelaskan bahwa Ucok sore hari sudah posisi tidur rebah lateral, makanan yang diberikan untuk malam hari berupa tebu dan pelepah sawit masih utuh tak termakan, malah sekelompok monyet ekor panjang sibuk mencurinya. Saya tentu terkejut mendengar itu, karena hari itu saya telah bertemu dengan mahoutnya namun tidak pernah cerita sedikitpun tentang kondisi gajah Ucok saat dia berpamitan pulang pada kami sore itu. Mungkin karena bila dia melaporkan gajahnya sakit, kami akan mencegahnya pulang.  Seekor gajah yang tidur rebah lateral di sore hari menurutku itu diluar kebiasaan, dan saya menduga gajah tersebut punya masalah serius dengan kesehatannya apalagi makanannya pun tak disentuh, seharusnya gajah seperti Ucok sedang aktif makan diwaktu sore hari hingga malam. Mahasiswa Kedokteran Hewan yang sedang belajar di PLG Seblat juga menyampaikan pada saya bahwa mereka pernah melihat gajah Ucok mengejan saat akan buang kotoran. Kebetulan sebelumnya mereka telah mendapatkan pelajaran tentang cara mengetahui tanda-tanda seekor gajah itu dalam kondisi sehat ataupun tidak sehat, dan salah satu gejala klinis yang menunjukkan gajah itu sakit adalah terlihat mengejan/ kesulitan saat akan defekasi atau juga urinasi. Tanpa menunggu lama saya mengajak mahout itu menuju tempat Ucok untuk memeriksanya. Biasanya gajah Ucok agresif didatangi orang apalagi di sore hari seperti itu, namun kali ini dia tampak lemas dan tidak mau berjalan. Meskipun begitu, kami tetap berhati-hati saat mendekat. Makanan terlihat masih utuh. Saya memeriksa sekeliling tidak ditemukan bekas feces (kotoran) dikeluarkan. Dan saya memeriksa tubuhnya, sepertinya mengalami kembung (bloat). Saya mendapat informasi tambahan bahwa gajah itu sudah beberapa hari tidak bisa buang kotoran, sering mengejan dan yang keluar hanya lendir dilapisi darah.


Table 7.4. Signs of an Unhealthy Elephant
  • Listless, decreased movement, unusual behavior, exercise intolerance
  • Dull or sunken eyes, increased tear flow, thick discharge
  • Mucous membranes pale, muddy, bright red, or dry
  • Discharge from the trunk, coughing, abnormal respiratory sounds
  • Dry skin, loss of elasticity, wounds
  • Weight loss, sunken abdomen, prominent ribs (see body condition index)
  • Deceased appetite, anorexia
  • Change in urine or feces (amount, color); straining
  • Lameness
  • Obvious pain
  • Any unusual swelling or protrusion
Reference : "Biology, Medicine and Surgery of Elephants" by Murray E. Fowler and Susan K. Mikota


Saya meminta mahout untuk memindahkan gajah itu mendekati klinik agar bisa dimonitoring setiap waktu, karena bloat termasuk berbahaya dan bisa menyebabkan kematian mendadak bila tidak ditangani. Dan saya meminta mahasiswa kedokteran hewan untuk memindahkan makanannya mendekati gajah. Setelah lebih dari setahun saya dipindahkan ke Kantor Seksi Konservasi Wilayah I dengan pekerjaan baru yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kegiatan medis dan satwa, serta baru satu minggu ini saya ditugaskan kembali sebagai dokter hewan untuk menangani gajah-gajah di PLG Seblat setelah begitu banyak masalah kesehatan gajah terjadi. Saya memasuki ruang obat dan berusaha menemukan sisa obat-obatan yang bisa digunakan untuk pengobatan, sekian lama tidak bekerja lagi di tempat itu membuatku tidak begitu mengenali lagi persediaan obat-obatan apa yang tersedia, namun akhirnya hanya mendapatkan Antibloat, Antibiotik Long Acting, Flunixin meglumine dan Biodin / Biosolamine.

Terapi Gajah Ucok di PLG Seblat
Malam itu kami melakukan pengobatan, yakni melakukan rectal untuk mengeluarkan dan membersihkan kotoran, kami mencari orang diantara kami yang tangannya paling panjang. Tidak adanya peralatan kami memanfaatkan slang air minum untuk harimau yang dipotong, kami juga memasukkan air hangat dengan pelicin untuk membantu pengeluaran feces apabila ada feces yang sulit keluar. Agar ujung slang tidak melukai saluran cerna maka pada saat rectal ujungnya ditutup dengan genggaman telapak tangan. Kemudian memasukkan Antibloat per rectal karena untuk per oral tidak memungkinkan karena gajah sama sekali tidak mau makan dan minum. Dilanjutkan dengan penyuntikan Antibiotik LA, analgesik dan anti kolik, serta biodin. Gajah mulai bisa kentut dan mulai mau makan rumput (king grass) yang disediakan. Meskipun masih terlihat kembung.

Esok harinya dilakukan penyuntikan ulang analgesik karena gajah mulai tidak mau makan dan minum lagi. Dalam kondisi seperti itu tidak ada mahout gajah Ucok yang stand by di camp gajah di hutan, sehingga salah satu mahout akhirnya harus kembali dan menginap di camp bersama kami, dan membantu monitoring gajah Ucok siang dan malam. Saya meminta mahout untuk membawa gajah berjalan-jalan melewati jalan menanjak untuk merangsang kentut. Karena gajah tidak mau minum maka saya juga meminta mahout saat menyeberangi sungai Seblat melewati sungai yang agak dalam agar mulut terendam dan diharapkan air sungai akan masuk kedalam mulut dan meminumnya. Saya amati beberapa kali gajah merejan dan kesulitan untuk buang kotoran, meski saat directal tidak ditemukan adanya feces yang mengeras. Saluran pencernaan gajah bagian bawah yang terlalu dalam kemungkinan tangan tidak dapat menjangkaunya saat rectal. Setiap kali merejan yang keluar dari anus adalah lendir dilapisi darah. Hasil pemeriksaan sampel feces tidak ditemukan telur cacing, kemungkinan disebabkan oleh infeksi bakteri atau penyebab lainnya, untuk itu penyuntikan antibiotik diperlukan. Setelah penyuntikan analgesik gajah Ucok mau makan kembali namun tidak banyak, meskipun pakan yang diberikan cukup banyak dan bervariasi. Bagi saya, melihat hal itu berarti kondisi gajah belum membaik. Pengobatan yang diulang hanya pemberian antibiotik dan analgesik saja.

Tanggal 5 Juni 2016, Gajah Ucok belum bisa buang kotoran, bagi saya kondisinya masih mengkhawatirkan. Kami ingin melakukan rectal sekali lagi. Hari itu secara mendadak saya mendapat tugas ke Kota Bengkulu disaat kondisi gajah Ucok belum membaik, hanya untuk membantu Polisi Kehutanan melakukan penyitaan beruang madu, siamang dan burung elang dari kepemilikan illegal di masyarakat. Saya menolak untuk meninggalkan gajah tersebut dan pergi untuk membantu mereka, tetapi mereka tidak mau tahu dan saya harus ada saat mereka melakukan evakuasi satwa-satwa tersebut. Meskipun saya sedikit menggerutu kenapa orang tidak pernah tahu mana yang prioritas harus dilakukan dan mana yang masih bisa ditunda, tapi akhirnya dengan berat hati saya pergi juga. Saya berpikir untuk membuat pilihan cara yang tepat agar gajah Ucok bisa buang kotoran dan mengurangi kembung sehubungan dengan keterbatasan peralatan dan obat-obatan, saya berusaha mencari sesuatu di dapur camp kami kira-kira apa yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan. Tidak ada arang kayu yang bisa digunakan. Bila harimau mengalami kesulitan defekasi biasanya saya mengalirkan air hangat dan sabun untuk dimasukkan ke anusnya dan kemudian menyedotnya kembali dengan slang plastik dan syringe, sehingga feces bisa dikeluarkan dengan mudah dengan jari. Tapi sepertinya akan sulit bila dilakukan untuk gajah, karena akan kesulitan menyedot kembali cairan yang telah dimasukan sehubungan dengan anatomi saluran pencernaan gajah yang besar dan dalam. Akhirnya saya meminta mahout untuk menggunakan minyak goreng yang masih baru untuk dimasukkan ke anus. Dan pada saat saya sudah dalam perjalanan menuju Kota Bengkulu, saya mendapat informasi bahwa gajah telah buang kotoran dengan ukuran jauh lebih besar dari normal dengan konsistensi padat/ keras, khabar itu membuat saya merasa agak lega saat meninggalkannya. Gajah pun sudah mulai mau makan dan minum.

Tanggal 6 Juni 2016, pagi itu saya pergi ke kantor BKSDA Bengkulu dengan membawa tiga daypack, yang satu khusus peralatan rescue satwa liar dan obat-obatan, satunya lagi berisi barang-barang penting seperti laptop, kamera dan lain-lain, dan satunya lagi berisi peralatan pribadi. Setelah selesai membantu tugas Polisi Kehutanan dalam evakuasi satwa liar saya berencana langsung berangkat kembali ke PLG Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara, yang berjarak sekitar 140an km dari Kota Bengkulu dengan waktu tempuh 5 - 6 jam.

Gajah Ucok selama pengobatan bloat di PLG Seblat

Pada saat kembali saya melihat gajah Ucok sudah normal kembali tidak hanya nafsu makan dan minumnya namun juga aktivitas dan perilakunya. Sudah bisa defekasi dan urinasi secara normal. Namun saya masih harus memberikan antibiotik sekali lagi untuk dosis yang terakhir.

Terkadang saya merasa heran saat para pejabat baik yang di daerah maupun di Jakarta diberi laporan mengenai gajah-gajah yang sakit, dan tanggapannya dengan memberikan instruksi bahwa sebaiknya gajah-gajah yang sakit tersebut dikirim saja ke Rumah Sakit Gajah yang ada diluar Provinsi Bengkulu, atau nanti didatangkan saja dokter hewan - dokter hewan dari sana untuk mengobati gajah-gajah tersebut. Itu yang tertulis dalam selembar kertas yang ditujukan kepada saya. Dalam hati saya hanya tersenyum saja, "Apakah mereka para pejabat itu pernah berpikir berapa biaya transportasi PP (pergi pulang) untuk mengangkut gajah-gajah tersebut hanya karena menginginkan untuk diobati ke Rumah Sakit Gajah ? Siapa yang akan menanggung biaya tersebut ? Mengapa tidak berpikir yang logis, efektif dan efisien dalam hal ini ?" Membawa gajah-gajah ke rumah sakit tentu sangat tidak efektif, dan membawa gajah tidak seperti membawa satwa liar yang ukuran tubuhnya lebih kecil dan tidak rumit dalam transportasi. Kasus bloat (kembung) disertai kolik bila baru diobati setelah di rumah sakit gajah yang ada di provinsi lain mungkin gajah itu bisa sekarat bahkan kehilangan nyawa saat dalam perjalanan. Daripada menghabiskan dana puluhan juta rupiah untuk membawa gajah-gajah itu ke Rumah Sakit Gajah, alangkah lebih bijaksana bila dana tersebut untuk mendukung pembelian obat-obatan yang memadai serta peralatan yang kami butuhkan agar gajah bisa diobati di lokasi. Mengobati gajah tidak perlu dilakukan di bangunan yang megah, hanya cukup membutuhkan tali dan pohon atau rung untuk physical restraint, dan yang tidak kalah penting didukung dengan peralatan medis dan obat-obatan yang memadai, toh dokter hewan dan para mahout sudah tersedia dan bisa melakukannya sendiri. Bila tidak ada dukungan tersebut maka bila ada gajah-gajah yang sakit tidak banyak yang bisa dilakukan. 

Rabu, 01 Juni 2016

Profesi Dokter Hewan Tak Kenal Waktu


Mahasiswa Kedokteran Hewan UGM di PLG Seblat, Bengkulu Utara
Saat ini saya sedang mendampingi mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada yang sedang Praktek Kerja Lapangan yang merupakan bagian dari rangkaian Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) di Taman Wisata Alam Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara tepatnya di Pusat Latihan Gajah Seblat. Mereka setelah lulus dari Sarjana Kedokteran Hewan maka sebagai calon dokter hewan perlu menjalani Pendidikan Profesi Dokter  Hewan terlebih dulu, sebagai tujuan pendidikan minat khusus di bidang medik konservasi, Pusat Latihan Gajah Seblat, Bengkulu salah satu tempat yang selama ini digunakan oleh calon-calon dokter hewan untuk belajar dan praktek penanganan kesehatan satwa liar.

Banyak hal yang bisa dipelajari di Bengkulu, tidak hanya gajah dan harimau namun kami juga mempunyai fasilitas pearwatan satwa liar yang berada di berbagai kabupaten dan kawasan konservasi, seperti konservasi penyu di Kabupaten Mukomuko, penangkaran rusa serta upaya rehabilitasi siamang di kawasan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu, penampungan sementara satwa yakni beruang madu, siamang, burung elang hasil operasi penyitaan di Resort Kota dan kantor Balai KSDA Bengkulu yang menunggu dilakukan pemeriksaan kesehatan. Namun karena keterbatasan waktu dan fasilitas transportasi maka tidak semua tempat bisa dikunjungi untuk belajar karena lokasinya berjauhan, sehingga saat ini dikonsentrasikan untuk belajar perawatan kesehatan gajah dan harimau di kawasan konservasi TWA Seblat.

Gajah Ucok di PLG Seblat, Bengkulu
Sebagai calon dokter hewan tidak cukup mereka hanya mengetahui cara pemeriksaan gajah/ harimau, cara koleksi dan pemeriksaan sampel, mendiagnosa dan cara pengobatan, tentang pembiusan dan handling, tentang penggunaan peralatan medis dan lain-lain, namun yang tidak kalah penting mereka juga harus memahami mengenai Safety Procedures bekerja dengan satwa liar yang berbahaya seperti harimau dan gajah. Selain itu mereka juga harus menyadari bahwa sebagai praktisi dokter hewan yang bekerja untuk satwa liar itu kerjanya tidak mengenal waktu karena kasus yang ditangani juga terjadi sewaktu-waktu tanpa diduga, seperti yang terjadi saat ini. Sore itu kami sudah selesai bekerja karena jam kerja selesai pukul 4 sore, setelah semua orang melakukan finger print untuk absensi sore mereka berpamitan pulang, hanya tertinggal beberapa orang penghuni camp gajah termasuk saya dan para mahasiswa. Saya duduk di ruang makan bersama seorang mahout sambil berbincang-bincang, sambil membawa sebuah buku untuk dibaca dan itu merupakan kebiasaan saya untuk mengisi waktu luang selain menulis, membuat segelas minuman hangat dan bersantai menikmati hari menjelang malam. Sore itu sehabis maghrib seorang mahout bercerita bahwa dia melihat gajah Ucok tidur rebah dan makanan malamnya berupa pelepah sawit dan tebu masih utuh tidak dimakan. Gajah tampak sering merejan. "Apa dia kembung ?" tanyaku. Mahout tidak tahu kembung apa tidak, tapi dia menceritakan kondisinya seperti itu sudah terlihat sejak dua hari sebelumnya. "Kenapa mahout yang merawat gajah tersebut tak pernah bercerita gajahnya bermasalah padahal sering bertemu ?" saya bertanya dalam hati. Mahasiswa saya pun mengatakan bahwa mereka pernah melihat gajah Ucok merejan saat akan buang kotoran beberapa hari sebelumnya. Saya juga telah mengajari mahasiswa tersebut cara mengenali gajah itu sehat atau sakit, dan salah satu perilaku yang harus diamati adalah apakah dia tampak merejan atau kesulitan saat buang kotoran atau kencing, dan itu merupakan ciri-ciri gajah yang kurang sehat, ternyata mereka langsung dapat melihat sendiri contoh gajah yang kurang sehat.

Pengobatan Gajah Ucok
Saya dan mahout tersebut langsung menuju lokasi gajah Ucok untuk memeriksanya dan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Hari sudah mulai gelap, dalam kondisi normal Ucok akan terlihat agresif bila didatangi orang lain selain mahoutnya apalagi disaat malam hari. Tapi saat itu Ucok tampak lemah, dipanggil saja malas untuk bergerak, perutnya terlihat membesar, dan dugaan saya adalah kembung. Makanan belum disentuhnya sama sekali, nafsu makannya hilang. Saya meminta mahout tersebut untuk membawa Ucok mendekati camp agar bisa diobati dan dimonitoring, karena kembung sangat berbahaya dan bila tidak diatasi secepatnya sering menyebabkan kematian. Kami berdua menyadari bahwa Ucok adalah gajah jantan di PLG Seblat yang tergolong agresif, untuk itu saya memanggil mahout lainnya untuk bisa membantu membawa Ucok mendekati camp, karena bila hanya satu orang dan itupun bukan mahout yang sehari-hari merawatnya tentu berbahaya. Akhirnya kami berhasil membawanya dan memindahkannya ke tempat yang datar dan lebih mudah diamati. Dan saya meminta mahasiswa untuk memindahkan makanannya ke tempat yang baru.

Pengobatan Gajah Ucok
Sambil menunggu mahout Ucok datang kembali ke camp gajah, saya mengajak mahasiswa untuk menyiapkan obat-obatan yang diperlukan dan terlibat langsung dalam pengobatan mulai dari penghitungan dosis sampai dengan aplikasinya, karena belajar yang efektif adalah learning by doing. Malam itu kami melakukan pengobatan gajah Ucok hingga jam setengah 9 malam. Akhirnya gajah mau makan kembali dan tampak lebih aktif, tapi bagi saya kondisinya masih mengkhawatirkan. Mahout tetap berjaga dan rutin mengontrolnya hingga pagi. Saat terbangun di pagi hari saya langsung melihatnya, kondisinya masih lemah tidak seaktif biasanya, tidak ada bekas buang kotoran, tapi sudah bisa buang angin/ kentut dan sudah mau berjalan-jalan. 

Bagi saya pengobatan gajah seperti itu juga merupakan pelajaran bagi para calon dokter hewan yang ingin bekerja untuk konservasi satwa liar, bahwa profesi dokter hewan bekerja tidak terbatas waktu, meski jam kerja berakhir pukul 4 sore namun setelah itu terkadang kami masih harus bekerja kembali hingga malam bahkan sampai pagi lagi, disaat jam kerja belum dimulai. Praktisi dokter hewan untuk satwa liar juga tidak mengenal hari libur atau tanggal merah karena satwa sakit dan yang butuh pertolongan juga tidak menyesuaikan kalender kapan hari kerja dan kapan hari libur. Untuk itu belajar medik konservasi itu tidak cukup hanya memahami teori dan bisa mempraktekannya dengan baik ilmu kedokteran hewan, namun juga belajar ilmu pengetahuan lainnya yang berkaitan serta bisa menerima konsekuensi lainnya yang berhubungan dengan profesi dibidang medik konservasi. Semua itu akan bisa diterima bila kita mencintai profesi yang kita miliki dan bekerja dengan hati. Bagi saya pribadi sebagai dokter hewan yang bekerja untuk konservasi satwa liar, tidak hanya cukup sekedar berbagi pengalaman dan ketrampilan yang dimiliki pada calon-calon dokter hewan baru, tapi yang terberat adalah bisa menginspirasi mereka agar kelak sudi bekerja dibidang yang sama dimana pun berada sesuai dengan minat masing-masing karena Indonesia memiliki keanekaragaman spesies satwa liar yang tinggi tidak sebanding dengan jumlah dokter hewan yang langka untuk bidang medik konservasi, karena bagi saya generasi penerus itu penting untuk melanjutkan pekerjaan kita. 
Gajah Ucok setelah Pengobatan

Minggu, 22 Mei 2016

Narasumber COP School Batch #6


Peserta COP School Batch #6
Ketiga kalinya saya ikut terlibat mengisi acara COP School yang diadakan rutin oleh Centre for Orangutan Protection (COP). COP School merupakan sebuah wadah untuk para generasi muda dan relawan dengan latar belakang beragam, guna mendapatkan pembekalan dan pembelajaran serta informasi tentang upaya-upaya konservasi satwa liar  yang ada di Indonesia dan materi lainnya yang relevan.  COP School diadakan setiap tahun di Yogyakarta dengan peserta berasal dari berbagai daerah di Indonesia maupun dari negara lain. Alumni COP School banyak yang menjadi relawan untuk kegiatan-kegiatan konservasi bahkan ada yang telah bekerja untuk konservasi satwa liar di banyak lembaga.

Tahun 2015 lalu saya tidak bisa mengikuti acara COP School Batch #5 karena waktunya bersamaan dengan kegiatan saya membantu persiapan penelitian yang dilakukan oleh Copenhagen Zoo bersama Taman Nasional Baluran di Situbondo, Jawa Timur. Saya membantu memberikan pelatihan tentang pembiusan  kucing besar dan penanganannya untuk keperluan penelitian.

Animals Indonesia mengisi acara COP School Batch #6
Tahun ini saya mendapatkan kesempatan untuk terlibat kembali dalam memberikan materi di acara COP School Batch #6 di Yogyakarta yang diadakan bulan Mei 2016. Dalam acara tersebut juga melibatkan beberapa lembaga besar seperti Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Orangutan Land Trust, Animals Indonesia, Mongabay dan lain-lain yang diundang untuk berbagi informasi mengenai upaya-upaya konservasi satwa liar di Indonesia selain dari Centre for Orangutan Protection (COP) sendiri. Biasanya juga melibatkan Orangutan Information Centre (OIC) dan Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP). Kebetulan di bulan Mei saya disibukkan dengan banyaknya pekerjaan di BKSDA Bengkulu maka tidak seperti biasanya, saya tidak bisa mengikuti acara tersebut full time. Kebetulan saya mendapat bagian tugas untuk memberikan materi tentang Animal Welfare, yang dihubungkan dengan Medik Konservasi yang merupakan bidang kerja saya selama ini. Di acara COP School sebelumnya saya memberikan materi tentang Wildlife Rescue, Human-Wildlife Conflicts, kemudian tentang Lembaga Konservasi Eksitu dan regulasinya. Bahan presentasi yang akan saya sampaikan pun baru dapat saya kerjakan di airport sambil menunggu penerbangan, karena hanya itulah kesempatan yang saya punya saat itu. Sebelumnya waktu saya sudah banyak tersita untuk kegiatan di Pusat Latihan Gajah Seblat, juga di kantor balai maupun seksi, membuat lima proposal kegiatan, desain kandang dan rencana kegiatan untuk membantu teman -teman di kantor Seksi dan Kantor Resort, membantu Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) dan Bagian Kerjasama.

Jumat, tanggal 20 Mei 2016 pukul 16.10 WIB, saya berangkat menuju Yogyakarta dari Bengkulu dengan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia, transit terlebih dulu di Bandara Soekarno Hatta, karena delay akhirnya baru sampai di Bandara Adi Sucipto pukul 10 malam. Seorang alumni COP School dan sekarang sebagai pengurus kegiatan COP School Batch #6 telah menunggu untuk menjemput saya di bandara, yang saya ingat bahwa lokasi COP School itu berada di daerah terpencil di lereng Gunung Merapi, tentu akan sulit untuk mencari makan malam disekitar lokasi kegiatan. Saya putuskan untuk mencari makan malam dulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Ledok Sambi, Kaliurang yang merupakan lokasi kegiatan. Makanan yang saya cari tidak ditemukan meski kami berdua telah menelusuri jalan dan ternyata sudah banyak rumah makan yang tutup karena waktu sudah menjelang tengah malam. Sampai di lokasi sudah jam 22.30 WIB, teman-teman COP dan volunteer belum tidur, kami pun masih terlibat perbincangan dan saya menyelesaikan presentasi saya sebelum istirahat dan dilanjutkan pagi harinya.

Sabtu, tanggal 21 Mei 2016

Esok harinya adalah jadwal saya untuk berbagi informasi dan presentasi tentang Animal Welfare dalam mendukung Medik Konservasi kepada para peserta COP School Batch #6, dan diakhiri dengan simulasi tentang tugas kelompok dengan mencoba membuat desain kandang untuk satwa liar dengan memperhatikan 5 aspek kesejahteraan satwa yang harus dipenuhi. Hal ini untuk mendorong kreativitas seseorang dalam menciptakan lingkungan yang sesuai dengan spesies masing-masing satwa liar yang dikandangkan tanpa mengabaikan kesejahteraan satwa. Kenapa ini penting ? karena ini adalah hak dasar satwa yang harus dipenuhi selama dalam perawatan manusia. Banyak permasalahan kesehatan dan gangguan psikologis pada satwa terjadi pada saat kesejahteraan satwa kurang diperhatikan. Dalam presentasi tersebut saya memberikan contoh-contoh nyata satwa liar yang akhirnya mengalami gangguan kesehatan dan psikologis saat hak-hak mereka untuk hidup lebih sejahtera tidak terpenuhi, dan bagaimana cara mengobatinya dan menanganinya. Penanganan dan pengobatan gangguan kesehatan yang bersifat fisik jauh lebih mudah dilakukan dibandingkan gangguan kesehatan akibat gangguan psikologis yang membutuhkan waktu lama untuk menormalkan kembali. Untuk itu kita dituntut memahami behavior satwa, kondisi lingkungan alami, dan disesuaikan juga dengan tingkat usia. Saya sendiri hanya pernah belajar sedikit teori-teori tentang animal welfare, dan lebih banyak mendapatkan pengalaman langsung dari lapangan dan dituntut untuk kreatif mengatasinya dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang ada. Pengalaman-pengalaman seperti itu sangat berharga, dan saya ingin berbagi pengalaman tersebut kepada para peserta COP School Batch #6.

Bersama peserta COP School Batch #6 dari Universitas Riau Sumatera
dan Kalimantan Barat
Dalam acara COP School kali ini saya banyak bertemu dengan orang baru sehingga menambah pertemanan dan ada juga yang sudah saya kenal sebelumnya, selain itu saya juga dipertemukan dengan kolega dokter hewan yang sama-sama merupakan alumni Universitas Airlangga Surabaya. Diantara para peserta COP School Batch #6 diantaranya juga ada mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dari Universitas Brawijaya Malang, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Universitas Hasanudin Makasar.

Hari itu saya mendapat khabar bahwa mahasiswa saya dari Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada juga telah sampai di Bengkulu yang akan belajar di tempat saya yang merupakan bagian dari kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan / Ko-Asistensi. Mereka harus menunggu dua hari karena terlebih dulu mereka harus mengurus simaksi di Kantor BKSDA Bengkulu di hari Senin. Akhirnya saya meminta bantuan pada teman-teman di BKSDA Bengkulu dalam menyediakan tempat tinggal sementara bagi mereka selama berada di Kota Bengkulu, dan mengurus pemesanan mobil untuk transportasi pada hari Senin tanggal 22 Mei 2016 menuju ke lokasi praktek di kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara, karena praktek kali ini akan difokuskan pada perawatan medis untuk gajah dan harimau sumatera disana.

Berbagi pengalaman dengan peserta COP School Batch #6
Minggu, tanggal 22 Mei 2016 pukul 12.20 WIB adalah penerbangan saya kembali ke Bengkulu. Namun hari itu ternyata saya masih harus presentasi sekali lagi di acara COP School. Materi tersulit bagi saya untuk disampaikan, karena bukan tentang medik konservasi atau tentang satwa liar, namun kali ini saya diminta untuk berbagi cerita tentang perjalanan hidup saya bekerja untuk konservasi satwa liar baik di dalam maupun di luar negeri. Cerita ini untuk memberi inspirasi dan semangat bagi para peserta COP School yang ingin bekerja untuk konservasi satwa liar atau ingin menjadi relawan dibidang itu. Semua orang dengan latar belakang apapun dapat berkonstribusi bagi konservasi satwa liar di Indonesia. Dan yang perlu dipahami bahwa bekerja untuk konservasi satwa liar tidak selalu mudah, terkadang banyak tantangan dan permasalahan sehingga dituntut kepedulian dan pengorbanan yang tinggi serta kesabaran dan semangat pantang menyerah dalam menjalaninya. Dan jangan terlalu banyak berharap imbalan dengan apa yang telah kita lakukan, karena pekerjaan ini dilakukan dengan hati, dan dengan bahagia karena bisa menolong makhluk lainnya, memperbaiki nasibnya agar menjadi lebih baik, tanpa ditunggangi kepentingan apapun.

Saya tidak punya banyak waktu untuk diskusi dan tanya - jawab karena selesai memberikan presentasi, saya langsung menuju bandara untuk kembali ke Bengkulu. Sesampainya di Bengkulu malam hari, dan perjalanan saya selanjutnya adalah menuju ke hutan untuk penanganan gajah. Terpaksa mahasiswa FKH UGM pun saya tinggalkan dan meminta teman-teman di Kantor BKSDA Bengkulu untuk membantu pengurusan simaksi dan transportasi menuju TWA Seblat, disaat saya sendiri sudah berada di lapangan untuk gajah. Bekerja untuk satwa liar memang harus selalu siap sedia, karena permasalahan satwa liar bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa diduga.

"Hidup ini akan menjadi lebih berarti disaat kita mampu berbagi. Begitu juga dengan pengetahuan dan pengalaman, akan menjadi lebih bermakna bila kita bisa berbagi pada sesama" 

Senin, 11 April 2016

Menikmati setiap pekerjaan sebagai dokter hewan dan bukan menganggapnya sebagai beban



Axis axis (Rusa totol)

Tanggal 30  - 31 Maret 2016, Selama dua hari aku akan membantu pembiusan 3 ekor rusa untuk direlokasi dari satu penangkaran ke penangkaran lainnya antar kabupaten di Provinsi Bengkulu. Permintaan bantuan ini sebenarnya sudah beberapa bulan sebelumnya namun aku sendiri kesulitan menyediakan waktu untuk bisa membantu mengingat kegiatanku di banyak tempat belum bisa ditinggalkan. Selama ini orang mengenalku sebagai dokter hewan khusus satwa liar yang tidak hanya sering melakukan pembiusan pada harimau dan gajah saja tetapi juga sebagai pembius rusa, mungkin karena sering berhasil melakukan pembiusan dan relokasi rusa tanpa ada kendala maka akhirnya sering juga dimintai bantuan untuk itu tidak hanya di Provinsi Bengkulu saja namun juga men-supervisi dan memberikan konsultasi tentang pembiusan rusa di tempat lainnya seperti di Jambi, Sumatera Selatan, Aceh, Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur, bahkan pernah juga men-supervisi pembiusan rusa di negara lain yang merupakan habitat alami rusa tutul. Sejujurnya, pembiusan satwa liar yang paling tidak aku sukai adalah membius rusa, terutama rusa tutul, karena efek samping yang buruk dari pembiusan sering terjadi, apalagi bila menggunakan chemical restraint dengan kombinasi obat Xylazine dan Ketamine HCl. Namun saat itu aku lebih memilih menggunakan Zoletyl yang relative lebih aman untuk rusa. Selain itu melakukan immobilisasi pada rusa perlu melibatkan tim yang berpengalaman untuk menghindari hal-hal buruk terjadi selama proses pembiusan dan saat transportasi. Kebetulan kami sudah memiliki tim pembiusan satwa liar yang solid dan terlatih, tidak hanya untuk satwa rusa dan harimau saja tetapi juga satwa liar jenis lainnya. Mereka tidak belajar secara khusus dan tidak memiliki latar belakang pendidikan medik veteriner ataupun paramedik veteriner, tapi menjadi berpengalaman karena sering mengikuti proses pembiusan satwa liar yang aku lakukan selama bertahun-tahun. Alasan lain kenapa aku tidak menyukai melakukan pembiusan rusa karena tidak bisa dilakukan sendirian dan harus melibatkan tim atau orang lain untuk membantu physical restraint. Pembiusan rusa akan berhasil bila dilakukan dengan mengkombinasikan antara chemical restraint dan physical restraint, seperti halnya pembiusan jerapah dan gajah liar di habitatnya. 

Kebetulan mulai tahun 2016 kami difasilitasi oleh anggaran negara untuk melengkapi peralatan rescue satwa liar setelah selama 9 tahun lebih berkecimpung dalam pekerjaan itu dan berhadapan dengan harimau liar yang selalu menerkam setiap kali akan dilepaskan dari jerat pemburu, aku mulai mempertimbangkan tentang keselamatan dan keamanan diri dan tim saat rescue harimau yang sudah terlepas dari jerat pemburu, sehingga peralatan pembiusan yang aman diperlukan, maka pada saat kondisi berbahaya aku tidak akan menggunakan sumpit bius lagi atau pembiusan jarak dekat. Akhirnya aku pun memiliki senjata bius baru sesuai dengan yang kubutuhkan dilapangan.  Dan senjata bius ini juga bisa kami pakai untuk pembiusan rusa dari jarak jauh. Selain itu aku juga mulai sedikit demi sedikit melengkapi peralatan pembiusan lainnya dan peralatan bedah veteriner, berharap suatu saat kami diberi tempat khusus untuk perawatan satwa liar di BKSDA Bengkulu, dan tidak perlu lagi melakukan operasi amputasi atau bedah dan pengobatan pada harimau dan satwa liar lainnya di halaman belakang kantor atau di lorong-lorong kantor. Sedih rasanya, untuk penanganan satwa liar yang hampir punah dan satwa liar yang menjadi fokus pemerintah untuk dilestarikan hanya mendapatkan perlakukan seperti itu dibandingkan dengan kegiatan dibidang kehutanan lainnya yang lebih banyak menghabiskan anggaran, tetapi bila menyangkut nasib satwa liar korban konflik dan perburuan tak banyak yang bisa difasilitasi. Sebagai dokter hewan tentu aku merasa bahwa masih banyak yang harus diperjuangkan dan masih harus terus-menerus mencari dukungan dari banyak pihak untuk kepentingan satwa liar yang statusnya critically endangered species menurut IUCN dan termasuk species yang menjadi fokus negara untuk ditingkatkan populasinya karena kondisinya sudah kritis dan sebentar lagi punah bila tidak ada upaya serius untuk melestarikannya.

Pembiusan rusa totol
Kembali cerita soal rusa, pada hari Kamis tanggal 31 Maret 2016 kami merelokasi 3 ekor rusa ke Kabupaten Bengkulu Utara, tidak ada masalah selama pembiusan dan translokasi, semua berjalan dengan baik, namun masalah baru muncul setelah direlease di penangkaran yang baru. Pada malam hari seekor rusa menabrak dan berhasil menerobos pagar berduri pembatas perkebunan sawit, meski tidak ada luka fisik tetapi cukup menimbulkan stress sehingga rusa hanya terbaring tanpa mau bangun kembali. Aku tidak begitu saja percaya saat melihat kondisi rusa setelah dilepaskan baik-baik saja, mereka tampak berjalan-jalan mengelilingi kandang yang luas (perkebunan sawit yang dipagar sekeliling)  untuk orientasi lokasi baru sampai menghilang dari pandangan. Meskipun begitu aku dan kawan-kawan masih monitoring rusa setelah pelepasan. Ternyata benar, malam itu aku ingin sekali melihatnya lagi, mengajak salah satu pekerja disana untuk mencari rusa-rusa yang sudah dilepaskan, dari atas sebuah bangunan yang belum jadi dekat perkebunan sawit aku mencoba mengarahkan headlamp dan senter ke segala arah, tiba-tiba menemukan seekor rusa yang berjalan sempoyongan dan ambruk tidak bisa berdiri sendiri. Saat itu juga aku langsung berlari turun ditemani salah satu orang disana tanpa peduli tanah yang kupijak naik turun untuk mencari lokasi rusa tersebut terjatuh dengan mengandalkan headlamp karena sekitarku tampak gelap gulita tanpa ada penerangan. Posisi rusa sudah berada diluar pagar berduri pembatas perkebunan sawit. Saya mencoba menganalisa apa yang telah terjadi dengan memeriksa sekeliling sendirian karena karyawan yang bersamaku sebelumnya aku mintai tolong untuk mengambil obat-obatan di ransel yang kuletakkan di dalam mobil dan meminta bantuan kawan lainnya. Menurutku penyebab rusa tersebut ambruk karena stress, kemungkinan ada sesuatu yang menakutinya sehingga berlari dan menabrak pagar berduri malam-malam, sehingga menyebabkan jalan sempoyongan sebelum akhirnya ambruk. Aku mendekati rusa pelan-pelan agar tidak terkejut, akhirnya aku bisa memegangnya, selama obat-obatan dan peralatan medis belum datang, kucoba untuk memenangkannya dengan mengelus-elus bagian bawah leher, dan badannya serta memeriksa kondisi fisiknya. Rusa merasa tidak terganggu dan tampak lebih tenang. Dalam kondisi darurat seperti itu, terasa lama sekali bantuan datang dan aku mulai tak sabar menunggu yang lain datang membawa obat dan alat medis, padahal aku tahu bahwa lokasi mobil dan lokasi rusa jaraknya lumayan jauh. Saat orang-orang telah datang, rusa mulai terganggu sehingga aku hanya membolehkan satu orang saja yang mendekat membantuku untuk merawat rusa, lainnya menunggu dari jarak jauh. Saya periksa frekuensi detak jantungnya dan temperaturenya, serta mulai merawatnya agar kondisinya menjadi lebih baik. Sebelum melakukan terapi apapun, rusa sudah mampu berdiri dan berjalan normal kembali. Baru kali inilah aku mengobati satwa hanya cukup dengan cara dielus-elus saja untuk menenangkannya, meskipun satwa itu perilakunya masih liar dan bukan satwa liar yang sudah dijinakan......hehehe ! 

Dini hari tanggal 1 April 2016 kami baru saja selesai bekerja untuk penanganan rusa di Kabupaten Bengkulu Utara, saat itu dalam kondisi kelelahan dan mengantuk tiba-tiba hand phone-ku berdering berulang kali yang menginformasikan ada seekor kukang yang terkena sengatan listrik tegangan tinggi di areal PLN (Perusahaan Listrik Negara) di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu yang membutuhkan pertolongan. Ya....seperti biasa, panggilan darurat itu sering datang sewaktu-waktu tanpa diduga.



Reporter & Cameraman Kick Andy Talkshow
bersama Mahout PKG Seblat, Bengkulu
Meskipun baru kembali ke Kota Bengkulu dini hari, namun pagi harinya aku sudah pergi ke kantor BKSDA Bengkulu untuk koordinasi dengan humas dan pimpinan yang baru tentang berbagai hal yakni mengenai rencana kerjasama dengan Pertamina untuk upaya konservasi harimau, tentang kasus kukang yang ada di seksi wilayah I KSDA Bengkulu, serta tentang pembuatan simaksi dan mengambil SPT (Surat Perintah Tugas) melakukan liputan Kick Andy tentang aktivitas saya sebagai dokter hewan untuk keperluan acara talkshow dengan tema "Pengabdian Para Dokter", dan mengambil lokasi di salah satu kawasan konservasi di Bengkulu, serta rencanaku untuk melihat kembali kondisi gajah-gajah  yang sebelumnya bermasalah dan telah diambil sampel darahnya untuk pemeriksaan laboratorium serta yang telah mendapatkan pengobatan karena menderita otitis di PKG Seblat, sekaligus ingin melihat kondisi harimau serta waktunya pemeriksaan feces dan pencegahan penyakit parasiter, aku abaikan rasa capek setelah dua hari menangani rusa di luar kota tanpa bisa banyak istirahat, hari itu juga tanggal 1 April 2016 aku kembali melakukan perjalanan menuju TWA Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara. 

Selama dalam perjalanan mencoba untuk berkoordinasi untuk penanganan dan pengobatan kukang (Nycticebus coucang) di kabupaten lainnya. Ada 5 ekor kukang yang harus ditangani di Provinsi Bengkulu dan 2 ekor kukang di Provinsi Sumatera Selatan. Aku berusaha meyakinkan petugas di lokasi tersebut bahwa kukang perlu diperiksa terlebih dulu dan tidak bisa langsung dilepasliarkan kembali apalagi merupakan hasil penyitaan dari perdagangan illegal, perlu proses karantina dan pemeriksaan medis serta monitoring perilaku untuk menyatakan layak untuk segera dilepasliarkan atau ditunda terlebih dahulu. Selama ini yang menjadi masalah besar yang berhubungan dengan penanganan satwa liar selain harimau dan beruang madu, seringkali para petugas polisi kehutanan tidak melibatkan tenaga profesional dokter hewan dalam penanganan satwa sehingga sering melakukan pelepasliaran satwa liar hasil penyitaan dari perdagangan illegal tanpa melakukan pemeriksaan medis dan langsung begitu saja dilepaskan disertai dengan kegiatan ceremonial, tanpa peduli apakah satwa tersebut bermasalah dengan kondisi fisiknya atau kesehatannya atau perilakunya dan adapatasi terhadap makanan alaminya. Bagi mereka asalkan ada Berita Acara Pelepasliaran dan laporan sudah cukup, tanpa peduli apakah satwa yang dilepasliarkan bisa bertahan hidup atau tidak.

Bagi kami sebagai dokter hewan yang sudah lama berkecimpung menangani satwa hasil penyitaan dari perdagangan dan kepemilikan illegal di masyarakat serta hasil penyelamatan dari korban konflik dan perburuan di Pusat Penyelamatan Satwa, Pusat Rehabilitasi Satwa, Stasiun Karantina, Rumah Sakit Satwa Liar dan lain-lain, benar-benar memahami bagaimana proses yang harus dijalani oleh satwa sampai bisa dinyatakan layak untuk dilepasliarkan kembali, tentu merasa sangat sedih dan prihatin dengan kondisi seperti itu apalagi dilakukan oleh petugas terkait yang seharusnya bisa menangani satwa dengan baik sesuai prosedur. Bahkan kadang aku pun harus menerima khabar buruk kematian satwa karena salah penanganan atau perlakuan yang tidak layak, disisi lain aku harus menghadapi arogansi petugas terkait yang selalu merasa benar dengan keputusannya dan merasa mampu untuk menangani satwa tapi kenyataannya tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan saat berdebat soal itu dengan mereka aku seolah-olah ditertawakan dan menganggap bahwa yang mereka lakukan sudah benar adanya.


Pemeriksaan dan Pengobatan Kukang di PPS Sumatera Selatan
Minggu malam, tanggal 3 April 2016 aku kembali ke Kota Bengkulu dari pulang perjalanan ke Kabupaten Bengkulu Utara. Malam itu aku telah disibukkan kembali untuk mempersiapkan worksheets guna pemeriksaan 7 ekor kukang yang berada di PPS (Pusat Penyelamatan Satwa) Sumatera di Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, 5 ekor kukang merupakan titipan BKSDA Bengkulu dan 2 ekor kukang lainnya adalah titipan BKSDA Sumatera Selatan. Esok paginya aku masih menyempatkan diri ke kantor BKSDA Bengkulu untuk mengambil obat-obatan dan peralatan medis dan langsung berangkat lagi menuju Sumatera Selatan untuk pemeriksaan medis dan pengobatan kukang yang sedang menjalani proses karantina. Saat sedang dalam perjalanan, aku sambil menjawab dan menanggapi permintaan beberapa media nasional mumpung signal masih lancar. 

Waktuku sangat terbatas untuk melakukan pemeriksaan medis pada kukang sebelum akhirnya aku harus kembali lagi ke Kota Bengkulu. Sebenarnya aku hanya bisa menyediakan waktu selama 3 hari, meski pada kenyataannya harus molor menjadi empat hari, dan dua hari sudah habis terpakai untuk perjalanan pergi pulang, jadi efektif bekerja hanya dua hari saja, belum terkadang terganggu oleh cuaca buruk (hujan deras) yang menyebabkan kegiatan terhenti. Dalam dua hari akhirnya selesai juga memeriksa kukang-kukang tersebut, dan aku kembali ke Kota Bengkulu hari Kamis tanggal 6 April 2016. Aku hanya memiliki waktu satu hari di Kota Bengkulu yakni hari Jumat untuk efektif bekerja membuat laporan medis hasil pemeriksaan kukang dan membuat materi oral presentation untuk persiapan jadi narasumber seminar di Universitas Airlangga, Surabaya yang diadakan pada hari Minggu tanggal 10 April 2016.

Seminar "Conservation Through Responsible Tourism"
di Rektorat Universitas Airlangga, Surabaya
Setiap menit itu sangat berharga, memanfaatkannya untuk hal-hal yang bermanfaat bukanlah kuanggap sebagai beban bila kita bisa menikmatinya. Dan arti menikmati bukan berarti selalu mendapatkan imbalan uang, bagiku melakukan suatu pekerjaan tidak harus selalu berorientasi untuk mendapatkan uang, bahkan sebaliknya aku sering keluar uang sendiri untuk membiayai pekerjaanku, namun juga ada yang berorientasi untuk menolong makhluk hidup lain yang membutuhkan, berorientasi untuk mencari atau meningkatkan pengalaman, dan lain-lain. Bila kita menjalani setiap kegiatan dengan hati bahagia, tulus dan ikhlas tentu bekerja bukanlah suatu beban berat, namun akan dinikmati sebagai salah satu dari kesenangan dan pengorbanan. Bahkan aku sendiri kesulitan untuk membedakan antara bekerja dan berwisata, karena dua-duanya bagiku mengandung makna yang sama, disaat aku sedang bekerja bagiku aku juga merasa sedang berwisata serta sebaliknya, mungkin karena aku selalu menikmati setiap pekerjaanku dengan senang hati dan tak menganggapnya sebuah beban tugas.