Jumat, 01 Januari 2016

Pengamatan Biota Laut dan Satwa Liar selama 3 Hari di Pulau Panaitan


Tiga hari di Pulau Panaitan dari tanggal 30 Desember 2015 sampai dengan 1 Januari 2016, yakni mengisi waktu di penghujung tahun dan di tahun baru dengan kegiatan yang bermanfaat. Selama ini pergantian tahun identik dengan mengadakan pesta kembang api, berkonvoi di jalan raya atau sekedar nongkrong bersama teman dan keluarga di pusat keramaian atau dengan mengadakan barbeque party, namun kami tidak ingin mengikuti ritual seperti itu, dan lebih memilih berada di pulau tak berpenghuni dan terpencil di ujung barat Pulau Jawa sekaligus mengikuti kegiatan pelepasliaran monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang dilakukan oleh IAR (International Animal Rescue), JAAN (Jakarta Animal Aid Network) , PPSC (Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga) bekerjasama dengan TNUK (Taman Nasional Ujung Kulon).

Rabu, 30 Desember 2015
Ini adalah pengalaman pertamaku travelling ke Taman Nasional Ujung Kulon. Di keluargaku hanya adikku lah yang pernah mengunjungi tempat ini di awal kerjanya beberapa tahun yang lalu. Dan akhirnya aku pun mendapatkan kesempatan untuk mengadakan perjalanan ke pulau - pulau yang berada dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Berbicara tentang taman nasional ini yang terlintas dipikiran kita pastilah habitat terakhir dari badak jawa (Rhinoceros sondaicus), selain itu juga merupakan habitat bagi banteng (Bos javanicus) dan macan tutul (Panthera pardus). Namun tempat yang kukunjungi bukanlah daratan Pulau Jawa tapi pulau-pulau kecil yang ada di ujung barat Pulau Jawa sehingga tidak akan menemukan badak jawa, banteng dan macan tutul disana meski aku ingin sekali melihat mereka di alam.

Rusa (Cervus timorensis) di Pulau Panaitan, Taman Nasional Ujung Kulon

Sebelum berlabuh di Pulau Panaitan yang merupakan tujuan utama kami, aku diajak untuk singgah terlebih dulu di Pulau Peucang. Dari kejauhan terlihat ada sebuah perahu cepat dan perahu nelayan ukuran besar parkir di pantai pintu masuk Pulau Peucang. Pantai dengan pasir putih dan air laut yang berwarna hijau biru dengan batas kontras tampak bersih dan bening dari kejauhan sehingga ikan-ikan yang lalu lalang didalamnya tampak jelas dari atas perahu. Di pulau ini terdapat kantor dan penginapan wisatawan. 

Di pulau itu yang terlihat hanya babi hutan berkeliaran di sekitar kantor dan penginapan seolah-olah sudah tidak takut lagi dengan kehadiran manusia, begitu juga dengan monyet ekor panjang.  Di pinggir pantai aku melihat seekor rusa (Cervus timorensis) sedang mencari makanan, saat aku memotretnya dia pun melihatku. Aku sangat menyukai saat memotret satwa liar pandangannya melihat kearahku, gambar menjadi tampak hidup. Dan aku pun sangat menyukai memotret ekspresi hewan. Hanya sekitar 10 menit kami berada di Pulau Peucang, namun bagiku itu sudah cukup berkesan. 

Setiap kali aku mengunjungi kawasan konservasi yang sekaligus dimanfaatkan untuk ekowisata dengan melibatkan masyarakat sekitar selalu membuatku teringat tempatku bekerja. Di tempat lain mereka sudah sibuk untuk pengembangan diri dengan pemberdayaan masyarakat sekitar untuk ekowisata dan pada akhirnya bisa berkonstribusi meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) serta membantu perekonomian masyarakat sekitar kawasan, di tempatku sendiri malah masih disibukkan dengan perbaikan manajemen tanpa diimbangi dengan pengembangan dan pemanfaatan secara lestari kawasan konservasi yang berdampak langsung pada upaya konservasi dan menambah penghasilan masyarakat sekitar. Padahal masyarakat sekitar kawasan adalah benteng bagi pengamanan kawasan hutan. Bagiku perbaikan manajemen dan pengembangan kawasan konservasi harus berjalan beriringan. Dulu aku pun sudah pernah berusaha mengembangkan itu saat menjadi koordinator untuk mengelola sebuah kawasan konservasi yang merupakan habitat gajah di Bengkulu dengan mencoba menggandeng beberapa pihak terkait dan masyarakat serta mendorong mereka memiliki MoU dengan BKSDA Bengkulu, saat itu mulai tampak ada hasilnya namun bila selanjutnya tanpa didukung oleh pengambil kebijakan semua juga tidak akan berjalan, bahkan sekarang dihentikan. Sedih rasanya, disaat sudah bekerja keras dengan mengabdikan seluruh waktu dan pikiran untuk pekerjaan tanpa memikirkan kepentingan pribadi semua menjadi sia-sia. Kadangkala kita memang harus menyadari dan berbesar hati saat telah bekerja keras untuk tujuan yang baik belum tentu  mendapat dukungan, disaat yang bersamaan terkadang harus mendapati kenyataan saat orang lain bekerja dengan tujuan tidak baik malah mendapat dukungan. Ya begitulah hidup kadang terasa aneh dan tidak masuk logika :)  

Sedangkan di Pulau Panaitan satwa liar yang paling banyak dijumpai adalah burung dan rusa. Sebenarnya seorang teman mengajakku untuk berburu photo kancil, tentu aku tertarik karena belum pernah lihat kancil secara langsung di alam liar, aku membayangkan tubuhnya mirip dengan kijang namun ukurannya lebih kecil. Pulau Panaitan termasuk lokasi tempat hidup kancil, namun selama berada disana tak seekorpun yang terlihat olehku, mungkin aku belum beruntung ataukah ini tandanya aku harus kembali kesana lagi suatu hari nanti :) Saat pencarian kancil di sore itu dengan menyusuri hutan bersama seorang teman dari IAR, aku malah menemukan perangkap pemburu burung. Namun setiap pagi aku mendengar suara kijang yang berbunyi di sekitar tenda kami, aku suka mengintainya dan bersembunyi dibalik pohon sambil bersiap-siap memotret, namun lama menunggu dekat sumber air tawar, binatang itu tak kunjung menampakkan diri padahal suaranya terdengar begitu dekat. Memotret memang harus dengan penuh kesabaran, tidak boleh banyak bergerak dan mempunyai penglihatan yang jeli kearah hutan sekitar, bahkan saat memotret pun harus menahan nafas sejenak. Meskipun begitu yang jelas photography dengan obyek satwa liar adalah salah satu hobbyku.


Akhirnya sebagai alternatif mengisi waktu luang aku memilih untuk memotret biota laut yang ada di pantai dan batu karang. Selama berjalan kaki di hari pertama dari kandang habituasi monyet ekor panjang ke lokasi tenda untuk menginap waktu tempuh yang seharusnya satu jam atau sekitar 10 km untuk berjalan malah aku habiskan berjam-jam untuk mengamati batu karang berharap menemukan sesuatu yang baru dan memotretnya. Hal ini karena banyak binatang laut yang bentuknya unik dan belum pernah aku jumpai sebelumnya, membuatku sangat tertarik untuk tahu lebih banyak tentang jenis-jenisnya dan ingin mengabadikannya dengan kameraku. Kami berjalan pelan dan berhati-hati karena banyaknya landak laut atau bulu babi (Echinoidea) di sepanjang pantai agar kami tak tertusuk oleh binatang itu. Aku beserta dua orang teman dari IAR seperti anak kecil yang mendapat mainan baru saat melihat binatang laut, kami saling bertanya, "Yang ini apa sih ?" Dan kami pun sama -sama tidak tahu. Rasa ingin tahu yang tinggi membuat penasaran untuk menyentuhnya meski kami tidak tahu binatang tersebut beracun atau tidak, bahkan kami pun tidak tahu kalau itu binatang. Saat menemukan bentukan seperti bintang laut berwarna biru, salah seorang teman bertanya kepadaku, "Ini apa ?" "Mungkin mainan dari plastik yang terdampar di pantai", jawabku. Karena kami menganggap itu benda mati maka meletakkannya kembali ke pantai. Jadi kaget saat melihat benda itu mengeluarkan silia kemudian membalik tubuhnya dan berjalan pelan untuk bersembunyi dibalik batu karang. Kami berdua dokter hewan tapi tidak tahu kalau itu hewan....hahaha ! Ternyata itu memang bintang laut (Asteroidea), akhirnya aku memotret dan mengambil videonya. Selain itu aku juga memotret pemandangan sekitar yang sungguh indah. Pulau yang sepi tak berpenghuni serta terpencil bagiku memang indah dan tidak akan terlihat indah lagi bila sudah ada bangunan permanen yang berdiri di tempat seperti itu atau sudah banyak pengunjung bahkan orang berjualan, tentu sudah tidak menarik perhatianku lagi.


Kamis, 31 Desember 2015


Pemandangan pantai dilihat dari Bukit Teletabis - Pulau Panaitan, 
Taman Nasional Ujung Kulon

Di hari kedua pagi itu aku melewatkan ajakan seorang teman dari IAR untuk ikut berjalan-jalan masuk hutan berburu photo kancil, saat dia sudah berjalan-jalan aku masih meringkuk di dalam tenda enggan untuk bangun terlalu pagi.  Karena tidak ada kegiatan, aku memasak nasi goreng untuk sarapan pagi dan sambil nongkrong diatas pohon yang menjulur ke pantai sambil tidur-tiduran dan memperhatikan ombak yang datang dan pergi dari bibir pantai.  Berjam-jam aku betah di atas pohon sendirian. Kemudian aku berganti tempat pindah ke pohon lainnya dan sempat tidur siang disana, baru terbangun saat mendengar langkah kaki mendekat kearahku dan salah satu dari mereka bertanya, "Mau ikut nggak jalan-jalan ?"  Tentu aku langsung menyanggupi, kebetulan di dekatku tidur sudah siap kamera dan botol minum, berbekal itu saja sudah cukup bagiku. Kami menyusuri pantai dan terkadang masuk ke dalam hutan sejauh 10 km, tujuan kami adalah Bukit Teletabis, sampai di lokasi pukul 15. 29 WIB. Waktu yang kami tempuh sekitar 3 jam 39 menit, cukup lama untuk berjalan sejauh 10 km, karena kami banyak berhenti untuk memotret hal-hal menarik yang kami temukan, tidak hanya biota laut tetapi juga burung, mammalia dan pemandangan pantai yang indah.

Saat menyusuri pantai kami berjalan sangat hati-hati karena banyak dijumpai landak laut (bulu babi) dan kadang juga bisa menjumpai ikan pari yang sedang berlabuh di pantai. Banyak biota laut yang aneh dan unik kujumpai dalam perjalanan ini, lebih banyak diantaranya yang baru pertama kali aku melihatnya.

Inilah biota laut di Pulau Panaitan yang berhasil diambil gambarnya :




































































Selain binatang-binatang kecil dan unik yang ditemukan di batu karang, aku juga memotret beberapa burung pantai yang sedang menikmati ombak dan berburu mangsa, burung elang dan king fisher. Memotret rusa juga sulit karena binatang ini sangat sensitif dengan kehadiran manusia, meskipun aku banyak menjumpainya di pinggir pantai namun belum tentu dengan mudah memotretnya karena rusa selalu menghindar dan lari menjauh. Di hutan yang didominasi tanaman pandan aku menemukan banyak sekali kotoran rusa, dan saat perjalanan pulang aku melihat seekor induk rusa bersama anaknya terlihat dari pantai, namun rusa tersebut cepat berlari menjauh melihat kehadiranku. Dan aku pun hanya berhasil memotret seekor rusa dari sekian banyak kesempatan menjumpai rusa di Pulau Panaitan. 

Camping di Pulau Panaitan
Saat perjalanan kembali dari Bukit Teletabis ke tenda kami hanya memakan waktu selama 1 jam 49 menit sejauh 10 km, jauh lebih cepat dibanding saat berangkat pergi. Sesampainya di tenda sore itu masih kumanfaatkan untuk memotret sunset dan mencari cangkang kerang dan siput yang sudah tak terpakai lagi oleh penghuninya. Sehabis mandi di sumber air tawar tak jauh dari tenda, aku ngobrol hingga larut malam di depan tenda dengan teman lama dari JAAN yakni Femke dan Darno, kami larut dengan nostalgia di masa lalu saat masih sama-sama menjadi volunteer untuk konservasi satwa liar, dan obrolan kami lainnya tak pernah jauh dari issue-issue tentang satwa liar dan suka duka bekerja memperjuangkan nasib satwa liar di Indonesia. Ini seperti ajang reuni, karena di kesempatan ini aku tidak hanya bertemu mereka saja tapi juga seorang teman lama yang sekarang bekerja di IAR yakni Aris Hidayat, kami berdua juga dulunya sama-sama menjadi volunteer untuk konservasi satwa liar di Jawa Timur. Kesempatan yang jarang terjadi bisa berkumpul bersama di satu tempat seperti ini. Sedangkan teman-teman lainnya nongkrong di tempat yang berbeda. Kami semua mencoba untuk menghabiskan waktu menjelang pergantian tahun.

Malam itu kami briefing untuk rencana kegiatan selanjutnya. Saat malam telah larut hujan turun dengan derasnya, aku yang mencoba tidur lebih dulu tak merasakan bahwa air hujan masuk tenda kami. Sleeping bag di bagian kaki sudah basah, bahkan disampingku air menggenang sehingga kawanku satu tenda tak bisa tidur dibuatnya. Tenda itu sepertinya diperuntukan bagi para dokter hewan karena kebetulan yang menempati adalah aku sendiri dan seorang dokter hewan dari IAR serta satu lagi volunteer dokter hewan IAR dari India, tapi sepertinya dia tidak berminat untuk bermalam di tenda khusus untuk perempuan tersebut.


Jumat, 1 Januari 2016
"Selamat Tahun Baru"........ucapan yang kudengar pagi itu. Hmm.....rupanya kami sudah setahun camping disitu......hahaha :)  Hari itu kami akan kembali pulang, dan beberapa orang akan tetap tinggal di lokasi sampai pertengahan bulan Januari 2016 sambil monitoring proses habituasi monyet ekor panjang sebelum layak dilepasliarkan kembali ke alam. Mengembalikan satwa liar ke habitat alaminya jauh lebih sulit dibandingkan dengan orang yang tidak bertanggung jawab dengan mudahnya mengambil satwa liar dari alam.  Dan dalam proses pengembalian itu membutuhkan waktu yang panjang, tenaga dan pikiran yang terkuras dan biaya yang tidak sedikit agar satwa-satwa itu bisa menikmati kebebasan kembali dan menjalankan fungsinya dalam ekosistem. Sedangkan imbalan yang kita dapatkan adalah kepuasan batin yang tak terkira melihat satwa liar menikmati kebebasannya kembali, karena bagaimanapun tempat terbaik mereka adalah di hutan bukan di rumah orang dengan tubuh di rantai dan dijadikan obyek sebagai "Dancing Monkey" untuk menghasilkan uang bagi manusia.

Pantai di Kantor Seksi Pengelolaan TN Wilayah I, Pulau Panaitan, 
Taman Nasional Ujung Kulon

Pagi itu kami packing barang-barang, perahu cadik sudah menjemput dan kami harus bersiap untuk pergi menuju perhau yang lebih besar dan meninggalkan Pulau Panaitan. Di tengah perjalanan seorang kawan menawariku untuk turun dari perahu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, tawarannya menggodaku untuk mengikutinya karena tertarik dengan penjelasannya bahwa kami nantinya bisa menjumpai dan memotret satwa liar sepanjang perjalanan. Dengan membawa kamera dan botol minum sebagai teman perjalananan, kami mulai berjalan kaki dari Bajo sampai Kantor Seksi Pengelolaan TN Wilayah I yang ditempuh sekitar 1 jam perjalanan. Selama berjalan aku hanya dapat menjumpai burung saja dan pepohonan dengan diameter cukup besar, namun tak mengapa sesampainya di tujuan terlihat seekor rusa sedang berada di areal kantor seksi, akhirnya itulah yang jadi sasaran obyek memotret kami. Bagiku tidak itu saja yang menarik, namun keindahan pantainya juga cukup membuat terpesona, pasir putih yang halus dan lembut dikombinasi dengan air pantai yang bening kehijauan dan kebiruan. Tak sabar aku untuk segera turun dan menginjakkan kakiku di pantai indah itu tanpa peduli dengan teriknya matahari di siang hari yang panas. Bermain air sambil menunggu perahu besar menjemput kami dan akan membawa kami kembali ke Sumur, yakni kampung nelayan tempat kami berlabuh. Sepanjang perjalanan pulang aku habiskan waktu untuk berbincang-bincang dengan para polisi kehutanan (polhut) Taman Nasional Ujung Kulon yang pulang bersama kami. Bagiku ini adalah pengalaman pertama mengunjungi Taman Nasional Ujung Kulon dan tentu tidak akan terlupakan, tiga hari terlewati dengan sungguh menyenangkan.

2 komentar:

  1. Selamat siang dokter Yanti. Perkenalkan saya Iman, reporter Vetnews.co, situs hewan piaraan. Dok, minta izin mengambil beberapa tulisan dari blog ini. Banyak yang bermanfaat.

    BalasHapus