Kamis, 18 Februari 2016

Kick Andy Talk Show "PENGABDIAN TANPA BATAS" di Metro TV


Narasumber 'Pengadian Tanpa Batas' di Acara Kick Andy Show - Metro TV
Doc. Metro TV

Sabtu, 13 Pebruari 2016 saya ingin beristirahat setelah kembali dari perjalanan selama tiga hari ke Kabupaten Mukomuko untuk menjadi saksi ahli mewakili Forum HarimauKita (The Indonesian Tiger Conservation Forum) dalam penyidikan dua kasus wildlife crimes yakni perburuan dan perdagangan harimau sumatera di Bengkulu yang sedang ditangani oleh Polisi Resort Mukomuko. Perjalanan yang melelahkan, dari pagi hingga larut malam, bahkan jam 12 malam saya dan tim PHS-KS (Tiger Protection and Conservation Unit - Kerinci Seblat National Park) baru tiba di mess TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat) di Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara tempatku menginap. Setelah kembali ke Kota Bengkulu dan akan beristirahat, seorang wartawan media lokal di Bengkulu menghubungi saya untuk memberitahukan bahwa televisi nasional Metro TV Jakarta ingin mencari tahu nomor hand phone saya, karena mereka ingin mengundang saya menjadi narasumber di acara Kick Andy Talk Show di Metro TV. Semula saya berpikir CNN lah yang akan mengundang saya untuk menjadi narasumber, karena sebelumnya presenter Desi Anwar mengungkapkan ingin bertemu dan mewawancaraiku untuk acaranya setelah saya selesai melakukan shooting untuk acara Indonesian Heroes " pada tanggal 21-23 Januari 2016 di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu Utara yang akan ditayangkan oleh CNN Indonesia. Pada saat berada di lapangan itu teman kerja saya juga memberitahuku bahwa liputan TV One di Jakarta tentang profile saya sedang ditayangkan siang itu. Toh saya sendiri tidak pernah melihat acara / pemberitaan tentang diri sendiri di media televisi, karena sudah tahu isi beritanya dan ikut proses pembuatannya ....hehehe !

Hari itu juga tanggal 13 Pebruari 2016 jam 10 pagi salah satu crew Kick Andy Show menghubungi saya dan mengundang saya agar bersedia menjadi narasumber untuk acara Kick Andy Show pada hari Kamis tanggal 18 Pebruari 2016 di studio Metro TV Jakarta. Dan sebelumnya juga akan diadakan pengambilan video aktivitas sehari-hari di lokasi tempat bekerja. Sebenarnya saya tidak keberatan untuk shooting di lapangan, namun yang menjadi pertanyaan saya apakah mereka siap mengikuti jadwal saya yang biasanya serba mendadak sedangkan mereka berada di Jakarta. Saya hanya bisa beristirahat 2 jam saja di hari itu sebelum akhirnya hari minggu pagi sudah harus pergi lagi ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) di Kabupaten Musirawas, Provinsi Sumatera Selatan untuk membantu Animals Indonesia dalam pemeriksaan kukang (Nycticebus coucang) saat proses karantina. Saya sendiri tidak tahu bagaimana harus mengatur jadwal agar crew Kick Andy bisa mengambil video aktivitas saya sehari-hari seperti yang mereka inginkan, sepertinya sudah tidak ada waktu lagi yang tersisa. Hanya dua hari saya berada di Sumatera Selatan, selesai pemeriksaan medis untuk dua ekor kukang yang baru datang ke PPS sore harinya langsung kembali ke Kota Bengkulu. Rencana semula saya berada di Sumatera Selatan selama tiga hari, namun karena sulit akses internet maka saya percepat menjadi dua hari kebetulan juga ada tumpangan mobil yang membawaku keluar lokasi ke kota Lubuk Linggau, karena beberapa hari saya musti aktif untuk komunikasi via email dengan tim research Metro TV yang sedang mengumpulkan data tentang profil saya. Dan saya musti berkomunikasi dengan beberapa orang dari tim liputan itu yang telah punya tugas masing-masing untuk menggali informasi dan mengambil/ mengumpulkan gambar/ video aktivitas sehari-hari narasumber dari masa kanak-kanak hingga sekarang.

Minggu, 14 Pebruari 2016 saya dihubungi kembali untuk mengirimkan CV saat saya masih berada di lapangan dan sedang operasi kukang, tentu tidak bisa saya lakukan. Senin, 15 Pebruari 2016, malam hari saya baru sampai Kota Bengkulu, badan terasa sangat lelah dan akhirnya tertidur di depan komputer saat email tentang CV saya pun belum sempat terkirim.... hehehe :) Hanya data tambahan yang diperlukan baru bisa kukirimkan lewat WhatsApp.

Selasa, 16 Pebruari 2016, saya sudah disibukkan dengan pekerjaan di kantor BKSDA Bengkulu untuk mengurusi obat-obatan gajah dan peralatan medis untuk rescue harimau yang belum selesai juga pengadaannya serta menyelesaikan laporan medis. Disela-sela itu saya sempatkan waktu untuk menjawab pertanyaan wawancara dari crew Kick Andy Metro TV lewat email, itulah satu-satunya cara yang saya tawarkan dan memungkinkan untuk dilakukan, karena saya tidak bisa mengerjakan pekerjaan saya sambil menjawab pertanyaan lewat telepon. Selain itu disaat yang bersamaan crew Kick Andy juga sedang liputan untuk narasumber lainnya. Ada 16 pertanyaan yang musti kujawab dengan jawaban bercerita dalam 15 halaman. Banyak juga yaaa....... :) "Bahkan curhat pun boleh", katanya.....hahaha :) Dan saya jawab, "kalo pakek curhat segala, kaget ntar bacanya".

Tim lainnya dari Kick Andy terus menghubungi saya untuk mengirim photo atau video aktivitas sehari-hari sebagai dokter hewan, untuk permintaan yang ini cukup lama bisa saya penuhi karena butuh waktu seharian untuk bisa mencari dan memilih photo/ video kegiatan saya saat masih kuliah, saat bekerja sebagai dokter hewan baik yang di Indonesia maupun di Afrika, dan di rumah sakit satwa liar serta kebun binatang di Australia maupun Amerika Serikat, saat sedang mengikuti konferensi ilmiah baik nasional maupun internasional, saat mengajar mahasiswa kedokteran hewan, saat memberikan pelatihan untuk dokter hewan lokal dan petugas lapangan, serta saat memberikan penyuluhan kepada masyarakat, private sector, relawan LSM konservasi satwa liar sesuai dengan permintaan crew Kick Andy. Proses mengirimkan photo/ video lewat email meski sudah di-compress sekalipun juga butuh waktu yang tidak sebentar. Tapi akhirnya untuk urusan ini baru selesai esok paginya, padahal hari Rabu tanggal 17 Pebruari 2016 adalah batas akhir editing. Hari Rabu itu saya dihubungi lagi oleh crew Kick Andy yang meminta data dan dokumentasi saat saya masih kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Surabaya dan saat wisuda serta dokumentasi tentang kehidupan masa kecil. Saya sendiri saja sudah tidak tahu lagi dokumentasi keluarga kami ada di kota mana dan disimpan dimana, di Surabaya atau di Nganjuk, karena sejak pindah ke Sumatera saya tidak membawa satupun dokumentasi keluarga dan photo-photo masa kecil sampai  dewasa saat masih tinggal di Jawa. Untuk mendapatkannya tentu butuh waktu, karena harus mencari lewat orang lain, sedangkan hari itu batas waktu terakhir untuk editing. Sebelumnya tidak pernah sesibuk ini untuk persiapan liputan acara televisi, mungkin karena untuk acara yang satu ini butuh informasi detail dan banyak data yang harus dikumpulkan sebelum talkshow dilakukan. Biasanya dengan media lain baru sibuk bukan diawal tapi pada saat proses liputan seperti waktu shooting untuk acara serial televisi Perancis tentang aktivitas dokter hewan dalam penanganan satwa liar di Indonesia, bahkan kami baru selesai dan bisa istirahat jam 2 atau 3 dini hari dan mulai shooting lagi jam 6 pagi selama beberapa hari, baru bila tidak ada gangguan di lapangan bisa tidur lebih awal :)

Hari itu saya juga baru memberi tahu keluarga dan teman-teman dekat mungkin bisa hadir di studio Metro TV untuk mendampingi saya. Saya memang tidak banyak memberitahu orang lain ikut acara ini bahkan teman-teman kerja saya di BKSDA Bengkulu tidak banyak yang tahu, meski akhirnya mereka pun protes kenapa tidak diberi tahu mungkin dari mereka ada yang mewakili untuk bisa hadir. Dan baru hari Selasa sampai Kamis pagi saya mendaftarkan keluarga dan teman-teman saya ke Metro TV yang akan hadir di acara itu dan menginformasikan dresscode apa yang harus dipakai. Ada 28 orang yang hadir dari pihak saya, beberapa orang membatalkan hadir karena ada hal lain yang tidak bisa ditinggalkan, paling banyak diantara narasumber lainnya, padahal mereka tidak hanya dari Jakarta saja tapi ada yang dari luar kota, bahkan ada yang datang langsung dari Surabaya. Ini yang membuat saya sangat terharu dan bahagia, dan saya merasa mereka sangat berarti buat saya karena mereka datang untuk saya. Keluarga dan teman-teman narasumber yang terdaftar akan mendapat prioritas masuk studio terlebih dahulu dan duduk dibagian depan. 

Untuk bisa diundang acara talkshow Kick Andy dengan tema Pengabdian Tanpa Batas " ini menurutku prosesnya juga tidak mudah, karena tim research mereka menilai kami para narasumber dari perjalanan panjang yang kami lalui dengan tidak mudah, butuh perjuangan keras, penderitaan, ketidaknyamanan, serta semangat pantang menyerah untuk menolong orang lain dan makhluk lainnya sesuai dengan bidang keahlian kami masing-masing, kebetulan hanya saya satu-satunya yang dokter hewan, narasumber lainnya adalah seorang dokter senior yang praktek di Medan dan satunya lagi dokter spesialis kanker anak. Kami bertiga adalah orang-orang yang mempunyai kesamaan tujuan yakni ingin membuat perubahan dan hanya ingin menolong sesama dan makhluk lainnya yang membutuhkan adalah orientasi kami untuk mengabdi pada profesi.

Kamis, 18 Pebruari 2016. Beberapa hari yang lalu saya sudah mendapat kiriman tiket penerbangan dari Bengkulu - Jakarta PP dari Metro TV setelah saya menyatakan bersedia menjadi narasumber untuk acara Kick Andy. Pukul 11.48 WIB saya sudah sampai di Bandara Soekarno Hatta dan dijemput oleh driver Metro TV, di dalam mobil sudah ada salah satu narasumber lainnya yaitu Prof. Aznan seorang dokter yang berasal dari Medan. Dalam mobil suasana hening tak satupun orang yang berbicara, yang terdengar hanya suara batuk saya saja yang tak kunjung berhenti karena memang saya sedang sakit dan terkena radang tenggorokan. Kami diantarkan ke Fave Hotel tempat kami menginap untuk beristirahat sebentar tak jauh dari studio Metro TV, dan jam 4 sore kami sudah dijemput kembali untuk dibawa ke studio Metro TV dengan membawa semua perlengkapan untuk kebutuhan pemotretan profil untuk website dan yang dipakai untuk shooting/ talkshow. Saya tidak sempat menyiapkan kostum apa yang bisa saya pakai, karena baju lapangan saya lebih banyak berada di camp di hutan dan hanya satu saja yang ada di Kota Bengkulu, jadi itu saja yang saya bawa. Untuk alternatif lainnya saya meminjam baju kerja adik saya untuk dibawakan ke studio, kebetulan kami sama-sama kerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tentu memiliki seragam dinas yang sama. Akhirnya yang dipilih oleh MetroTV adalah baju lapangan "Wildlife Rescue Team" saya untuk dipakai shooting dan pemotretan. 

Sesampainya di depan Metro TV saya melihat keluarga dan teman-teman satu organisasi di Pecinta Alam Wanala Unair sudah datang terlebih dulu. Setelah menyapa dan bicara sejenak, saya diminta oleh crew Kick Andy untuk naik ke lantai 3 bersama narasumber lainnya. Setelah menikmati hidangan yang telah disediakan, saya diajak masuk ke ruang make up untuk didandani agar terlihat lebih menarik. Tiga orang petugas make up dengan cekatan merias wajah dan merapikan rambut saya. Tak perlu waktu lama untuk merubah wajah saya dari penampilan sebelumnya. Keluar dari ruang make up ternyata keluarga saya sudah dibawa ke lantai 3, salah satu keponakan saya bertanya, " Auntie dimana ?" padahal saya ada didepannya, petugas make up itu telah sukses merubah wajah saya sampai tidak dikenali lagi :) Kemudian saya diminta masuk ruang VIP untuk berganti seragam, setelah itu kami bertiga menuju ruang pemotretan di lantai 2. Saya bahkan tidak membawa aksesoris yang biasa dipakai di lapangan seperti topi, stetoskop, blowpipe dan lain-lain, hanya daypack, baju dan sepatu lapangan saja yang saya bawa. Akhirnya stetoskop salah satu narasumber kami pakai bertiga secara bergantian untuk keperluan pemotretan....hehehe ! Untungnya ada yang bawa :) Sulit bagi kami bertiga untuk bisa bergaya saat pemotretan. Saya sendiri hobby memotret tapi tidak hobby dipotret :)

Saat menyusuri lorong-lorong di studio, keluar pertanyaan spontan saat kami melihat sesuatu, seperti saat saya memperhatikan televisi yang ada di ruangan, saya bertanya, "Kenapa orang di studio tidak melihat acara TVnya sendiri ya ? Yang dilihat kok TV lain ?" (Dalam hati aku jawab sendiri, "ya kenapa juga lihat acara yang dibuat sendiri, kan sudah tahu"). Seorang narasumber juga spontan bertanya saat melewati sebuah patung besar di ujung lorong, "Ini patung siapa ? Saya pikir Surya Paloh?" Kami berempat pun langsung memperhatikan bentuk patung itu dan menerka-nerka.

Malam itu acara akan segera dimulai, dan penonton yang berjumlah sekitar 650 orang sudah berbaris berjajar untuk naik ke lantai tiga dan memasuki studio. Petugas security sudah berjaga-jaga di setiap ujung eskalator. Crew Kick Andy menyarankan agar teman-teman dan keluarga saya masuk terlebih dahulu sebelum penonton lainnya. Bagaimana caranya mencari orang diantara 650 orang yang berjubel di lantai dasar, pikirku. Dengan diantar security dan crew Kick Andy saya mencoba untuk mencari mereka agar masuk studio lebih dulu. Namun karena banyaknya penonton akhirnya mereka lebih memilih untuk tidak kehilangan narasumber di tengah-tengah penonton daripada saya menemukan teman-teman saya tapi ganti saya yang susah ditemukan :)

Menunggu acara talkshow dimulai bersama narasumber lainnya
Saat penonton memasuki studio, kami bertiga berada di ruang VIP untuk berkenalan dan briefing terlebih dahulu dengan Andy F Noya sang pembawa acara, pertemuan kami didokumentasikan oleh crew Kick Andy lainnya. Kebetulan saya tampil di segmen ke 5 dan 6, jadi terakhir sendiri. Lalu kami memasuki studio duduk tersembunyi disamping kursi penonton, sambil mendengarkan Andy F Noya membuka acara dan sambil menunggu giliran untuk dipanggil keatas panggung olehnya. Kedua keponakan saya yang melihat saya masuk studio datang menghampiri dan bertanya, "Auntie mau ngapain ?" Mereka belum mengerti dan mungkin bingung melihatku akan duduk didepan diatas panggung bersama pembawa acara, ditonton orang banyak dan ada banyak kamera yang merekam. Mereka belum paham kalau itu salah satu proses pembuatan acara di televisi. Esok harinya baru saya bisa menjelaskan waktu memutar acara Kick Andy di Metro TV di rumah memperlihatkan bahwa yang dilihatnya di studio itu nantinya akan ditayangkan di televisi seperti itu. 

Malam itu saya agak nervous, bukan karena dilihat oleh ratusan penonton di studio tetapi karena kondisi saya sedang sakit radang tenggorokan yang membuat saya sering batuk rejan dan sulit berhenti kalau sudah batuk, apalagi suhu dingin di dalam studio dan harus bicara banyak bisa memicu saya batuk, untuk itu saya sering minum air putih yang disediakan. Saya hanya mengkhawatirkan batuk saya kambuh sewaktu saya sedang bicara di atas panggung, karena saya juga tidak bisa membawa air minum diatas panggung. Saat kedua narasumber lainnya selesai talkshow giliran saya berikutnya, dua orang petugas make up sibuk kembali memberbaiki riasan wajah dan menata rambut saya. Floor Director mengarahkan saya untuk memilih duduk di sofa paling ujung dekat Andy F Noya. Dan saya disediakan air putih lagi untuk diminum sebelum naik ke panggung agar tidak batuk. Akhirnya nama saya dipanggil dan saya pun duduk di tempat seperti yang diarahkan oleh Floor Director acara tersebut. 

Saat saya menyeberangi Sungai Seblat bersama seekor harimau sumatera berusia 14 tahun korban konflik dengan manusia yang sedang direlokasi ke kawasan konservasi Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu

Sebelum talkshow dimulai, photo saya sedang menyeberangi Sungai Seblat bersama seekor harimau sumatera ditampilkan dan saya diminta untuk menceritakan kisah tentang photo itu. Bagi saya pribadi photo itu sama artinya dengan photo-photo lainnya, mungkin karena saya yang sudah terbiasa dan sudah lama bekerja untuk harimau sumatera jadi biasa-biasa saja, ya memang seperti itulah pekerjaan kami. Dan menyeberangi sungai dengan harimau sumatera hidup bagi saya juga bukan hal yang luar biasa karena saya yakin bisa maka saya melakukannya. Bahkan bagiku masih banyak kegiatan bersama harimau yang lebih beresiko, berbahaya dan penuh perjuangan untuk menyelamatkannya yang tak terdokumentasikan dan tak terungkapkan ke publik. Tapi sepertinya bagi sebagian besar orang, photo itu sangat mengandung arti dan photo itu bisa menceritakan kisah perjuangan dibalik itu, dan ternyata dari sebuah photo akhirnya juga terungkap kisah panjang dalam upaya penyelamatan harimau sumatera yang tidak mudah, dengan segala resiko, tantangan, menguras banyak air mata, dan perlu komitment tinggi dan semangat pantang menyerah. Bahkan niat baik untuk menolong makhluk lain pun belum tentu diterima dengan baik oleh pihak lain, terkadang dibalas dengan fitnah, penolakan, tekanan dan butuh kesabaran tinggi serta pengorbanan yang cukup besar, tidak hanya tenaga dan pikiran tetapi juga materi dan sanggup menderita dalam jangka waktu lama karena jauh dari fasilitas dan kenyamanan hidup. Ya memang benar, Pengabdian itu tidak ada batasnya, seperti tema talkshow saat itu.  

Saat menjadi narasumber Talk Show Kick Andy di Metro TV
Sebagian kecil dari suka duka di lapangan saat bekerja sudah saya ungkapan di acara talkshow itu, namun ada satu pertanyaan dari pembawa acara Andy F Noya yang tidak bisa saya jawab karena saya malu untuk menjawabnya, saat dia bertanya tentang gaji saya. Saat itu saya malu menceritakan tentang kenyataan pahit beberapa tahun yang lalu itu didengar oleh 650 penonton dalam studio termasuk keluarga saya dan teman-teman dekat saya, saya malu mereka tahu bahwa saya menderita di tahun-tahun awal saya bekerja di Sumatera, merantau di daerah baru yang belum pernah saya kunjungi, sendirian tanpa punya keluarga disana dan tak ada orang yang dikenal. Hanya bermodalkan komitmen kuat untuk membantu satwa liar di hutan agar kondisinya lebih baik yang membuat saya bertahan, meski banyak orang meragukan mungkin karena saya seorang perempuan dan berpendapat saya tidak akan pernah mampu bertahan.  Saat itu saya harus berjuang keras agar mampu bertahan hidup di Bengkulu dengan uang 150 ribu per bulan di tahun 2004, meski seharusnya gaji yang saya terima 300 ribu per bulan, setengahnya menguap entah kemana, karena uang yang diberikan kepada saya hanya 50%-nya saja. Bahkan sebagai dokter hewan gaji saya tidak sebanyak pengemis jalanan di ibukota. Dan saya pun tidak memiliki tuntutan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seperti buruh-buruh di Jakarta dan sekitarnya. Cukup tidak cukup 300 ribu itulah untuk biaya hidup sebulan, dimana biaya hidup di Sumatera lebih tinggi dibanding di Jawa. Dengan 150 ribu itu sudah mencakup biaya hidup, untuk biaya tempat tinggal dan bahkan membiayai untuk pekerjaan  yakni transportasi dan logistik di lapangan, tanpa dukungan dari pihak-pihak terkait membuat saya menjadi sangat mandiri, bekerja tidak harus menunggu anggaran pemerintah ada atau tidak. Prinsip saya adalah sekecil apapun gaji saya yang paling penting adalah saya tidak boleh punya hutang dan meminta belas kasihan orang lain bahkan kalau bisa saya harus memberi orang lain yang membutuhkan. Makanya saya menolak saat teman-teman kantor saya yang memandang saya seperti anaknya sendiri memberikan bantuan finansial. Saya tetap berusaha sendiri selain bekerja untuk konservasi satwa liar, saya juga bekerja apa saja agar tetap hidup, karena kerja keras tanpa pantang menyerah dengan niat baik akan membukakan pintu rejeki yang halal dengan banyak cara dan dari mana saja. Itu juga yang membuat saya bisa bertahan hidup di perantauan.
  
Di satu sisi saya harus berjuang untuk bertahan hidup dan di sisi lainnya saya harus berjuang keras membuat perubahan/ perbaikan 'health care management' untuk membantu satwa liar di hutan, dan saya tahu persis itu tidak mudah, butuh waktu lama, siap menghadapi penolakan dan hanya orang-orang yang punya komitmen kuat serta mampu bertahan yang bisa melakukannya. Tantangan dan resiko lainnya saya kesampingkan, seperti medan dan lokasi kerja yang berat untuk dijangkau, harus tinggal di hutan bersama tim yang semuanya laki-laki dan dengan tipikal perilaku yang beragam, menghadapi binatang buas yang kadang bisa mengancam nyawa, dan saya menyadari dalam setiap pekerjaan pasti ada yang suka dan tidak suka, yang berusaha menjatuhkan dengan berbagai cara dan menghambat. Belum lagi adanya kebijakan pemerintah yang kurang mendukung, ancaman dari pelaku aktivitas illegal, ancaman dari masyarakat yang terkena dampak konflik satwa liar dan berbagai faktor lainnya yang melemahkan semangat dan menguji kesabaran dalam menghadapi kenyataan bahwa untuk menolong saja tidak mudah. Padahal disaat yang bersamaan saya juga mendapat tawaran dari 5 lembaga besar baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) nasional maupun internasional yang juga bekerja untuk konservasi orangutan, gajah, harimau dan meminta saya untuk bergabung dan bekerja di lembaga tersebut dengan tawaran fasilitas dan gaji yang lebih dari cukup sesuai dengan pengalaman kerja dan profesi saya sebagai dokter hewan. Tapi anehnya, hati saya mantab memilih membantu pemerintah untuk perbaikan dan perawatan gajah di hutan HPKH PLG Seblat yang sekarang sudah dialihfungsikan menjadi kawasan konservasi TWA Seblat, di Bengkulu Utara yang kemudian saya pun aktif membantu penyelamatan harimau korban konflik dan perburuan tidak hanya di Bengkulu saja. Hanya karena saat pertama kali travelling ke Bengkulu ingin melihat gajah dan siamang di habitat, saya merasa sedih dan prihatin dengan kondisinya, tidak ada dokter hewan disana, hati saya berkata ,"justru tempat seperti ini yang seharusnya dibantu dan mendapat perhatian". Sedangkan satwa liar yang dtangani oleh LSM-LSM besar tidak perlu dikhawatirkan karena mereka lebih fokus bekerja untuk satwa liar dan memiliki fasilitas yang jauh lebih baik untuk kepentingan satwa, tentu orang lain banyak yang bersedia bekerja disana, kalau di tempat seperti ini siapa yang mau kalau harus menderita dan keluar dari zona nyaman dengan gaji tidak layak dengan beban pekerjaan yang cukup berat.

Harimau sumatera bernama Elsa, korban perburuan liar

Permasalahan yang dihadapi pun tidak cukup sampai disitu, saya juga menghadapi banyak hambatan secara bertubi-tubi saat sedang merawat satwa baik gajah ataupun harimau yang saya tangani. Seringkali pihak lain yang seharusnya peduli menjadi acuh tak acuh bila diminta untuk ikut memikirkan nasib satwa korban konflik dan perburuan. Sedangkan kami dihadapkan kenyataan bahwa satwa tersebut perlu perawatan yang layak pasca penyelamatan. Merawat satwa dibutuhkan biaya pakan dan tempat yang layak serta obat-obatan yang memadai, dan itu yang kadang tak bisa dipenuhi. Kadang yang membuatku putus asa, untuk hidup sendiri saja pas-pasan apalagi juga harus menanggung biaya hidup pasien-pasien yang saya tangani yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kadang hanya instruksi dari pejabat yang saya terima bahwa apapun yang terjadi satwa itu tak boleh mati tapi tak ada bantuan dana untuk perawatannya karena anggaran harus diusulkan terlebih dulu setahun sebelumnya, disisi lain kami juga tidak pernah tahu kapan konflik terjadi, karena itu bisa terjadi kapan saja tanpa bisa diprediksi, dan mereka lupa bahwa gajah perlu makan dan tidak bisa kenyang dengan sendirinya hanya dengan instruksi saja. Kadang saya harus melihat kenyataan bahwa berhari-hari harimau tidak makan bahkan sudah tidak sanggup meraung lagi karena kelaparan, saya pun harus rela berbagi uang untuk saya dan untuk makannya, terkadang bila tidak punya uang sama sekali saya hanya bisa menangis didepannya saat harimau itu menatap mata saya tanpa suara, saya sangat sedih tidak bisa membelikannya makanan, dan saya tahu dia ingin mengatakan bahwa dia lapar dan membutuhkan makanan, meski bahasa kami berbeda tapi tatapan matanya sudah cukup membuat saya mengerti. Disaat menghadapi hal paling sulit dan saya sudah tidak tahu lagi bagaimana jalan keluarnya, saya selalu percaya bahwa Tuhan pasti akan memberikan jalan keluarnya, dan disaat saya sudah tidak bisa berpikir lagi, Tuhan selalu menghubungkan dan mempertemukan saya dengan orang-orang yang ingin membantu mengatasi permasalahan itu secara tidak terencana baik yang ada di Indonesia maupun di negara lain.

Sebagai manusia biasa tentu saya juga pernah mengalami rasa putus asa dan hampir menyerah karena tidak ada dukungan, bosan menderita, tidak punya solusi untuk menyelesaikan persoalan satwa dan habitatnya yang komplek dan bahkan untuk menolong saja tidak mudah, belum tentu diterima dengan baik oleh pihak-pihak terkait yang ditolong. Jika sudah muncul rasa ragu saya akan bertanya pada diri sendiri, "untuk apa sih saya ada disini ?" Dan berusaha untuk mengingatkan diri-sendiri tujuan awal saya ada di Bengkulu. Untuk menyemangati diri sendiri saya berkata dalam hati, "kalau saya bekerja orientasinya untuk mendapatkan kenyamanan dengan gaji besar, bukan disini tempat saya. tapi karena dari semula hanya berniat untuk menolong, disinilah tempatnya". Dan saya percaya sepenuhnya bahwa "God created you to be in the world. You are in the world to fulfil a specific mission", jadi saya ada disini sampai sekarang karena itu, karena ingin menolong satwa liar di hutan yang membutuhkan pertolongan, dan tidak punya kepentingan lainnya.

Bersama teman Saka Wanabakti saat SMA dari NTT
Meski kami dalam keterbatasan secara materi tapi saya sendiri merasa kaya, dengan punya banyak teman, punya banyak jaringan, dan masih mendapatkan kesempatan travelling ke beberapa negara untuk meng-update ilmu dan ketrampilan, menghadiri konferensi nasional dan internasional untuk saling berbagi ilmu dan informasi dengan kolega lainnya, dan merasa cukup bahagia hidup kami yang hanya satu kali ini bisa berguna untuk menolong orang lain atau makhluk lainnya yang membutuhkan. 

Saat acara talkshow selesai, Andy F Noya melarang saya beranjak dari kursi dan diminta untuk tetap duduk dengannya di atas panggung. Sambil mendengarkan lagu yang dibawakan oleh pemeran utama Film Denias. Saya sungguh tidak tahu, kalau vokalisnya itu adalah Albert Fakdawer, kalau saja tahu mungkin saya ingin mengajaknya berfoto.....hehehe :) Suaranya sangat bagus saat membawakan lagu Michael Jackson berjudul 'Heal The World'. Setelah pembawa acara menutup acara Talkshow, dia mengajak para narasumber berfoto bersama dengannya. Dia meminta saya yang terlebih dulu berfoto dengannya baru menyusul narasumber lainnya, "Ayooo....harimau foto dulu bersama buaya", katanya. Dua orang photographer Metro TV sudah siap di depan kami. Selesai foto berdua untuk dokumentasi Metro TV, dia berkata, "Mana keluarga dan teman-temannya, ayo kita foto bersama!

Keluarga dan teman-teman Wanala Universitas Airlangga yang mendampingi
dan mendukung saya di acara Talk Show Kick Andy - Metro TV

Ini adalah hari yang paling membahagiakan bagiku, karena acara Talk Show Kick Andy ini telah mempertemukan saya kembali dengan teman-teman lama dari organisasi Pecinta Alam Wanala Unair dan teman-teman dekat lainnya sesama relawan untuk konservasi satwa liar, juga teman organisasi Wanabakti sejak SMA yang berasal dari Nusa Tenggara Timur beserta keluarganya, diantaranya sudah belasan tahun tidak pernah bertemu lagi. Saya memang tidak mengundang teman-teman kolega dokter hewan dan teman-teman dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), namun meski begitu mereka sudah hadir juga untuk melihat langsung acara ini, tanpa saya sadari. Saya baru mengetahuinya setelah acara selesai dan saat saya turun dari panggung untuk mengajak teman-teman Wanala dan keluarga berfoto bersama Andy F Noya, mereka menyapa saya dan mengajak saya foto bersama dengan semua kolega dari Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK. Dan karena saya menjadi narasumber di acara ini, mereka bersedia meluangkan waktu untuk datang mendukung saya, meskipun mereka tidak hanya berasal dari Jakarta dan sekitarnya saja tapi juga datang langsung dari Surabaya. 

Meskipun kenyataannya kesempatan saya untuk bisa bertemu dan berbicara dengan mereka semua hanya beberapa detik saja, karena saya harus mengikuti jadwal ketat dari Kick Andy. Bahkan untuk bisa berbicara dengan mereka saya terus didampingi oleh salah satu crew Kick Andy, yang kadang terlihat tidak sabar menunggu dan mengingatkan bahwa saya sudah ditunggu. Waktu yang hanya beberapa detik untuk menemui dan berbincang-bincang dengan mereka sungguh besar artinya bagi saya, ini adalah bentuk sebuah dukungan yang menyemangati saya, meski tidak sebanding dengan pengorbanan mereka untuk datang dan sekian lamanya waktu kami tidak pernah bertemu. Bahkan kesempatan yang ada untuk bertemu setelah acara juga masih harus terbagi dengan melayani banyak orang yang ingin berfoto bersama denganku secara bergantian dan yang ingin saya tanda-tangan di buku yang mereka dapat di acara itu. Meskipun saya bukan selebritis dan hanya orang biasa-biasa saja maka saya harus bersedia melayani permintaan mereka satu-persatu dengan baik. Bahkan saat saya sedang berbincang-bincang sejenak dengan keluarga dan teman-teman Wanala, dan melayani orang lain yang ingin berfoto bersama, mobil Metro TV sudah menunggu saya di depan pintu masuk untuk mengantarkan saya beristirahat setelah acara.

Perjuangan hidup yang panjang itu adalah proses belajar dan pelajaran sangat berharga yang tentu hanya saya dapatkan sekali seumur hidup, hingga akhirnya membawaku seperti sekarang ini, dan membuatku sedikit berbeda daripada saya menjadi pegawai yang biasa-biasa saja yang tidak punya keberanian keluar dari zona nyaman demi satu tujuan mengabdi pada profesi untuk menolong satwa liar di hutan yang membutuhkan pertolongan. Bila saat itu saya menyerah berarti saya tidak lulus dalam menghadapi ujian hidup, dan orang akan mengenal saya tidak seperti 'Yanti' yang sekarang tentunya, yang hidupnya penuh liku dan penuh warna hanya karena berkomitmen untuk mengabdi pada profesi.  "Life will always have a different plan for you. If you don't give up, you will eventually get to your destination".

Saya sangat menyukai profesi saya saat ini dan saya bersyukur telah menjadi dokter hewan serta bisa mengabdikan profesi untuk membantu species yang diambang kepunahan. Merasa bahagia saat profesi dan hidup ini bermanfaat. Dan arti kebahagian bagi saya tidak bisa diukur dan dinilai dengan uang, dengan harta yang dimiliki, tapi kebahagiaan itu datangnya dari hati. Kami yang menjadi narasumber Pengabdian Tanpa Batas sama-sama sudah merasa bahagia bila profesi kami bisa menolong dan bermanfaat bagi sesama dan makhluk lainnya. Uang bukanlah segala-galanya dan bukan satu-satunya tujuan yang harus dikejar dalam bekerja. 

Minggu, 31 Januari 2016

HiLo Green Conference & Talk Show 2016


Tanggal 7 Januari 2016 saya dihubungi reporter salah satu stasiun TV swasta di Jakarta, sebelumnya kami memang pernah bertemu saat sedang liputan untuk acara stasiun TV nasional tentang PLG Seblat di Bengkulu dan sejak itu kami masih berkomunikasi. Dia mengatakan bahwa ada seorang dokter di Jawa Timur yang ingin menghubungi dan mengundang saya untuk menjadi pembicara dalam seminar. 


Beberapa hari kemudian saya dihubungi oleh HiLo Green Community (HGC), saya belum pernah mendengar nama organisasi itu sebelumnya, yang mengatakan bahwa mereka akan mengadakan acara konferensi dan talk show dengan tema 'Save The Endangered Animals' pada akhir bulan ini dan ingin mengundang saya untuk jadi salah satu narasumber. Saya belum tahu apakah itu HGC, sebelumnya saya mengira bahwa itu komunitas yang berasal dari Mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang. Karena di universitas tersebut seminar akan diselenggarakan, dan bahkan saya juga sempat berpikir atau mungkin itu komunitas pecinta satwa yang ada di Malang, Jawa Timur. Sebelum menyatakan bersedia menghadiri acara seminar, saya musti mencari tahu tentang organisasi itu, agar saya tidak menghadiri acara yang salah dan tidak ingin terjebak menghadiri acara organisasi yang mengeksploitasi satwa dengan mengatasnamakan penyelamatan satwa. Pada saat itu saya belum bisa memastikan untuk bisa datang atau tidak, selain mempertimbangkan hal itu juga karena masih harus melihat jadwal kerja saya lainnya apakah berbenturan atau tidak dan masih harus berkoordinasi dengan atasan. Ternyata perkiraan saya salah, setelah menemukan jawabannya maka saya bersedia menghadiri acara konferensi dan talk show tersebut. Dan langsung mengurus birokrasi administrasi dengan BKSDA Bengkulu untuk diberikan Surat Perintah Tugas (SPT). 

Sabtu, tanggal 30 Januari 2015, pukul 10.25 WIB saya berangkat ke Malang, Jawa Timur dengan penerbangan dari Kota Bengkulu menuju Surabaya, Jawa Timur. Sesampainya di Surabaya sudah dijemput oleh panitia yakni dari HiLo Green Ambassador yang membawaku ke Kota Malang. Kami berhenti sejenak untuk makan siang dan istirahat di rumah makan Padang. Dalam hati aku berkata, "selama di Sumatera saja aku sebisa mungkin menghindari rumah makan ini karena tidak cocok dengan masakannya dan lebih memilih mencari rumah makan Jawa yang lokasinya jauh sekalipun, biasanya terpaksa baru makan ini bila tidak ada pilihan lainnya".  Sambil menunggu menu makanan disajikan, saya bertanya,"Ada yang berasal dari Sumatera ? Biasanya orang Sumatera memang kurang doyan makanan Jawa".  Ternyata tidak ada yang berasal dari Sumatera, malah mereka yang mengira saya berasal dari Sumatera. Memang, anggapan mereka tidak salah dan juga tidak benar, karena saya adalah orang Jawa yang kebetulan sudah lama tinggal di Sumatera. Tapi tak apalah, toh masakan Padang yang dijual di Jawa rasanya juga jauh berbeda dengan masakan Padang yang dijual di Sumatera, rasanya masih menyesuaikan lidah orang Jawa. Selesai makan siang kami melanjutkan perjalanan, menjelang petang sampai juga di Kota Malang dengan disambut hujan badai sepanjang perjalanan. 

Menghadiri acara ini sama artinya meninggalkan acara penting lainnya, karena seminggu sebelumnya saya juga mendapat undangan untuk menghadiri acara The Regional Asian Elephant and Tiger Veterinary Workshop yang diselenggarakan di Kerala Veterinary and Animal Sciences University, India yang diadakan selama 6 hari di waktu yang bersamaan. Sebelumnya sempat bimbang, untuk membatalkan acara yang sudah dikonfirmasi akan hadir atau meninggalkan acara yang berhubungan dengan kegiatan medis, harimau dan gajah untuk peningkatan kapasitas diri dan berbagi informasi tentang permasalahan penyakit serta tentunya akan bertemu lagi dengan teman-teman lama yang bekerja untuk konservasi harimau dan gajah di beberapa negara, kebetulan sudah lama saya tidak bertemu mereka. Kebetulan beberapa orang yang hadir aku mengenalnya dengan baik tidak hanya yang berasal dari Asia saja tetapi juga kolega dari Amerika dan Eropa. Hari Sabtu tanggal 30 Januari 2016 sama-sama sudah harus berada di lokasi konferensi, baik di Malang ataupun di India Selatan. Tak lama kemudian saya juga dapat undangan dari Saka Wanabakti Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu untuk menghadiri acara pelantikan kepengurusan Saka Wanabakti Rejang Lebong pada tanggal 30 - 31 Januari 2016. Sebelumnya saya juga menyatakan bersedia saat diminta untuk menjadi pembina Saka Wanabakti Rejang Lebong, karena saya juga tidak asing lagi dengan organisasi pramuka itu, sewaktu masih menjadi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) saya juga aktif berkegiatan di Saka Wanabakti di Perhutani yang ada di Jawa Timur.

Di Kota Malang saya menginap di Hotel de' Beautique, narasumber lainnya yang sekaligus juga rekan kerja saya dari Copenhagen Zoo Research Project di Taman Nasional Baluran juga menginap di hotel yang sama.  Kami seperti reuni saja, sering bertemu di banyak kegiatan yang berhubungan dengan konservasi satwa liar. Malam itu saya menghabiskan waktu untuk menyelesaikan bahan presentasi esok hari, sebetulnya selama perjalanan saat menunggu penerbangan di Fatmawati Soekarno Airport dan saat transit di Soekarno Hatta Airport saya sudah menyibukkan diri untuk menyeselaikan presentasi, sampai di Malang tinggal menambah kekurangannya. 

Kesempatan bisa berkunjung kembali ke Malang membuat saya bahagia, karena sudah sepuluh tahun lebih saya tidak pernah mengunjungi kota itu. Dulu awal berkarier sebagai dokter hewan satwa liar bermula di kota Malang, dan saya pernah tinggal di Malang beberapa saat sebelum hijrah ke Sumatera. Tentu banyak teman di kota itu, dan mereka kukenal sebagai aktivis konservasi satwa liar. Kembali ke Kota Malang sama artinya saya bernostalgia kembali dengan teman-teman lama dan bernostalgia dengan kota yang merupakan cikal bakal aktivitas saya dan yang membesarkan saya menjadi relawan dan akhirnya berkarier di dunia konservasi satwa liar. Dan saya juga sangat antusias saat melihat bahwa yang menjadi narasumber dalam konferensi dan talk show 'Save The Endangered Animals' tersebut tidak hanya kami berdua tetapi juga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur dan LSM ProFauna Indonesia yang kebetulan berkantor juga di Kota Malang. Namun sayangnya malam itu kami dapat informasi dari panitia bahwa mereka tidak bisa datang padahal mereka sama-sama memiliki kantor di Malang.

HiLo Green Conference "Save the Endangered Animals" di Graha Medika
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Minggu, tanggal 31 Januari 2016, Jadwal kami presentasi jam 1 siang, saya mendapat urutan terakhir. Setelah presentasi baru diadakan talk show yang dipandu oleh kolega dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang kebetulan juga menjadi HiLo Green Ambassador. Dalam presentasi ada hal yang tidak terduga dan tak biasa saat saya menampilkan photo harimau kami Elsa, saya tiba-tiba menangis dan tidak bisa melanjutkan kata-kata dan orang-orang yang hadir pun terdiam. Saya tidak tahu kenapa berubah menjadi begitu rapuh dan cengeng, mungkin teringat lagi betapa sulitnya kami mengevakuasi harimau Elsa sebagai korban jerat pemburu liar disaat kondisi saya yang tak berdaya saat itu, saya pun harus melakukan operasi amputasi kakinya yang membusuk karena jerat disaat saya sendiri sedang dirawat di UGD salah satu rumah sakit di Bengkulu, bagaimana sulitnya perjuangan kami merawatnya agar tetap hidup dan mendapatkan perawatan terbaik yang kami bisa disaat pihak lain dan pihak berwenang tidak peduli dengannya, perjuangan yang sarat dengan emosi, rasa putus asa dan air mata, belum lagi kami yang merawatnya dengan suka duka dihujat habis-habisan oleh pihak-pihak lain yang nyatanya membantu harimau kami pun tidak, yang seolah-olah mereka mengatakan pada publik bahwa sangat peduli dengan harimau sumatera, bahkan sampai direlokasi di kawasan konservasi pun tak pernah melihat bantuan mereka secara nyata terhadap harimau itu agar kualitas hidupnya lebih baik. Bicara itu mudah, tapi bukan itu yang kami dan harimau butuhkan, kami hanya membutuhkan tindakan nyata. Akhirnya saya pun harus melewatkan untuk membahas penyelamatan harimau Elsa daripada saya tidak bisa melanjutkan presentasi saya. Dia sungguh membuatku tidak bisa berkata-kata, seharusnya memang saya tidak menyinggungnya untuk saat-saat seperti ini. Dan saya sendiri pun masih sensitive bila orang lain bertanya soal itu, saya lebih memilih untuk tidak menjawabnya daripada mengingatkan saya kembali dengannya. Dua kali ditanya tentang harimau Elsa, dua kali juga membuatku menangis, sepertinya saya sungguh belum rela mendapati kenyataan telah kehilangan. 

Talk Show "Save the Endangered Animals" di Graha Medika
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Acara Talk Show kami dikejutkan dengan banyaknya orang yang antusias untuk bertanya, membuatku sedikit terhibur. Usai acara, banyak mahasiswa Kedokteran Hewan yang mendatangiku mengajak foto satu persatu dan foto bersama. "Apa menariknya berfoto denganku, karena aku bukanlah orang beken yang diidolakan banyak orang," pikirku. Dan mereka juga mengajakku berbincang-bincang, saya menyukai generasi muda yang sudah optimis dengan jurusan yang dipilihnya, apalagi ingin mengikuti jejak sebagai dokter hewan yang bekerja untuk konservasi satwa liar. Itu sungguh luar biasa, berharap saya bisa terus menginspirasi mereka dengan terus berkomitmen bekerja untuk konservasi satwa liar terutama harimau sumatera.

Bersama Mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan,
Universitas Brawijaya
Pulang dari acara saya dijemput oleh teman-teman dari Centre for Orangutan Protection (COP) yakni LSM yang bekerja untuk konservasi orangutan di Indonesia untuk diajak makan malam bersama. Bakso Presiden pilihan kami, belum dianggap pergi ke Malang bila belum merasakan Bakso Presiden yang terkenal itu. Malamnya masih dilanjutkan bertemu dengan teman-teman COP dan orangufriends atau alumni COP School yang juga merupakan mahasiswa kedokteran hewan, Universitas Brawijaya. 

Senin, tanggal 1 Pebruari 2016 jam 7 pagi saya dijemput teman dari COP untuk makan pagi bersama dilanjutkan mengisi waktu untuk pertemuan internal membahas organisasi dan project dengan teman-teman COP dan Animals Indonesia sampai jam 10 pagi, karena saya harus berangkat ke Bandara Abdul Rachman Saleh di Malang untuk kembali ke Jakarta hari itu juga. Sebenarnya masih banyak teman-teman lainnya yang ingin saya temui, teman dokter hewan, teman satu organisasi Pecinta Alam dan lainnya, namun waktu yang singkat selama berada di Malang sudah terisi penuh untuk acara dengan teman-teman kerja dan untuk hal-hal yang berhubungan dengan konservasi satwa liar. Waktuku tidak sia-sia dan menjadi sangat berarti meski hanya singkat berada di Kota Malang. Masih banyak teman lain yang belum bisa dijumpai selama disana, berharap suatu saat nanti ada kesempatan lainnya untuk bertemu mereka.

Sebelum kembali ke Bengkulu, Sumatera, saya masih mengadakan pertemuan dengan teman-teman di Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manggala Wanabakti Jakarta untuk rencana pembuatan buku dan mengikuti pertemuan dengan anggota Forum HarimauKita di Bogor, Jawa Barat untuk rapat lainnya. Memanfaatkan waktu diluar kerja untuk hal-hal yang bermanfaat itu memang membahagiakan dan membuat hidup menjadi selalu bersemangat.

Jumat, 01 Januari 2016

Pengamatan Biota Laut dan Satwa Liar selama 3 Hari di Pulau Panaitan


Tiga hari di Pulau Panaitan dari tanggal 30 Desember 2015 sampai dengan 1 Januari 2016, yakni mengisi waktu di penghujung tahun dan di tahun baru dengan kegiatan yang bermanfaat. Selama ini pergantian tahun identik dengan mengadakan pesta kembang api, berkonvoi di jalan raya atau sekedar nongkrong bersama teman dan keluarga di pusat keramaian atau dengan mengadakan barbeque party, namun kami tidak ingin mengikuti ritual seperti itu, dan lebih memilih berada di pulau tak berpenghuni dan terpencil di ujung barat Pulau Jawa sekaligus mengikuti kegiatan pelepasliaran monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang dilakukan oleh IAR (International Animal Rescue), JAAN (Jakarta Animal Aid Network) , PPSC (Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga) bekerjasama dengan TNUK (Taman Nasional Ujung Kulon).

Rabu, 30 Desember 2015
Ini adalah pengalaman pertamaku travelling ke Taman Nasional Ujung Kulon. Di keluargaku hanya adikku lah yang pernah mengunjungi tempat ini di awal kerjanya beberapa tahun yang lalu. Dan akhirnya aku pun mendapatkan kesempatan untuk mengadakan perjalanan ke pulau - pulau yang berada dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Berbicara tentang taman nasional ini yang terlintas dipikiran kita pastilah habitat terakhir dari badak jawa (Rhinoceros sondaicus), selain itu juga merupakan habitat bagi banteng (Bos javanicus) dan macan tutul (Panthera pardus). Namun tempat yang kukunjungi bukanlah daratan Pulau Jawa tapi pulau-pulau kecil yang ada di ujung barat Pulau Jawa sehingga tidak akan menemukan badak jawa, banteng dan macan tutul disana meski aku ingin sekali melihat mereka di alam.

Rusa (Cervus timorensis) di Pulau Panaitan, Taman Nasional Ujung Kulon

Sebelum berlabuh di Pulau Panaitan yang merupakan tujuan utama kami, aku diajak untuk singgah terlebih dulu di Pulau Peucang. Dari kejauhan terlihat ada sebuah perahu cepat dan perahu nelayan ukuran besar parkir di pantai pintu masuk Pulau Peucang. Pantai dengan pasir putih dan air laut yang berwarna hijau biru dengan batas kontras tampak bersih dan bening dari kejauhan sehingga ikan-ikan yang lalu lalang didalamnya tampak jelas dari atas perahu. Di pulau ini terdapat kantor dan penginapan wisatawan. 

Di pulau itu yang terlihat hanya babi hutan berkeliaran di sekitar kantor dan penginapan seolah-olah sudah tidak takut lagi dengan kehadiran manusia, begitu juga dengan monyet ekor panjang.  Di pinggir pantai aku melihat seekor rusa (Cervus timorensis) sedang mencari makanan, saat aku memotretnya dia pun melihatku. Aku sangat menyukai saat memotret satwa liar pandangannya melihat kearahku, gambar menjadi tampak hidup. Dan aku pun sangat menyukai memotret ekspresi hewan. Hanya sekitar 10 menit kami berada di Pulau Peucang, namun bagiku itu sudah cukup berkesan. 

Setiap kali aku mengunjungi kawasan konservasi yang sekaligus dimanfaatkan untuk ekowisata dengan melibatkan masyarakat sekitar selalu membuatku teringat tempatku bekerja. Di tempat lain mereka sudah sibuk untuk pengembangan diri dengan pemberdayaan masyarakat sekitar untuk ekowisata dan pada akhirnya bisa berkonstribusi meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) serta membantu perekonomian masyarakat sekitar kawasan, di tempatku sendiri malah masih disibukkan dengan perbaikan manajemen tanpa diimbangi dengan pengembangan dan pemanfaatan secara lestari kawasan konservasi yang berdampak langsung pada upaya konservasi dan menambah penghasilan masyarakat sekitar. Padahal masyarakat sekitar kawasan adalah benteng bagi pengamanan kawasan hutan. Bagiku perbaikan manajemen dan pengembangan kawasan konservasi harus berjalan beriringan. Dulu aku pun sudah pernah berusaha mengembangkan itu saat menjadi koordinator untuk mengelola sebuah kawasan konservasi yang merupakan habitat gajah di Bengkulu dengan mencoba menggandeng beberapa pihak terkait dan masyarakat serta mendorong mereka memiliki MoU dengan BKSDA Bengkulu, saat itu mulai tampak ada hasilnya namun bila selanjutnya tanpa didukung oleh pengambil kebijakan semua juga tidak akan berjalan, bahkan sekarang dihentikan. Sedih rasanya, disaat sudah bekerja keras dengan mengabdikan seluruh waktu dan pikiran untuk pekerjaan tanpa memikirkan kepentingan pribadi semua menjadi sia-sia. Kadangkala kita memang harus menyadari dan berbesar hati saat telah bekerja keras untuk tujuan yang baik belum tentu  mendapat dukungan, disaat yang bersamaan terkadang harus mendapati kenyataan saat orang lain bekerja dengan tujuan tidak baik malah mendapat dukungan. Ya begitulah hidup kadang terasa aneh dan tidak masuk logika :)  

Sedangkan di Pulau Panaitan satwa liar yang paling banyak dijumpai adalah burung dan rusa. Sebenarnya seorang teman mengajakku untuk berburu photo kancil, tentu aku tertarik karena belum pernah lihat kancil secara langsung di alam liar, aku membayangkan tubuhnya mirip dengan kijang namun ukurannya lebih kecil. Pulau Panaitan termasuk lokasi tempat hidup kancil, namun selama berada disana tak seekorpun yang terlihat olehku, mungkin aku belum beruntung ataukah ini tandanya aku harus kembali kesana lagi suatu hari nanti :) Saat pencarian kancil di sore itu dengan menyusuri hutan bersama seorang teman dari IAR, aku malah menemukan perangkap pemburu burung. Namun setiap pagi aku mendengar suara kijang yang berbunyi di sekitar tenda kami, aku suka mengintainya dan bersembunyi dibalik pohon sambil bersiap-siap memotret, namun lama menunggu dekat sumber air tawar, binatang itu tak kunjung menampakkan diri padahal suaranya terdengar begitu dekat. Memotret memang harus dengan penuh kesabaran, tidak boleh banyak bergerak dan mempunyai penglihatan yang jeli kearah hutan sekitar, bahkan saat memotret pun harus menahan nafas sejenak. Meskipun begitu yang jelas photography dengan obyek satwa liar adalah salah satu hobbyku.


Akhirnya sebagai alternatif mengisi waktu luang aku memilih untuk memotret biota laut yang ada di pantai dan batu karang. Selama berjalan kaki di hari pertama dari kandang habituasi monyet ekor panjang ke lokasi tenda untuk menginap waktu tempuh yang seharusnya satu jam atau sekitar 10 km untuk berjalan malah aku habiskan berjam-jam untuk mengamati batu karang berharap menemukan sesuatu yang baru dan memotretnya. Hal ini karena banyak binatang laut yang bentuknya unik dan belum pernah aku jumpai sebelumnya, membuatku sangat tertarik untuk tahu lebih banyak tentang jenis-jenisnya dan ingin mengabadikannya dengan kameraku. Kami berjalan pelan dan berhati-hati karena banyaknya landak laut atau bulu babi (Echinoidea) di sepanjang pantai agar kami tak tertusuk oleh binatang itu. Aku beserta dua orang teman dari IAR seperti anak kecil yang mendapat mainan baru saat melihat binatang laut, kami saling bertanya, "Yang ini apa sih ?" Dan kami pun sama -sama tidak tahu. Rasa ingin tahu yang tinggi membuat penasaran untuk menyentuhnya meski kami tidak tahu binatang tersebut beracun atau tidak, bahkan kami pun tidak tahu kalau itu binatang. Saat menemukan bentukan seperti bintang laut berwarna biru, salah seorang teman bertanya kepadaku, "Ini apa ?" "Mungkin mainan dari plastik yang terdampar di pantai", jawabku. Karena kami menganggap itu benda mati maka meletakkannya kembali ke pantai. Jadi kaget saat melihat benda itu mengeluarkan silia kemudian membalik tubuhnya dan berjalan pelan untuk bersembunyi dibalik batu karang. Kami berdua dokter hewan tapi tidak tahu kalau itu hewan....hahaha ! Ternyata itu memang bintang laut (Asteroidea), akhirnya aku memotret dan mengambil videonya. Selain itu aku juga memotret pemandangan sekitar yang sungguh indah. Pulau yang sepi tak berpenghuni serta terpencil bagiku memang indah dan tidak akan terlihat indah lagi bila sudah ada bangunan permanen yang berdiri di tempat seperti itu atau sudah banyak pengunjung bahkan orang berjualan, tentu sudah tidak menarik perhatianku lagi.


Kamis, 31 Desember 2015


Pemandangan pantai dilihat dari Bukit Teletabis - Pulau Panaitan, 
Taman Nasional Ujung Kulon

Di hari kedua pagi itu aku melewatkan ajakan seorang teman dari IAR untuk ikut berjalan-jalan masuk hutan berburu photo kancil, saat dia sudah berjalan-jalan aku masih meringkuk di dalam tenda enggan untuk bangun terlalu pagi.  Karena tidak ada kegiatan, aku memasak nasi goreng untuk sarapan pagi dan sambil nongkrong diatas pohon yang menjulur ke pantai sambil tidur-tiduran dan memperhatikan ombak yang datang dan pergi dari bibir pantai.  Berjam-jam aku betah di atas pohon sendirian. Kemudian aku berganti tempat pindah ke pohon lainnya dan sempat tidur siang disana, baru terbangun saat mendengar langkah kaki mendekat kearahku dan salah satu dari mereka bertanya, "Mau ikut nggak jalan-jalan ?"  Tentu aku langsung menyanggupi, kebetulan di dekatku tidur sudah siap kamera dan botol minum, berbekal itu saja sudah cukup bagiku. Kami menyusuri pantai dan terkadang masuk ke dalam hutan sejauh 10 km, tujuan kami adalah Bukit Teletabis, sampai di lokasi pukul 15. 29 WIB. Waktu yang kami tempuh sekitar 3 jam 39 menit, cukup lama untuk berjalan sejauh 10 km, karena kami banyak berhenti untuk memotret hal-hal menarik yang kami temukan, tidak hanya biota laut tetapi juga burung, mammalia dan pemandangan pantai yang indah.

Saat menyusuri pantai kami berjalan sangat hati-hati karena banyak dijumpai landak laut (bulu babi) dan kadang juga bisa menjumpai ikan pari yang sedang berlabuh di pantai. Banyak biota laut yang aneh dan unik kujumpai dalam perjalanan ini, lebih banyak diantaranya yang baru pertama kali aku melihatnya.

Inilah biota laut di Pulau Panaitan yang berhasil diambil gambarnya :




































































Selain binatang-binatang kecil dan unik yang ditemukan di batu karang, aku juga memotret beberapa burung pantai yang sedang menikmati ombak dan berburu mangsa, burung elang dan king fisher. Memotret rusa juga sulit karena binatang ini sangat sensitif dengan kehadiran manusia, meskipun aku banyak menjumpainya di pinggir pantai namun belum tentu dengan mudah memotretnya karena rusa selalu menghindar dan lari menjauh. Di hutan yang didominasi tanaman pandan aku menemukan banyak sekali kotoran rusa, dan saat perjalanan pulang aku melihat seekor induk rusa bersama anaknya terlihat dari pantai, namun rusa tersebut cepat berlari menjauh melihat kehadiranku. Dan aku pun hanya berhasil memotret seekor rusa dari sekian banyak kesempatan menjumpai rusa di Pulau Panaitan. 

Camping di Pulau Panaitan
Saat perjalanan kembali dari Bukit Teletabis ke tenda kami hanya memakan waktu selama 1 jam 49 menit sejauh 10 km, jauh lebih cepat dibanding saat berangkat pergi. Sesampainya di tenda sore itu masih kumanfaatkan untuk memotret sunset dan mencari cangkang kerang dan siput yang sudah tak terpakai lagi oleh penghuninya. Sehabis mandi di sumber air tawar tak jauh dari tenda, aku ngobrol hingga larut malam di depan tenda dengan teman lama dari JAAN yakni Femke dan Darno, kami larut dengan nostalgia di masa lalu saat masih sama-sama menjadi volunteer untuk konservasi satwa liar, dan obrolan kami lainnya tak pernah jauh dari issue-issue tentang satwa liar dan suka duka bekerja memperjuangkan nasib satwa liar di Indonesia. Ini seperti ajang reuni, karena di kesempatan ini aku tidak hanya bertemu mereka saja tapi juga seorang teman lama yang sekarang bekerja di IAR yakni Aris Hidayat, kami berdua juga dulunya sama-sama menjadi volunteer untuk konservasi satwa liar di Jawa Timur. Kesempatan yang jarang terjadi bisa berkumpul bersama di satu tempat seperti ini. Sedangkan teman-teman lainnya nongkrong di tempat yang berbeda. Kami semua mencoba untuk menghabiskan waktu menjelang pergantian tahun.

Malam itu kami briefing untuk rencana kegiatan selanjutnya. Saat malam telah larut hujan turun dengan derasnya, aku yang mencoba tidur lebih dulu tak merasakan bahwa air hujan masuk tenda kami. Sleeping bag di bagian kaki sudah basah, bahkan disampingku air menggenang sehingga kawanku satu tenda tak bisa tidur dibuatnya. Tenda itu sepertinya diperuntukan bagi para dokter hewan karena kebetulan yang menempati adalah aku sendiri dan seorang dokter hewan dari IAR serta satu lagi volunteer dokter hewan IAR dari India, tapi sepertinya dia tidak berminat untuk bermalam di tenda khusus untuk perempuan tersebut.


Jumat, 1 Januari 2016
"Selamat Tahun Baru"........ucapan yang kudengar pagi itu. Hmm.....rupanya kami sudah setahun camping disitu......hahaha :)  Hari itu kami akan kembali pulang, dan beberapa orang akan tetap tinggal di lokasi sampai pertengahan bulan Januari 2016 sambil monitoring proses habituasi monyet ekor panjang sebelum layak dilepasliarkan kembali ke alam. Mengembalikan satwa liar ke habitat alaminya jauh lebih sulit dibandingkan dengan orang yang tidak bertanggung jawab dengan mudahnya mengambil satwa liar dari alam.  Dan dalam proses pengembalian itu membutuhkan waktu yang panjang, tenaga dan pikiran yang terkuras dan biaya yang tidak sedikit agar satwa-satwa itu bisa menikmati kebebasan kembali dan menjalankan fungsinya dalam ekosistem. Sedangkan imbalan yang kita dapatkan adalah kepuasan batin yang tak terkira melihat satwa liar menikmati kebebasannya kembali, karena bagaimanapun tempat terbaik mereka adalah di hutan bukan di rumah orang dengan tubuh di rantai dan dijadikan obyek sebagai "Dancing Monkey" untuk menghasilkan uang bagi manusia.

Pantai di Kantor Seksi Pengelolaan TN Wilayah I, Pulau Panaitan, 
Taman Nasional Ujung Kulon

Pagi itu kami packing barang-barang, perahu cadik sudah menjemput dan kami harus bersiap untuk pergi menuju perhau yang lebih besar dan meninggalkan Pulau Panaitan. Di tengah perjalanan seorang kawan menawariku untuk turun dari perahu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, tawarannya menggodaku untuk mengikutinya karena tertarik dengan penjelasannya bahwa kami nantinya bisa menjumpai dan memotret satwa liar sepanjang perjalanan. Dengan membawa kamera dan botol minum sebagai teman perjalananan, kami mulai berjalan kaki dari Bajo sampai Kantor Seksi Pengelolaan TN Wilayah I yang ditempuh sekitar 1 jam perjalanan. Selama berjalan aku hanya dapat menjumpai burung saja dan pepohonan dengan diameter cukup besar, namun tak mengapa sesampainya di tujuan terlihat seekor rusa sedang berada di areal kantor seksi, akhirnya itulah yang jadi sasaran obyek memotret kami. Bagiku tidak itu saja yang menarik, namun keindahan pantainya juga cukup membuat terpesona, pasir putih yang halus dan lembut dikombinasi dengan air pantai yang bening kehijauan dan kebiruan. Tak sabar aku untuk segera turun dan menginjakkan kakiku di pantai indah itu tanpa peduli dengan teriknya matahari di siang hari yang panas. Bermain air sambil menunggu perahu besar menjemput kami dan akan membawa kami kembali ke Sumur, yakni kampung nelayan tempat kami berlabuh. Sepanjang perjalanan pulang aku habiskan waktu untuk berbincang-bincang dengan para polisi kehutanan (polhut) Taman Nasional Ujung Kulon yang pulang bersama kami. Bagiku ini adalah pengalaman pertama mengunjungi Taman Nasional Ujung Kulon dan tentu tidak akan terlupakan, tiga hari terlewati dengan sungguh menyenangkan.