Catatan Perjalanan Tim GPS Collar BKSDA Bengkulu
Relokasi Harimau Sumatera, TWA Seblat, 2016 |
Ini benar-benar kisah memilukan bagi kami selama bekerja untuk konservasi satwa liar dan habitatnya di Bengkulu. Seperti mimpi buruk yang datang tiba-tiba tanpa ada pertanda. Sungguh, ini adalah pengalaman menyedihkan dalam hidup saya, harus kehilangan rekan kerja, teman terbaik kami saat sedang menjalankan tugas untuk mendukung upaya konservasi gajah sumatera dan memperjuangkan habitat serta koridor jelajahnya yang masih tersisa.
Hari itu, Minggu 25 Oktober 2020. Rekan kerjaku, Pak Slamet Riyanto (49 th), seorang Polisi Kehutanan (Polhut) yang juga Kepala Resort KSDA Air Hitam, Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Bengkulu meneleponku pagi pukul 07.14 WIB. Aku baru membuka handphone (HP) siang hari, kulihat ada panggilan telepon tak terjawab dari Pak Slamet Riyanto. Ada apa ??? Firasatku mengatakan pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan. Aku hubungi kembali beliau pada pukul 10.26 WIB. Pembicaraan lewat telepon untuk urusan pekerjaan biasanya kami tidak pernah bicara banyak dan panjang lebar, namun kali ini kami berdiskusi hingga 1 jam. Untuk pertama kalinya kami bicara lebih lama. Banyak hal yang kami bahas, soal tugas yang belum diselesaikan, tentang permasalahan pekerjaan, dan tentang kerja sama di wilayah kerjanya, tentang pandangan dan sikap kami dalam menyikapi permasalahan dan mencari solusi yang terbaik untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum tuntas. Namun ada satu hal lagi yang membuat beliau mendesak menghubungiku, yakni beliau mengkhawatirkanku dengan apa yang terjadi saat itu tanpa aku ketahui. Ini untuk kedua kalinya beliau mengkhawatirkan aku disaat ada masalah yang digulirkan dengan modus yang sama. Ya begitulah hidup, tidak semua orang akan menyukai kita namun ada juga yang tidak menyukai kita untuk suatu alasan, ya..tergantung bagaimana caranya kita menyikapinya. Yang penting sudah berusaha bekerja sebaik mungkin, sekeras mungkin, dengan ikhlas dan jujur tanpa ada kepentingan dan ambisi apapun. Dan kami sepakat dan sepemikiran bahwa kita bekerja adalah untuk mengabdi, menuntaskan setiap pekerjaan yang ditugaskan, tanpa memikirkan imbalan apa yang kami dapatkan, uang tambahan...?!, nama...?!, penghargaan....?!......tidak, kami tidak pernah berpikir untuk itu dalam beraktivitas selama ini, kami hanya merasa senang dan bangga saja melakukan pekerjaan seperti itu.
Senin, 26 Oktober 2020, selesai mengikuti kegiatan latihan menembak di Brimob Bengkulu, beliau mampir ke kantor BKSDA Bengkulu bersama Polhut lainnya, disaat mobil Pajero Sport beliau memasuki halaman kantor, mobil Suzuki Jimny saya akan keluar halaman kantor, "Pokoknya kalau mobil bagusnya nggak mau mundur keluar dulu, akan kusempret dengan mobil tua saya, biar kena tetanus", ya begitulah, kami kalau bertemu sering bercanda. Akhirnya beliau yang mengalah untuk mundur agar mobilku bisa keluar. Sore itu, aku ingin pulang kerja tepat waktu karena sedang sakit, dan ingin cepat bisa beristirahat. Pukul 17.01 WIB beliau menghubungiku, diminta untuk hadir rapat bersama beliau dengan beberapa orang lainnya di kantor, namun karena kondisiku sedang kurang sehat saya menolak dan memilih istirahat di rumah. Mungkin bila sore itu aku mengikuti meeting bisa-bisa sakitku tambah parah, bukan karena tidak bisa istirahat, namun karena isi pembicaraan dalam meeting itu membuat panas hati dan telinga.
Tim Patroli Conservation Response Unit (CRU) Seblat, 2004 |
Selasa, 27 Oktober 2020. Dalam sehari itu 5 kali kami berkomunikasi lewat telepon, dan pembicaraan kami tidak kalah lamanya dengan pembicaaran telepon sebelumnya. Aneh sih, karena biasanya saya sendiri gak pernah lama-lama bicara di telepon untuk urusan pekerjaan, selama ini saya berkomunikasi lewat telepon yang butuh waktu lama satu-satunya dengan ibu saya, karena saya harus mendengarkan ibu saya bercerita hingga selesai, dan nggak pernah dengan orang lain. Saya tidak pernah berpikir bahwa ini mungkin firasat sebelum beliau pergi karena diluar kebiasaan. Hari itu saya memang telah meng-share Surat Tugas Kepala BKSDA Bengkulu untuk Tim Monitoring Gajah Liar dan Pemasangan GPS Collar untuk gajah di Kawasan Ekosistem Esensial Lansekap Seblat. Dibentuk dalam 2 Tim yaitu yang bertugas dari tanggal 1 - 5 November 2020 dan Tim satunya bertugas dari tanggal 6-10 November 2020, dan beliau salah satu koordinator Tim tersebut. Meski sebelumnya orang-orang meminta aku yang mengkoordinir tim, namun aku menolak, aku punya alasan kenapa aku menolak, maka lebih baik saya tidak menjadi koordinator tim, tapi akan tetap membantu dalam perencanaan, persiapan dan pelaksanaan kegiatannya. Salah satunya karena itu Pak Slamet Riyanto menghubungiku berulang kali, beliau menanyakan, "Kenapa saya yang jadi koordinator tim, kenapa nggak mbak Yanti saja yang lebih tepat ?" Saya mengenal beliau sudah lama sejak tahun 2004 atau sekitar 16 tahun, dan saya tahu persis cara kerjanya, beliau punya kemampuan untuk memimpin apalagi mengkoordinir orang-orang. Kami ditempa di tempat yang sama, sama-sama pernah jadi Koordinator Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat dimana mengurus dan mengkoordinir orang banyak disana dengan banyak kepala, banyak kemauan, banyak pikiran dan permasalahan jauh lebih sulit dibanding mengurus gajahnya. Kami juga pernah sama-sama menjadi Koordinator Tim Patroli Conservation Response Unit (CRU) Seblat yang mengkoodinir tim patroli, target patroli dan temuan hasil patroli, dll. Jadi, menurutku nggak ada alasan beliau nggak mau mengkoordinir tim pemasangan GPS Collar yang orangnya pun nggak banyak dan tentu jauh lebih mudah mengurusinya. Namun aku menjawab pertanyaan beliau dengan bercanda, "Ya itulah Pak enaknya jadi tukang ketik, aku kan tinggal ngetik aja nama-nama yang jadi tim dan koordinatornya. Gak mungkin aku masukkan namaku sendiri, ya milih orang lain lah jadi koordinator, cari enaknya lah...dan boss udah menyetujui, nggak pacak ngelak...hehe". Melihat beliau protes, aku menjawabnya sambil tertawa. Terpaksalah beliau menerimanya.
Sepertinya hampir tiap hari kami berkomunikasi lewat telepon, dan dalam durasi waktu yang lama. Rabu, 28 Oktober 2020, pukul 08.45 WIB dua kali beliau meneleponku. Beliau bertugas mengelola kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Air Hitam di Kabupaten Mukomuko. Kami berkoordinasi tentang rencana kegiatan monitoring gajah liar dan pemasangan GPS Collar gajah yang akan dilakukan. Dan pesan beliau pada saya waktu itu, "kalau kita diberi tugas oleh pimpinan, maka tugas kita adalah melaksanakannya dengan sebaik-baiknya sampai tuntas, tidak usah kita sibuk ngrecokin anggarannya, sibuk mikirin imbalan apa yang kita dapat, ngrecokin yang lain, tugas kita cukup melaksanakannya karena urusan yang itu udah ada yang ngurus sendiri". Mungkin itu pesan atau nasehat beliau kepada saya sebelum pergi, agar dalam bekerja tetap fokus, punya dedikasi dan komitmen tinggi, dan tidak perlu terpengaruh hal lainnya yang menghambat dan menciptakan masalah. Sebenarnya beliau ingin menyemangati saya agar tidak terpengaruh dengan omongan-omongan yang kurang sedap selama ini yang membuatku lemah semangat terkait pekerjaan. Kalau dipikir-pikir, kami punya tipe yang sama dalam mendedikasikan diri untuk konservasi, dengan totalitas tanpa tendensi atau punya kepentingan apapun, hanya ingin berkonstribusi sebisa mungkin, namun bila masih ada omongan yang kurang enak, ya dianggap saja mereka tidak paham cara kerja kami dan tidak mengenal kami dengan baik.
Sabtu, 31 Oktober 2020, saya menghubungi rekan kerja lainnya, beliau juga salah satu teman terbaik kami, Pak Asep Muhamad Nasir, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Seblat, untuk berkoordinasi tentang persiapan kegiatan pemasanagn GPS Collar, mengecek kesiapan perlengkapan dan alat yang dibutuhkan, logistik dan koordinasi tentang anggaran kegiatan. Kebetulan sebagai Kepala Urusan Program dan Kerja Sama, saya juga telah mempersiapkan anggaran kerja sama untuk meng-back up dana yang tersedia apabila kurang, sehingga perlu dikoordinasikan agar penggunaannya tidak overlapping. Karena pekerjaan seperti ini tidak tahu pasti batas waktu penyelesainnya, semua tergantung dengan kondisi di lapangan. Kami juga berdiskusi tentang antisipasi kemungkinan potensi permasalahan yang muncul dalam kegiatan tersebut dan mencari solusinya. Padahal saya bukan koordinator tim, kenapa saya jadi ikutan sibuk koordinasi sana-sini ya ?! Tapi tak apalah, demi membantu rekan kerja kami yang sebelumnya keberatan jadi koordinator tim, saya akan membantu tugas-tugasnya. Mereka berdua adalah rekan kerja terbaik kami, dedikasinya terhadap konservasi tidak perlu dipertanyakan, selama ini kami adalah tim yang solid, saling percaya satu sama lain, saling mendukung, saling membantu, sepemikiran dan punya orientasi dan totalitas yang sama dalam pekerjaan. Hanya yang membedakan, saya tidak bisa melihat dan membiarkan ada orang yang bersikap sewenang-wenang dan merendahkan kinerja orang lain di hadapan saya, apalagi dilakukan oleh orang yang dedikasinya pun belun teruji, namun kalau mereka berdua lebih bisa menahan diri untuk diam bila menghadapi hal seperti itu. Ternyata saya sebagai perempuan lebih terlihat garang dibanding laki-laki.
Minggu, 1 November 2020, Tiga orang Tim GPS Collar yang dari Kota Bengkulu telah menungguku di kantor BKSDA Bengkulu sejak pukul 10.00 WIB. Hari itu kami rencana berangkat untuk bergabung dengan Tim GPS Collar lainnya di kantor Resort KSDA Air Rami di Desa Air Muring, Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara. Namun karena ada beberapa peralatan yang tidak tersedia di Bengkulu Utara maka kami masih harus melengkapinya dari Kota Bengkulu, akhirnya keberangkatan kami tertunda hingga habis Shalat Isya'. Malam itu kami berempat berangkat dari Kota Bengkulu menuju Resort KSDA Air Rami, dimana Tim GPS Collar telah berkumpul. Rumah Pak Slamet Riyanto tak jauh dari kantor Resort, yang dulunya pernah jadi tempatnya bekerja sebelum mutasi ke Resort Air Hitam. Beliau memilih menunggu di rumah. Seorang rekan kerja menjemputnya di rumahnya, mungkin beliau sudah tertidur terlalu lama menunggu kami. Setelah Pak Slamet datang, akhirnya malam itu kami berangkat ke base camp di Kantor Resort KSDA Air Hitam atau lebih dikenal dengan sebutan Camp Badak, dulunya merupakan kantor Rhino Protection Unit (RPU) di Kabupaten Mukomuko, kami berangkat menggunakan dua mobil, yakni mobil Wildlife Rescue Unit BKSDA Bengkulu dan mobil KPHK Seblat, dan membawa 2 motor trail patroli. Sesampainya di sana kami langsung beristirahat. Seperti biasa bila menginap di Resort Air Hitam, saya disuruh tidur di kamar Pak Slamet Riyanto, dan beliau memilih tidur diluar kamar bersama yang lain, mungkin karena saya perempuan satu-satunya maka diberi fasilitas untuk tidur di kamar, yang laki-laki semua diluar kamar. "Aman Mbak Yanti, jangan khawatir diganggu yang lain, kami jaga Mbak Yanti disini", begitulah beliau bercanda malam itu. Saya perhatikan memang ada dua matras di depan pintu kamar, satu tempat tidur Pak Marloki (Mahout PLG Seblat) dan satunya tempat tidur Pak Slamet Riyanto, sedangkan anggota tim lainnya memilih tidur di ruangan sebelahnya, di ruang pertemuan.
Kantor Resort Air Hitam (Camp Badak), 2 November 2020 Bersama Tim GPS Collar Gajah Sumatera BKSDA Bengkulu |
Senin, 2 November 2020. Kami briefing dan pembagian tugas dipimpin oleh Koordinator Tim Zirun Lailani, yang bertugas dari tanggal 1 - 5 November 2020. Pagi itu, saya bersama Suwaji (Mahout PLG Seblat) mempersiapkan dan mengecek perlengkapan pembiusan gajah, mulai dari cek dan uji coba senjata bius, sterilisasi alat, mengemas obat bius dan obat-obatan emergency dan peralatan lain yang diperlukan untuk pembiusan gajah liar. Anggota tim lainnya, Marloki, Zirun Lailani (Polhut), Didi Supriadi (Polhut), Regar (masyarakat mitra PLG Seblat) mepersiapkan tali-temali untuk perlengkapan untuk physical restraint gajah liar, sedangkan Pak Slamet Riyanto, Untung Setiadi (Polhut) dan Sugeng Hariadi (masyarakat mitra PLG Seblat) bertugas untuk mempersiapkan logistik/ konsumsi selama di lapangan. Katanya waktu itu, "Mbak, kami belanja logistik di Pasar Ipuh aja, kalau di Tunggang takut kena Covid, disini orang jelas-jelas positif nggak disiplin, berkeliaran kemana-mana, pada nggak pakek masker". "Cari yang aman aja, Pak", jawabku. Pak Slamet menggantikan Asep M Nasir untuk mengurusi logistik karena tidak dapat bergabung di Tim Pertama dikarenakan sedang mengikuti ujian di BKSDA Bengkulu. Kami libatkan juga satu anggota tim dari Urusan Data dan Informasi BKSDA Bengkulu (Budi Setiawan) untuk urusan dokumentasi selama kegiatan juga monitoring gajah dengan drone. Tiga anggota tim lainnya belum bergabung. Setelah semua perlengkapan siap, setelah makan kami berangkat menuju Hutan Produksi (HP) Air Teramang Kabupaten Mukomuko sebagai target lokasi pertama, lokasinya tak jauh dari Resort Air Hitam, kurang lebih ditempuh dalam waktu satu jam perjalanan. Kebetulan HP Air Teramang saat ini menjadi areal konsesi atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT Bentara Arga Timber (BAT), untuk itu dalam berkegiatan disana kami berkoordinasi dengan PT BAT. Hari itu dilakukan briefing kembali di Post One PT BAT di dalam HP Air Teramang yang sekaligus menjadi base camp kami.
Resort Air Hitam, 2 November 2020 |
bersama Pak Slamet Riyanto di Hutan Produksi Air Teramang
Mukomuko, 2 November 2020
Sesampainya di Desa 1F, kami sekaligus menjenguk rekan kerja kami yang merupakan Tim Patroli Pelestarian Harimau Sumatera (PHS) TNKS yang kebetulan sedang sakit malaria. Darinya kami mencari informasi tentang posisi gajah liar terakhir, karena wilayah patroli harimau mereka melewati kawasan hutan yang saya sebutkan di atas. Posisi gajah liar dalam 2 minggu terakhir di sekitar HP Air Rami dan HPT Air Ipuh I. Sedangkan informasi dari informan lainnya bahwa di HPT Lebong Kandis sudah lama tidak ada gajah liar melintas. Tak lupa saya juga menghubungi Kepala Desa Gajah Makmur, yang wilayahnya sering terjadi konflik gajah, namun beliau mengatakan sudah lama tidak ada konflik gajah di desanya, namun yang ada sekarang konflik harimau. Kami juga menghubungi petugas PT Daria Dharma Pratama (DDP), warga yang biasa beraktifitas di dalam kawasan hutan namun tidak ada informasi yang menunjukkan adanya tanda-tanda keberadaan gajah liar terbaru. Akhirnya dari hasil mencari informasi hari itu, target lokasi selanjutnya untuk monitoring gajah akan diusulkan pindah ke seputaran HPT Air Ipuh I dan HP Air Rami. Saya dan Pak Slamet mengkhawatirkan kondisi rekan kami yang sedang sakit tersebut, dan berulang kali berpesan untuk tidak masuk hutan dulu sebelum kondisi benar-benar pulih, apalagi selain malaria juga kondisinya Hypertensi 170 mgHg. "Pak, pokoknya istirahat dulu, jangan ikut patroli dulu sebelum benar-benar sembuh dan tensinya normal, ntar takutnya ada apa-apa di hutan!" Sebelum Saya dan Pak Slamet pulang dari rumahnya, kami ulangi pesan kami itu padanya, karena kami mengkhawatirkannya.
Sore itu, Selasa 3 November 2020, kami bertemu tim GPS Collar yang pulang menelusuri jejak-jejak gajah liar, dan diputuskan bahwa kami akan pindah lokasi mengingat di HP Air Teramang tidak ditemui jejak baru gajah liar. Tanpa menunda waktu sore itu kami keluar menghindari hari hujan, bila hujan deras maka mobil tidak bisa keluar karena jalan buruk. Mobil WRU kami mengikuti mobil KPHK Seblat yang dikemudikan oleh Pak Slamet Riyanto, beliau memilih melewati jalan pintas menuju Resort Air Hitam, namun jalan yang dipilih ternyata kondisinya jauh lebih buruk sehingga perjalanan kami bukannya cepat sampai tapi sepertinya sama saja jarak tempuhnya bila melewati jalan desa. Dalam perjalanan tiba-tiba mobil Pak Slamet berhenti dan menginformasikan bahwa malam ini sedang ada konflik gajah di Dusun Trans Lapindo, Desa Lubuk Talang, Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, informasi dari warga Trans Lapindo yang menjadi informan kami. Tiba di kantor Resort Air Hitam sudah gelap, malam itu kami melakukan briefing sebentar untuk menentukan langkah selanjutnya. Saya membuka google earth di laptop, memasukan Peta Dusun Trans Lapindo, Peta Desa Gajah Makmur, Peta HGU PT DDP, Peta HP Air Rami, dan menunjukkan ke Pak Slamet Riyanto, dan Pak Zirun Lailani tentang perkiraan lokasi konflik gajah, alur perjalanan yang akan ditempuh dari Resort Air Hitam hingga Dusun Trans Lapindo, dan perkiraan alternatif akses jalan menuju ke sana sebagai gambaran. Sesuai dengan saran rekan-rekan yang biasa bekerja dengan gajah liar maka diputuskan hari itu juga kami berangkat menuju Dusun Trans Lapindo sebelum pergerakan gajah tersebut menjauh bila kami terlambat datang. Ada satu lagi anggota tim (Mustadin) akan bergabung dengan membawa tambahan motor trail patroli, hari itu hujan deras sehingga Polhut yang ditunggu-tunggu belum juga sampai di Resort Air Hitam, bahkan saya sendiri sampai tertidur di ruang pertemuan untuk beberapa waktu saat menunggu kedatangannya, lumayan bisa istirahat dulu sebelum menuju lokasi target selanjutnya.
Malam itu, kami bersepuluh (4 Polhut, 1 dokter hewan, 2 mahout, 1 PPNPN, 2 masyarakat mitra PLG Seblat) berangkat menuju Dusun Trans Lapindo, 2 orang Polhut bertugas siaga di Resort Air Hitam dan 2 orang anggota tim lainnya tidak bersedia ikut karena tidak mempercayai kebenaran informasi tersebut sebagai alasannya. Saya tidak mau terlibat dalam perdebatan malam itu, dan memilih menyibukkan diri untuk packing peralatan medis dan obat-obatan, dan siap berangkat bila berpindah lokasi target. Pak Slamet Riyanto ternyata mengamati saya yang sebenarnya tidak sabar dan ingin unjuk bicara, dan akhirnya lebih memilih diam untuk menahan diri tidak ikut bicara. Karena setelah perdebatan malam itu beliau bilang sama saya sambil bercanda, "Aku perhatikan sampean tadi udah mau emosi aja Mbak, denger orang-orang itu, sampean tiba-tiba diem, mau bicara nggak jadi ya?" Akhirnya Pak Slamet Riyanto dengan bijaknya mengingatkan kami semua bahwa kita dalam berbicara dan bersikap harus lebih santun dan menghargai rekan kerja lainnya apalagi yang usianya jauh lebih tua, jangan sampai menyinggung perasaannya. Koordinator Tim Pak Zirun Lailani dan Pak Slamet Riyanto menyemangati kami untuk menyelesaikan tugas ini, hal-hal penghalang lainnya jangan melemahkan semangat kami. Malam itu kami memutuskan pindah lokasi target.
Untuk menuju Dusun Trans Lapindo, kami terlebih dulu melewati Desa Gajah Makmur (SP 8), Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko. Dua tahun yang lalu kami pernah survei gajah liar di HP Air Rami dan mengikuti tanda-tanda keberadaan gajah ke arah Dusun Trans Lapindo, paling tidak saya masih ada gambaran lokasi. Memasuki gerbang Desa Gajah Makmur sudah tengah malam, saat itu mobil KPHK Seblat berhenti dan Pak Slamet turun dari mobilnya untuk berfoto di pintu gerbang tanda desa. Malam itu saya merasa aneh/heran, tidak biasanya Pak Slamet turun dari mobil dan minta difoto di pintu gerbang seperti itu beberapa kali, dini hari lagi."aah..mungkin akan dikirimkan ke informan yang dia hubungi sebelumnya untuk menginformasikan bahwa dia sudah sampai", pikirku. Sambil menunggu orang berfoto, saya mengirimkan pesan melalui WA (Whatsapp) kepada Kepala Desa Gajah Makmur pukul 02.12 WIB, saya permisi memasuki desanya, numpang lewat Desa Gajah Makmur karena mendapat informasi ada konflik gajah liar di Dusun Trans Lapindo malam ini, sambil kukirimkan foto pintu gerbang memasuki Desa Gajah Makmur. Namun malam itu informan kami yang ke Desa Trans Lapindo tidak bisa dihubungi (mungkin sudah tertidur), dan tidak memungkinkan melanjutkan perjalanan ke Dusun Trans Lapindo akhirnya memutuskan untuk menginap di rumah Pak Edy Kusuma, pensiunan karyawan BKSDA Bengkulu kebetulan tinggal di Desa Gajah Makmur. Istri Pak Edy sudah mengenalku dengan baik, dulu mereka tinggal di Camp Badak dengan almarhumah putrinya. Dan saya dekat dengan putrinya yang masih kecil, itulah yang menyebabkan beliau tidak pernah lupa dengan saya. Pak Edy Kusuma adalah mantan personil RPU (Rhino Protection Unit), beliau terkenal sebagai orang yang sangat kuat berjalan di hutan. Hutan-hutan di Bengkulu yang dulunya habitat Badak Sumatera sudah beliau telusuri. Yang pasti daerah jelajah beliau di hutan Bengkulu lebih jauh dan lebih luas dibandingkan saya.
Desa Gajah Makmur, Kec. Malin Deman, Kab. Mukomuko bersama Kel. Edy Kusuma, 4 November 2020 |
Rabu 4 November 2020, kami berpamitan dengan keluarga Pak Edy Kusuma, kami berfoto bersama di depan rumahnya di Desa Gajah Makmur sebagai kenang-kenangan. Pagi itu, Kepala Desa Gajah Makmur menghubungi saya untuk mampir jika kami masih di Dusun Trans Lapindo, karena keluar masuk dusun tersebut melewati Desa Gajah Makmur dan melewati rumah Pak Kades. Signal yang hilang timbul membuat komunikasi lewat telepon tersendat-sendat dan terlambat untuk merespon. Pagi itu Tim GPS Collar langsung bergerak menuju Dusun Trans Lapindo, dan di tengah perjalanan kami bertemu dengan informan kami bernama Mopri (kami memanggilnya Mop) warga Dusun Trans Lapindo, yang akan kami jadikan guide ke lokasi konflik gajah. Kami menelusuri perkebunan masyarakat, terlihat memang ada jejak-jejak gajah liar baru (yang masuk kebun tadi malam), setelah terus menelusuri jejak tersebut ternyata menuju ke Desa Gajah Makmur dan memasuki Hutan Produksi Air Rami menyeberangi sungai kecil (Air Sipi). Kami mendapat informasi bahwa pagi tadi terdengar suara gajah liar di hutan dekat salah satu kebun warga di Desa Gajah Makmur. Akhirnya Tim GPS Collar memutuskan untuk mendirikan tenda di dekat lokasi tersebut, di pinggir aliran sungai Air Sipi. Mobil kami titipkan di pondok kebun warga. Karena faktor tidak ada signal sehingga saya tidak bisa mengabari Kepala Desa bahwa kami akhirnya kembali lagi ke wilayah Desa Gajah Makmur mengikuti jejak gajah liar terbaru.
Jejak Gajah Liar menuju Hutan Produksi Air Rami Desa Gajah Makmur, 5 November 2020 |
Siang itu, saya, Pak Slamet Riyanto, Zirun Lailani, dan rekan lainnya tinggal di tenda, sedangkan 6 orang lainnya dengan 3 buah motor trail melakukan monitoring gajah ke arah Sungai Air Rami. Jadi ingat saat masuk hutan / HP Air Rami tahun 2018 lalu, kami survei jalur jelajah gajah liar bersama Tim BKSDA dan Tim BBTNKS, kami menemukan jejak-jejak gajah liar di areal perambahan dan merusak pondok-pondok perambah yang berada di HP Air Rami, dan jejak-jejak itu menuju sungai Air Rami. Wajar kalau mereka mencoba mencari gajah liar ke arah sana. Hari itu di tenda, Pak Slamet terlihat gembira sekali, tidak seperti biasanya, bahkan saat berendam di Sungai Air Sipi untuk membersihkan badan bersama sahabat dekatnya Pak Mustadin (Polhut), beliau tertawa riang, katanya banyak ikan kecil-kecil menggigiti tubuhnya dan terasa geli katanya. Lama sekali mereka mandi di sungai, sementara saya dan Sugeng Hariadi memasak mempersiapkan makan malam kami. Hari itu saya membuat bakwan goreng, rencana akan dibuat lauk makan malam, namun sudah habis buat cemilan sebelum makan malam. Hari sudah mulai gelap, Tim yang melakukan penelusuran gajah liar belum juga kembali, membuat kami yang menunggu tenda merasa khawatir, mengingat kami merasa berada dekat dengan gajah liar. Sampai-sampai koordinator tim menyampaikan, "Bila hari sudah mulai gelap, ada atau tidak jejak baru yang ditemukan harus secepatnya kembali ke tenda". Sore itu, Pak Slamet Riyanto sibuk mengangkut kayu papan yang ditemukan di kebun sawit warga, dibawa ke tenda buat alas matras tidurnya biar rata. Dia sudah memilih lokasi untuk tidur, di pinggir tenda. Saya juga memilih lokasi untuk tidur di pinggir tenda sejajar dengan beliau. Selesai menyiapkan tempat tidur, kembali beliau mengangkut kayu papan ditaruh dibawah matras saya, padahal saya tidak memintanya, "Ini mbak, biar rata, biar enak tidurnya".
Hari itu kami dapat informasi bahwa pimpinan (Kasubag TU, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I dan Kasat Polhut) akan megunjungi kami pada hari Sabtu, tanggal 7 November 2020. Dan saya juga sampaikan ke Tim bahwa hari Sabtu saya harus keluar mencari signal yang bagus atau mungkin saya akan ke mess TNKS di Seblat untuk menumpang internet buat mengikuti ujian dan kuliah, sekaligus menjemput pimpinan yang akan datang berkunjung. Pak Slamet Riyanto menawarkan, "kalau mau cari internet, ke rumah saya saja, saya sudah pasang WiFi". Jarak rumah beliau dengan mess/ Resort TNKS memang dekat. Sehingga hari itu aku merencanakan kalau Sabtu keluar bisa dengan Budi Setiawan yang bawa mobil WRU atau bisa dengan Pak Slamet Riyanto dengan mobil KPHK Seblat.
Tidak ada jejak baru yang ditemukan saat penelusuran gajah liar hari itu, kemudian diambil keputusan untuk melakukan penelusuran jejak gajah liar baru yang masuk HP Air Rami melewati Air Sipi esok hari. Malam itu kami istirahat tidur di tenda tanpa terdengar suara terompet gajah liar, ini artinya gajah liar sudah tidak ada di sekitar lokasi kami mendirikan tenda. Hingga terbangun di pagi hari, terdengar suara Pak Slamet Riyanto dan kawan-kawan lainnya yang bercanda dan memperdebatkan dan mempermasalahkan siapa yang tidur ngorok tadi malam.
Kamis, 5 November 2020. Tim Pertama yang akan melakukan monitoring penelusuran jejak gajah liar siap-siap berangkat setelah sarapan pagi, yakni Pak Zirun Lailani, Suwaji, Marloki, Didi Supriadi, Budi Setiawan, Regar dan Mopri berangkat lebih dulu, menuju lokasi pinggir hutan dengan mobil WRU. Kemudian saya, Pak Slamet Riyanto dan Mustadin sebagai Tim Kedua menyusul, sekaligus membawa perlengkapan medis untuk gajah, tali-temali dan GPS Collar. Kami berangkat menuju pinggir hutan menggunakan mobil KPHK Seblat yang dikemudikan oleh Pak Slamet Riyanto. Sebelumnya kami Tim Kedua menunggu informasi untuk menyusul di tenda, namun skenario dirubah kami menunggu di tempat terakhir mobil bisa masuk, yakni di kebun sawit Pak Panji warga Desa Gajah Makmur. Saya bilang, "kalau harus berangkat pagi ini juga maka saya mau sarapan dulu, karena tidak sempat lagi mandi, saya mau sikat gigi saja di sungai". Pak Mustadin sudah siap berangkat dan menyiapkan bekalnya, mengisi air minum. Pagi itu seperti biasa, Pak Slamet yang suka bercanda dan ngusilin kawan menyembunyikan botol air minum Pak Mustadin dan dimasukkan ke dalam tasnya, hingga yang punya sibuk mencari nggak ketemu. Kami berdua ditinggal oleh Pak Slamet yang pergi duluan ke atas, katanya,"Saya mau manasin mobil dulu". Pak Mustadin menunggu saya sampai selesai sarapan, dan baru kami berangkat menyusul Pak Slamet Riyanto. Di atas kami melihat Pak Slamet sedang berbicara dengan pemilik pondok kebun, bahkan meminta air kepada orang tersebut, tidak hanya itu, juga meminta ubi jalar hasil kebunnya untuk dibakar nanti. Dan saya tidak kebagian air minum, "Pokoknya nanti kalau haus aku minta air Pak Slamet". Karena saya tahu di dalam tasnya ada banyak botol minum penuh air termasuk punya Pak Mustadin yang disembunyikan, dan sekarang masih minta air lagi ke pemilik pondok di kebun terdekat. Begitulah cara bercanda beliau dengan kawan-kawannya. Hari itu saya dan Pak Slamet kebetulan memakai seragam baru yang sama, yakni seragam Tim Patroli kerja sama antara BKSDA Bengkulu dengan Fauna and Flora International - Indonesia Program (FFI-IP). Di dalam mobil kami bertiga tak henti-hentinya bercanda hingga kami sampai di dekat mobil WRU. Saat itu Pak Slamet terlihat sibuk sendiri, menelusuri jejak-jejak gajah liar sendiri ke arah Trans Lapindo hingga dicari dan disuruh kembali oleh Pak Mustadin. Sesampainya di lokasi kami menunggu informasi dari dalam hutan, Pak Slamet terlihat sibuk mengumpulkan kayu bakar dan membuat perapian yang rencananya untuk membakar ubi. Saya memilih duduk di pinggir lahan yang masih berhutan, kemudian beliau mengangkut dua buah kayu papan yang ditemukan di sekitar lokasi, dan ditatanya untuk tempatku duduk, katanya, "Nah, duduk disini mbak, enak". Kemudian saya mengajak mereka berdua untuk mempersiapkan peralatan, agar nanti saat Tim Pertama datang semua peralatan sudah siap dan tinggal bawa. Akhirnya saya, Pak Slamet dan Pak Mustadin, mengemas barang dalam ransel agar mudah dibawa, dan mengaturnya agar mudah dicari saat akan digunakan, dikemas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tak lama kemudian, Mopri dan Regar muncul dari hutan menginformasikan bahwa kelompok gajah liar telah ditemukan. Kami berlima berbagi barang bawaan berangkat menuju ke dalam Hutan / HP Air Rami. Pak Slamet membawa tali dan tas kecilnya, walaupun dalam perjalanan akhirnya tali tersebut ganti dibawa oleh Pak Mustadin. Saya membawa tas kecil saya dan kamera. Tas obat-obatan saya dibawa oleh Pak Mustadin. GPS Collar dan perlengkapan lainnya dibawa oleh Regar dan Mopri yang merupakan tenaga Porter kami. Kami berjalan berurutan melalui jalan bekas tapak kaki gajah, paling depan Mopri sebagai penunjuk jalan, disusul Regar, saya, Pak Slamet Riyanto dan paling belakang Pak Mustadin. Jalan setapak yang kami lalui benar-benar baru saja dilewati oleh gajah liar, terlihat jejak baru, kotoran baru dan bekas tumbuhan yang baru dimakan. Pada saat perjalanan tersebut Pak Slamet sempat terpeleset jatuh, dan Pak Mustadin mengatakan,"Kau Met masak kalah sama Yanti". Dan dijawabnya, "jalannya licin, Mok". Memang jalan yang kami lalui berlumpur, licin, bahkan saat kakiku terjebak dilumpur yang dalam untuk mengangkatnya butuh bantuan orang lain. Setelah itu malah gantian aku yang terjatuh dua kali karena tersandung akar-akaran pohon. Di dalam hutan kami juga jumpai bekas illegal logging yang sudah ditinggalkan dengan sisa-sisa kayu hasil gesekan. Dalam perjalanan tersebut semua terlihat wajar dan tidak terlihat ada masalah. Kami beristirahat di punggungan bukit, di dekat kami terdengar dua kali suara terompet gajah liar. Ternyata lokasi Tim Pertama menunggu sudah tak jauh dari lokasi kami berdiri. Saya dan Regar lebih dulu melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan Budi dan Didi. Pak Marloki, Suwaji dan Pak Zirun sedang mengikuti gajah liar. Tak lama kemudian disusul oleh Pak Mustadin dan Pak Slamet datang mendekat, namun hanya Pak Mustadin yang turun menyeberangi sungai kecil di dekat kami untuk menuju lokasi kami duduk. Pak Slamet berhenti di pinggir sungai dan duduk istirahat disebrang. Saat itu saya mulai merasa ada yang aneh, tinggal beberapa meter saja kenapa beliau berhenti di Sebrang, dan membuatku spontan bertanya, " Pak Slamet, kenapa?" Beliau menjawab, "Vertigo, rasanya nggliyeng". "Istirahat saja dulu", sautku. Saat itu aku melihat wajahnya tampak mulai pucat. Aku nggak tahu kapan Pak Slamet menyeberangi sungai kecil itu dan tiba-tiba sudah ada di depanku, dalam posisi beristirahat disamping Pak Mustadin disela-sela akar pohon besar. Mungkin saat aku sedang menyiapkan peralatan, beliau berjalan ke arah kami. Tiba-tiba beliau muntah, membuat aku dan Budi langsung berdiri menuju kearahnya, memeriksanya, badannya berkeringat banyak dan basah, namun kami tidak ada solusi untuk mengganti karena saya periksa bajuku sendiri juga basah, tidak ada diantara kami yang bajunya kering. Kami mencoba memberikan pertolongan pertama agar kondisinya lebih baik. Beliau ingin rebahan, dan kawan lainnya mencari daun-daunan buat alas tidur. Saya teringat di ranselku ada terpal, kukeluarkan terpal utk alasnya tidur. Dan beliau mengatakan, "Kalau gini terasa hangat". Beliau nanya, "Boleh mbak saya minum susu?" "Iya bolehlah buat nambah tenaga", jawabku. Dan susu yang dibuatkan Pak Mustadin dihabiskannya. Dalam istirahat itu, beliau tidak pingsan, sepanjang waktu masih ngobrol dengan Pak Mustadin, melanjutnya obrolan dan candaan kami yang di mobil waktu berangkat. Saat istirahat itu mengeluh lelah. Gajah sudah dapat dan sudah berhasil ditembak bius, saatnya pasang GPS Collar. Saat Pak Marloki datang, saya dan rekan lainnya siap menuju lokasi gajah liar, dan kami pamitan sebentar. Sementara Pak Slamet beristirahat ditemani polhut lainnya. "Nanti kalau sudah baikan, kami menyusul", "Tidak usah", jawabku. "Nggak usah nyusul, lebih baik istirahat saja, kalaupun kondisi sudah membaik nggak capek lagi mending nanti jalan keluar hutan menuju mobil, biar urusan pasang GPS Collar kami yang selesaikan", itu yang saya sampaikan ke Pak Slamet. Dan sebelum saya pamit sebentar untuk pasang GPS Collar, saya sempat bercanda padanya, "Yang penting sekarang Pak Slamet istirahat saja, biar tenaga pulih lagi, karena tugas Pak Slamet masih ada nanti, nyetirin kami balik". Selama ini kami memang sering bercanda satu sama lain. Tanpa kusadari itulah komunikasi terakhir saya dengan beliau. Kami melanjutkan perjalanan menuju perbatasan antara kawasan Hutan Produksi Air Rami dengan kawasan Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh I dimana lokasi gajah terakhir berada, mengikuti jejak kaki gajah yang telah tertembak bius. Sesampainya di lokasi, ternyata gajah masih berjalan, dan Pak Zirun, Suwaji, Marloki masih mengikutinya. Kelompok gajah liar lainnya mengelilingi induk gajah yang dibius, mungkin yang terbius adalah ketua kelompok gajah liar di daerah itu, sehingga gajah-gajah lainnya tidak mau pergi. Pak Suwaji sempat dikejar oleh gajah liar tersebut. Dikejar gajah liar memang mengerikan dan saya juga pernah punya pengalaman beberapa kali dikejar gajah liar dan tidak tahu caranya menghindar. Saat perjalanan itu, kami diberi tips gimana caranya menghindar dari gajah liar saat mengejar kita.
Hutan Produksi Air Rami, 4 November 2020. Photo: Erni Suyanti Musabine |
Pada saat menunggu tersebut, tiba-tiba pukul 12.39 WIB kami yang berada di atas punggungan bukit mendengar suara orang berteriak memanggil. Malah sebelumnya saya menganggap itu suara rangkong, ternyata suara orang. Namun kami masih bingung, yang berteriak ini siapa? Kami pun bingung itu suara Pak Slamet atau suara Pak Mustadin atau suara Pak Suwaji. Sepertinya dari bawah, mungkin suara Pak Slamet atau Pak Mustadin. Apakah gajah liar berbalik menuju kesana? Apa yang terjadi? Ataukah mungkin Pak Slamet pingsan? Banyak pertanyaan berkecamuk di pikiran kami. Tiba-tiba dilanjutkan dengan suara pohon dipukul-pukul. "Waduh...ini sepertinya tanda emergency!", kataku pada yang lain. Saya menyuruh Mopri secepatnya menuju lokasi Pak Slamet yang berada di Hutan Produksi Air Rami untuk mengetahui apa yang terjadi, dan saya menyuruh Regar untuk menuju lokasi Pak Suwaji dan Pak Zirun yang posisinya sudah berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh I, untuk menginformasikan bahwa Pak Slamet sakit dan ada panggilan darurat dari bawah. Saya, Budi dan Didi bersama peralatan GPS Collar berada tepat di batas kawasan Hutan Produksi Air Rami dan Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh I, cemas menunggu, dan terus terang merasa panik, belum tahu apa yang harus dilakukan. Mopri kembali ke lokasi kami sambil ngos-ngosan karena berlari secepat mungkin, dan menyampaikan khabar buruk, "Pak Slamet udah nggak ada, denyut nandinya nggak ada". Saya langsung lemas dan panik mendengarnya, antara percaya dan tidak, dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Saya perintahkan Didi untuk menyusul Regar dan mennginformasikan ini ke Pak Zirun, Marloki dan Suwaji, dan bilang kegiatan pemasangan GPS Collar dihentikan, tim ditarik mundur sekarang, kita perlu evakuasi Pak Slamet secepatnya menuju Puskesmas terdekat. Saya minta Budi untuk ambil tali prusik yang lembut yang rencana akan digunakan untuk restraint gajah untuk dibawa, "peralatan lainnya ditinggal saja biar kawan lainnya (Tim Pak Zirun) untuk membawa balik peralatan", kataku. Saya, Mopri dan Budi buru-buru menuju lokasi Pak Slamet beristirahat. Sesampainya di lokasi saya meminta kawan-kawan untuk memotong kayu pancang dan membuat tandu dengan tali yang sudah dibawa. Saya membawa stetoskop dan pulse oxymetry di ransel saya, saya mengeluarkan peralatan saya untuk memastikan apa yang terjadi, dan akhirnya saya bilang ke kawan-kawan, "biarlah Puskesmas yang menyatakan", karena saya tidak berwenang. Sejujurnya, saya tidak sanggup mengatakan bahwa beliau sudah tidak ada, dan saya tidak percaya bahwa beliau sudah pergi. Tak tahan melihat apa yang terjadi saya menangis sejadi-jadinya, saya tak mampu menahan kesedihan ini, benar-benar diluar dugaan kami, Pak Slamet menghembuskan nafas terakhirnya di hutan ini saat sedang menjalankan tugas. Rasanya seperti mimpi buruk. Ini bukan kali pertama kami menjelajahi hutan ini bersama Pak Slamet, sebelumnya kami memasuki kawasan Hutan Produksi Air Rami ini untuk rescue harimau terjerat dengan jalur lebih lama dan lebih menantang. Tak lama kemudian Didi datang membantu membuat tandu, saya minta Didi untuk ambil titik koordinat lokasi dengan GPSnya. Pak Marloki begitu sedih melihat Pak Slamet berbaring sudah tak bernyawa, membuatnya menangis karena tak percaya, melihat Pak Marloki menangis membuat saya kembali menangis. Begitu juga Pak Zirun dan Pak Suwaji begitu melihat Pak Slamet langsung menuju ke sungai dan bersandar ke pohon, saya tahu mereka menangis sedih, namun tidak ingin memperlihatkannya di depan kami. Beliau pergi saat bersama kami, kawan-kawan dekatnya selama ini. Siang itu udah memasuki waktu shalat Dzuhur, dan Pak Mustadin mengajak Pak Slamet shalat Dzuhur, mungkin karena capek Pak Slamet memang tidak berusaha untuk bangun. Pak Mustadin yang sepanjang waktu berada disampingnya dan mengajaknya ngobrol, pamit sebentar untuk wudhu di sungai kecil di samping mereka untuk shalat Dzuhur. Selesai wudhu, Pak Mustadin mendekati lokasi Pak Slamet kembali, namun mendapati Pak Slamet telah menarik nafas dua kali dan tidak ada. Tidak percaya dengan apa yang dilihat, dipanggil namanya berulang kali dan berusaha dibangunkan, dan diperiksa nadi dan denyut jantungnya memang tidak ada. Saat itulah kami mendengar suara orang berteriak memanggil dan memukul pohon di hutan sebagai tanda panggilan darurat. Begitu tandu sudah siap, kami pindahkan tubuh Pak Slamet ke tandu, kami selimuti dengan handuk yang rencana digunakan untuk menutup mata gajah liar, saya lepas sepatu bootsnya. Wajahnya kami tutup dengan scrap dan topi lapangan.
Lokasi Meninggalnya Pak Slamet Riyanto, 5 November 2020 Pukul 12.39 WIB Peta : BKSDA Bengkulu |
Pukul 13.04 WIB kami menandunya keluar hutan secara bergantian. Kami semua belum bisa percaya bahwa beliau telah meninggal dunia. Tiba-tiba ditengah perjalanan hujan deras, petir menyambar tak henti-henti. Jalan menjadi semakin licin. Apapun kondisinya jalan setapak yang kami lewati saat evakuasi, kami semua berusaha semaksimal mungkin agar tubuh Pak Slamet tidak terjatuh, tergores oleh kayu, dan menjaga agar tidak lecet sedikit pun, untuk menghindari adanya dugaan macam-macam diluar sana. Kawan-kawan yang kelelahan berhenti beberapa kali untuk istirahat beberapa detik. Saat perjalanan itu saya melihat ada jejak harimau yang masih baru, saya tidak mengatakan pada yang lain hanya bilang ke Budi yang ada di dekatku, "hati-hati ya kalau jalan perhatikan sekitar, ada jejak harimau baru nih". Meski saya tidak memberi tahu yang lain, namun polhut lainnya juga biasa keluar masuk hutan ternyata juga tahu dan waspada saat evakuasi tersebut. Pak Mustadin dan Pak Zirun tak henti-hentinya memeriksa ke belakang, karena mereka berjalan paling belakang. Dan aku yang memeriksa ke depan karena aku dan Budi paling depan. Tim yang menandu berada di antara kami. Sambil berjalan saya meriksa signal di HP, karena saya perlu segera bisa komunikasi keluar untuk menginformasikan ini. Pukul 13.36 WIB saya berhasil menghubungi Kepala Sub Bagian TU BKSDA Bengkulu dan mengabarkan bahwa, "Tim kami dapat musibah di HP Air Rami, Pak Slamet nggak ada. Dan sekarang dalam proses evakuasi ditandu keluar hutan". Karena saya menelpon sambil menangis, dan signal juga kurang bagus, informasi yang diterima jadi nggak jelas, pimpinan kami mengira yang meninggal adalah gajah yang akan kami pasang GPS Collar, namun beliau bingung kok pakek ditandu segala. Akhirnya ditanya beberapa kali, "Siapa yang nggak ada?" Begitu saya menyebut nama Pak Slamet Riyanto, beliau terkejut tak percaya. Pada saat saya memberi khabar duka itu beliau sedang makan siang bersama tamu kami dari pusat, dari Direktorat Kawasan Konservasi Ditjen KSDAE. Mendengar petugas BKSDA Bengkulu ada yang meninggal dunia saat sedang menjalankan tugas di hutan, beliau langsung menghubungi Kepala Biro Kepegawaian, dan mungkin itulah yang menyebabkan khabar duka itu langsung didengar oleh Pak Dirjen KSDAE. Selanjutnya saya menghubungi Kepala Desa Gajah Makmur untuk minta bantuan evakuasi, saya menginformasikan ke Pak Kades bahwa kami mengalami musibah, salah satu anggota tim kami kondisinya kritis, mohon bantuan evakuasi. Saat bertemu dengan Pak Kades dan warga Desa Gajah Makmur, saya berbisik ke Pak Kades dan mengatakan bahwa teman kami sebenarnya telah meninggal dunia. Dan Pak Kades pun menyatakan hal yang sama saat memeriksanya. Akhirnya kami menuju Puskesmas terdekat di Desa Gajah Makmur.
Perjalanan menuju Puskesmas Gajah Makmur juga bukan hal yang mudah dilalui, apalagi habis hujan, kondisi jalan licin dan buruk, di beberapa tanjakan mobil WRU yang membawa Pak Slamet tidak bisa naik dan harus dibantu sling, bagian samping mobil pun perlu dibantu didorong oleh banyak orang agar mobil tidak terperosok ke lubang yang dalam pinggir jalan. Sekitar pukul 18.00 WIB sampai juga di Puskesmas Pembantu Desa Gajah Makmur, karena tidak ada dokter akhirnya diperiksa oleh bidan, dan dibuatkan surat kematian dari Puskesmas diketahui oleh Kepala Desa. Disaat yang bersamaan rekan-rekan kerja dari BKSDA Bengkulu sudah bersiap-siap di rumah duka, namun keluarga Pak Slamet Riyanto tidak percaya bahwa beliau telah meninggal dunia. Saat menghubungiku, ingin bicara langsung dengan pihak Puskesmas Desa Gajah Makmur untuk mengetahui informasi yang sebenarnya. Beberapa warga desa mendatangi kami untuk membantu, membuatkan makan malam, memberikan kain penutup jenazah dan menawarkan bantuan lainnya, mungkin karena melihat saya masih memakai baju lapangan basah kuyup dan berlumpur, menggigil kedinginan menunggu disamping jenazah Pak Slamet, sambil terus mencari bantuan ambulance. Kepala Desa dan warga Desa Gajah Makmur menemani kami selama berada di Puskesmas Pembantu Desa Gajah Makmur.
Saya kembali meminta bantuan Pak Kades dan Puskesmas untuk mencari ambulance. Agak sulit mencari ambulance yang mobil double untuk bisa menjangkau desa itu, menurut informasi puskesmas yang punya adalah perusahaan perkebunan PT Alno. Mereka ingin menghubungi sopir ambulance PT Alno, mendengar nama PT Alno, langsung saya bicara dengan Pak Kades dan pihak Puskesmas, "biar saya saja yang menghubungi PT Alno". Saya langsung menghubungi General Manager PT Alno, dan beliau langsung merespon untuk mengirim bantuan ambulance. Beliau bertanya lokasi kami saat itu dekat dengan areal perkebunan PT Alno yang mana, saya sampaikan bahwa Desa Gajah Makmur dekat dengan perkebunan PT Pangeran (PT Alno Group). Beliau langsung menghubungi manager area, dan manager area langsung memerintahkan sopir ambulance menuju ke lokasi kami di Puskesmas Desa Gajah Makmur. Kami dengan Tim berbagi tugas, karena kendala signal maka kami tidak bisa meghubungi rekan kami yang berjaga di tenda untuk menginformasikan apa yang terjadi dan untuk segera berkemas. Akhirnya mobil KPHK Seblat yang sebelumnya dikemudikan oleh Pak Slamet Riyanto ganti dikemudikan oleh anak Pak Kades Gajah Makmur untuk menginformasikan musibah ini ke anggota tim yang berjaga di tenda untuk mengemas semua barang dan peralatan dan kembali pulang. Sedangkan saya bersama Pak Zirun Lailani, Pak Suwaji dan Pak Marloki membawa jenazah menggunakan mobil ambulance. Pak Mustadin dan Budi mengiringi kami dari belakang dengan mobil WRU. Saya juga menghubungi Tim PHS-KS (TNKS) untuk mengirim drivernya guna meminta bantuan membawa mobil KPHK Seblat berserta peralatan dan barang kami yang masih tertinggal, saya tidak bisa meminta bantuan Pak Asep Nasir karena beliau telah mendapat tugas dari BKSDA Bengkulu untuk ke keluarga korban dan menyiapkan semua kebutuhan menyambut jenazah Pak Slamet datang ke rumah duka.
Mengingat jalan yang kami lalui sebelumnya melewati SP 8 dan PT DDP ada hambatan, kami memilih jalan yang lebih dekat dan kondisinya lebih bagus yakni melewati areal HGU PT Alno, lebih dekat ditempuh dari Desa Gajah Makmur. Yang membuat saya bersedih kembali malam itu, karena perjalanan kami melewati jalan poros yang melintasi kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat. Saat beliau telah meninggal dunia, jenazah beliau pun harus lebih dulu melewati kawasan hutan yang dicintainya, kawasan hutan yang dia ikut perjuangkan dari ancaman apapun, tempat dimana beliau pernah bekerja, bahkan tidak hanya bekerja, beliau juga mendukung secara financial jika dibutuhkan. Pengorbanannya untuk TWA Seblat dan gajah-gajah yang ada di dalamnya sungguh luar biasa. Sepanjang perjalanan yang sangat mengganggu pikiran saya adalah bagaimana saya harus menjelaskan kepada istri dan anaknya apa yang telah terjadi, saya tidak sanggup. Saya menangis mengingat itu dan merasa sangat tertekan. Karena selama bekerja di BKSDA Bengkulu, saya sangat dekat dengan beliau, sangat dekat dengan keluarganya, dekat dengan istrinya bahkan sudah seperti keluarga sendiri. Rumahnya tempat saya menginap bila saya kemalaman saat akan masuk ke hutan atau akan kembali ke Bengkulu dari hutan. Karena itu, saya benar-benar tidak mampu menghadapi keluarganya.
Malam itu kami tiba di Puskesmas Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara. Jenazah Pak Slamet Riyanto dilakukan visum oleh tim medis disana didampingi pimpinan dan rekan-rekan dari BKSDA Bengkulu. Orang-orang melihat kami dalam kondisi lusuh, baju basah karena hujan, dan penuh lumpur, terlihat sangat kelelahan, hanya duduk terdiam dengan pandangan kosong di depan Puskesmas karena tidak tahu harus berbuat apa, tidak ikut masuk dalam ruangan, karena melihat wajah Pak Slamet tentu akan membuat kami sangat bersedih. Tangis saya pecah kembali saat ada rekan kerja lainnya dan Kasubag TU menghampiri mencoba untuk menenangkan saya. Anggota Tim lainnya terdiam membisu. Akhirnya kami dianjurkan untuk tidak ikut sampai ke rumah duka, namun kami diungsikan ke mess/ Resort TNKS untuk mandi, berganti baju dan beristirahat, menenangkan diri. Kepala Balai, Kasubag TU dan Kepala Seksi serta rekan kerja dari BKSDA Bengkulu selanjutnya yang akan mengurusi jenazah Pak Slamet Riyanto ke rumah duka.
Esok harinya, Jumat 6 November 2020 hari itu saya datang ke rumah duka bersama kawan-kawan BKSDA Bengkulu dan BBTNKS, dan yang langsung saya temui adalah istrinya. Kami berpelukan dan menangis bersamaan. Saya tidak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba Mbak Yuli (istri Pak Slamet Riyanto) bertanya, "Mas Slamet ada pesan nggak Mbak Yanti?" "Nggak ada mbak? Nggak ada pesan, juga nggak ada tanda-tanda, rasanya saya masih ngggak percaya". Kemudian saya bertanya, "selama ini ada keluhan sakit nggak mbak Yuli?" "Nggak ada", jawabnya. "Pusing aja sih". Setelah kami sama-sama tenang kembali, istrinya memintaku untuk mendokumentasikan semua tahapan prosesi pengurusan jenazah di rumah duka hingga pemakaman, karena keluarga Pak Slamet Riyanto yang di Yogyakarta memintanya. Tiba-tiba keluarga Pak Slamet dipanggil untuk menyaksikan jenazah dikafani, dan saya pun dipanggil untuk ikut menyaksikan. Saya sudah tenang dan tidak akan meneteskan air mata akhirnya saya bersedia. Tim GPS Collar bersama kawan-kawan BKSDA dan BBTNKS hari itu bersama-sama ikut men-shalatinya di masjid yang beliau dirikan yang berada di komplek pondok pesantren yang juga beliau dirikan dan support dengan cita-cita sangat mulia menyediakan tempat belajar bagi anak-anak yang kurang mampu dan menjadikan mereka Hamilul Qur'an. Kami mengantarkannya ke peristirahatan terakhir di pemakaman Desa Air Muring, Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara.
Pemakaman Pak Slamet Riyanto, Desa Air Muring, Kec. Putri Hijau Kabupaten Bengkulu Utara, 6 November 2020 |
Selamat jalan kawan......
Rekan kerja terbaik kami, rimbawan sejati
Beristirahatlah dengan tenang
Disana Allah akan memberikan tempat yang terbaik
Kami semua mengakui dan sebagai saksi atas dedikasimu yang begitu tinggi
Bahwa pengabdian dan pengorbananmu untuk konservasi satwa liar dan habitatnya tak diragukan lagi
Dan memilih jalan sunyi untuk mengabdi bagi negeri
Bahkan di penghujung usiamu ditakdirkan berada bersama kami
di tengah rimba untuk mendukung konservasi Gajah Sumatera
Tanpa disadari itulah detik-detik terakhir kami bersamamu
Alam semesta sangat kehilanganmu, tidak hanya kami
Gajah...Harimau...Penyu.....dan seisi rimba yang selama ini hidupmu telah engkau korbankan untuk mereka
Semoga engkau damai di sana
di tempat peristirahatanmu terakhir
Hutan Produksi Air Rami, Bengkulu 5 November 2020, pukul 12.39 WIB
Tempat yang terpilih untuk menutup usiamu
Membuktikan betapa besar perjuanganmu untuk konservasi di negeri ini