Selasa, 21 April 2015

Berkunjung ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh Riau


Bukit Tigapuluh National Park - Riau Sumatra

16 April 2015, Saya bersama dua orang teman pergi ke Rengat, Provinsi Riau dimana kantor Balai Taman Nasioanl Bukit Tigapuluh berada. Saya berangkat dan bertemu teman perjalanan saya di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Dengan menaiki bus pada pukul 3 sore sampai di tempat tujuan dini hari tanggal 17 April 2015. Kami dijemput dua orang staff dari Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang membawa kami ke kota Rengat, Riau, menjelang shubuh kami baru sampai di komplek perkantoran Balai TNBT. 

Siang harinya kami berjalan-jalan keliling Kota Rengat mengunjungi Danau Rajo, yakni sebuah danau yang konon khabarnya di dalamnya ada bangunan kerajaan. Replikasi bangunan kerajaan tersebut terdapat disamping danau, namun sayangnya tidak terurus dengan baik, tampak kotor dan ada beberapa bagian telah rusak.


Perjalanan menuju Taman Nasional Bukit Tigapuluh

Sabtu, tanggal 18 April 2015 kami telah merencanakan untuk melakukan perjalanan ke kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh melalui Camp Granit. Kami berangkat berlima dari Rengat menggunakan mobil Kepala Balai TNBT, kemudian berganti mobil patroli Ford Ranger di kantor seksi setempat. Perjalanan sangat menyenangkan karena off road. Sesampainya di Camp Granit masih pagi sekitar pukul 10.00 WIB, rencana kami akan melihat lokasi pembinaan habitat untuk harimau sumatera dengan diantar salah satu staff TNBT yang ada di Camp Granit, karena yang bersangkutan sedang keluar camp dan dia yang tahu lokasinya maka kami harus menunggu sampai pukul 3 sore untuk bisa masuk ke hutan. Sambil menunggu kedatangannya kami berjalan-jalan ke air terjun yang ada di dalam kawasan tersebut dan beristirahat sambil menikmati pemandangan sekitar yang indah. 

Sore itu langit tampak gelap, saya khawatir akan turun hujan. Kami berempat memasuki hutan bersama tiga orang kawan laki-laki, sedangkan dua orang kawan perempuan lainnya lebih memilih menunggu di Camp Granit. Jalan setapak yang naik turun tentu tidak menarik bagi mereka. Sepanjang perjalanan masih kutemui pohon besar yang berdiameter lebih dari 50 cm. Karena memasuki daerah baru yang belum aku kenal maka aku sedikit waspada dengan sekitarnya, mengingat waktu telah menjelang sore dan lokasi yang kami datangi merupakan daerah jelajah harimau sumatra. Tidak hanya jalan setapak yang kami lalui tetapi juga menyusuri sungai kecil yang ada di dalam kawasan.

Lokasi pembinaan habitat harimau sumatera

Tampak dari kejauhan camera trap terpasang di pohon, dan guide kami yakni petugas TNBT menjelaskan padaku lokasi-lokasi harimau biasanya melintas. Areal yang akan difungsikan untuk project pembinaan habitat harimau seluas 10 hektar, project ini atas kerjasama antara Balai TNBT dan Pertamina. Terlalu banyak pertanyaan di benakku sehubungan dengan lokasi itu, termasuk spesies prey (satwa mangsa) apa saja yang ada di lokasi, dan strategi apa yang akan dilakukan untuk memperbanyak satwa mangsa harimau disana, serta jumlah individu harimau termasuk estimasi sexing di kawasan tersebut. Sayangnya pertanyaanku tidak bisa terjawab di lokasi dan aku harus bertanya lagi pada orang yang tepat. Hari sudah mulai gelap, kami harus segera keluar dari hutan tersebut. 


Kami dalam masalah

Setelah membersihkan diri kami langsung kembali menuju Kota Rengat sore itu. Di tengah perjalanan hujan turun, yang semula hanya gerimis berubah menjadi hujan lebat dengan bunyi petir bergemuruh. Jalan yang berupa tanah merah menjadi sangat licin, dan tampak banyak lubang seperti parit bekas aliran air di pinggir dan tengah jalan yang dalamnya setinggi roda mobil. Pengemudi mobil sibuk menghindari lubang-lubang bekas aliran air itu agar tidak terperosok, di hari gelap pandangan menjadi kabur karena hujan deras yang sekali-kali mendapatkan penerangan cahaya dari kilatan petir. Tidak ada rumah, kiri kanan semak belukar. Canda tawa kami terhenti saat roda mobil tergelincir saat melewati jalan menurun dan roda sebelah kanan masuk ke lubang memanjang di pinggir jalan, mencoba keluar dari lubang selalu gagal bahkan roda belakang dan gardan tersangkut. Makanan dan minuman yang kami bawa pun hampir habis. Satu-satunya yang melegakan adalah ada signal meski tidak maksimal di lokasi tersebut sehingga kami bisa mengabarkan ke kantor TNBT di Rengat tentang apa yang terjadi. Dan akan dikirimkan mobil untuk menjemput kami dari kantor seksi terdekat. Di dalam guyuran hujan deras ada motor trail yang sedang melewati kami akhirnya dia yang membantu kami untuk memberikan informasi ke atas ke Camp Granit dan ke bawah ke petugas yang akan merescue kami malam itu dengan mobil Pajero Sport yang kami bawa sebelumnya. 

Hujan deras membuat mobil Pajero Sport yang akan menjemput kami juga terperosok karena jalan tanah sangat licin, bagian belakang mobil tersangkut di tebing batu sedangkan bagian depan nyaris masuk ke lubang jalan yang dalam. Mobil tidak bisa dimundurkan dan dimajukan lagi sehingga melintang di tengah jalan. Alternatif kedua adalah dengan meminta bantuan mobil dari mitra yakni FZS yang saat itu sedang berkegiatan di Camp Granit. Saat mobil keluar dari Camp Granit untuk menuju ke lokasi kami berada tiba-tiba ada pohon besar tumbang karena hujan deras yang menghalangi jalan sehingga mobil tidak bisa lewat. 

Dalam kondisi seperti itu, kami sama sekali tidak panik malah mengisi waktu untuk menghibur diri dengan bercerita lucu dan mengundang tawa, bernyanyi dan main game, dan masih bisa menikmati suasana meski dalam masalah besar karena tidak bisa kembali ke Kota Rengat dengan lancar, jangankan kembali ke Kota, untuk kembali ke desa terdekat juga mengalami kendala, karena kondisi hujan deras dan dingin, sedangkan salah satu dari kami penderita asma. Kami akhirnya berdiskusi tentang jalan keluar berikutnya yang memutuskan bahwa kami harus berjalan kaki didalam gelap, dibawah guyuran hujan dan berharap ini tidak membuat asma salah satu dari kami kambuh, itu akan menjadi masalah baru tentunya. Baju kami basah kuyup diguyur hujan deras, perjalanan kami diterangi oleh kilatan halilintar, setelah berjalan jauh akhirnya kami bertemu dengan mobil yang akan menjemput kami meskipun akhirnya juga ikut terperosok.

Ternyata di lokasi tersebut tidak hanya ada petugas dari kantor seksi yang menjemput kami, tetapi juga ada Kepala Balai TNBT yang menjemput kami dari Kota Rengat. Kami dijemput dengan sepeda motor, disaat mereka masih disibukkan mengeluarkan mobil dari lokasi terperosok, saya bersama dua orang teman perempuan pergi dan berteduh di rumah warga setempat.

Sepertinya setiap kali melakukan perjalanan ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh aku selalu mendapat masalah, tidak hanya saat melalui Provinsi Riau namun juga saat menuju kesana melalui Provinsi Jambi. Semua masalah berhubungan dengan mobil dan jalan yang sangat buruk dan tidak layak untuk dilalui. Ini bukan masalah yang pertama kali menimpaku dalam perjalanan ke TNBT, bahkan beberapa tahun sebelumnya saat saya masih membantu orangutan di Stasiun Re-Introduksi Orangutan di Jambi, mobil yang menjemputku terperosok masuk kedalam sungai besar sehingga aku harus keluar dengan berjalan kaki dari jam 12 siang sampai jam 10 malam. Tidak hanya itu saja, kadang mobil rusak dan kami pun harus bermalam di pinggir jalan dimana kiri kanan adalah semak belukar atau hutan yang baru dibuka untuk perkebunan.

Menjelang pagi salah satu mobil bisa keluar dan menjemput kami ke rumah warga, dan selanjutnya kami kembali ke Kota Rengat. Seharian tidak tidur karena trouble di perjalanan tidak juga membuatku mengantuk. Saya hanya istirahat sebentar di rumah Kepala Balai dan sore harinya melanjutkan perjalanan ke Sumatera Barat melalui Pekanbaru. Akhirnya hari itu pun melewati malam tanpa tidur sampai ke Kota Solok, Sumatera Barat. Rencana pulang kembali ke Kota Bengkulu terpaksa musti kutunda sehari untuk beristirahat sejenak setelah dua hari tanpa istirahat.

Sabtu, 18 April 2015

Dragonflies at the Bukit Tigapuluh National Park

These are dragonflies that I've taken of their picture in the areas close to Water Falls in the Bukit Tigapuluh National Park, Province of Riau, Sumatra.

Odonata - on April 18th. 2015

 
Orthetrum pruinosum schneideri (Foerster 1903)
 
Orthetrum chrysis
 
Orthetrum chrysis
 
Zygonyx ida
 
Zygonix ida
 
Trithemis aurora
 
Trithemis aurora
 
Trithemis festiva
 
Acisoma panorpoides (Female)

Kamis, 16 April 2015

Aku dan Tempat Baruku


Saat merawat bayi gajah yang mengalami traumatis, malnutrisi
karena hilang nafsu makan akibat stress kehilangan induk 

dan kelompoknya di Pusat Konservasi Gajah Seblat 
Tahun 2011 - 2012
14 April 2015, Pertama kalinya saya menempati kantor baru di Kabupaten Rejang Lebong setelah dimutasi dari Pusat Konservsai Gajah Seblat. Dari jabatan dokter hewan praktisi berganti menjadi petugas Pengolah Bahan Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar di salah satu kantor seksi, saya sendiri kurang paham apa arti dan tugas dari jabatan ini. Karena fokus dan pengalaman profesional saya selama sepuluh tahun lebih dalam hal yang perhubungan dengan medik konservasi, karena latar belakang pendidikan dan pekerjaan saya selama ini adalah field practitioners di bidang medik konservasi. Di kantor baru saya yang sepi dan terkesan mati tanpa ada aktivitas yang berarti membuatku menjadi merasa tidak berguna karena memang tidak ada hal penting yang bisa dikerjakan disana kecuali mengobrol dan mengisi absensi atau menyibukkan diri sendiri di depan komputerku. Bekerja bagi saya tidak hanya cukup dengan hadir sepanjang hari tanpa aktivitas dan mengisi absensi lengkap dari awal bulan sampai akhir bulan, namun harus ada yang dihasilkan bagi konservasi satwa liar dan biodiversity lainnya sesuai dengan nama tempat saya bekerja dan juga merupakan amanah dalam pekerjaan yakni 'Konservasi Sumber Daya Alam', bagi saya itulah dasar pekerjaan yang harus dicapai. Dengan gaji yang diterima setiap bulan dengan absensi penuh belum tentu membuatku puas bila target pekerjaan tidak tercapai. Kedengarannya sok idealis, tapi faktanya bagi orang-orang praktisi lapangan hasil kerja sesuai bidangnya masing-masing yang menjadi indikator dan bukan selembar kertas yang penuh dengan tanda-tangan kita yang disebut absensi. Sedangkan di tempat saya bekerja, absensi adalah tolak ukur bahwa seseorang itu telah bekerja dengan baik atau tidak tanpa peduli kita bekerja atau tidak, juga tanpa peduli pekerjaan yang dilakukan itu ada hasilnya atau tidak. 

Operasi amputasi harimau sumatera 
yang terkena jerat pemburu liar
Ada untungnya menjadi orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru meski bertolak belakang sekalipun. Jadi positive thinking saja, mungkin mereka tahu saya hobby travelling sehingga untuk absensi saja saya harus menempuh perjalanan 3 jam ke kabupaten lainnya, dan meski orang telah menjauhkan saya dari profesi saya yang sebenarnya tentu panggilan hati untuk menolong satwa liar yang membutuhkan akan terus dilakukan, membuat saya harus hilir-mudik antara absensi dan merawat pasien di lokasi yang berbeda kabupaten dan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk perjalanan itu. Lagi-lagi harus positive thinking, bukankah selama ini saya suka menjadi relawan untuk satwa liar dan hidup mandiri baik untuk kehidupan sehari-hari maupun mandiri dalam bekerja, artinya tanpa fasilitas apapun yang diberikan untuk menunjang pekerjaan, sungguh bertolak belakang dengan yang lainnya dengan mudahnya mendapatkan fasilitas ini itu, tapi saya tidak boleh iri. Ya, 'keterbatasan jangan sampai melemahkan semangat untuk bisa membantu satwa liar', itu prinsip yang musti selalu saya ingat.

Pusat Konservasi Gajah Seblat - Bengkulu
Kadangkala saya sering berkhayal, apakah saya telah salah dalam memilih pekerjaan ? Gaji yang tergolong sedikit namun pikiran dan waktu saya terkuras habis, profesi saya dipandang sebelah mata, tidak adanya penghargaan dan dukungan, sulitnya untuk mengembangkan diri dan mendapat kesempatan belajar secara berkelanjutan bahkan untuk belajar kadang harus sembunyi-sembunyi, konyol sekali memang, harus bekerja keras dan lebih keras lagi untuk dapat membuat satwa liar yang memerlukan pertolongan agar lebih sejahtera, sudah lama saya mengesampingkan hidup saya sendiri untuk totalitas bagi pekerjaan ini, membantu mereka mengurus satwa liarnya. Lagi-lagi saya berpikir, apakah saya telah melakukan kesalahan dalam menentukan hidup saya dengan memilih pekerjaan di tempat ini ? Sebagai manusia biasa kadang saya merasa sedih, lelah dengan semua itu dan hilang semangat apalagi bila tak ada dukungan untuk satwa liar dari pihak otoritas. Kadang ingin menyerah saja, dan meninggalkan tempat ini untuk membantu satwa liar lainnya di tempat lain yang membutuhkan tenaga saya seperti bergabung dengan Non-Government Organization yang bergerak di bidang konservasi satwa liar seperti dulu sebelum saya pindah ketempat ini. Tentu bekerja bersama orang-orang yang tak perlu diragukan lagi perhatiannya terhadap satwa liar dan habitatnya akan membuat lebih nyaman, dan saya pun tak perlu lagi dipusingkan untuk mencari dukungan  bagi kelangsungan hidup satwa serta kesejahteraannya selama perawatan. Karena semua itu sudah ada yang memikirkan, dan tinggal bekerja dengan nyaman dan tenang untuk urusan medis saja tanpa dibebani permasalahan lainnya. Tentu di tempat seperti itu saya juga tidak akan mengalami kecurangan - kecurangan lagi yang tidak bisa ditoleransi berhubungan dengan medik konservasi dan otoritas medis oleh pihak-pihak tertentu.     

Harimau sumatera bernama Dara setelah diselamatkan 
dari jerat pemburu liar di Provinsi Bengkulu
Namun, banyak pihak yang membuat saya bertahan, dan terus bertahan hingga kini. Para kolega senior di Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, teman-teman praktisi lapangan dan peneliti untuk konservasi harimau mengatakan, "Kamu jangan pergi dari sana", dan yang pasti pasien-pasien saya yang selama ini kami rawat, melihat kondisi mereka, raungannya dan tatapan matanya tentu sangat berat hati untuk meninggalkannya hanya demi keegoisan pribadi lari dari ketidaknyamanan. Mungkin ini sudah jalan Tuhan, satwa liar itu tak berdosa, mereka menderita karena ulah manusia, dan memang saya harus bisa bertahan di tempat ini untuk mereka, dan menikmati setiap hal yang terjadi tanpa pustus asa. Jabatan itu hanyalah tulisan diatas kertas, yang terpenting adalah tetap mengabdikan diri agar setiap waktu yang kita miliki bermanfaat bagi lingkungan sekitar sesuai dengan kemampuan serta latar belakang pengetahuan dan ketrampilan masing-masing.